[4] : Pesan Dari Nathan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• The 'J' Siblings •

•~~•

Perihal hati yang tak kunjung di akhiri

Johnnathan Naafi

•~~•

—Kalau di tanya, siapa anak Bapak yang paling lawak, udah pasti jawabannya Nathan.

Nggak tau kenapa, di antara keempatnya yang doyan banget bikin candaan nyeleneh ya Nathan orangnya.

Tapi bukan berarti Nathan hidup dengan dunia yang baik-baik saja, kalau ada manusia yang hidupnya setenang ikan cupang Jai, tolong kasih tau Nathan.

Biar nanti ditabok pake realitas kehidupan.

Sebagai anak tertua Nathan tau betul apa yang harus ia lakukan, tanggungjawab apa yang harus ia pikul, dan menjadi sosok yang dikorbankan untuk menjadi yang pertama merasakan pahitnya dunia.

Malam ini Nathan memilih untuk menemani Bapak nongkrong di teras rumah ditemani dengan suara derik jangkrik dan katak yang saling bersahutan setelah beberapa waktu lalu dilanda gerimis kecil, kedua laki-laki itu berbincang-bincang ringan sambil sesekali ikut mengelus tubuh John-si biawak peliharaan ganasnya Bapak-.

"Kenapa mesti dinamain John sih pa?"

"Emang kenapa?"

"Tapi itu nama Nathan"

"Kamu kan dipanggilnya Nathan"

"Tetep aja 'JOHNNATHAN'"

"Yaudah nanti bapak panggil kamu John"

Pernyataan Bapak benar-benar membuat Nathan justru merasa dongkol sendiri.

"John"

"Nathan Pa"

"Iya Johnnathan"

"Nathan aja" jawaban dari Nathan menimbulkan cekikikan ringan dari Bapak.

"Apa kabar kamu sama si Alena?"

"Udah putus pak"

"Yang baru kamu jadiin pacar kemarin siapa namanya?"

"Yang mana? Leila?"

"Bukan Bang, yang kamu liatin fotonya ke Jibran itu"

"Oh, Elnara?"

"Ya mana bapak tau"

"Yang abang kasih liat Jibran itu Elnara"

"Iya gimana?"

"Baru putus kemarin"

"Loh kenapa?"

"Nggak nyaman aja"

"Mana bisa nyaman kalau kamu cuman kenal beberapa hari"

"Nathan ngerasa gak cocok aja"

"Itu lah, kalau liat perempuan tuh jangan liat bungkusannya doang Bang"

"Tau Pa, cuman—"

"—masih gak bisa lupa kamu sama yang dulu?"

Nathan hanya dapat terbungkam.

"Kalau Abang masih nyari sosok perempuan yang Abang sayang dulu di sosok perempuan lain, Abang gak akan pernah bisa nemu bang"

"..."

"Berkelana bukan berarti harus punya banyak perempuan untuk dipacari hanya untuk mencari sosok perempuan yang pernah mengisi hati Abang dulu"

Nathan hanya dapat terdiam sesaat, ya gimana ya, melupakan tuh bukan perihal gampang yang bisa dibolak-balik maceman adonan cireng.

"Kapan kamu mulai dipindahkan tugas?"

"Minggu depan Nathan berangkat"

"Udah bilang sama ade-ademu?"

"Belum"

"Bilang dari sekarang, bilang juga kamu bakalan jarang pulang"

"Iya nanti Nathan bilang"

Bapak hanya mengangguk masih dengan tangan yang terus mengusap tubuh biawaknya itu, sebelum akhirnya tangannya beralih untuk menepuk bahu Nathan.

"Itu rekening bapak kok tiba-tiba nambah ya? Coba kamu cek, takut nanti ada yang aneh-aneh"

"Itu Nathan yang isiin Pa"

"Loh? Kan Bapak udah bilang gak usah lah kamu kirim Bapak uang, pakai aja sama apa keperluan kamu"

Nathan terhenyak sesaat, matanya menatap heran ke arah tangan bapak yang mengelus badan biawak udah kaya ngelus bulu kucing.

"Bapak gak usah kerja lagi ya?, gaji Nathan juga udah naik besar, jadi bapak gak perlu kerja lagi"

"Bapak masih ada tanggung jawab buat kalian"

"Terus bapak gak akan ngasih kesempatan buat Nathan berbakti sama bapak?"

"Siapa bilang? Semua anak bapak itu berbakti semua, yang namanya berbakti nggak selalu soal materi bang, kamu mandiin si John tiap minggu aja udah bisa disebut berbakti sama bapak"

Nathan tertawa lebar saat mendengar ucapan Bapak, John emang harus dimandiin tiap minggu, dan yang hanya memiliki keberanian untuk memandikan John, cuman Nathan.

mungkin karena adanya ikatan batin sebab nama yang serupa antara Nathan dan juga John.

"—Kamu pakai aja untuk keperluan kamu, tapi yang harus abang ingat, jangan lupa untuk berbagi, apa yang kamu punya itu gak semua menjadi hak kamu, bisa jadi itu rezeki buat Jai, rezeki buat Jejen, buat Jibran atau orang-orang di luar sana, bisa juga rezeki buat binatang kaya kucing yang suka mampir kesini"

Nathan mengangguk paham "Kalau gitu biar Nathan yang nyambungin biaya buat kuliah Jai, buat sekolah Jejen sama Jibran"

"Bapak masih ada Bang, biarin bapak memenuhi tanggungjawab bapak sebagai kepala keluarga"

"..."

"Buat sekarang tugas kamu cuman memberikan arahan buat adik-adik kamu itu, zaman bapak dengan zaman kamu ini berbeda Bang, kamu yang lebih hafal seluk beluk dunia sekarang seperti apa, Bapak cuman mendorong, kalian yang melangkah, dan bapak hanya bisa berpesan kalau sesama saudara jangan pernah ngelepasin tali satu sama lain"

"..."

"Kalian ini besar di rumah yang sama, di didik oleh bapak dan ibu, harus hidup rukun, saling bantu satu sama lain—Bapak sama Ibu nggak akan selamanya ada di dunia, sampai nanti tiba waktunya, semua itu bakalan ada di bahu Abang"

Nathan nampak termenung, kepalanya sedikit tertunduk, menatap nanar ke arah kedua tangannya yang diletakkan di atas lututnya sendiri, ada sedikit rasa tidak mengenakkan ketika Bapak membicarakan hal tersebut, siapa juga yang siap untuk di tinggalkan?

"Bapak jangan ngomong gitu"

"Bapak bukan asal bicara Bang, Bapak titip sama kamu—Lagian toh bapak juga masih cinta dunia, walaupun pahit-pahit gini, dunia emang enak untuk dinikmati—kaya kopi"

•~~•

Nathan sedang berdiri tepat di balik pintu kamar Jai yang kini tertutup rapat, dari balik sana suara nyanyian Jai terdengar nyaring membuat Nathan dengan iseng membuka pintu selebar mungkin.

"YO WATSUP!"

"BABI LO!" Sarkas Jai yang langsung melempar benda terdekat yang dapat ia gapai.

"Heh maneh!...Gwenchana, Istighfar Brother"

"Lo kalau ngomong satu bahasa aja Napa, kaga usah multi language gitu!"

"Apa daya darah Priangan, lidah bule, wajah kimchi, dan akhlak masyaallah allahu Akbar yes—sudah melekat dalam jiwa"

"Ya terus?"

"Mau ngobrol gue"

"Maaf tapi gue lagi gak open buat dengerin curhatan lo—kembali aja besok"

"Serius, beneran dah" Nathan melangkahkan kakinya untuk mendekati kotak kaca berisikan ikan-ikan cupang, tangannya kini terulur untuk mengambil salah satu kotak aquarium tersebut yang langsung dipelototi dengan ganas oleh Jai.

"Nggak usah pegang-pegang!!!"

"Protektif bener lu! Toxic relationship tau kaga?!"

"Cepetan, gue sibuk"

"Sibuk paan?"

"Yeuuuuu Aespa Kambek!"

"Neneng?"

"Ningning ego"

"Iyalah mau Neneng Ningning euy terserah dah —gue mau ngobrol bentaran"

"Bentar Lo bisa sampe sejam setengah"

Nathan berdecak "Inget ya gue masih abang lo!"

"Hooh tau, kenapa?"

"Ada berita baik yang harusnya gue sampaikan ketika makan malam, tapi gak tau kenapa tempe orek buatan ibu muantep banget jadi gue lupa— "

"—Jangan bilang kalau Abang ngamilin anak orang?"

"MULUT!"

"Candaaaa"

"Jadi gini— sebelumnya gue mau bilang kalau gue dapet promosi jabatan tahun ini—"

"Congrats bang"

"—Yoi thanks"

"Udah?"

"Udah"

"Yeuuuu!"

"Belum beres donggg"

"Paan?"

"Nah disisi lain—"

"Hooh"

"—gue harus pergi ke luar kota"

"Berapa lama?"

"Buat itu gue kaga tau"

"Maksudnya?"

"Gue dipindahin ke pusat"

"Jadi?"

"Ya gak jauh banget, gue masih bisa pulang ke rumah seminggu sekali kalau gak cape"

"Hmm"

"Gue berangkat sekitar dua mingguan lagi, jadi gue perlu ngobrol sama Lo"

"Heem"

"Lo orang yang gue pilih untuk bisa diandalkan, Lo tau kan, dengan segala syukur, rumah ini emang selalu baik-baik aja—tapi belakangan ini Bapak udah sering drop, tahun ini bahkan udah sampai dua kali bapak masuk rumah sakit, ibu gampang was-was tolong diperhatiin takut asmanya kambuh, Jejen mau menghadapi ujian nasional, jangan terlalu keras sama dia, dan buat Jibran, itu anak gue gak yakin sih, tapi tu bocah masih persis anak SMP labil, harus banyak di ajak ngobrol juga"

Jai hanya mampu untuk terpaku, sebenarnya ini obrolan santai antara kakak dan adik, tapi entah mengapa rasanya seperti ada beban berat yang Jai harus terima.

"Gue gak bisa janji kalau gue bakalan pulang seminggu sekali, tapi bakalan gue usahain, makanya gue bilang sama Lo sekarang, gue titip rumah, kalau ada apa-apa Lo harus bilang sama gue—satu lagi, gue tau batas privasi, tapi seenggaknya Lo harus terbuka sama gue, atas alasan apapun, gue gak mau ada yang Lo tutupin dari gue— gue masih Abang Lo, kalau Lo ragu buat cerita ke bapak atau ibu, gue selalu terbuka buat Lo, karena gue paham betul, nggak semua hal bisa Lo ceritakan sama bapak dan ibu, jadi seenggaknya cerita sama gue"

"..."

"Udah sih, gue mau sombong aja gaji gue naik gitu"

"Idih"

"Wahahhaha—ya gitu lah, ok?"

•~~•

"JIBRAN SHAILENDRA!!!!!"

"APAAAA?!!!"

"Gue panggil-panggil dari tadi—BUDEK TAU RASA LO!"

"APA SIH BANG NATHAN TERIAK-TERIAK MULU BUKAN HUTAN INI TUH BANG SUARA ABANG TUH KALAU TERIAK KEDENGERAN TUH SAMPE PERSIMPANGAN!"

"NAH! SIAPA YANG TERIAK SEKARANG?!"

"LO BERDUA BENERAN GUE LEMPAR KURSI TERIAK-TERIAK MULU!"

Nathan mendelik ke arah Jibran yang baru saja melempar ponselnya dengan kesal.

Tenang, di lemparnya ke sofa, Jibran masih tau diri.

"Si Jai ngambek kan jadinya"

"Ya Bang Nathan juga sih"

"Ya elu kalau di panggil susah banget!"

"Ya kan gak kedengeran!"

"Gue udah manggilnya dari tadi ya, emang pendengeran Lo cuman bisa ngampe kalau gue ada di jarak 5 langkah dari Lo?!"

"Fokus Jibran lagi gak kesitu bang! Jadi otak Jibran harus memproses dulu!"

"Kebiasaan kan itu Pou mulu lo dikasih makan!"

"Bukan Pou ini tuh!"

"Apaan?!"

"Farm Frenzy!!"

"NAH KAN BEBEK MULU LO KASIH MAKAN!"

"YA TERUS?!"

"GUE MANGGILIN LO DARI TADI JIBRAN!"

"BEBEK JIBRAN MAU DIMAKAN BERUANG BANG NATHANNNN!"

"BISA KAN LO NYAUTIN GUE DULU GITU!"

"Maaf nih prioritas Jibran masih ngasih makan bebek!"

"Oh lebih penting?!"

"Bang Nathan mau disamain sama bebek emang?!"

"BERANTEM LAGI LO BERDUA?!" Dengan gemas Jai menghampiri Nathan dan Jibran yang dengan refleks memeluk satu sama lain.

"Ehehehehehehehe Jai"

"Ehehehehehehehe Bang Jai"

"Hehe, damai gini dibilang berantem"

"Iya Bang Jai gak liat kita damai banget"

"Astaga! Mata gue!—Ibuuuu tolongin!! Sodara-sodara Jejen pada homo!!!!!!" Jejen yang baru turun dari kamarnya dikejutkan dengan posisi Nathan dan Jibran yang sedang berpelukan serta Jai yang melotot tajam persis seperti memergoki kekasihnya berselingkuh, dengan refleks anak itu menutup matanya, mencoba untuk tidak melihat aksi haram ini.

"IBUUUUU—Mata Jejen Buuuuu!"

Melihat reaksi Jejen tadi kini membuat Jibran dan Nathan sama-sama tersenyum penuh dengan ide gila, seakan mendapatkan telepati qolbu Jibran segera melepaskan pelukannya pada Nathan untuk menghampiri Jejen yang dibuat panik tak tertolong.

"Bang Jejen~"

"GAK USAH DEKET-DEKET!"

Namun nihil kini Jibran sudah memeluk erat badan Jejen yang jadi teriak-teriak gak jelas, disusul dengan badan gede Nathan yang akhirnya ikut serta memeluk Jejen dan Jibran secara bersamaan.

'IBUUUUUUUUUUUU—JEJEN JADI HVS BU TOLONGIN!!!!"

"BANG JEN, LO NYIUM BAU-BAU ASEM GITU GAK SIH?!"

"KETEK GUE!!!!"

"IBUUUUUUU BANG NATHAN BAU KETEK!! HUWEK!—BUUU BANG JEJEN BELUM GOSOK GIGI!"

Teriakan Jibran barusan menimbulkan gelak tawa yang tak henti dari Nathan dan Jejen, keadaan membalik, kini Jibran yang menjadi korban, membuat Jai justru diserang tekanan batin dadakan.

Kenapa gue harus sodaraan sama mereka?

Bagai pahlawan kesiangan Ibu datang dengan daster panjang yang dilapisi sebuah cardigan sedang membawa sebuah tas belanja sambil berkacak pinggang.

"GUSTIIIII! BIASA BANGET YA PUNYA ANAK BUJANG EMPAT KERJAANNYA RIBUTTTTT MULU! NATHAN! ITU ADENYA UDAH TIPIS GITU JUGA JANGAN DI TINDIHIN!—JEJEN UDAH GEDE JUGA JOROK BANGET KALAU LIBUR BANGUN TIDUR GAK GOSOK GIGI!—JIBRAN JANGAN TERIAK-TERIAK MULU, BAPAK SAMPE KEPENTOK KANDANG BURUNG KAMU TERIAK-TERIAK—JAI JUGA KALAU MARAH-MARAH JANGAN SAMBIL TERIAK BISA?!"

Nathan, Jai, Jejen dan Jibran cuman cengengesan gak jelas, sebelum akhirnya secara bersamaan berjalan untuk memeluk wanita tersebut.

"I love you badag buat ibu"

"Ibu kalau marah-marah kaya 20 tahun lebih muda deh bu"

"Hari ini masak capcay telor puyuh ya bu"

 "Nanti kita tukeran es kiko ya bu, Jibran makan yang jeruk deh gak apa-apa"

Wanita itu menghela nafasnya panjang.

"Udah sekarang bantu ibu beres-beres rumah mumpung lagi pada libur, bagi-bagi tugas, yang rapihin dapur Bang Jai,  Jibran bagian ngepel, Nathan anter ibu ke pasar—"

"—Jejen Bu?"

"Jejen—" Ibu nampak berfikir sejenak, kira-kira pekerjaan apa yang cocok buat Jejen tanpa menimbulkan keributan atau barang yang rusak.

"—Jejen beresin kamar sendiri sama siram tanaman aja"

"—Okeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee"

"Bu, yang anter ibu Jai aja, Nathan cuman pake celana pendek doang"

"Kok gue?"

"Emang kenapa? abang gak mau anter ibu?"

"Bulu kaki Bang Nathan udah kaya hutan kalimantan soalnya bu!" teriak Jibran seraya berlari ke halaman belakang untuk mengambil pel-an

"Bocah biadab"

"Nathannnnn"

"Hehe, bercanda bu"

"Ibu lagi pengen di anter sama kamu,  masa iya sama Jai terus, kasian dia di godain ibu-ibu"

"Nathan juga!"

"Udah sana pake training, ibu tunggu loh ya"

Nathan hanya dapat berjalan lesu menuju kamarnya, netra matanya langsung beralih untuk memperhatikan Jibran dan dengan iseng menepak bahu Jibran yang sedang menuangkan cairan pembersih pada ember, membuat cairan tersebut justru tumpah begitu saja pada lantai.

"BANG NATHANNNNNNNNN!!!!!!!!!!!"

•~~•

• The 'J' Siblings •

•~~•

ToBeContinue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro