24. Teman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama ini gue selalu berada dalam benteng perlindungan Mom.

Tapi saat gue keluar dari zona perlindungan ini, gue nggak yakin bisa menghadapi dunia yang rasanya asing.
.
.
.

Yangyang menatap punggung seseorang yang duduk berjarak tiga baris di depannya.

Sudah hampir seminggu dan pemilik punggung itu menghindarinya. Selalu datang kelas di waktu nyaris bersamaan dengan dosen lalu pergi secepat kilat setelah dosen melangkah. Dan setelah itu dia menghilang entah kemana.

Yangyang sadar betul bahwa Ren sengaja melakukan itu agar mereka tak punya waktu untuk sekedar bicara.

Memang sih sejak kejadian di kantin, Yangyang dan teman-teman lain merasa kaget dan tidak percaya, mereka menunggu penjelasan lebih dari si pemilik kisah namun sayang Ren tidak pernah lagi muncul.

Sebenarnya dengan latar belakang mereka masing-masing, mudah bagi mereka untuk mencari informasi.
Tapi mereka tidak mau melakukan itu.

Karena mereka pikir, jika Ren mau itu harus dijelaskan olehnya.

Yangyang sudah tidak bisa menahan diri, jadi siang itu setelah dosen mengakhiri kelas, Yangyang bergerak cepat menghadang Ren yang sudah berjalan beberapa langkah.

"Wait, Ren! Can you stop? Gue perlu bicara sama lo."

"Sorry, tapi gue buru-buru. Kita bisa bicara nanti," jawabnya cepat bahkan tanpa menatap Yangyang.

"Gue mau kita bicara sekarang. Penting," Yangyang meraih pergelangan tangan Ren agar dia tidak bisa menghindar.

"Tapi gue harus segera balik—"

"Lo tuh kenapa sih, Ren?" bentak Yangyang pada akhirnya dan cukup untuk membuat Ren terdiam.
Untung saja sudah banyak teman sekelas mereka yang keluar kelas sehingga mereka tidak menjadi tontonan masa.

"Lo sengaja menghindari gue dan yang lain semingguan ini kan? Setelah kejadian di kantin itu, iya?" tanya Yangyang masih dengan luapan emosinya.

"Gue nggak ngerti arah pembicaraan lo  Yang. Gue beneran sibuk, sorry kalau itu bikin lo salah paham."

"Lo ngerti maksud gue Ren! Kalau lo nggak berusaha menghindar, sikap lo nggak bakalan kayak gini!"

Ren sudah mulai merasa tidak nyaman dengan situasi ini, dan dia tahu bahwa dia tidak lagi bisa menghindar. Tapi dia tidak siap untuk menjelaskan dan berhadapan dengan teman-temannya.

"Kalau lo nggak menghindar, saat ini lo pasti akan menatap mata gue saat kita berdua bicara," ucap Yangyang akhirnya dengan suara lebih pelan.

Dan Ren memang sejak tadi berusaha menghindari tatap mata dengan temannya itu.

"Ini nggak akan selesai kalau lo terus menghindar. Kita perlu bicara," Yangyang kemudian menarik tangan Ren untuk mengikutinya keluar kelas dan berjalan menuju cafetaria menemui yang lainnya.

Dan Ren hanya bisa pasrah dan menurut tanpa melawan. Apapun itu dia harus berusaha menghadapinya sendiri.

Ren melihat teman-temannya di sana, di bangku pojok jendela kaca yang menjadi tempat favorit mereka.

Melihat semua temannya sudah menunggu membuat Ren gelisah. Dia tidak bisa melakukannya.

Yangyang melepas genggaman tangannya dan mengambil duduk di sebelah Johnny sementara Ren masih  berdiri canggung.

"Duduk, Ren. Ngapain lo berdiri di situ?" kali ini suara Taeyong menegurnya.

"Ya, thanks."

Dan yang terjadi setelahnya hanya keheningan menyelimuti tanpa ada yang bicara. Ren masih berusaha untuk tidak menatap teman-temannya sampai Yangyang berdiri dari duduknya.

"Gue mau pesen makan nih! Ada yang mau nitip kagak?" ucapnya lantang membuat teman-temannya kini menatapnya heran, "Lo semua nggak mau makan?"

"Gue udah pesen tadi, tapi belum di antar, jawab Taeyong.

"Lainnya puasa?" tanyanya sekali lagi masih dengan suara lantang.

"Gue belum pesen sih."

"Gue juga."

"Iya, gue juga."

"Yaudah, Minghao sama Rowoon ikut gue yuk! Gue nggak hapal pesenan lo semua."

"Lah, ujung-ujungnya ngajakin juga," gerutu Rowoon namun dia beranjak bersama Minghao dan Yangyang.

"Ren? Lo pesen apa?" tanya Yangyang sebelum melangkah.

"Gue mau cola aja, nggak usah makan," jawabnya  lirih.

Setelah tiga orang itu pergi, keheningan itu kembali. Dan Ren semakin tidak nyaman karena dia sadar sejak tadi Jhonny dan Taeyong sedang menatapnya dalam diam.

"Ren."

Yang dipanggil menoleh ke arah Taeyong yang kini berpindah duduk di sampingnya.

"Hm?"

"Lo kemana aja semingguan ini?"

"Itu... gue ada sedikit sibuk," jawabnya asal karena dia tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dari teman-temannya.

"Sibuk menghindari kita?"

"Nggak kok."

"Ren, coba lo liat kita deh," ucap Jhonny pelan namun intonasinya menyiratkan keseriusan, membuat Renjun mau tak mau mendongak dan menatap temannya itu.

"Lo liat mata kita, menurut lo adakah diantara kita yang menatap lo dengan tatapan apapun yang lo pikirin semingguan ini?"

Renjun gugup dan takut tentu saja karena bayangan-bayangan buruk di kepalanya mengenai pandangan negatif dirinya sebagai anak tiri terlintas kembali di kepalanya.

"Ren," kali ini Taeyong ikut bicara.

"Oke, kayaknya sulit bagi lo untuk menjawab. Tapi gue tekankan sama lo, kalau kita semua nggak ada yang berubah setelah kita tahu siapa lo sebenarnya."

"Kita memang kaget, terkejut dan nggak nyangka setelah selama ini. Tapi nggak ada yang berubah tentang lo. Bagi kita lo tetap Renjun temen kita yang dulu. Mungkin cara pandang kita sedikit berubah tapi apapun itu kita nggak akan melanggar batas-batas privasi dalam pertemanan kita."

Dan setelah mendengar itu, Renjun menatap teman-temannya. Perlahan menyelami kejujuran di mata mereka dan benar adanya, tak satupun dari mereka memandangnya risih, jijik atau kasihan padanya.

"Gue nggak tahu harus bicara apa pada kalian. Gue nggak terbiasa dengan cara pandang orang lain selama ini. Gue nggak pernah memaksakan keberadaan gue diantara orang-orang," jawab Renjun pelan dan jujur.

"Tapi sekarang lo punya temen yaitu kita," suara Yangyang menyahut dari belakang membawa pesanan mereka semua.

"Lo, nggak percaya ya sama kita semua? Apa menurut lo, kita nggak tulus dan memandang lo dari status? Kita nggak sebrengsek itu, Ren."

"Terserah sama lo, sih. Mau percaya atau nggak, karena seperti yang lo lihat sekarang, nggak ada satupun dari kita yang pergi ninggalin lo."

Renjun tertunduk mendengar ucapan teman-temannya. Perasaannya terlalu bercampur. Dia merasa malu, dan terharu mendengar semua ini. Dia tidak pernah berharap ada orang yang tulus berteman dengannya selain Mark.

Dulu dia tidak punya teman.

Tapi sekarang, orang-orang di hadapannya ini telah menyatakan bahwa mereka mau berteman dengannya.

Iya, teman. Dia punya teman sekarang.

Tepukan pelan di bahunya membuatnya mendongak dan mendapati Taeyong sedang menatapnya dengan senyum hangat.

"Nggak usah nangis, jelek tau nggak sih. Lagian segede lo udah nggak pantes nangis. Mendingan daripada sedih-sedihan, kita makan yuk! Lo bisa merenungkan semua ucapan kita seiring waktu berjalan. Lo bisa menilai setulus apa kita semua temenan sama lo."

Kemudian tangan Yangyang mengacak rambutnya dengan gemas.

"Beneran kesel tau nggak sih, gue sama lo," omelnya yang disambut tawa oleh yang lain.

Dan perasaan Renjun entah kenapa menjadi lebih ringan seolah ada yang menyingkirkan kabut hitam dari hatinya.

Tersenyum tipis, Renjun bersyukur dalam hatinya. Berharap Tuhan benar-benar memberi teman untuknya kali ini.

.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro