25. Orang Yang Bisa Dipercaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

"Ren, nanti barengan ya ke kampus?" tanya Jaemin begitu melihat Renjun keluar dari kamar mandi.

"Kenapa?"

"Mobil gue masuk bengkel, waktunya servis aja. Boleh, ya?"

"Hm," jawab Renjun yang kemudian berlalu ke kamarnya untuk ganti baju.

Hari ini Papa mereka sedang pergi ke Busan untuk menghadiri pertemuan bisnis. Jadi, Jaemin bertugas memasak sarapan untuk mereka.

Bunyi bel pintu, membuat Jaemin yang sibuk di dapur melongok ke ruang depan.

"Ren! Renjuunn! Bukain pintu dong!"

"Gue lagi ganti baju."

"Aku juga lagi masak, nggak bisa ditinggal! Nanti gosong!" balas Jaemin berteriak dari dapur.

Di kamarnya, Renjun mendecak kesal sebelum akhirnya turun dengan langkah menghentak kesal untuk membuka pintu.

"Lagian, siapa sih pagi-pagi begini bertamu ke rumah orang?" gerutunya sebal.

Renjun tidak berniat memasang wajah manis dan ramah, siapa pun yang bertamu berhak tahu kalau kedatangan nya mengganggu.

"Selamat pagi, Ren!"

Kekesalan Renjun bertambah dua kali lipat saat melihat Lee bersaudara kini berdiri di hadapannya. Daehae yang tersenyum senang bersama Jeno yang terlihat malas di belakangnya.

"Ngapain kalian ke sini?" tanyanya langsung.

"Kalo ada yang nyapa tuh, minimal di jawab. Adek gue udah seceria itu menyapa dan lo cuekin?" ucap Jeno dingin.

Renjun menghela kesal, "Iya, selamat pagi juga," ucapnya penuh penekanan, "Kalo ada orang tanya, baiknya juga di jawab. Bukan dianggurin," balasnya tak mau kalah pada Jeno.

"Kita sengaja mampir ke sini! Kita sama-sama ada kelas pagi, kan," jawab Dae Hae sebelum kakaknya membuka mulut. Pasti hanya akan berakhir adu mulut dengan Renjun.

"Lo sama gue kan beda jurusan."

"Iya, tapi pagi ini ada kelasnya Prof. Kim, kan?"

Ah, Renjun lupa. Gadis di hadapannya ini suka mengikuti kelas Prof. Kim meskipun dia bukan mahasiswa kelasnya. Tetapi anehnya tidak ada yang keberatan pada kelakuan aneh Daehae.

"Iya, sih ..."

"Siapa yang datang, Ren?" teriak Jaemin dari dalam.

Sebelum Renjun menjawab, Jeno sudah lebih dulu menerobos masuk setelah sempat melirik dengan tak acuhnya pada Renjun.

"Gue nih, yang datang. Pagi, Jaem," jawab Jeno yang langsung menghampiri Jaemin.

"Oh, Jeno! Tumben ke sini pagi-pagi."

"Iya, nganterin bocah tuh, di depan."

"Daehae?"

Jeno mengangguk sebagai jawaban, meninggalkan Daehae yang masih di depan bersama Renjun.

"Masuk, aja," ucap Renjun mempersilahkan Daehae ikut masuk bersamanya.

"Ren."

Renjun menoleh saat Daehae memanggilnya, namun gadis itu hanya meringis tanpa mengatakan apa-apa.

"Nggak jadi, deh."

"Ada apa? Ngomong aja," ucap Renjun, mereka kemudian duduk di ruang makan menunggu Jaemin selesai menyiapkan makanan.

"Nanti, kamu ada waktu nggak?" tanya Daehae.

"Nggak tahu. Kenapa?"

"Mau temenin aku ke toko peralatan lukis lagi? Kak Jeno nggak mau diajak, sih."

Renjun diam menatap Daehae, dia sebenarnya tidak ada kesibukan sepulang dari kampus. Tapi dia masih tidak mau sering bersinggungan dengan dunia luar.

"Lo ajak temen yang lain aja deh," jawabnya pada akhirnya.

Daehae tampak sedikit kecewa mendengar itu. "Temen-temen aku nggak ada yang tertarik sama persoalan melukis. Ya, udah deh, nanti aku sendiri aja," balas Daehae kemudian tersenyum tipis.

Wajah kecewanya tidak bisa disembunyikan, Ren menyadari itu.

"Gue nggak mau janji, tapi kalo gue bisa nanti gue kabari."

"Kamu, mau?" ulang Daehae penuh harap.

"Gue bilang, nggak janji. Jadi lo jangan terlalu berharap."

"Iya, nggak apa-apa. Terima kasih, Ren!"

"Ada apa lagi, nih? Kok terima kasih sama Ren?" celetuk Jaemin yang tiba-tiba muncul dengan membawa nampan berisi sarapan mereka. Sementara Jeno membawakan minuman di belakangnya.

"Kak Jaemin, aku ajak Ren pergi boleh, kan?" tanya Daehae langsung.

"Kencan?"

"Nggak! Kok kakak bilang gitu sih?" Daehae langsung membantah sementara wajahnya memerah malu.

"Aku cuma tanya, kenapa kamu heboh?" goda Jaemin tertawa.

Jeno yang ada di sampingnya pun ikut tersenyum walau tipis.

"Apa sih, lo Jaem. Diem deh. Berisik. Gue laper, ayo cepetan sarapan," balas Ren dengan muka cemberutnya.

"Ututu, ada yang salah tingkah nih," ujar Jaemin masih menggoda pada Ren.

"Diem! Jangan ngeselin, atau gue nggak mau berangkat bareng sama lo!"

"Kenapa ancamannya begitu? Tapi nggak apa-apa, aku bisa bareng Jeno."

"Eh, sorry Jaem. Tapi gue sama Daehae nggak bawa mobil. Tadi dianter sopir karena mobil gue masuk bengkel," ucap Jeno menjelaskan.

"Loh, kok sama?"

"Gue tadi kepikiran mau bareng sama lo, sih, makanya gue ke sini," jawab Jeno sambil menatap Jaemin dengan ekspresi bersalah.

"Elah, numpang berangkat bareng juga ternyata," celetuk Ren sambil sibuk menyendok sarapannya.

"Ren, mulutnya ih! Nggak boleh gitu," tegur Jaemin yang kaget karena adik kesayangannya mengucapkan kalimat seperti itu.

Jeno dan Daehae yang sejak tadi menyimak, hanya bisa saling bertukar pandang. Merasa sungkan.

"Iya-iya, gue bercanda kok. Maaf," ucap Ren kemudian menatap mereka, "Ini nggak sarapan semua?"

Jaemin menghela napasnya lelah melihat sikap menyebalkan namun menggemaskan adiknya itu.

"Maaf ya, Jeno, Daehae, Ren emang mulutnya nggak ada filter," Jaemin tersenyum pada keduanya.

"Nggak apa-apa kok, Kak."

"Untung dia adek lo, kalau bukan, udah gue lempar," gerutu Jeno yang kemudian ikut makan.

"Hehe, jangan lempar adek gue lah, nanti gue nggak punya saudara, Jen."

Kali ini Jeno hanya geleng kepala menanggapi ucapan Jaemin. Malas berargumen dengan sahabatnya yang bucin pada adiknya itu.

***

Setelah menurunkan Jeno dan Jaemin di depan gedung fakultas mereka, Ren dan Daehae menuju tempat parkir, lalu bersama-sama menuju kelas Prof. Kim.

"Wah! Lihat nih siapa yang lewat!"

Suara yang sangat familiar dan dibenci oleh Renjun.

Berusaha untuk mengabaikan, namun Erick menghadang jalan mereka.

"Ckckck ... ternyata lo emang nggak ada rasa malu ya. Masih bisa pergi kemana-mana, padahal lo di sini cuma jadi aib. Hahaha, emang harusnya orang kayak lo di kurung aja, ya. Diasingkan dari dunia," cemooh Erick, berusaha memancing emosi Ren.

Melihat itu, sontak Daehae menggenggam jemari Ren lalu bergerak maju di depan Erick.

"Kamu! Yang sopan ya ngomongnya! Anak pindahan dari Universitas London karena drop out, kan? Bukannya yang seharusnya malu itu kamu, ya? Ngapain sih, sok cari ribut sama Ren? Sebaiknya kamu diem, deh. Kalau nggak mau kena drop out dari sini."

Renjun hampir melongo tidak percaya mendengar kata-kata Daehae barusan. Dari mana gadis ini belajar mengucapkan hal seperti itu? Bahkan Erick terdiam karena tidak menyangka akan 'diserang' balik oleh gadis mungil di hadapannya itu.

"Lo siapa, ngancem-ngancem gue segala? Pacarnya nih bocah?" tunjuk Erick pada Renjun yang sudah siap mengamuk.

"Aku Lee Daehae! Inget namaku, dan kamu akan tahu berhadapan dengan siapa! Sekali lagi aku lihat kamu nggak sopan sama Renjun, awas!"

Dengan kuat tiba-tiba Daehae mendorong tubuh Erick. Lalu menarik tangan Renjun untuk segera pergi meninggalkan Erick. Renjun masih terkejut dengan sikap Daehae dan hanya bisa diam mengekorinya ke kelas.

***

"Aaaaaaa, mau lepas rasanya jantungku!" keluh Daehae begitu mereka sampai di kelas dan duduk di bangku masing-masing.

Gadis itu menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan menutupi kepalanya. Sementara Renjun hanya diam menatapnya bingung.

"Renjun! Selamat pagi!" sapa Yangyang yang baru tiba, lalu duduk di samping Renjun. "Dia kenapa?" tanyanya setelah melihat Daehae.

"Nggak tau, tiba-tiba aja begitu."

"Kalo Kak Jeno tahu, habis udah aku nanti," gumam gadis itu masih dengan posisinya yang kini terlihat aneh.

"Bangun, lo nggak malu dilihatin sama yang lain?" Ren menarik bahu Daehae agar gadis itu duduk tegak.

"Ren! Nanti kamu belain aku ya kalau Kak Jeno marah! Ya?"

"Marah kenapa?"

"Tadi yang aku ancam anak yang nggak sopan sama kamu tadi. Kalau anak itu beneran nyari tau siapa aku, pasti Kak Jeno bakalan marah."

"Lo juga ngapain, sih, tadi pakai ancam-ancam begitu? Gue bisa jaga diri sendiri, tanpa lo bantuin."

Daehae memberengut mendengar hal itu, "Tapi aku nggak suka liat kamu diperlakukan kayak gitu. Lain kali kamu beneran harus lawan, ya!"

Ren hanya menghela sebelum mengedikkan bahunya sabagai jawaban.

"Bentar deh, lo berdua ngobrolin apaan? Kok gue nggak tahu?" tanya Yangyang merasa sedikit kesal karena diabaikan.

"Dia tadi ngamuk-ngamuk sama Erick," jawab Renjun.

"Hah? Bocah mungil ini? Wah!" seru Yangyang tak percaya menatap Daehae.

"Aku bukan bocah, ya! Enak aja!"

"Tapi lo cuma segini," goda Yangyang dengan gestur tangan yang menunjukkan kecilnya Daehae.
Tentu saja gadis itu merengut dan alhasil memukul lengan Yangyang kesal.

"Sakit! Aduh!"

"Tuh! Katanya aku cuma bocah kecil, dipukul bocah aja kesakitan," balas Daehae tak mau kalah.

Renjun hanya tersenyum melihat kelakuan dua orang di hadapannya itu. Sampai kemudian prof. Kim datang dan memulai kelasnya.

Seperti biasa, kelas prof. Kim selalu menjadi favoritnya. Renjun bisa mengekspresikan semua perasaannya di atas kanvas. Tentu, hal itu tidak luput dari perhatian sang profesor.

Seusai kelas, prof. Kim menyempatkan diri untuk memanggil Renjun ke ruangannya, setelah menemui Daehae. Namun, kali ini gadis itu tak bisa ikut ke ruangan prof. Kim karena dia harus melanjutkan kelasnya yang lain.

"Jadi, apakah tugas yang kuberikan padamu sudah selesai?" tanya prof. Kim begitu mereka tiba di ruangannya.

Renjun tersenyum tipis, mengangguk dengan ragu, lalu akhirnya dia menggeleng.

"Ada apa dengan jawabanmu? Sudah atau belum? Kenapa kau terlihat ragu?"

"Tidak, profesor. Saya rasa tugas itu belum selesai. Saya tidak puas dengan hasilnya," jawab Renjun yang kini menunduk, sibuk mengamati tali sepatunya alih-alih menatap sang profesor.

"Tidak puas ya? Tugasmu selesai namun perasaan dan emosimu masih belum selesai, begitu kan, maksudmu?"

Renjun sontak mendongak mendengar ucapan sang profesor yang tepat sasaran. Dia tidak tahu kenapa profesornya itu bisa menebaknya dengan benar. Apakah emosinya terlihat jelas, meski dia berusaha menutupinya?

"Maafkan saya, profesor."

"Kenapa kau meminta maaf padaku?" Profesor Kim mendekati Renjun lalu meletakkan tangan kanannya di bahu Renjun. "Kau harus meminta maaf pada dirimu sendiri. Kau tidak bisa mengabaikannya. Senyum yang tak sampai pada sorot matamu itulah yang membuatku bisa mengetahuinya."

Renjun hanya diam.

Dia senang bisa tinggal bersama Papa dan Jaemin. Tapi dengan adanya Erick di sini, rasa takutnya, amarahnya, ikut kembali.

Profesor Kim tersenyum lalu mengusap kepala Renjun dengan lembut. Lalu menyerahkan sebuah kartu nama padanya.

"Kau bisa menemuiku kapanpun kau mau. Di sana ada alamat rumah yang bisa kau datangi, juga nomor ponselku yang bisa kau hubungi."

Renjun menerima kartu nama itu dengan perasaan yang bingung, tetapi dia merasakan sesuatu yang sedikit melegakan di saat yang bersamaan.

"Oh, ayolah! Aku bisa menjadi temanmu sekalipun aku tak lagi muda."

Prof. Kim tertawa kecil dan itu membuat Renjun ikut tertawa.

Perasaan aneh yang membuatnya tenang saat bersama prof. Kim memang tak bisa dia jelaskan. Namun, Renjun merasa bahwa dia bisa mempercayai pria di hadapannya itu.

"Terima kasih, profesor."

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro