BAB 17: INDDY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat ini kami mengerubungi laptop Sasa. Terdapat sebuah cuitan di Twitter yang membagi foto Daffa dan Tania saat keduanya masih menginjak bangku SMA. Keduanya terlihat akrab namun tidak mesra layaknya dua sejoli yang sedang menjalin hubungan. Hal tersebut terlihat dari foto keduanya yang mengenakan seragam abu-putih dengan pose Daffa berdiri di belakang Tania yang memiringkan kepalanya kesamping sambil tersenyum ke kamera.

"Ini belum pasti. Mungkin hanya cuitan iseng," ucap Sasa membaca komentar dan repost tentang apa yang Ia dapatkan.

"Dari mata Tania terlihat bahagia, mereka pasti pernah menjalin hubungan," komentar Sani terlihat begitu yakin.

"Memangnya kamu tahu mata orang yang sedang jatuh cinta itu seperti apa?" Tanya ku menatap Sani mengejek.

"Jelas tahulah, tiap hari aku lihat di mata Andrew ketika natap kamu."

Ugh!

Kami semua menoleh ke arah Andrew yang tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan frontal Sani.

"Salah ya? Kamu 'kan fansnya Inddy, tentu saja tatapan kamu ke dia jelas berbeda dengan tatapan kamu ke aku sama Sasa" ucap Sani polos.

Dan aku, aku tiba-tiba membeku ditempat mendengar apa yang diucapkan Sani.

"Berdasarkan riset yang aku pernah baca, ketika seseorang ngefans sam seseorang maka dia hanya akan sekedar fans, dia tidak akan berharap lebih untuk memiliki idolanya itu. Sedangkan apa yang aku lihat dari Andrew bukan tat..."

"Ehmm," aku menyenggol lengan Sasa.

"Aku lanjut, bukan tatapan orang yang ngefans sama idolanya tapi tat..."

"Ehmm. Ada cuitan terbaru nih dari akun ini," Sasa dan Sani mengalikan fokusnya dari pembahasan tadi dan kembali fokus dengan laptop.  Syukurlah. Aku melirik Andrew yang wajahnya sudah memerah.

"Kita harus temui pemilik akun ini," ucap Andrew ketika membaca cuitan tersebut yang mengaku teman kelas Daffa dan Tania.

"Jika dia adalah teman kelas Tania dan Daffa, itu artinya dia tahu banyak tentang dua orang tersebut," ucapku.

"Kamu bisa lacak lokasinya, ndrew?" Tanya Sasa sambil beranjak dari tempat duduknya lalu keluar dengan ponsel menempel di telinganya, sepertinya dia sedang menerima telpon.

"Kamu bisa?" tanya ku.

Andrew menatapku lalu mengangguk. Hell! Kenapa dia harus menatapku? Eh! Apa yang aku pikirkan. Kenapa tatapannya terlihat berbeda, terlihat seperti dia sangat menyayangi ku. What! Wake up. Apa yang aku pikirkan.

"Kenapa? Berusaha menyadarkan diri lagi kalau kamu tidak mungkin menyukai Andrew?"

Sial. Kenapa Sani selalu memperhatikan ku di saat aku sedang dalam posisi itu. Sialnya, Sani yang suka memperhatikan keadaan sekitarnya ini tidak pernah mengontrol suaranya yang sudah seperti toa masjid. Sekali lagi pertanyaan menyebalkannya itu menarik perhatian Andrew, bahkan Sasa yang sedang menerima telpon dia  dekat pintu keluar menoleh ke arahku.

"Nddy, aku kasih tahu kamu satu fakta ya," aku menggeleng sambil menatap tajam ke arah Sani tapi gadis itu memilih cuek saja dengan kelakuan ku "entah kamu bodoh atau apa, kamu itu suka sama Andrew tapi berusaha untuk tidak percaya dengan perasaan kamu."

Aku mengangkat laptop setinggi mungkin menutup muka ku yang memanas. Aku memalingkan wajah dari  rekan kerja sekaligus sahabat yang ku yakini ketiganya sedang menatapku. Aku memasang earphone, lalu menaikkan volumenya setinggi mungkin hingga tidak mendengar pembicaraan mereka.

Sani sialan! Ingin sekali aku mengata-ngatai dia tapi harus menjaga image di depan Andrew. Argh! Aku berada di posisi yang tidak menguntungkan.

Aku menggeser cursor laptopku ku acak di layar. Aku sama sekali tidak fokus dengan tujuan ku membuka komentar di YouTube. Aku penasaran dengan reaksi Andrew ketika mendengar ucapan Sani tadi. Bagaimana reaksinya ketika mengetahui fakta itu?

"Hah?" Aku menoleh ketika ada yang menyentuh bahuku.

Manik mata hitam legam yang terlihat tajam menusuk ku dengan perasaan yang tersirat di dalamnya. Tatapannya seolah-olah berbicara "aku sayang banget sama kamu nddy, aku nggak bisa hidup tanpa kamu, kamu perempuan yang aku perjuangkan."

Aku meneguk ludahku. Mataku berahli ke alis mata yang tebal dan rapi, hidungnya yang mancung dan runcing, pipinya yang mulus, bentuk wajahnya yang tampan, dan bibirnya yang pink alami. Dia tampan.

Aku terpaku menatap wajah yang berada tepat di depan wajahku. Andrew. Dia sangat tampan.

"Aku sayang kamu."

Hah!

"Aku jug...jug...mpht"

Cup.

My first kiss.

Aku mendorongnya menjauhi ku lalu memperhatikan sekitar ku yang malah terlihat sepi. Bagaimana jika Sani dan Sasa melihat Andrew mencium ku. Dimana Sani dan Sasa?

"Keduanya pamit pulang karena si meong tiba-tiba muntah," ucap Andrew seolah-olah mengerti dengan apa yang aku kahwatirkan.

"O-oh, begi-begitu." sebisa mungkin aku berusaha menghindari menatap Andrew. Sungguh mati aku malu. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini terlalu tiba-tiba.

"Inddy," suara bariton Andrew menggema di telinga ku.

"Emm" aku masih enggan untuk menatapnya. Aku malu.

"Tatap aku, nddy"

Tidak! Tidak akan!

"Nddy," ucap Andrew memegang dagu ku, lalu memutar wajahku hingga berhadapan dengannya.

Aku berusaha mati-matian menahan malu dan senyum dibibirku yang tidak tahan untuk tersenyum. Mata ku dan matanya bertemu, aku bisa melihat tatapan matanya yang tersirat perasaannya untuk ku. Mungkin itu tatapan yang di maksud Sani, tatapan yang telah menatapku lama namun aku tidak pernah menyadarinya.

"Nddy?"

"Emm."

"Mau ya jadi pacar aku."

Hope you like it

Jessie Toji



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro