[7] : Pertanyaan Untuk Jai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• The 'J' Siblings •

•~~•


Spill cara boikot social media saudara kurang ajar

Jaitrama

•~~•

—Di pukul 5 pagi ini Jai sudah bersiap lengkap dengan helm abu-abu kesayangannya.

Apapun barangnya, asalkan abu-abu Bang Jai pasti suka!

Fajar menyingsing elang menyongsong, rumah keluarga Jaka seakan dipenuhi dengan speaker aktif yang keluar langsung dari mulut ketiga anak yang sedang menggoda pagi special-nya Jai.

"Wangi sekali abangku ini" Jibran menempel pada Jai, mengendus dalam wangi yang selayak dedaunan segar yang berembun membuat Jibran dengan betah menangkring di gendongan punggung Jai, kedua lengannya ia kaitkan di atas bahu kakaknya itu dengan kedua kaki yang melingkar di badannya.

Seolah berat tubuh Jibran hanya seukuran karung beras—laki-laki itu masih sibuk mondar-mandir membereskan apa yang perlu ia bawa.

"Tumben banget mandi"

"Kaya Bang Nathan pernah mandi aja"

"Apa?! Coba bilang sekali lagi!" Sungut Nathan dengan nada yang tiba-tiba meninggi dan Jibran mendelik dengan tajam.

"Ya kan Bang Jai adalah the most anak bapa yang paling sering mandi—masih heran aja kadang, jangan-jangan Bang Jai tuh bukan anak Bapa sama Ibu?"

"Yang harusnya di pertanyakan jati dirinya itu Lo—jangan-jangan Lo anak nya Koh Yaxuan, Lo main Mulu sama anaknya kan siapa namanya? Ceres?"

"Delfi"

"Kok Delfi?"

"Lagian Abang malah nyamain dia sama cokelat udah tau kulit dia bersinar benderang seperti lampu LED!"

"Siapa namanya sih?"

"His name is Cedric"

Nathan hampir aja nyembur mukanya Jibran kalau gak keburu di tepak sama Jai.

"Sejak kapan?! Sejak kapan Lo bisa bahasa Inggris?!"

"Oh Reolly?"

"Berasa keselek biji stroberi gue denger Lo ngomong enggres"

"Lo main Mulu di rumah Koh Yaxuan makin mirip sama dia" Jejen menimpal seraya berjalan mengambil segelas air putih.

"Lumayan bang, kalau Imlek suka disangka anaknya Koh Yaxuan jadi suka dikasih angpao—modal ngomong gong xi fa cai"

"Ngapain?"

"Gantiin Cedric yang gak mau di tes bahasa Mandarin sama Wai po-nya"

"Emang elu bisa?"

"Wo ai ni"

"Wo ai ni aja tau nya"

"Xie-xie"

"Cepet-cepet berangkat Bang, puncak macet loh kalau Minggu gini" Ibu yang masih setia dengan mukena hijaunya serta tasbih di tangannya mulai mengomel, terlihat sedikit jengah dengan kehebohan keempat anak bujangnya.

"Iya Bu, bentar—" Jai menghampiri tempat gantungan kunci berbentuk karakter 'Olaf' yang tertempel di dinding ruang keluarga, matanya segera berkilat ketika ia tak menemukan kunci motornya tergantung disana "—Siapa yang ngumpetin kunci motor gue?!"

"Dih—se-special apa Lo sampe kunci motor Lo kita sembunyiin?"

"Di Pake Bapak ngasah kukunya si John kali"

"Akal-akalan Lo kan ini mah—Ji elah turun dulu! Abang susah nyarinya!"

Jibran menurut untuk turun dari punggung Jai, anak itu segera berjalan untuk menghampiri Jejen yang lagi nyeduh Energen coklat.

"Perasaan semalem udah gue taro sini"

"Banyak dosa Lo sama pemilik rumah"

"Diem Lo!"

"Dih marah"

"Kenapa lagi, pagi-pagi udah ribut" Bapak melepaskan jaket kulit hitamnya seraya menaruh satu kresek putih diatas meja yang langsung di serbu oleh Jejen dan Jibran.

"Ambil piring Ji!"

"Ashyiap!"

Jibran berlari cepat untuk mengambil piring di dapur, walaupun makanan berminyak itu kurang sehat, tapi sarapan dengan gorengan adalah nikmat dunia yang patut dirasakan dengan khidmat.

"Kunci motor Jai, bapak liat gak?"

"Ini toh Bang, Bapa yang pake, habis beli gorengan"

Jai bernafas dengan lega sebelum meraup kunci tersebut dari tangan Bapa.

"Jai, sarapan dulu"

"Nanti gak keburu pa"

"Cinta bisa nunggu—sedangkan perut kamu kalau nunggu kena asam lambung"

Benar juga, Jai kembali duduk lesehan di atas karpet ruang tengah diikuti dengan kehadiran Jibran yang membawa piring dan Jejen yang sudah siap sedia menumpahkan isian kresek tersebut keatas piring yang Jibran bawa.

"Nathan berangkat juga ya hari ini? udah di siapin tiketnya?"

"Udah" Nathan mengangguk menanggapi pertanyaan Bapak, laki-laki itu mengalihkan pandangannya ketika seisi rumah menjadi hening.

"Tiket?"

Nathan sedikit terpesona ketika menatap wajah terluka Jibran dan Jejen.

"Tiket apa maksutnya?!"

"Bang Nathan mau kemana?!!!"

"Mau ke Surabaya dong!! Lo-Lo semwa gak usah ngikut!"

Jibran serasa di hantam sesuatu hal yang membuatnya sedikit merasa sedih.

"Mau ngapain?"

"Mancing di jembatan Suramadu"

"Bisa emang?"

"Ya nggak lah!—Mau kerja gue"

"Hah?"

"Jadi nanti gue pulang seminggu sekali kalau gak cape"

"HAH?!"

"ABANG BENERAN MAU PERGI?!" Kini Jejen dan Jibran sama-sama berdiri bertanya kepada Nathan dengan sedikit menuntut.

"BENTAR!"

"SURABAYA JAUH LOH BANG!"

"Iya tau"

"Seminggu sekali?"

"Mana bisa?!"

"Kenapa kalian jadi lebay begini?—gue tau gue ganteng tapi cukup ya, please—Jangan kaya gini"

Jejen lupa kalau abangnya ini emang nggak akan pernah bisa dikasih melow sedikit, bahkan Jibran dengan cepat memberikan ekspresi ingin muntah.

"Pergi aja deh"

"Iya pergi aja deh bang, seenggaknya eksistensi bawa bangke di rumah ini ilang"

"Kampret!"

"Johnathan"

"Ya Maap"

"Berangkat jam berapa bang?"

"Nathan ambil jadwal malem Bu, cari-cari tempatnya Senin paling, selasanya Nathan pulang dulu kesini"

"Disana cari hotel?"

"Mahal deh bu, tenang aja Nathan punya temen disana, Nathan izin nginep disana"

"Abang ambil cuti berarti?"

Nathan kembali mengangguk.

"Bang Nathan mau kemana sih?"

"Dibilang mau kerja"

Hening, tidak ada satupun dari mereka yang berbicara entah Jejen atau Jibran, Jai sudah jelas diam seribu kata.

"Sedih aja rasanya, terbiasa ada Abang, pasti rumah bakalan lebih sepi"

"Ndak kok Bu, kan masih ada 3 anak-anakan berisik di rumah kita—Biar toh Nathan merantau, anak laki-laki harus banyak relasi, biar dia belajar, ketemu banyak orang kan bagus Bu"

"Tetep aja Pa, rasanya ibu gak rela Abang kerja jauh-jauh"

"Ini kesempatan bagus buat Nathan, kapan lagi? Kesempatan gak akan pernah datang dua kali, ini buat masa depan dia juga, biarin dia lepas"

Bapa menyeruput secangkir kopi yang baru saja dibuatkan oleh ibu.

"Bang—Abang boleh ketemu sama siapapun berkenalan sama siapapun—tapi tetep inget tuhan, ingat batasan, ingat norma, ingat kalau kamu masih punya keluarga disini, jangan sembarangan disana, jangan cari masalah, ingat rumah"

"..."

"Berlaku juga buat anak bapa yang lain—paham Jai?"

Jai yang baru saja menyomot satu gorengan cireng berisi ayam seketika menengok namun kemudian mengangguk paham.

•~~•

3 Jam 40 menit, Jai berkelana dengan motor matic hitam yang ia beri nama Mingyusoalnya bodynya cakep—akhirnya putra kedua Bapa Jaka itu sampai di kota yang mereka sebut kota Hujan.

Langit Bogor begitu cerah pada hari ini, secerah wajah Jai yang ingin berjumpa dengan pujaan hati.

Mungkin dirumah, Jai sudah menjadi bahan perbincangan satu komplek, sebab Nathan tidak akan pernah diam untuk mengganggu dirinya dan tidak segan untuk jadi lambe turah dadakan.

"Nadine, aku di depan"

"Iya, masuk aja, ada Mama kok"

Jai segera melepaskan helmnya, lalu berjalan untuk mengetuk pintu rumah Nadine, belum sempat jarinya mengetuk, seorang wanit paruh baya sudah berdiri tepat di hadapannya.

"Nak Jai ya?"

"Iya Bu, Assalamu'alaikum—"

"—Wa'alaikumsalam—Ganteng banget ini! Nadine nemunya dimana?"

Jai hanya tertawa kecil seraya memberikan sebuah bingkisan kepada wanita tersebut "Ini Bu, oleh-oleh dari Bandung"

"Gak usah repot-repot atuh, sini masuk sini, tunggu di ruang tamu ya—Nadine kalau dandan emang suka lama A, ke warung doang dandannya setengah jam"

"Namanya perempuan Bu, gak apa-apa" Jai kembali tertawa membuat wanita itu pun ikut tertawa.

"Pah, kenalin ini Jai—ganteng banget ini mah"

"Gantengan Papa dong, Mah"

"Ya ini loh, kok dibandingkan sama Papa"

"Saya Jai pa" Jai mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan pria tersebut.

"Mama tinggal dulu ya, mau minum apa?"

"Nggak usah Bu, nggak apa-apa, merepotkan"

"Hush, gak apa-apa, sirup mau ya?"

"Aduh nggak usah Bu, tadi saya udah minum"

"Tunggu aja udah sini ya"

"Duduk Nak" Pria itu mempersilahkan Jai untuk duduk di sofa samping pria tersebut.

"Bisa main catur?"

"Oh, bisa pa"

Pria itu mengangguk kemudian menyodorkan papan catur ke arah Jai, selama beberapa waktu keduanya sibuk berbincang seraya memainkan bidak-bidak catur yang diletakkan di atas meja.

"Kuliah atau kerja sekarang?"

"Kuliah Pa, saya di semester 5"

"Sambil kerja?"

"Saya cari sampingan juga, ya nggak besar sih pa tapi cukup kalau untuk saya sehari-hari"

"Jaman sekarang harus udah sekalian cari kerja A, nanti lulus kamu sudah cari kerjanya"

"Insyaallah, kalau untuk itu saya usahakan pa"

"Iya toh, banyak lulusan yang sekarang cuman kuliah doang tapi tetep aja gak dapet kerjaan—makanya harus dicari dari sekarang"

"Pah, aku berangkat dulu ya"

Jai nampak terpesona selama beberapa saat ketika melihat Nadine yang sudah siap untuk pergi dengannya hari ini.

Cantik sekali, dengan balutan dress panjang berwarna putih yang ditumpuk dengan cardigan berwarna hijau Sage serta warna hijab yang serupa, nampak manis ketika ia tersenyum.

"Iya—Kalau bisa, jangan lama-lama pacarannya, kalau gak bisa, sudah putus saja"

"Papa kok ngomongnya gitu?"

"Bener toh? Udah sana berangkat, hati-hati, jangan pulang malem-malem"

Jai mengangguk paham sebelum kemudian meraih tangan pria itu untuk ia salimi seraya mengatakan bahwa ia akan mengembalikan anaknya tepat pada waktunya tak kurang dan tak lebih.

Kini kedua berjalan berdampingan ke arah pekarangan rumah, bersiap-siap untuk menuliskan cerita baru pada hari ini.

"Jai?"

"Iya?"

"Maaf ya—kamu jadi gak nyaman"

"Nggak nyaman gimana? Tadi kan gak ada masalah"

"Tapi kayanya aku bawa kamu ke Bandung di undur dulu kali ya—Papa kamu minta sebelum Maghrib harus udah pulang"

Kedua tangan Jai terulur dengan segera untuk membantu Nadine memakaikan helm, mengecek segala hal agar gadis itu merasa nyaman dan aman, sebelum kemudian bersiap untuk menjalankan motornya.

"Jai—maaf"

Jai mengalihkan perhatiannya ketika Nadine berbicara, mendengarkan ucapan gadis itu dengan seksama.

"Kok minta maaf sih? Kamu gak salah apa-apa"

"Tapi kamu gak nyaman pasti"

"Aku paham sama apa yang Papa kamu omongin, aku ngerti gimana perasaannya—jadi gak perlu merasa bersalah"

Jai tersenyum, mencoba untuk meyakinkan Nadine bahwa hal itu bukan masalah yang besar.

"Udah, daripada gitu mending kita tentuin mau kemana—kamu maunya kemana?"

"Kemana aja deh—asal sama kamu"

"Duh malu banget di gombalin"

"Aku bukan gombal ya!"

"Iya-iya—" Jai tertawa dengan renyah tak kala menatap wajah kesal kekasihnya itu dari kaca spion.

Menggemaskan sekali.

"Nanti kalau ada tempat yang bagus kita belok aja ya"

"Okkkk"


Motor hitam Jai melaju untuk menelusuri Jalanan H. Djuanda, di teduhi dengan pohon-pohon besar yang seolah-olah menyambut kedatangan keduanya, ditemani dengan semilir angin serta hangatnya matahari pagi, Kota Bogor nampak indah untuk dinikmati dengan kehadiran Nadine yang nampak mempercantik suasana pagi hari ini.

•~~•

Kalau bisa sih jangan lama-lama pacarannya, kalau gak bisa, sudah pisah saja.

Jai kembali termenung seketika tubuhnya menyentuh dipan di kamarnya.

Tidak ada yang salah memang, apapun yang diucapkan ayah dari sang pujaan hatinya tidak ada yang salah.

Tapi bukannya terlalu dini untuk memikirkan hal tersebut?

Banyak hal yang perlu dipersiapkan, tentang ilmunya, tanggungjawabnya, finansial, dan berbagai hal lainnya.

Karena menurut Jai hal itu merupakan hal yang harus dipersiapkan sematang mungkin.

"ABANG!!!! LINDUNGI JIBRAN!!!!!" Belum berhenti dengan suara berisik di kepalanya, kini telinga Jai harus dibuat nyeri sebab pekikan Jibran.

Anak itu berlari kencang sebelum menghamburkan tubuhnya di atas tubuh Jai dengan Jejen yang sedang mengejarnya di belakang.

Dengan kesal, Jai melempar seluruh barang yang bisa ia raih untuk ia lemparkan pada Jejen.

"GUE BARU BALIK!"

"AMPUN BANG! AMPUN!"

"Abang serem banget"

Jai menghela nafasnya panjang seraya mendorong pelan tubuh Jibran.

"Abang cape Ji, di luar dulu ok?"

"Abang baru pulang jam segini?"

"Ya kan jauh—Lagian kenapa kalian jam segini belum tidur?—besok sekolah!"

"Duh Bang, itu one piece lagi seru"

"Kalian nonton one piece sampe pagi pun ceritanya gak akan kelar-kelar, tidur!"

"Minta mie samyang 2"

Laki-laki itu berdecak sesaat sebelum kemudian untuk mengambil dua bungkus mie di dalam lemarinya.

"Nih nih, sana bikin sama Jejen"

"Yes! Ayo Bang Jen"

Setelah kepergian kedua bocah ribut tadi, akhirnya kamar Jai kembali terasa tenang, hening seperti sedia kala namun untuk beberapa saat kemudian laki-laki itu memilih untuk keluar dari kamarnya sejenak, matanya nampak menelusuri sesuatu sebelum berteriak.

"JI ABANG BIKININ SATU!"

"IYO!!!!!"

•~~•

Potongan pagi hari :




"ABANGGG!!! HPKU NGELAG!"

"Sama Ji—udah, copot aja instagramnya!!!"

"Tetangga kita ribut banget tadi, memang anak-anak ibu posting apa?"

"Posting foto Bang Jai yang mau berangkat menjemput ayang"

"WOE FOLLOWERS GUE!!"

Jai hanya mampu memijat pelipisnya dengan frustasi.

"Untung juga ya si Jai kalau di jual Xixixixi"

"Ngada-ngada idup Lo ye?!"

•~~•

The 'J' Siblings •

•~~•

ToBeContinue

Bonus Pict :

John yang dengan manis memperhatikan pertengkaran anak-anak Bapa Jaka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro