[1] : Minggu Pagi Jibran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• The 'J' Siblings •

•~~

Selamat Pagi dunia!  ayo bangun, lo butuh cuan

JibranAnakBapakJaka

•~~•

—"JEJEN BANGUNIN JIBRAN!"

Hari Minggu bukan berarti harus bangun siang, begitu kata Bapak, bangun pagi sudah menjadi hal mutlak yang wajib dilaksanakan oleh seluruh personel keluarga Bapak Jaka, katanya sih biar rezekinya gak di patok ayam, padahal Jibran berani bertaruh, ayam kurang kerjaan mana yang mau ngambil telor ceplok Jibran di pagi hari? bukankah itu termasuk Kanibalisme ?.

Jam bundar yang tergantung di dinding bercat hijau itu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, dengan Jibran yang masih setia menggelung tubuhnya di dalam selimut bergambarkan salah satu tokoh wanita Disney dengan rambut coklat berkepang dua favorite Jibran.

"Adikku tersayang!!!!" 

Rasanya Jibran pengen terjun aja ke palung mariana kala mendengar teriakan Jejen menggema di seluruh ruangan kamarnya, anak laki-laki itu berjalan seraya menghentakkan kakinya kuat kepada lantai dengan sengaja, menimbulkan bunyi berisik yang mengusik mimpi Jibran.

Padahal Jibran lagi mimpi nembak si Anna, jadi kan Jibran belum sempet denger jawaban dia!.

Tak kunjung mendapatkan respon akhirnya Jejen memilih untuk menarik paksa selimut yang dipakai Jibran.

"Anna!!!!"

"Ewh...Anna lo bau jigong"

"Ini tah hari Minggu bang! Tolong lah"

"Telor ceplok jatah Lo gue yang makan ya"

Jibran secara refleks membuka matanya lebar-lebar, mendapati wajah kakak laki-lakinya yang sedang menyengir minta di tabok.

"Gak ada yang boleh nyentuh telor ceplok jatah gue!"

Jejen hanya tertawa jahat kemudian berjalan untuk keluar dari kamar Jibran seraya membuka pintu selebar mungkin "Lima menit Lo kaga turun, tu telor ceplok jadi hak milik gue"

Jibran cuman bisa manyun seraya menarik selimutnya untuk kembali ke atas kasur, selama beberapa saat anak itu hanya menatap nanar ke arah selimut yang ia genggam, sebelum akhirnya memilih untuk membuka gorden jendela kamarnya, menimbulkan sebuah terpaan cahaya yang seakan menusuk pupil matanya. 

"Jadi apa jawaban lo na? gue diterima?" Jibran bergumam seraya mengelus selimutnya dengan lembut.

•~~•

Jibran menghampiri Bang Nathan yang sedang memainkan ponselnya di ruang tengah dengan sebelah tangan lainnya mengaduk bungkusan chiki keju yang membuat jari-jarinya dipenuhi bumbu micin berwarna orange, kakinya terjulur menghabiskan seluruh bagian sofa dengan badan bongsornya, jangan lupakan televisi yang menyala menayangkan sebuah berita berbahasa Inggris yang membuat dahi Jibran justru mengernyit.

"Bang Nathan emang ngerti mereka ngomong apaan?"

"Ngerti, kan gue kelahiran Chicago"

"Dih?"

"Iri amat ni bocah"

"BUUU BANG NATHAN MAU DI CORET DARI KK!!—" bukan Jibran kalau ngomongnya gak lemes kaya Tube Man, Belum sempat Jibran menyelesaikan teriakannya, Nathan sudah lebih dulu melempar kencang sebuah bantal kesayangan Jai yang tepat mengenai wajah Jibran.

Bantal bersarung kotak-kotak berwarna hitam yang kalau di cuci pasti kelihatan aesthetic, tapi Bang Jai nolak keras buat nyuci bantal itu, dengan alasan bantal itu banyak kenangannya.

Iya, setumpuk kenangan penuh iler.

"Bang Nathan semalem ngejamet dimana?"

"Matamu ngejamet!"

"Itu kemarin pake celana neplak banget"

"Dating lah!"

"BANG NATHAN PUNYA CEWE LAGI?!"

Nathan mengangguk.

"Ini yang ketiga loh bulan ini"

"Ya terus?"

"Sinting"

"Bukan sinting adikkuh, tapi ini adalah salah satu cara Abang mencari pasangan yang terbaik untuk masa depan"

"Hah?"

"Bener kata Jai, mending ngajarin kucing jalan pake 2 kaki daripada ngejelasin persoalan dunia sama lo".

"Tenang aja nanti gue bikin dunia sendiri, nanti ceritanya lo jadi babu gue, gue suruh lo sujud di kaki gue"

"Ade Jahanam!"

"Pasti selera Bang Nathan kaya tante-tante"

"Lo belum liat aja"

"Mana?"

"Nih, cantik gak?" tanyanya seraya menyodorkan ponselnya ke arah Jibran.

Anak itu memicingkan matanya menatap ke arah benda pipih yang menampilkan foto seorang wanita berambut panjang sepunggung yang terlihat curly di ujungnya.

"Tuh kan! Bang Nathan seleranya tante-tante!"

"Kalau selera gue anak SMA nanti di embat Jejen!"

"Iya sih"

"Tapi katanya cewek tuh suka cowok yang lebih tua"

"Jangan deh bang, nanti di sangka pedofil"

Nathan mendelik ke arah Jibran yang justru membuat anak itu memberikan seutas senyum miring, tak habis disitu kini Nathan dengan pergerakan yang cepat menggosokkan telapak tangannya ke ketiaknya yang langsung membuat Jibran di serang panik luar biasa.

"BU! BANG NATHAN BAU KETEK!!!!"

Ada aksi kejar-kejaran yang begitu heboh sampai membuat kandang burung kenari milik bapak mendadak diguncang gempa hebat, masalahnya badannya Nathan bongsor banget, kan Jibran berasa di kejar sama Titan.

"HUWAH AMPUN BANG! KAN EMANG BENER!"

"MAKSUD LO GUE KAYA OM OM?!"

"KAN EMANG!!!!"

"SINI LO!"

"IBUUUUUU JIBRAN DIKETEKIN!!!!!"

Jibran dan Nathan berlarian di sekeliling rumah hingga berujung pada satu tempat terakhir, tempat dimana seluruh pertolongan Jibran akan berada disana, seperti menemukan secercah harapan Jibran memilih untuk berlindung dibalik tubuh Jai yang sedang membantu ibu membersihkan sisa makanan semalam, membuat Jai justru kerepotan sendiri ketika tubuhnya di tarik dengan paksa, membuat tatapannya kini hanya terarah pada dua lubang hidung Nathan yang nampak kembang kempis, rasanya pengen Jai colok aja pake steker listrik.

"JIBRAN!!"

"BANG JAI TOLONGIN!!"

"SINI LO BOCAH LAKNAT!"

Jai yang tangannya penuh dengan busa sabun hanya bisa menatap kebingungan ke arah Nathan yang sedang memelotot bulat.

"BANG JAIII!!!"

"Bentar ini ada apaan?, Lo berdua ngapain lagi dah buset"

"Bukan salah gue kan bang? Bang Nathan emang udah om-om masa iya gue sebut anak SMP?"

"Kenapa moncong Lo nyebelin banget kalau ngomong—SINI GAK LO?" Nathan menarik baju kaos bergambar pesawat terbang yang dikenakan Jibran sehingga anak itu terhuyung dan menabrak kursi makan yang secara tak sengaja menyenggol sekotak aquarium berisi ikan cupang berwarna merah muda kesayangan Jai.

Prang!

Satu detik...dua detik...tiga detik... Tidak ada yang bergerak di antara ketiganya, Nathan dan Jibran sama-sama meneguk ludahnya secara paksa seraya menatap ngeri Jai yang sedang menatap nanar ke arah ikan cupang yang sedang menggelepar di lantai, tangannya mengepal kuat, bahunya nampak naik dan turun.

Kiamat sudah bagi Jibran dan Nathan.

"Lo berdua—" Jai mengalihkan pandangannya ke arah Jibran dan Nathan, tatapannya menggambarkan kilat tajam yang terlihat begitu mengerikan.

"Berani-beraninya Lo bikin IU gue menggelepar tak berdaya kaya begitu!"

Fyi, IU ini nama ikan cupangnya Jai, soalnya cakep kaya IU.

Sebelum ngamuk lebih jauh, Jibran dan Nathan sudah pasang ancang-ancang mau kabur tapi tentu semua langkah ceroboh Jibran yang tanpa sengaja justru menginjak ikan cupang berwarna merah muda tersebut sehingga membuat Jai berasa kerasukan setan dadakan.

"JIBRAN!!!!!"

"MINTA AMPUN BANG!!! GAK SENGAJA!!!"

"BELUM AJA LO BERDUA GUE LEMPAR PAKE PANCI!!!!!!" Jai tak sempat untuk melempar panci yang ia maksud karena kini Jibran dan Nathan sudah berlari menjauh, menyisakan dirinya yang dengan terburu-buru mencari wadah agar ikan itu bisa bertahan hidup.

Akhirnya Tupperware ibu jadi korban.

"Maafin aku ya IU, harusnya aku lebih jagain kamu, kamu harus kuat, kamu ikan yang kuat"

Jejen yang baru datang dari warung malah dibuat geli ketika melihat Jai berbicara begitu manis dengan ikan yang nampaknya sedang melewati masa kritisnya.

"Bang—"

"Apa Lo?! Lo juga sama! Nyusahin!"

Jejen nampak termangu dengan sebungkus coki-coki yang nangkring ganteng di mulutnya.

"Jejen baru datang Bang"

•~~•

Jibran baru saja meletakkan sepiring nasi goreng yang di hiasi telur mata sapi buatan ibu di atas meja makan, anak itu nampak tidak tenang, sesekali bersikap kikuk dengan iseng membuka pintu kulkas hanya untuk melamun kosong yang kemudian ia tutup kembali secara berulang.

"Nanti tagihan listrik jadi gede banget kalau kulkas kamu mainin gitu de"

"Jibran lagi mendinginkan pikiran bu"

"Makanya jangan bikin ulah sama barangnya Bang Jai—" omel wanita paruh baya yang kini sedang menyendokkan nasi dari wajan ke piring yang langsung di letakkan oleh Jibran ke atas meja.

"Bukan Jibran kok yang jatuhin"

"Terus siapa? Setan?"

"Iya, Bang Nathan"

"Hush! Kamu ini!"

Bukannya merasa bersalah Jibran justru malah menyengir lebar, "Nanti Jibran ganti deh"

"Emang ada uang kamu beliin Aquarium Bang Jai?"

"Kan sebentar lagi Bang Nathan gajian, Jibran tinggal malak" jawaban anak bungsunya itu justru membuat wanita tersebut tertawa "ada-ada aja kamu—udah sana panggil abang-abang kamu, kita sarapan bareng"

"Bu, ibu mau Jibran mati muda?"

"Emang kenapa?"

"Nanti Jibran dijadiin adonan tahu bulat Bu!"

"Kan kamu ini"

"Ibuuu!"

Wanita itu nampak tertawa renyah "Yaudah, kamu susul aja Jejen, nanti minta tolong Jejen yang panggil Nathan sama Jai"

Jibran masih nampak tak terima tapi tetap menuruti perintahnya ibunya untuk menghampiri Jejen yang sedang anteng membaca komik kesukaannya di dalam kamar.

"Ibu suruh makan"

"Ànjsbdhuwhs—Kalau masuk bisa kaga ketok dulu apa begimana atau manggil nama gue dulu gitu?!"

"Nanggung, tolong panggilin Bang Jai sama Bang Nathan juga"

"Kenapa gak Lo aja?"

"Apa gue terlihat seperti ingin berbicara dengan kaum jelata itu?" pertanyaan Jibran tadi disambut dengan toyoran kasih sayang dari Jejen.

"Bener kata Bang Jai—Lo kampret"

Jibran mengedikkan bahunya "katanya orang kampret gedenya jadi artis"

"SAHA YANG BILANG?!"

"Pa RT"

"Makanya jangan suka maling jambu di depan rumah Pa RT!"

"Lagian tu jambu juga udah ada di luar tanahnhya Pa RT, halal di ambil"

"Denger ya ngab, yang halal tuh cuman wardah"

"Ya besok-besok lo kalau laper minum aja sebotol wardah"

Jejen hanya menarik nafas panjangnya, dari keempat anak Pak Jaka, cuman Jibran yang paling susah di atur, kerjaannya kalau gak nyasar ya bikin orang lain pengen nampol.

Tapi anehnya, orang-orang justru gemes liat muka Jibran yang konon katanya se-kiyowo bocah TK.

"Yaudah sono lo ke bawah! nanti gue yang panggil Bang Nathan sama Bang Jai"

Jibran hanya menyengir kemudian berjalan ke arah saklar lampu dan menekannya, membuat seisi kamar Jejen menjadi lebih gelap, anak itu segera berlari takut kalau-kalau Jejen malah ngelempar buku yang sedang ia pegang ke arah Jibran.

"Jibran Kampret Shailendra!!!!"

•~~•

"Pak, sepatu Jibran jebol" ditengah benturan suara piring dan sendok, Jibran memilih untuk membuka pembicaraan, membuat seluruh orang yang ada di ruangan itu melirik ke arahnya sejenak sebelum kembali melangsungkan aktivitas menyuapkan nasi ke dalam mulut.

"Kamu gigitin?"

"Kelamaan nyium aspal Pak"

"Dipake buat futsal tuh Pak, ya kandas tu sepatu" Jejen berujar.

"Lagian waktu itu pake sendal jepit malah copot"

"ya elu kenapa main futsal pake sendal jepit!"

"Ya makannya gue ganti juga pake sepatu!"

"Ribut lagi ni sendok gue lempar ke kepala Lo berdua" ucap Jai seraya mengacungkan sendok yang sedang ia pegang.

Bapak hanya tertawa singkat sambil menyeruput kopi hitam buatan Ibu.

"Kalau gak salah ada sepatu hitam yang di taro di gudang punya Nathan, masih bagus kan bang? Disuruh pake aja dulu sama Jibran"

"Tapi kakinya Bang Nathan gede banget Bu, Jibran udah kaya Mickey mouse kalau pake sepatu bang Nathan"

"Badan lo aja itu yang piyik"

"Kan gue tahap grow up bang"

"Grow Up apaan badan lo masih kaya sehelai sapu ijuk"

"Badan Bang Nathan aja itu yang kaya Gorilla"

"Heh!" Nathan baru saja ingin menghampiri Jibran, tapi keburu di toyor sama Jai, membuat Jibran justru merasa menang.

"Jai ada Bu, nanti biar Jai kasih" Jai memilih untuk memecah pertengkaran, sedangkan Jejen masih anteng ngunyah nasi goreng.

"Tuh, pakai dulu punya Bang Jai ya?"

Jibran hanya mengangguk, hal seperti ini bukan terjadi sekali atau dua kali, Jibran yang notabene nya anak bungsu laki-laki di antara para saudara laki-laki, kalau minta apa-apa pasti dikasihnya benda pusaka turun temurun dari abang-abangnya.

Sepatu Jai, Seragam Jejen, Jaketnya Nathan.

Iya semua hasil dari turun-temurun.

Kadang Jibran ngerasa kesel juga sih, kenapa harus pake barang bekas dari abang-abangnya?

Kenapa nggak beli khusus terdedikasi untuk Jibran?

Tapi gak apa-apa kadang barang yang pengen Jibran mau justru barang abang-abangnya.

"Bu Jibran mau nambah nasi"

•~~•

—"Jibran mau kemana?!"

"Beli es Kiko Bu!"

"ES TEROSSSSSSS" sudah pasti bukan ibu yang menjawab.

Ini Gorilla ada dimana-mana dah heran gue, Jibran membatin.

Matanya memicing tajam ke arah Nathan yang sedang berkacak pinggang dengan selang air di genggaman tangan kanannya, tak lupa sebuah handuk kecil yang warnanya sudah mulai tidak jelas—mungkin awalnya berwarna putih—handuk itu kini bertengger rapih di leher Nathan.

"NGOPI TEROSSSSSSS" 

"Batuk tau rasa lo!"

"Bang Nathan juga, ngopi sampe gadang, liat tuh kantong mata udah berlipat kaya bunga bank"

Kalau bukan ade sendiri udah Nathan cemplungin tuh si Jibran ke Citarum.

"Mau ke warung mana?"

"Nggak tau, nggak terima jasa titipan"

"Gue kasih upah deh"

Jibran yang awalnya mau sok jual mahal menolak untuk dititah malah menyengir lebar "Cilor depan ruko Mang Kusnandang?"

"Yoi Brother " Nathan jadi ikut memamerkan deretan giginya ketika mendengar ucapan Jibran, tangannya terulur untuk merogoh saku celana trainingnya "Nih, Ceban, saosnya banyakin, kembaliannya buat lo" 

"Siap kopral Nathan!" Jibran menerima uang pecahan duapuluh ribu yang diberikan oleh Nathan, kemudian berjalan untuk mengambil sepedanya yang tersimpan dibagasi.

"Kalau gak ada cilor, beli aja batagor!"

"IYA!!!!!!"

•~~•


• The 'J' Siblings •

•~~•

To Be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro