[6] : Perbedaan Yang Melingkupi Jejen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang bilang ini gak akan mungkin, yang lain lagi bilang gak akan pernah berhasil—jadi, apa akhir dari perjuangan gue?

—Jejen Galaw

•~~•

"Jibran mau ambil es Kiko ya?"

Jai mengangkat sebelah alisnya ketika Jibran bertanya dengan penuh dengan semangat juang.

"Jangan banyak-banyak"

"Nggak, 3 bungkus doang"

"3 bungkus itu banyak Jie"

"Bang, Bulan kemarin Ibu beli 4 bungkus aja masih kurang!"

"Jangan terlalu banyak makan es nanti gigi kamu rusak"

"Nggak kan ini bukan coklat"

"Es itu dingin kalau kamu gak tau"

"Tau"

"Iya nanti gigi kamu kedinginan terus rusak terus bolong"

"Nanti Jibran sikat gigi 5 kali sehari deh"

"Yaudah sana terserah—Abang tunggu di bagian ikan-ikanan sebelah situ, jangan lama-lama"

"Gue anter" Sahut Jejen dengan tangan yang merangkul bahu Jibran setelah beberapa saat lalu memainkan jarinya pada capit kepiting hidup yang terikat di atas sebuah kotak Styrofoam yang penuh dengan batu es.

Jai hanya menganggukkan kepalanya sedangkan Nathan sibuk meniru cara bernafas ikan gurame yang sedang berenang-renang kecil di dalam aquarium.

Selama menemani Jibran yang sedang asik menimbang-nimbang bungkusan es Kiko, Jejen justru menerawang jauh, mengingat obrolannya dengan Karina kemarin.

"Ini temen aku, namanya Joel ,Aku sering bareng dia kalau ada kegiatan di gereja"

"Dia baik banget loh Jean, dia jadi pelayan gereja disana, pemusik juga"

"Tapi tau gak? Tiap aku ke gereja temen-temen sebaya aku pasti selalu ngomongin dia"

"Nggak heran sih, pasti dia banyak di kagumin kaya gitu"

Jejen tau betul bahwa sebuah kecemburuan hanya dapat menimbulkan masalah-masalah yang juga berkesan tak dewasa.

Tapi bolehkah Jean memiliki rasa cemburu?, Cemburu ketika bagaimana kekasihnya itu dengan antusias menceritakan seseorang yang memiliki apa yang tak Jean miliki.

Karina memang sudah menjadi miliknya, tapi tak menutup kemungkinan bagi seseorang untuk dapat membuka hatinya bagi orang lain bukan?

"Bang Jen! Itu orang mau lewat jangan berdiri disitu!"

•~~•

Jejen merebahkan tubuhnya di atas kasur Jai seraya mengangkat ponselnya—memberikan jarak agar wajahnya dapat terlihat pada layar sebab sedang melakukan videocall, tentu saja dari semua ruangan di rumah ini, kamar Jai akan selalu menjadi favorit para penghuni.

Di sisi lain kamar, ada Jibran yang juga ikut duduk lesehan di karpet abu-abu milik Jai.

"Aku mau mandi dulu, bentar lagi ke masjid"

"Iya, jangan lupa berdo'a yang khusyuk, minta kelancaran untuk usaha kamu ke depannya, kamu kan pengen kuliah"

"Iya By, makasih"

"Jangan bercandain Jibran loh, kasian"

"Jadi kamu lebih sayang Jibran? Kita cuman beda 2 tahun by!"

"Kelakuannya dia gak sesuai umur Jean"

Seketika Jejen mengalihkan pandangannya ke arah Jibran yang sedang kesulitan menyobek bungkusan Chiki kentang yang ia pilih tadi di supermarket, hadiah dari Bang Jai sebab anak itu dengan sukarelawan mengepel lantai dalam seminggu terakhir ini.

Anak itu beberapa kali mengubah posisi duduknya dan sesekali mengusak poninya yang mulai panjang, melihat Jejen yang sedang memperhatikannya, Jibran memilih untuk menghampiri kakaknya itu.

"Abang tolong bukain"

Jibran menyodorkan bungkusan chiki kepada Jejen yang selama 15 menit lalu masih belum berhasil terbuka— yang membuat kakak laki-lakinya itu sempat terkekeh geli ketika melihat ekspresi wajah Jibran yang persis seperti anak kelas 3 SD.

"Kamu bener by"

"Iya kan, baru aku bilang"

"Cepetan elah!"

"Minta tolong kok ngegas?!"

"Maaf, tolong bukain—susah"

"Badan doang gede, jiwanya masih bocil SD baru balik les calistung!"

Jibran nampak tak peduli, menunggu dengan sabar Jejen menyobek bungkusan Chiki tersebut.

"Makasihnya mana?"

"Bang Jejen mau gue cium?"

"Lo mau gue cium?"

Jibran memelotot segera sebelum berlari dengan memangku sebungkus Chiki yang barusan Jejen sobek "Bang Jaiiii"

"Kan, lucu banget tau Jibran tuh"

"Kamu kalau tiap hari sama dia enek yang ada by"

Ada suara kekehan hangat yang melintas begitu saja pada telinga Jejen, membuat anak itu kembali merekahkan senyumannya.

"Yaudah, besok pagi aku juga harus berangkat ke gereja, nanti aku kabarin"

"Iya, see you"

•~~•

Sudah menjadi sebuah rutinitas sehari-hari ketika bapak akan berteriak pada keempat anak laki-lakinya untuk selalu melaksanakan sholat berjamaah di masjid, sebuah didikan sederhana yang selalu mereka patuhi dimanapun mereka berada.

"Kalau denger suara adzan cepet-cepet sholat. Berjamaah"

"Kalau bukan kalian, siapa lagi yang mau mengisi jajaran sajadah masjid?" 

"Sibuk-sibuk nya kalian, setidaknya kalian bisa ingat tuhan minimal 5 kali sehari, setidaknya kalian bisa mengontrol diri dan mengetahui bahwa apapun yang sedang kalian perjuangkan tak lain tak bukan karena mengharapkan ridho-Nya"

Nasihat Bapak setiap kali Nathan, Jai, Jejen dan Jibran diserang beribu alasan malas untuk meluangkan waktunya beribadah barang sejenak.

Petang ini dengan begitu serius Jibran menengadahkan tangannya, memanjatkan do'a-do'a yang sedari kecil memang sudah bapak dan ibu ajarkan padanya, setelah beberapa saat anak itu mengusap lembut wajahnya sebelum kemudian berdiri seraya merapihkan sebuah sokong hitam yang setia ia pakai dari rumah.

"Ini Dek Jibran ya?"

Anak itu sedikit terlonjak tak kala seorang pria berumur sekitar 40 tahun-an menepuk bahunya.

"Udah bujang ya, kemarin kan jajan es krim masih harus di anterin" ujar pria itu seraya tertawa, yang disahuti dengan suara tawa Jibran pula.

"Masih suka jajan es krim di anterin juga kok Om, hehe"

"Kamu sekelas sama anak Om ya?"

"Memang nama anak Om siapa?"

"Winona"

Dengan refleks Jibran membelalakkan matanya selebar mungkin. Memori tentang gadis itu seketika berputar begitu saja dalam benaknya, seorang gadis berambut panjang terurai dengan sebuah bando berwarna biru, teman sekelas, sekaligus musuh paling menakutkan untuk Jibran. Anak perempuan yang baru saja pria itu sebutkan namanya, adalah seseorang yang mati-matian Jibran jauhi untuk setiap harinya.

"Jibran gumus!"

"Bu!, saya sekelompoknya sama Jibran"

"Jibran lagi ngapain?"

"Pagi Jibran ganteng"

"Jibran udah makan belum?"

"Pacaran sama aku yuk"

Dan yang lebih parahnya lagi ketika gadis itu berkata.

"Jie, Aku udah lama banget loh suka sama kamu, mau kamu suka balik atau nggak, pada akhirnya aku bakalan buat kamu jatuh cinta sama aku!"

Jibran bergidik ngeri sebelum akhirnya menyengir dengan lebar.

"Nggak sekelas Om"

"Tapi katanya sekelas sama kamu"

"Ji, ayo!!"

Sehat selalu Bang Jejen!, Dengan hati yang begitu lega Jibran tersenyum ke arah Jejen yang sedang mengerutkan alisnya persis karakter animasi angrybird.

"Iya Bang!"

Sahut Jibran yang dengan segera menarik tangan pria itu untuk ia salimi.

"Saya duluan ya pa, hati-hati di perjalanan pulang"

Anak itu bergegas menyusul Jejen yang tengah kebingungan mencari sendal yang sebelumnya ia kenakan.

"Siapa?"

"Gak tau"

"Mampir dulu gak?"

"Kemana?"

"Lo maunya apa?"

"Apa aja lah"

"Bubur kacang ijo madura aja ya?"

"Ayo"

Setelah menemukan sepasang sendal yang entah milik siapa dan menurut Jejen layak untuk ia pakai, kedua anak itu langsung berbelok ke arah yang berlawanan dari arah pulang.

"Bocah!! mau kemana?!"

"Jajan dulu!"

"Jangan banyak-banyak, inget ibu masak di rumah!"

"Iya!"

Setelah Jejen menyahuti panggilan Jai, Jibran mulai berulah dengan mengacungkan jari tengahnya ke arah Nathan yang sedari tadi hanya terdiam memperhatikan kedua adik kecilnya. Laki-laki itu langsung membulatkan kedua matanya seraya menganga lebar sebagai refleks ekspresi atas kelakuan adik bungsunya itu.

"HEH BOCIL SETAN!"

"KABUR BANG JEN KABUR!"

•~~•

"Buburnya 2 ya mbak, rotinya di pisah aja"

"Kata Bapa gak boleh bawa hp ke masjid" Tegur Jibran tak kala Jejen mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.

"Iya, hari ini doang, makasih udah diingetin"

Sebuah pesan masuk kini membuat dahi Jejen kembali mengerut. terutama ketika sebuah foto yang begitu saja menjadi fokus utama bagi dirinya.

Sebuah foto yang menampakkan wajah ceria kekasihnya yang sedang mengobrol riang bersama seseorang yang menjadi beban pikirannya selama beberapa hari ini.

Nana anak si Setiawan

Nana

Yan!

Jean

Yan, Yan, lo kalau manggil gua pake 'Je' kek atau 'Jen', lo manggi 'Yan" berasa nama gue yanti!

Nana

Ah elah sama ae dah

Jean

Yeuuuu Setiawan!

Nana

Bacot Jaka!

Je, gue tau gue gak berhak ikut campur

Nana Send a photos

Itu siapa sih? Gue tiap ketemu si Karina lagi bareng dia mulu

Jean
Temennya di gereja

Nana
Gue udah bilang ini berkali-kali, putus aja udah sama cewek lo

Jean

Gue udah pernah bilang kalau kunci dari sebuah hubungan itu dengan saling mempercayai kan

Nana

Percayain aja terus sampe lo mampus dimanfaaatin sama tu cewek

Jean

Karina gak yang seperti lo pikirin Na

Nana

Tololnya akut emang

Je, segimana lo berjuang pun bakalan tetep sia-sia

•~~•

"Itu aer!" Nathan menepuk kuat lengan Jejen tak kala melihat air yang terus mengalir dari gelas yang sudah terisi penuh, membuat Jejen tersadar akan lamunannya.

"Eh?!"

"Kenapa sih Lo?"

"Gak"

Jejen memilih untuk tak menghiraukan ucapan Nathan dan beralih mengambil sebuah kain lap untuk membersihkan genangan air yang terbentuk akibat ulahnya.

"Masalah cewe nih pasti"

"Bukan"

"Kenapa? Berguru cintalah pada abangmu ini"

"Gak mau. Sesad!"

"Biadab!"

Jejen masih sibuk mengeringkan air yang tumpah tadi dengan Nathan yang baru saja menyomot gorengan bakwan jagung sisa makan malam tadi.

"Bang"

"Apa?"

"Mau cerita"

"Kenapa?"

"Jadi gini, Besok cewek gue harus ke gereja kan—"

"Bentar, gereja?—Lo pacaran lintas agama Jen?!"

"Riweuh"

"Ya mau Lo pertahanin juga Lo kaga bisa jadi satu Jen, Jen"

"Permasalahannya belum gue ceritain padahal"

"Ok kenapa"

"Dia punya temen juga disana"

"Ya kan makhluk hidup"

"Bentar Anjir! Belum selesai!"

"Lanjut"

"Tapi kayanya dia tertarik banget sama temennya itu"

"Jealous maneh?"

"Menurut ngana?"

"Lo mau gue kasih kalimat perih atau lembut?"

"Lembut"

"Bentar lagi Lo putus, kalau gak berantem parah"

"KATANYA LEMBUT! GIMANA SIH?!"

"Itu lembut versi gue Jen"

"Gak ada yang bisa di arepin dari Abang gue emang"

"Tapi Jen, kalau Lo mau berjuang, gas terus jangan sampe cewek Lo kepincut cowo Laen"

"Masalahnya saingan gue anak Sholeh di agamanya! Seiman sama dia Bang! SE!-I-MAN!—"

"—Lagian Lo cari cewe temboknya tinggi bener kaya teriakan bocah minta duit ke pesawat"

"Jadi gue harus apa?"

"Kalau memang masih layak buat di pertahanin ya pertahanin"

Jejen nampak terdiam selama beberapa saat membuat Nathan justru ingin tertawa guling-guling dalam hati.

"Lagian itu mah cuman overthinking Lo doang Jen, kaga usah di anggap serius" Ujar Nathan sambil berlalu begitu saja, membiarkan Jejen yang sedang terduduk tegap di meja makan, wajahnya berkerut nampak berfikir keras.

"Jejen kenapa?"

"Biasalah Remaja"

•~~•

• The 'J' Siblings •

•~~•

ToBeContinue

Bonus Pict :

—Mas Joel yang bikin Jean ketar-ketir—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro