Belum Hidup Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terhitung sudah satu minggu sejak aku diberhentikan oleh Stacy di ruang depan Shally's Salon. Mungkin 'diberhentikan' terlalu kasar untuk menyebutkan situasinya saat itu. Menendang keras badanku agar aku tidak tertembak peluru, jika bisa dibilang. Sakit, tetapi aku berhutang budi karenanya. Stacy wanita pintar dan ia mungkin akan baik-baik saja saat ini. Ia bisa menyewa pengacara dan melawan balik Rebecca sebelum hakim mengetok palu terakhir.

Namun, aku baru mendapat kabar siang ini bahwa Shally's Salon benar-benar tidak mendapat pemasukan apa-apa lagi. Dan keadaannya makin buruk karena tidak ada lembar uang satu dollar sama sekali di brankas salon. Aku tidak ingin mendengar kata 'bangkrut' terucap dari mulut tetangga sebelah kamarku ketika tengah membicarakan tentang tempat kerjaku yang dulu, tetapi, aku bisa apa ketika wanita itu menyebutkan kata 'bangkrut' lebih dari 5 kali--atau 6, entahlah--saat kami sedang bergosip di koridor.

Karena hal ini, aku tidak bisa tidur di malam harinya.

Sebenarnya, aku tidak bisa tidur juga di siang hari dan pagi hari. Aku, entahlah, merasa jemu, mungkin? Tidak ada yang bisa kulakukan selain menyiram kaktus yang tidak perlu lagi untuk disiram--aku kasihan melihatnya karena kujadikan sebagai pelampiasan rasa bosan sejak beberapa hari terakhir--, memasak omelette yang berakhir gosong, atau membersihkan pinggiran toilet. Tidak menyenangkan. Tidak bisa membuatku kembali bersemangat seperti keadaan hatiku di pagi hari sebelum menuruni apartemen untuk beranjak menuju salon kecil milik Stacy.

Jadi, malam ini, aku memutuskan untuk membuat kopi. Perduliku dengan kondisi lambung. Aku tidak terlalu religius dan barang pengingat Tuhan yang ada di kamarku hanya ada satu. Namun, aku tetap tidak suka dengan alkohol. Aku juga merasa seperti kucing yang dilindas mobil ketika mabuk. Jadi, aku lebih memilih untuk meminum secangkir kopi yang walau sama-sama menyakitkan, tetapi setidaknya tidak menjatuhkanku semakin dalam ke neraka.

Dan jika aku terlihat religius seperti ini, mungkin Tuhan akan memberi sedikit belas kasih terhadap semua masalah yang menimpaku akhir-akhir ini. Ralat, sejak dua puluh tujuh tahun terakhir.

Baltimore pemandangannya tidak pernah indah, kecuali di musim dingin. Tetapi toh, semua tempat memang akan indah di musim dingin. Yah, pikiran seperti ini paling tidak hanya berlaku bagiku. Aku tidak tahu dengan pendapat para pelancong atau orang-orang yang begitu menyukai kota ini. Aku tidak menyalahkan mereka jika begitu mencintai daerah ini. Ada banyak hal menarik yang bisa dilakukan. Bagiku juga ada, satu. Namun, minggu kemarin, hal-hal menariknya tiba-tiba hilang begitu saja.

Oh, Tuhan. Aku harap Stacy tidak berakhir menjadi gelandangan jalanan seperti keluarga Big Willie di pusat kota. Bau mereka tidak sedap dan aku tidak ingin aroma sampo dan sabun jeruk dari tubuh Stacy berganti menjadi aroma air rebusan sosis.

Namun, sebenarnya aku juga harus mengkhawatirkan diriku sendiri. Pasalnya, keadaanku tidak ada bedanya dengan kondisi Stacy. Keuangannya, lebih tepatnya. Aku benar-benar tidak mendapat pemasukan apa-apa lagi saat ini.

Pernah terlintas sekali di pikiranku jika aku bisa saja pergi dari apartemen ini diam-diam tanpa membayar sewa. Rumah Mum masih ada di Fairfield. Setidaknya furniturnya masih lengkap, apabila tidak ada penginvasi rumah kelas kakap yang memasuki tempat tersebut.

Niat awalku begitu. Aku bahkan sudah membereskan pakaian dan koper. Namun, pemiliknya kudengar-dengar merupakan seorang veteran perang dunia dua yang memiliki puluhan peleton mafia. Aku tidak ingin mati muda, pun aku tidak ingin menambah semakin banyak masalah. Jadi, niatnya kuurungkan dan kukubur dalam-dalam.

Aku akan mengatakannya sekali lagi. Pemandangan Baltimore tidak pernah indah. Baru sekali saja aku menengok sekilas ke luar jendela apartemen, sudah tertangkap oleh mata rabunku pemandangan pemuda-pemuda nakal dan tidak tahu diuntung. Dan karena tindakan mereka yang mendadak sekali memukul-mukuli tempat sampah apartemen, langsung berantakanlah suasana hatiku.

Aku menutup tirai jendelanya rapat-rapat, berbalik menuju meja kecil tempatku biasa menulis laporan pengeluaran Shally's Salon, kemudian terduduk di kursinya. Malam ini aku akan melamun hingga jam besar di kota berdenting dua belas kali. Mari berdoa saja anak-anak di bawah tadi tidak membuat masalah lebih besar atau aku bersumpah akan melempari mereka dengan kaktus di dekat lemari.

Akan tetapi, melamun memang tidak pernah menyenangkan. Mum dan Dad benar. Aku bingung harus melakukan apa lagi. Kemarin, aku sudah menghabiskan semua bahan bacaan--minus koran, karena aku memang tidak pernah menyukai bau kertasnya sejak dulu--. Novel-novel yang aku tidak sempat hitung ada berapa jumlahnya--tetapi paling tidak bisa lebih tinggi daripada meja kerjaku jika ditumpuk semua--, kuhabiskan dalam kurun waktu lima hari.

Aku sudah mandi. Tiap hari dan tadi sore. Aku tidak ingin berendam di bak malam-malam buta seperti saat ini. Nanti akan ada iblis yang menarik kakiku memasuki saluran pembuangan air, kemudian mengirimi jiwaku ke neraka. Makan hanya akan membuatku muntah di waktu-waktu seperti sekarang. Jadi, aku lebih memilih untuk melamun. Namun, melamunnya juga gagal. Tak pelak, waktu malam ini akhirnya kuhabiskan untuk melihat sisa-sisa kenangan yang berhasil dikumpulkan oleh Stacy sejak hari pertama bekerja.

Ia memberikanku album foto kecil seukuran saku celana pria. Di dalamnya, ada foto diriku dengan kemeja dan cardigan rajut toska pada hari melamar kerja. Pada syal-syal warna-warni yang sempat kukenakan di musim gugur tahun lalu, jamuan makan malam asal-asalan yang kami langsungkan di malam Natal tahun kemarin, perayaan tahun baru, dan lainnya, dan lainnya. Oh, holy molly. Kenangannya masuk begitu saja bagai angin musim dingin.

Aku tidak pernah tahu bahwa ia sempat mengambil fotoku di saat-saat seperti tadi. Seingatku, ponselnya bahkan sudah sukar untuk dipakai berkomunikasi dengan pelanggan yang komplain. Namun, Stacy wanita ajaib. Sikapnya memang kejam, apalagi ketika sudah telak mengata-ngatai diriku yang lamban. Akan tetapi, ia tetap ajaib. Buktinya, ia bisa memotret diriku tanpa sepengetahuan siapa pun.

Kemudian, aku tahu ia peduli kepadaku dan aku sedang tidak bersikap narsis ketika berpikir tentang hal ini. Faktanya, Stacy memang peduli terhadap semua orang yang menyayanginya. Seperti Kalia, contohnya--walau aku tidak terlalu menyukai wanita itu karena gaya rambutnya yang terlalu norak--, dan barangkali diriku juga karena aku menyayangi Stacy teramat sangat.

Jadi, begitulah malam ini, dan malam sebelumnya, dan malam sebelumnya lagi berakhir dengan sunyi. Tidak banyak yang berubah sebelum punggungku menyentuh kasur. Masih sama membosankannya, sama menjemukannya, sama menyedihkannya dengan malam-malam lalu.

Semoga, ketika aku bangun esok pagi, seorang milyarder tiba-tiba ingin mempersuntingku menjadi istrinya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro