Menghindar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah sudah berapa lama aku bersembunyi dari semuanya. Yang jelas aku masih terdiam di dalam rumahku.

Apa kalian berpikir bahwa rumahku seperti manusia yang memiliki pintu, jendela, dan lainnya? Atau berpikir bahwa rumahku seperti Tinkerbell? Tidak, rumahku jauh berbeda dari semua itu. Rumahku adalah sebuah rumah yang terbuat dari ranting, daun, dan tentu saja bunga.

Apakah rumahku sama dengan yang lain? Tentu saja berbeda. Yang lain tinggal pada kuntum bunga atau di dalam pohon. Hanya aku yang memiliki rumah di atas tanah.

Tidak, ini bukan rumah yang mendadak aku bikin karena keadaanku yang tak dapat lagi terbang. Ini adalah rumahku sejak aku masih dapat terbang. Aku memilih rumah di atas tanah untuk menghindari semua perkataan yang menyakiti hatiku dari kawananku. Rumahku terlindung dari dunia luar karena terhalang oleh akar pohon yang besar.

Aku mulai menggerakkan pintu rumahku yang hanya terbuat dari daun dan di hiasi oleh kelopak-kelopak bungan kecil. Aku mendesain pintu itu seorang diri.

Cahaya mentari pagi yang menghangatkan tubuh langsung masuk ke dalam iris kuningku. Aku mengerjapkan mataku selama beberapa kali, mencoba untuk membiasakan mataku dengan cahaya matahari yang begitu menyilaukan

Aku mulai melangkahkan kakiku di atas tanah. Ya, sejak sayapku di potong Ataska, hanya kakiku saranaku untuk aku bepergian.

"Aku kira kamu sudah mati, By," terdengar suara Heina yang entah bagaimana dia melihatku.

Aku sangat tahu betul jika Heina bukan peri yang suka berkeliaran di sekitar rumahku. Tapi ada angin apa yang membawa dia hingga sepagi ini sudah ada di sekitar rumahku.

Aku tak menghiraukan semua perkataan Heina. Aku terus berjalan dan menulikan telingaku dari semua yang dikatakan oleh Heina. Aku melakukan semua itu karena aku tahu kalau Heina pasti akan mengatakan hal yang lebih menyakitkan dari apa yang baru saja dia katakan.

"Hei...kenapa kamu hanya berjalan dan tak menanggapi perkataanku?" tanya Haina masih dengan suara yang sedikit meninggi dan angkuh.

Sepertinya Heina belum menyadari bagaimana keadaanku hingga dia belum menghinaku atas apa yang terjadi padaku. Tapi sebentar lagi aku yakin dia akan menyadari semuanya dan mulai menghinaku dengan hinaan yang jauh lebih menyakitkan.

Heina terus terbang disekelilingku dan terlihat wajah geramnya karena tak ada satu pun perkataannya yang aku tanggapi. Tunggu sebentar lagi, dia akan menyadari apa yang terjadi pada sayapku.

"Owh Tuhan...sayapmu...," kata Heina yang tampaknya telah menyadari apa yang terjadi pada sayapku.

Dia sepertinya telat menyadari keadaan sayapku yang seharusnya telah disadari sejak tadi. Ya, aku memiliki sayal jauh lebih besar dari kawan-kawanku hingga akan terlihat dengan jelas jika sesuatu telah terjadi pada sayapku.

"Akhirnya kesialan itu menimpamu juga, bukan hanya menimpa kami yang tak tahu apa-apa," kata Heina dengan suara yang cukup tinggi yang seolah ingin mengumumkan pada seluruh kawanan bahwa aku sudah tak dapat terbang seperti mereka.

Mukaku langsung berubah merah padam menahan semua amarah yang ada di dalam dadaku. Aku ingin membentak Heina, tapi itubakan percuama saja, bahkan yang ada dia akan lebih menghinaku.

Aku terus berjalan tanpa menghiraukan apa yang dikatakan oleh Heina yang tak hentinya menghina keadaanku saat ini. Rasanya telingaku ini telah begitu panas mendengar apa yang Heina katakan padaku.

"Hentikan Heina!" perintah sebuah suara yang aku tahu bahwa itu adalah suara Ataska.

Seketika Heina menutup mulutnya diam dan terbang menghampiri Ataska yang hanya berjarak beberapa meter saja di depanku. Heina memperlihatkan wajah sok imutnya di depan Ataska.

"Kenapa kamu membelanya Ataska, dia jelas peri tak berguna?" tanya Heina pada Ataska.

"Dia terluka, tak pantas kamu berkata seperti itu," kata Ataska sambil menatap ke arahku.

Terluka? Rasanya aku sangat marah mendengar kata itu dari mulut Ataska. Aku bukan terluka, tapi aku dilukai oleh pedang yang selalu dibawanya kemana-kemana itu. Sayapku dipotong oleh pedang yang biasa Ataska gunakan untuk membunuh musuhnya.

Ah...apakah Ataska menganggap aku musuhnya hingga dia melakukan hal sekeji itu padaku? Entahlah, aku tak ingin mengingat apa pun mengenai peri yang satu itu, aku terlalu membencinya.

Kembali aku melangkahkan kakiku berjalan meninggalkan dua peri yang begitu aku benci. Dua peri yang telah melukai hatiku dengan sangat dalam. Heina melukaiku dengan penghinaannya, dan Ataska melukaiku dengan pedangnya.

"By...Ruby...," aku mendengar Ataska memanggilku dengan suara yang cukup lantang, namun aku tak menghiraukannya. Aku terus dan terus berjalan meninggalkan dia yang masih direpotkan dengan sikap Heina yang sok manis dan imut dibadapan Ataska.

Heina memang selalu bersikap seperti itu jika berada di dekat Ataska hingga semua peri tahu kalau Heina menyukai Ataska. Tapi Ataska, tak ada yang mengetahui siaoa yang disukai olehnya, dia terlalu dingin pada semua peri yang ada.

"By...tunggu aku," lagi, terdengar suara Ataska memanggil namaku.

Kali ini sepertinya dia berhasil melepaskan diri dari sikap Heina. Aku melihatnya terbang dan mendaratkan tubuhnya tepat di sampingku.

"Mau kemana?" tanyanya sambil menggenggam tanganku.

"Bukan urusanmu," kataku sambil mengehampaskan tangan Ataska. Aku memang begitu muak dengan Ataska. Bayangan dia saat memelukku dam memotong sayapku selalu bermain di pelupuk mataku hingga membuatku sulit untuk tidak membencinya.

Aku melangkahkan kakiku lebih cepat untuk menghindari Ataska. Memang aku belum terbiasa menggunakan kakiku untuk berjalan jauh, tapi ini harus kulakukan untuk menopang hidupku. Aku harus mulai terbiasa untuk mencari makan dengan berjalan kaki dan tentu saja untuk melakukan semua kativitasku.

"By...," kata Ataska yang kini telah terbang rendah di sampingku. Sepertinya dia menggunakan sayapnya untuk menyusulku yang melangkahkan kakiku dengan cepat dan menjauh.

"Pergi!" kataku dengan suara yang cukup meninggi.

"Tidak akan!" kata Ataska.

Aku tahu kalau Ataska adalah peri yang memiliki pendirian cukup tegas dan keras. Dia akan terus memegang teguh perkataannya walau apa pun yang terjadi pada dirinya.

Aku memutar otakku untuk menghindari Ataska. Aku mengedarkan pandanganku hingga aku melihat semak-semak yang tak akan bisa dilewati kecuali dengan berjalan kaki.

Aku segera mengarahkan langkahku ke arah semak itu. Aku berjalan semakin cepat dan bahkan hampir berlari agar dapat segera sampai ke tempat itu.

"Aaaggghhh...," teriakku saat kakiku terpeleset pada sebuah kerikil yang ada di atas tanah. Aku memang tak pernah tahu bagaimana medan yang ada di atas tanah, karna jarakku berjalan biasanhanya hanya beberapa meter saja.

"Hati-hati By," kata Ataska sambil terbang ke arahku dan menahan tubuhku yang hampir jatuh ke atas tanah.

"Jangan mengasihaniku," kataku sengit.

"By, kalau kamu marah bilang, jangan menghindar seperti ini," kata Ataska.

Aku menatapnya dengan tajam, aku memang sangat membencinya dan tak ingin melihat wajahnya walau hanya sekejap saja. Tapi entah kenapa Ataska malah berada di dekatku setiap saat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro