Chapter 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Neya menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah. Ia sangat terkejut melihat ayahnya yang sudah terluka parah di dekat foto ibunya. Segera ia berlari dan menidurkan ayahnya di pangkuannya.

"Apa yang terjadi, Ayah?"tanya Neya.

Dengan kekuatan membaca pikiran, ia mencoba untuk melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia melihat ayahnya diserang beberapa manusia serigala. Namun, ia tak bisa melihat wajah seorang lelaki yang memakai kalung berbandul serigala. Penglihatan Neya terhenti begitu saja. Ia mencoba melihatnya lagi, tetapi semua sia-sia karena itu hanya semakin membuat lemah tubuhnya. Entah kenapa dengan ayahnya yang tak bisa memulihkan lukanya sendiri.

Neya teringat dengan kalung. Ayahmya tak memakai kalung, mungkin itulah sebabnya Tuan Kim tak bisa memulihkan luka di sekujur tubuhnya.

Neya mengambil kalung yang diberikan ayahnya beberapa bulan lalu. Segera ia mengalungkannya di leher sang ayag. Tak ada reaksi apa-apa dari kalung tersebut. Neya melihat ayahnya hanya semakin merintih kesakitan.

Dengan sisa-sisa kekuatan yang masih dimiliki Tuan Kim. Lelaki itu menceritakan kejadian semalam. Di mana seorang lelaki menyerang ayah tercintanya. Tuan Kim segera berlari menuju ruang bawah tanah. Karena kalung itu Neya gantung di pintu menuju ruang bawah tanah, itulah sebabnya mereka tak bisa masuk ruangan ini.

Bola mata Neya memerah, taringnya keluar, kukunya juga memanjang. Untuk pertama kali, Neya merasakan menjadi vampir.

"Kendalikan dirimu, Neya!" ucap ayahnya dengan suara parau.

Tuan Kim meminta Neya untuk mengambil pisau dan gelas. Ia menyayat nadi, kemudian mengisi gelas penuh dengan darahnya.

Neya masih tak mengerti apa yang sedang ayahnya. lakukan.

"Neya, ayah tak ingin kau menjadi vampir, tapi ayah tak punya pilihan lain. Minumlah darahku ini!" perintahnya di detik-detik terakhir.

"Neya, setelah kau meminum darah ini kau adalah vampir sepenuhnya. Jika sekali kau meminum darah manusia maka selamanya kau akan menjadi vampir." Sang ayah melepas kalung yang tadi Neya kalungkan. Seketika ia melihat tubuh ayahnya lenyap di pangkuan. "Selamat tinggal anakku."

"Tidaaak!" teriak Neya yang kini hanya memegang kalung berbandul bulan sabit dengan bertuliskan nama Neya di belakangnya.

"Aku bersumpah dengan kedua tangankulah aku akan membunuhmu!" geram Neya yang masih penuh isak tangis meratapi kepergian ayahnya.

Kalung itu sengaja dibuat sebagai jimat pelindung Neya. Dulu ayahnya pernah berkata bahwa banyak dari manusia serigala yang mengincar darahnya. Itulah sebabnya Tuan Kim membuatkan jimat berbandulkan bulan sabit, juga bertuliskan nama putrinya di sana. Lelaki itu juga pernah bilang bahwa akan ada masa di mana Neya tidak bisa mengendalikan diri sendiri. Maka, kalung inilah yang akan membantu untuk mengendalikannya dan menemukan jati diri.

Neya segera mengalungkan kalung pemberian terakhir ayahnya. Seketika pula ia berubah menjadi manusia biasa. Sesak yang teramat dalam sampai-sampai ia susah untuk bernapas. Ia meringkuk di lantai yang dingin, luka yang saat ini ia rasakan bertambah ketika mengingat siapa yang telah membunuh ayahnya.

"Hei! Kau harus menjaga adik kesayanganku ini, jika tidak kedua tangankulah yang akan membunuhmu!" ancam Daeho pada seorang lelaki di samping Neya.

"Kau pikir aku takut padamu!" jawab Saejun.

Waktu itu mereka bertiga baru memasuki sekolah menengah atas. Neya melihat sosok lelaki yang tak asing di matanya, sedang berjalan mendekat.

"Hei! Kau dari mana saja? Berapa tahun kau meninggalkan kami berdua?" oceh Daeho sembari memeluk sahabat kecilnya yang menghilang tiga tahun belakangan ini. Saat itu mereka masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama.

"Hei, bodoh! Kau masih mengingatku?" tanya Neya yang turut memeluk lelaki dingin bernama J.

"Siapa yang bisa lupa dengan si bawel Neya?" ungkap J sembari menjitak kepala Neya.

Neya mengenalkan J pada kekasihnya, Saejun. Mimik J berubah, dengan intens lelaki itu melihat ke arah Saejun. Memang seperti itulah J jika berhadapan dengan orang asing atau yang baru dikenalnya.

Malam ini, Neya dan Saejun berjalan-jalan di dekat sungai Han. Mereka Berdua saling berpegangan tangan. Beni yang ia kenakan diambil oleh lelaki itu. Ia belari mengejar. Ia tak cukup tinggi untuk menggapai beni yang diangkat tinggi melebihi kepala Saejun, karena lelaki itu terlalu tinggi hingga tak bisa meraihnya. Neya berpura-pura marah. Ia duduk di tepi sungai dengan mencemberutkan wajah. Saejun mendekati Neya, kemudian memakaikan beni di kepala gadis itu.

"Aku mencintaimu, Saejun." ucap Neya.

"Ehm," jawab lelaki itu.

Neya mengernyit, lalu menatap tajam. Sadar telah membuat Neya kesal, Saejun tersenyum manis. 'Apa dia kira senyum manisnya itu mampu meredakan amarahku? His, lelaki jahat!'

"Apa? Ehm?"

Melihat Neya bertambah kesal, Saejun malah tertawa. Memangnya ia pikir semua ini lucu?

"Cih."  Neya memalingkan wajah memandang pancuran yang kini telah menyala. Sesaat, ia hanyut akan indahnya lampu pada air mancur di sungai Han. Ia tengah memfokuskan pandangan ke sana.

"Air mancur jauh lebih indah daripada aku harus melihatnya," gumam Neya pada diri sendiri.

"Baiklah, baiklah, cukup tahu siapa dia." Neya melirik lelaki yang duduk di sampingnya.

Belum sempat, ia melanjutkan kalimat berikut, bibir Saejun telah mendarat di bibirnya, membuat Neya terbungkam. Neya masih terdiam tak berani bergerak, lalu dengan kasar ia mendorong Saejun.

"Hais ... siapa yang mengizinkanmu untuk menciumku?"

Lagi-lagi bibir Saejun telah mencapai bibir Neya. Ia mulai memejamkan mata merasakan semua sensasi yang diberikan.

~~~~

Neya, Saejun, Daeho danp J berada di perjalanan menuju pantai di Busan. Mereka berempat bercanda dan bersenda gurau. Sesampai mereka di sana, ia tak ingin turun dari mobil.

"Ayo, cepat!" perintah Daeho pada Neya yang masih terduduk di kursi depan.

Neya hanya diam tak meresponsnya.

"Cepat!" ucap J dengan wajah datar.

"Kau tidak ingin turun?" Dengan kesal Daeho mengangkat, kemudian melemparkan ke air yang tak begitu dalam. Neya menjerit kesakitan akibat terkena batu karang. Saejun dan Daeho berlari untuk menolong. Ada yang aneh saat itu, J sama sekali tak menolong. Neya melihat tubuhnya gemetaran. Saat itu  belum sepenuhnya bisa mengendalikan sendiri.

"Bodoh." ungkap Neya dengan berada di gendongan Saejun. Ia menjitak kepala Daeho.

"Apa sangat sakit?" tanya Saejun sembari melihat-lihat luka di kaki Neya. Ia juga mencoba untuk mengeluarkan batu karang yang menancap di kaki Neya.

Ney memicingkan wajah menahan sakit.

"Ini tidak akan lama, bersabarlah!" pinta Saejun.

Daeho yang masih berjongkok di samping Neya terus memandang khawatir. Ia tengah menyesal telah melakukan hal itu.

"J, Kau baik-baik saja?" Neya bertanya ketika melihat tingkah aneh yang J lakukan.

Mengingat-ingat masa lalu hanya akan membuat sesak di dada. Neya telah sepenuhnya menjadi vampir yang haus akan darah. Siapa pun yang menghalangi jalannya akan mati di tangannya. Untuk apa ia menjadi manusia? Lelaki  yang ia cintai telah berubah menjadi musuh. Buat apa ia menunggu Saejun untuk mengingatnya kembali? Lelaki itu tidak akan mengingatnya.

Neya berada di atas tebing yang tinggi mengerang-erang dan berteriak marah menyebut nama seorang lelaki.

"Neya! Apa yang terjadi padamu?" tanya Daeho. Entah dari mana datangnya. "Kau!" Jelas Daeho sangat terkejut melihat Neya yang telah berubah menjadi vampir sama seperti dirinya.

"Kakak!" panggil Neya yang mulai melemah dan terjatuh pingsan. Dahaganyalag yang membuatnya pingsan. Ia belum meminum darah manusia sama sekali.

~Tbc~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro