1.0 : SIGMUND FREUD

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tadi malam, untuk kali pertama sejak empat bulan kejadian itu, aku memeriksa akun YouTube adikku, Riko. Mengejutkan ketika dia kebingungan mengenai instruksi pembuatan google account, tapi justru memiliki akun YouTube pribadinya sendiri. Melihat dari gmail yang bertaut, nampaknya akun itu dibuatkan oleh Marcia.

Ketika memasuki YouTube itu, yang baru kuketahui sebagai dunia pribadinya, aku langsung mendapat banyak rekomendasi video mengenai bunuh diri. Beberapa memang berisi psikoedukasi mengenai depresi dan suicide disorder. Sebagian tentang kasus-kasus bunuh diri. Sisanya self-harm.

Biasanya, setiap melihat sesuatu yang tragis, mengerikan, air mataku dengan mudahnya tumpah. Aku bahkan bisa sesenggukan hanya karena video bayi anjing laut yang kehilangan induknya. Namun malam itu, yang kurasakan hanyalah dada memanas dan kepala migrain. Kemudian sesak di dada mulai datang, dan seperti tahapan panic attack yang dosenku bilang, sekujur tubuh perlahan berpeluh sebelum linglung. Aku hampir pingsan.

Sebagai anak slow learner yang kukenal, selama ini, Riko lebih mudah salto di atas sofa daripada berhitung. Hanya saja, untuk satu ini, dia belajar dengan cepat. Dia mempelajari tata cara bunuh diri yang baik.

Hebatnya, dia langsung berhasil pada percobaan pertama.

"Yoja?" Bibir Marcia terangkat kaku. Aku melihat sorot mata suka cita yang diliputi haru pada wajahnya. Di tengah ramainya kampus yang kembali luring, aku tak paham mengapa Marcia orang pertama yang harus kutemukan.

Dia nampak merentangkan tangan ragu-ragu, hendak memeluk, tapi langsung menurunkannya. Wajahnya menoleh kanan-kiri dan dia menggaruk tengkuk. "Aku senang kau kembali."

Secara teknis waktu cuti kuliahku habis, dan tentu aku kembali. Aku mengangguk sekali dan berusaha membalas senyumnya.

Matanya mulai meneliti sendi-sendi tubuhku yang lengkap, kemudian beralih pada lengan serta leher yang tidak ada bekas sayatan. "Aku sehat," kataku. "Mentalku sehat."

"Ti-tidak." Dia terkejut dan mengibaskan tangan, lalu kembali menggaruk tengkuk. Setelahnya, aku berjalan melaluinya dan dia tidak mengejar sama sekali. Menyadari tidak ada langkah yang mengikuti, aku merasa lebih tenang.

Sekarang aku bisa menghormatinya yang berhasil menahan diri setelah hubungan kami kuakhiri secara sepihak.

Ada baiknya begitu. Aku tak punya waktu memikirkan orang lain sekarang. Bahkan aku rasa aku tak sempat memikirkan diriku sendiri.

Hipokampusku terus memutar ulang catatan-catatan mengenai waktu. 10 menit kehilangan nyawa setelah membakar diri, 5-20 menit yang dibutuhkan untuk menggantung leher, 45 menit-1 jam waktu menguras darah setelah menyayat nadi. Beberapa detail lainnya tercatat di buku soal matematika Riko.

Buku Soal Matematika, yang seharusnya berisi gambaran kubus, balok, dan berisikan simbol-simbol perhitungan, malah beralih fungsi sebagai rekam jejak kematian.

Aku menghela napas, tepat di depan pintu ruang berlabel Happiness.

Salah satu dari delapan pintu yang biasanya kubuka secara ringan dan biasa saja. Namun sekarang terasa begitu berat, seperti gerbang kastil Buckingham yang dijaga ketat. Di dalamnya terdapat mahasiswa-mahasiswa—prajurit-prajurit—yang siap menembakku dengan tatapan tajam, ragu, dan penuh emosi negatif.

Tepat setelah membuka pintu, kebisingan, teriakan, obrolan, suara ketikan keyboard, berhenti mendadak. Menyisihkan kesunyian dan tatapan penuh arti. Aku menilik mereka satu per satu, lalu masuk ke tempat yang disebut Happiness itu. Setelahnya, nada suara pelan serta bisikkan-bisikkan yang terdengar samar mulai mengambil alih.

Kepalaku tertunduk, terus berjalan menuju bangku pojok paling depan. Bersebrangan langsung dengan meja dosen. Sebuah tempat yang selalu dihindari mahasiswa lainnya.

Tanpa menoleh ke belakang pun aku sudah bisa merasakan lusinan sorot mata seperti ribuan anak panah yang menyasarku sebagai target. Kuhela napas, lalu menyumpal telinga dengan earphone. Menyambungkannya dengan lagu mandarin, Xiang Ni De Ye yang dicover salah satu peserta pencarian bakat di sana.

Menjadi keluarga dari pelaku kriminal memanglah aib, tapi menjadi keluarga dari korban pelaku kejahatan tidak serta merta menyenangkan secara sosial. Orang-orang hanya berbisik dari belakang, seakan menggosipimu. Mereka ragu untuk bertanya atau menegur, tapi mereka ingin tahu.

Lalu ratusan ucapan bela sungkawa, yang kutahu tidak sepenuhnya tulus, berkelebat sebagai tameng jika mereka peduli. Jika mereka bersamaku, menggenggam tanganku. Seakan aku tak melihat komentar Vera di postingan Palembang.Terkini yang justru membela pelaku. Dan bagaimana Agil mengaku-ngaku sebagai teman dekatku lalu menganggap Riko sudah seperti adik kandungnya.

Adik kandungnya! Lupakah dia kalau dirinyalah yang memberikan julukan Cowok Hello Kitty padaku? Memang Rosa yang lebih dulu menciptakannya, tapi dia menyebarkan itu pada satu angkatan yang disebut Tiger Booster, lalu merasa superior ketika semua orang memanggilku begitu.

Saat aku masuk kelas beberapa menit sebelumnya, wajah Agil lah yang kutangkap pertama kali. Dia diam, menundukkan pandangan dan nampak tersinggung. Mungkin karena sakit hati akibat komentar klarifikasiku di akunnya, bahwasannya dia dan aku sama sekali tak dekat. Bahkan aku menambah embel-embel kalau dia yang selalu menyakitiku secara verbal dan emosional.

Bukan keputusan yang bagus karena aku kehilangan banyak empati. Termasuk dari masyarakat Tiger Booster sendiri. Tapi aku tak peduli.

Kuangkat ponsel setinggi jengkal, lalu memotret gorden hijau sepanjang tiga meter yang menutupi jendela samping ruang Happiness. Pertanda hari pertama masuk neraka.

Tepat setelahnya, earphone-ku ditarik paksa hingga lubang telingaku sedikit nyeri. "Tidak ikut bunuh diri juga, Yo?" ejek Agil tepat di telingaku. Wajah konyolnya mendesis dengan bibir monyong yang berkerut.

Beberapa orang menahan pekik, tapi selebihnya tertawa kecil. Yeah, inilah wajah prihatin mereka yang sebenarnya.

"Urusi dirimu sendiri, Gil." Suara Marcia memotong kerumunan. "Berhenti mempermalukan dirimu sendiri setelah mengaku-ngaku kakaknya seseorang."

Wajahnya berubah merah dan terlihatlah nyali seorang Agil yang sesungguhnya. Tak jauh beda seperti tikus pada eksperimen Skinner.

"Setelah yang dia lakukan, aku setuju dengan polisi, itu kesalahan adiknya sendiri. Dan aku menunggu gilirannya." Tanpa rasa bersalah, dia mengucapkan itu seraya melirikku dan Marcia secara bergantian.

Dadaku panas, sesak. Bukan karena dia yang mengharapkanku bunuh diri, tentu. Tapi karena dia menyetujui pendapat media jika apa yang Riko lakukan adalah kesalahannya sendiri. Tentu yang membunuh Riko adalah dirinya sendiri.

Dan aku tak tahan jika harus diingatkan lagi.

"Aku akan bunuh diri," ucapku yang membungkam satu kelas. Satu Tiger Booster. "Aku akan bunuh diri setelah aku membunuhmu terlebih dahulu."

Langkahku beranjak, pergi dari Happiness, menuju ruang dengan label Toilet. Di depan cermin, aku menangis, persis seperti Hello Kitty.

Hari pertama, di jam pertama. Bahkan belum resmi memasuki jam pertama. Aku kembali menangis, membuktikan pada Agil jika julukan yang disematkannya padaku adalah hal yang benar.

Hatiku lemah dan aku terlampau rapuh. Dan setiap merasa sedih, video itu kembali menyala di kepala. Suara tawa anak-anak yang terdengar seperti iblis kembali berpendar di telinga. Bunyi resleting celana Riko, diputar berulang kali.

Di jurusan yang mengutamakan humanistik dan kesehatan mental, aku justru merasa sakit. Dan masyarakatnya pun sakit.

Manusia, siapa yang tahu? Entah dia warga psikologi atau anak-anak SD sekalipun, mereka tetap manusia. Punya monster sendiri dalam dirinya.

📸📸📸

Welcome to BlueBer!!

Sekali lagi aku nggak nawarin cerita yang menyenangkan yaa gaess. Dan kalo di bab awal ini udah ke-trigger, aku mohon untuk dipersilakan berhenti sampe di sini🙏🙏

Untuk teman-teman yang masih mampu mengikuti ceritanya, kita bakal ketemu (Insyaallah) tiga kali seminggu!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro