[2] : Jejen Si Budak Cinta Sejati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• The 'J' Siblings •

•~~•

Sekarang 78 % dulu, mungkin nanti bisa jadi 100%

JeanAnakGanteng

•~~•

—Jean namanya, tapi di lebih suka kalau misalnya dipanggil Jejen, tidak tahu karena alasan apa, tapi Jejen lebih senang ketika dipanggil dengan nama panggilan keluarganya.

Selain pandai dalam bidang akademik, Jejen ini jago banget di bidang seni beladiri, gak ada yang gak kenal sama Jejen, kalau mau cari Jejen gampang banget, mau nanya ade kelas, temen seangkatan, alumni, satpam sekolah, sampe mamang tukang es kelapa depan sekolah aja pasti kenal sama Jejen.

Jejen memang terkenal dengan prestasinya, tapi di sisi lain Jejen ini emang friendly banget orangnya, siapapun yang temenan sama Jejen pasti bakalan ngerasa nyaman kalau lagi ada di dekat dia.

Siang ini Jejen memilih untuk merebahan tubuhnya di lantai dekat lapangan, meredakan rasa lelah hasil dari latihannya selama beberapa jam, di temani dengan sahabat karibnya yang melakukan hal yang serupa.

Anak laki-laki jangkung berambut hitam lurus yang memiliki senyuman khas yang dapat menjadi candu bagi setiap orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja melihatnya, panggil aja Nana.

"Lo ada rencana setelah off ekskul?"

"Ada, Tidur siang"

"Yang lain?"

"Rebahan"

"Terus?" Nana nampak berfikir sejenak.

"Nonton Youtube"

"..."

"Sama ngehalu"  Anak laki-laki itu menyunggingkan senyumnya seraya menggesekan ibu jarinya dengan jari tengah, menimbulkan seuara jentikan yang begitu nyaring.

"Sangat bermanfaat"

Jejen memutar bola matanya sambil mendengus lelah, anak laki-laki itu memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lorongan kelas.

Matanya seketika menyipit ketika mendapati seseorang di ujung lorong sana sedang melambaian tangan ke arahnya.

"Itu yang lagi dadah-dadah ke gue siapa dah? Cantik banget"

Nana mengerutkan dahinya sejenak kemudian ikut mengarahkan pandangannya ke arah seseorang yang dimaksud oleh Jejen, tangannya seketika terulur untuk menoyor kepala Jejen.

"Cewek Lo ege!"

"Oh" Jejen menyengir seraya menatap Nana sebentar "Iya cewek gue"

"Karina!" tanpa berfikir lagi Jejen segera bangkit dari posisi awalnya kemudian berlari untuk menghampiri gadis yang sedang tersenyum manis padanya.

"Udah latihannya?"

"Udah—"Jejen menarik sebuah ikat rambut yang berada di pergelangan tangannya sebelum kemudian menyatukan seluruh rambut gadis di depannya menjadi satu bagian "—Kalau belajar diiket rambutnya, nanti ribet kamu kalau nulis"

"Tadi aku iket kok, aku sempet ada kelas olahraga barusan, mungkin jatuh apa gimana aku gak tau"

Jejen hanya tersenyum, sudah jadi kebiasaan baginya ketika mulai mengenal gadis itu, Jejen akan selalu melingkarkan seutas ikat rabut pada pergelangan tangannyam takt-takut kalau Karina butuh, Jejen udah siap "Masih ada kegiatan lagi?"

"Iya, ada kumpulan dulu sejam mungkin—kamu kalau mau pulang, pulang aja Jen"

"Nggak, nanti aku anterin kamu pulang"

"Jean—"

"—Aku anter kamu pulang"

"Terus gue gimana?" Jejen secara refleks memutarkan bola matanya ketika mendapati Jibran yang tiba-tiba datang dengan wajah datar dan es kiko  berperasa jeruk di tangan kanannya "Order Buroq?"

"Hooh"

"Ibu ngomel gak ya Bang Jejen punya pacar gak bilang-bilang"

"Aduan banget ni bocah!"

"Gak ada yang gratis di dunia ini bang"

"Lagian Lo udah gede ngapa sih mesti gue anter mulu!"

"Soalnya lo Abang"

Gadis di depannya hanya dapat tertawa ketika melihat perkelahian tak penting dari kakak beradik ini "Kamu anterin Jibran aja gak apa-apa"

Jejen menatap lekat ke arah Karina selama beberapa saat, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya tanda setuju "Tapi nanti aku balik lagi kesini jemput kamu, jangan dulu pulang kalau aku belum dateng ya?"

Setelah mendapatkan anggukan dari kekasihnya, Jejen langsung pergi bersama Jibran yang membuntut di belakangnya.

"Ewh...—Jangan dulu pulang kalau aku belum dateng nye-nye-nye—ADAW SAKIT BANG!" Jibran berteriak kencang ketika Jejen dengan sekuat tenaga menjitak kepalanya.

"Bacot banget punya ade—masuk lagi aja sono lu ke perut ibu"

"Kasian nanti ibu"

"Gak kasian lo sama gue?"

"Kalau gue diculik kayanya Lo nggak akan peduli deh"

"Emang ada yang mau nyulik Lo? Yang mau nyulik aja pilih-pilih, gak guna bawa lo"

"Gue banyak gunanya kok, contohnya sering membatu orang tua"

Jejen terdiam "MEMBANTU JIBRAN MEMBANTU!"

"iya itu"

"Nilai bahasa Indonesia Lo berapa sih?"

"Uhmm... terakhir kayanya 90"

"Angka 9 nya kebalik?"

"Hwhwhw"

"Ngapain juga nyulik bocah yang doyan ngunyah Es Kiko"

"Es Kiko is a legend Bang"

"Halah!"

"Buktinya, iklannya Natasha Wilona yang dulu segede kecebong masih di tayangin di tv!"

Jejen hanya dapat menghela nafasnya panjang, pengen banget Jejen sleding kepalanya, tapi beruntung posisi kepala jibran tuh di atas.

"Bang Jen, ini mau hujan kayanya"

"Hujan?"

"Yang air turun dari langit Bang, Yang kalau kata guru Geografi ada penguapan dulu sebelum—"

"Gue tau! maksud gue—ah dahlah! Lo tunggu disini gue ambil motor dulu"

•~~•

"BANG BERHENTI DULU!"

Jejen yang lagi anteng auto ngerem ngedadak saat Jibran nepak-nepak helm yang di pakai oleh dirinya, mana nepaknya pake tenaga dalam.

Kurang ajar emang!

"NAON?!

"Tunggu" Jibran seketika turun dari motor yang dikendarai oleh  dirinya dan Jejen, sebelum akhirnya berlari menjauh membuat Jejen membulatkan matanya lebar-lebar.

"HEH! CUNGUK! LO MAU KEMANA?!"

Jibran tak menggubris teriakan Jejen dan  memilih untuk berlari menghampiri sebuah patung besar berbentuk rubik yang dapat berputar dengan sendirinya, warna silvernya yang berkilat mampu mengalihkan seluruh fokus Jibran kepada benda kotak tersebut.

"Ini bisa di puterin gak?" Jibran bermonolog, tangannya terulur untuk memutar benda besar tersebut, membuat matanya berbinar penuh dengan rasa kagum.

"Woah! Keren banget!"

"Balik!"

"Bentar—Muter bang! Rubiknya muter!" Jibran berjalan mundur sebab kini Jejen sedang menarik paksa kerah belakang seragamnya.

Kenapa Jibran kalau kepo suka gak nanggung-nanggung?!

Segala di pegang, segala di tanyain

"Kita beli begituan buat di rumah bisa gak?"

"Kita nyampe ke rumah dengan aman damai tanpa bacot bisa gak?"

Rintikan hujan mulai menerpa kedua anak itu membuat Jejen mau tak mau harus segera menarik adik laki-lakinya itu agar segera pulang ke rumah.

"Gue jadi pengen beli rubik"

"Gak ada!"

"Pengen beli!"

"Lo beli rubik tau-tau rubiknya bercerai semua! ujungnya ilang!"

"Kaga ilang! orang di jadiin wadah tanaman togenya Bang Jai!"

Jejen tak menjawab, matanya kembali terfokus kepada jalanan yang mulai terlihat licin, niatnya Jejen mau berteduh dulu, tapi nanti Karina malah harus nunggu.

Jejen nggak mau kalau Karina harus menunggunya.

Secara tiba-tiba pinggang Jejen terasa lebih berat, matanya menatap lengan yang kini sedang memeluk tubuhnya membuat Jejen justru di rundung rasa kesal.

"JANGAN PELUK GUE!"

"JIBRAN DINGIN BANG!"

•~~•

Hujan turun lebih lebat ketika kedua anak itu tiba di rumah, menampakan seonggok manusia tampan yang sedang berkacak pinggang, menatap kedua anak itu dengan tatapan yang siap meledak.

"Awas Lo berdua nginjek lantai depan! Gue gorok leher Lo pada!"

"Adenya kedinginan ini!"

"Peduli gue? Lewat belakang! Gue habis ngepel!"

Jibran dengan lesu berjalan untuk masuk melalui pintu belakang, namun kakinya seketika berhenti ketika sebuah ide cemerlang memasuki kepalanya, membuat anak laki-laki itu memilih untuk berbalik arah dan dengan sengaja menginjakkan teras depan rumahnya, membuat Jai dengan secepat kilat melemparkan gagang pel-an ke arah Jibran.

"BU! BANG JAI MAIN KASAR!"

"JAI! JANGAN GANGGUIN ADENYA!!!"

Jai ganteng Jai Sabar.

Niatnya Jai mau langsung nyekek Jibran, tapi itu bocah laknat satu malah udah lari duluan masuk ke dalam rumah.

"JIBRAN!"

Jejen yang ancang-ancang mau ikutan lewat teras depan mengurungkan niatnya ketika mata Jai kini berkilat padanya.

Masalahnya Bapak ini hobi banget miara hewan, mau burung, ikan, sampai yang agak ekstrim seperti biawak dan ular, ada semua, jadi agak ribet kalau mau masuk lewat pintu belakang, kalau nggak harus ngelangkah agak gede ya uji nyali di kejar biawaknya Bapak.   

"Hehe Bang Jai apa kabar, udah lama gak ketemu"

"Udah lama matamu kambing!—Masuk lewat belakang!"

"Sekaliiiii aja Bang"

"KAGA!, liat ege baju lo basah, nanti lantai kotor!"

"Yaudah geh, gue minta tolong Bang Jai aja ya, di kamar gue ada jas hujan sama jaket yang warna abu, gue harus ke sekolah lagi ada yang ketinggalan"

"Jas hujan?—Oh cewek lo ketinggalan?"

"Kaga!"

"Tau sendiri Jibran walaupun nakalnya sampe daki tu bocah gak pernah bohong"

Jibran sialan, Jejen mengumpat dalam hati.

"Ck! tolong lah, gue udah gede ini, sumpah, gue bisa jaga diri, jagain anak orang juga bisa!"

"Berapa persen?"

"70"

Jai mengangkat sebelah alisnya membuat Jejen mengulum bibirnya "78 persen"

Jai nampak berfikir sejenak matanya menilik tubuh Jejen dari atas sampai bawah.

"Yaudah tunggu"

•~~•

"Lama ya?" Jejen memarkirkan motornya tepat di depan gerbang sekolah yang hampir di tutup setengahnya, disana berdiri seorang gadis cantik yang ia janjikan untuk mengantarnya pulang.

"Loh?! Kamu hujan-hujanan?!"

Jejen mengangguk "Hehe"

"Kenapa gak neduh dulu?"

"Nanti kamu nunggu"

"Tapi nanti kamu yang sakit"

"Aku turunan Samson"

Karina  hanya tertawa mendengar jawaban dari Jejen, laki-laki itu selalu berhasil untuk mengubah emosinya secepat mungkin, membuat Jejen ikut tersenyum dengan senang, cantik banget gusti.

"Ini pake" Jejen menyodorkan jaket beserta jas hujan yang sempat ia bawa tadi, hasil nyuruh Bang Jai.

"Kamu?"

"Apa?"

"Kamu gimana? Jas hujannya cuman satu"

"Aku udah basah gini Karina, ngapain pake jas hujan lagi"

"Terus kamu gak bawa jaket gitu? Jean, nanti kamu masuk angin loh"

"Ya Jangan do'ain aku sakit"

"Aku gak do'ain kamu sakit"

"Bapak bilang ucapan itu do'a Karina, makanya kita harus extra hati-hati kalau bicara, pastikan apa yang kita ucapkan itu baik" Jejen kembali tersenyum memamerkan sebuah senyuman dengan mata yang melengkung layaknya bulan sabit.

"Kamu pake jaketnya ya—"

"—Dibilang badan aku udah basah"

"Kamu nanti sakit Jean"

"Perhatian banget sih, jadi makin sayang"

"JEAN!"

Jejen terkekeh sebentar sebelum akhirnya tertawa dengan kencang "Iya iya, kamu aja dulu yang pake ya, tenang aja aku udah biasa kok, jadi gak akan apa-apa"

"Justru karena udah biasa jadi kebiasaan sakitnya!"

"Pake dulu ya aku mau belokin motor" tanpa sempat Karina menjawab ucapan Jejen, laki-laki itu sudah berlalu menyisakan dirinya yang menggenggam jaket dan jas hujan yang disodorkan Jejen tadi.

"dipake sayang" Karina terkekeh ketika Jejen tersenyum padanya, dengan secepat kilat gadis itu memakai jaket dan jas hujan yang ia genggam, kemudian berjalan menghampiri Jejen yang sudah siap dengan sepeda motornya.

 "Ini di tutupin ke kepala" Jejen merapihkan jas hujan yang di kenakan oleh Karina, memastikan tak akan ada setetes air hujan pun yang akan membasahi gadisnya itu.

"Pegangan"

•~~•

Di bawah rintikan air hujan ini Jejen berasa kalau dia lagi ada di fase yang kefiersa-fiersa-an auto puitisnya romantis, moment yang bakalan jadi scene yang paling romantis di sepanjang perjalanan 18 tahun Jejen hidup di dunia.

Tangannya sesekali membetulkan posisi spion agar dapat melihat ke arah wajah Karina yang sekarang di terpa oleh air hujan membuat Jejen memelankan laju kendaraannya.

"Karina?"

"Iya?"

"Deketan coba"

"Kenapa?"

"Deketan"

Karina sedikit memajukan kepalanya, mensejajarkan wajahnya dengan bahu Jejen.

"Aku dingin, peluk dong"

"Dih" Karina tertawa seraya memukul pelan bahu Jejen.

"Aku gak pake jaket, jadi dingin"

"Tuh kan! tadi udah aku suruh kamu pake jaket aja, kita berhenti dulu ya?"

"Nggak usah nanggung banget, kamu peluk aku aja, dingin banget ternyata"

Karina tersipu selama beberapa saat, mengulum bibirnya seraya mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan wajahnya yang terlihat merah padam dari penglihatan Jejen.

"Cie... malu ya?"

"Jean! kamu mau aku pukul ya?"

Jejen tertawa singkat, motornya berhenti tak kala lampu merah menyala, memperihatkan sebuah band jalanan yang kini memainkan sebuah lagu yang terkesan manis diiringi rintikan hujan.

Saat kujumpa dirinya~

disuatu suasana

terasa getaran dalam dada

kucoba mendekatinya

kutatap dirinya

oh... dia sungguh mempesona

Tanpa Jejen sadari kini ada dua buah tangan yang terulur untuk melingkar di pinggang Jejen, membuat jantung Jejen justru berasa mengadakan konser dadakan.

Ingin aku menyapanya~

Menyapa dirinya

Bercanda tawa dengan dirinya

Padahal tadi Jejen yang nyuruh, tapi tetep aja Jejen yang malu.

Namun apa yang kurasa~

Aku tak kuasa

Aku tak tau harus berkata apa

"Kepalanya disenderin ke punggung aku aja, biar kamu nggak ribet kena air hujan terus"

Inikah namanya cinta~

Oh inikah cinta

Cinta pada jumpa pertama

Karina menyandarkan kepalanya, merasakan hangatnya perasaan yang kini menyelimutinya.

Inikah namanya cinta~

Oh inikah cinta

Jejen memang bukan laki-laki pertama yang pernah singgah dalam hatinya, tapi laki-laki itu justru memiliki posisi yang lebih unik dalam menempatkan dirinya sendiri untuk menetap dalam hati kecilnya.

Terasa bahagia saat jumpa~

Karina hanya merasa bahwa ia akan selalu menjatuhkan hatinya setiap hari, pada seseorang yang sama, pada laki-laki yang sama, hanya untuk seorang Jean Nolendra.

Dengan dirinya~

•~~•

"AAAAA!!! BANG JAI!!! SAKIT!!!" Jejen berteriak kencang ketika sebuah koin logam bernilai seribu rupiah menggesek punggungnya, menciptakan sebuah tanda merah mirip tulang ikan yang kalau kata Jibran hasil sinar X-Ray buatan Bang Jai

"LO YANG NGEYEL! SURUH SIAPA HUJAN-HUJANAN! BEGO"

"Tapi sakit Bang! Jangan kenceng-kenceng!!!!!"

Jejen masih berteriak-teriak diikuti dengan suara marah-marah khas Jai yang nampak sesekali dengan sengaja menambah tenaganya.

Di ambang pintu sana Jibran dan Nathan memilih untuk memerhatikan aksi kerok-mengkerok Jejen, Jibran menatap ngeri dengan tangan memegang es kiko hasil malak Bang Nathan yang baru pulang dari warung, di belakangnya Nathan sedang menumpukan lengannya di atas bahu Jibran.

"Ini lah kenapa kalau Lo mau jadi budak cinta, jangan tolol!!" ucapan Jai seketika di angguki oleh Jibran.

"Ya kata gue mending Jejen sih—dari pada Lo, si Jejen bucinnya masih sama cewek, manusia, berakal—lah elu bucin kok sama ikan cupang"

"Heh! Jangan sembarangan Lo nyebut IU ikan cupang!"

"Tapi tu si Ayu emang binatang!"

"BINATANG GUE CAKEP!!!!"

"Jaitrama, gue tau Lo tu ganteng, idaman emak-emak pengajian, idola teteh-teteh seblak, tapi normal lah dikit ege!"

"Bucin Bang Jai kalau gak sama ikan cupang ya sama tanaman lidah buaya"

"Tapi gak ada keahlian banget buat jadi buaya, sayang amat tuh muka"

"Ya berarti gue lemonilo"

"Mahal, kalau Bang Nathan, Indomie"

"Murah" Jibran dan Jai sama-sama ngakak, yang langsung di tepak sama Nathan.

"Seenggaknya Indomie enak"

"Gue setuju sama Bang Jai, tapi lebih setuju sama Bang Nathan" Jibran menganggukkan kepalanya beberapa kali membuat Nathan tersenyum penuh kemenangan dan Jai yang mengucapkan beberapa kata yang bertujuan untuk mengumpati Nathan.

"Soal makanan aja ya Lo setuju!"

"Tolong dong! Gue disini lagi tersirsak Lo pada ngapain ribut disitu hah?! Pergi kaga lo semua!" Jejen tau-tau udah duduk tegak aja, tangannya dengan cepat melemparkan bantal-bantal dan juga kain sarung kotak-kotak berwarna hijau yang menjadi maskot Jejen kalau berangkat ke masjid.

"Siksa Bang Jen—Siksa Kohl"

"SISKA WOY SISKA, AH DAHLAH!"

"Jejen?" Jejen mengalihkan perhatiannya kepada ibu yang datang bagai penyelamat hidup Jejen, wanita itu dengan lembut duduk di samping Jai yang langsung membuat laki-laki itu menggeser tempat duduknya, tangan wanita itu terulur untuk memijat bahu Jejen, garis matanya melengkung cantik diikuti dengan kekehan pelan.

"Jejen ngapain hujan-hujanan? masuk angin kan jadinya, nak"

"Punya cewek dia bu! begitu nah!"

ibu mengelus kepala Jai sebentar, kemudian menyuruhnya untuk pergi keluar, Jai tak banyak bicara lagi, laki-laki itu segera pergi keluar kamar Jejen, meninggalkan Jejen dan juga Ibu yang sedang kembali memijat bahu anaknya itu.

"Abang punya pacar?"

Tentu Jejen tidak dapat berbohong, walaupun doyan ngibulin Jibran atau Nathan, tapi Jejen paling gak bisa kalau harus berbohong kepada ibu.

"iya bu"

"Sayang gak sama pacarnya?"

pertanyaan dari ibu tadi mampu merekahkan seutas senyum dari bibir Jejen.

"Sayang Bu"

"Kalau Jejen emang sayang terus kenapa bisa sakit kaya gini?"

Jejen nampak termenung sejenak, pertanyaan dari ibu benar-benar membuatnya berfikir.

"Bang Jai pernah bilang kan sama Jejen, kalau Jejen mau punya pacar Jejen harus bisa jagain- bukan cuman jagain pacarnya, tapi Jejen juga harus bisa jaga diri sendiri"

"..."

"Kalau abang punya pacar tapi malah bikin sakit—mending nggak usah Bang, gimana mau jagain orang lain kalau Jejen sendiri gak bisa jaga diri sendiri—iya gak?"

Kali ini Jejen mengangguk .

"Abang boleh pacaran, tapi inget—gak boleh sampai sakit"

"..."

"Paham ya Bang?"

"Paham Bu"

•~~•

• The 'J' Siblings •

•~~•

ToBeContinue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro