Ribetnya kampusku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jadi junior itu tak selamanya enak,  banyak aturan yang harus kami taati selama menjadi anak tingkat satu. Masih inget kan kalau kami wajib mengikuti kegiatan baris berbaris selama sebulan? Tidak boleh melewati zona T?  Harus datang setengah jam sebelum apel dimulai dan harus menjadi pengambil apel  termasuk menjadi Danton dan danki apel. Jika salah,  maka setiap sesi apel pagi kami akan menjalani hukuman rutin kami.

Lari?  Yes

Push up?  Yes

Push up pake rok?  Yes?  Inget senior cewek selalu ngecek anak-anak yang nggak pake celana pendek tambahan

Jalan jongkok?  Always

Tapi menjadi junior juga tak selamanya menjadi junior. Di bulan Januari tahun 2014 kalau nggak salah kami sudah mendapatkan hasil yudisium kami untuk lanjut ke tingkat dua alias semester tiga.

Anak-anak banyak yang bersorak karena nilai IPS (Indeks Semester Prestasi)  kami melonjak fantastis seperti naiknya harga cabe sekilo. Tapi ada beberapa diantara mereka yang bersedih karena meskipun IPS semester dua mereka naik tapi tidak mempengaruhi nilai IPK mereka. Kalo aku,  alhamdulillah, meski keseharianku banyak diselingi tidur manis gegara formasi segitiga bermuda setidaknya IPK diatas nilai memuaskan.

Aku ingin memberitahu bahwa bersyukurlah setidaknya kau tidak kuliah di jurusan kesehatan. Kenapa?  Karena kami, maksudku kampusku hanya memberi kami liburan semester cuma sebulan belum dipotong dengan her-registrasi dan pembayaran spp yang jika dikalkulasi hanya tersisa cuma dua minggu. Beruntung sekarang sistemnya online,  dulu tahun 2013 masih memakai sistem manual. Adminnya hanya dua orang yang melayani sekitar 300 lebih mahasiswa dari prodi D3 dan S1 serta Ners. Sehingga registrasi bisa memakan waktu hingga dua sampai tiga hari.

Seperti hari ini,  aku rela datang pagi-pagi pukul 8 saat semua staff dosen sedang melaksanakan apel pagi. Ternyata sudah ada beberapa anak yang antri disana. Aku pun duduk bergabung dengan anak lain di depan ruang keuangan untuk meminta surat validasi pembayaran dari kampus ke salah satu Bank di Indonesia. Untung saja masih ada enam anak yang antri,  jika aku datang di atas pukul 9 dipastikan antriannya seperti antrian beli tiket mudik :v

Setelah menunggu hampir satu jam, salah satu staff keuangan pun datang dengan langkah santai tanpa dosa. Aku beranjak dari bangkuku dengan menatap staff itu penuh harap untuk segera mencetak surat validasiku.

"Tunggu sebentar, saya lapar mau sarapan dulu, " katanya

Jdeeer...

Staff itu seolah bisa membaca pikiran para mahasiswa yang rela duduk di lantai demi menerima surat validasi yang memakan waktu cukup lama. Aku mendengus lalu kembali duduk di bangku tadi untuk menunggu staff itu selesai sarapan.

Setelah lima belas menit,  akhirnya namaku dipanggil. Aku bergegas masuk di ruang keuangan sambil menyerahkan KTM (kartu tanda mahasiswa bukan kartu tanda menikah).  Staff itu pun menanyakan kembali kecocokan nama, semester yang akan dijalani,  dan NIM (nomor induk mahasiswa)  dan menyebutkan nominal pembayaran spp kuliah.

"Lima juta empat ratus sepuluh ribu ya nanti bayarnya, " kata staff itu sambil menyerahkan bukti cetak validasi kepadaku.

"Sepuluh ribu buat apa ya pak? " tanyaku polos

"Bayar wifi kalian, " katanya santai

Aku menganga, selama di kampus wifinya tidak bisa dinikmati oleh semua warga. Bahkan ada jam-jam tertentu dimana wifi bisa mencapai kecepatan moto gp milik Om Rossi.

Onok rego onok rupo,  pantes ae wifi lemot lah bayar e sepuluh ewu,  batinku

(Ada harga ada rupa,  pantas saja wifi lemot lah bayarnya cuma sepuluh ribu)

"Nanti kalau hanis dari bank,  fotokopi bukti bayarnya sebanyak empat kali ya dek, yang kuning balikin ke ruang ini lagi, " ucap staff itu.

Aku mengangguk mengiyakan lalu melangkah menuju parkiran motor mahasiswa. Setelah dari ruang keuangan aku pun melajukan motor maticku menuju Bank yang sudah ditunjuk oleh kampus. Gila... Antri lagi antri lagi.

Jadi aku mengumpulkan surat validasi dan mengambil nomor antrian. Aku pun harus menunggu lagi karena kebetulan bank yang bekerja sama dengan kampusku berbarengan dengan pembayaran spp nya mahasiswa kedokteran dari kampus sebelah. Bank ini juga satu bangunan dengan kampus kedokteran tersebut. Jika kalian datang pagi seperti aku,  kuperkirakan jam 10 kalian sudah bisa pulang ke rumah. Tapi jika telat seperti yang ku jelaskan diatas,  kau akan menunggu pembayaran di bank hingga pukul 2 siang.

Aku duduk di atas lantai dingin dengan muka sedikit melas sambil melihat anak-anak mahasiswa kedokteran yang mukanya lebih bisa dilihat daripada mahasiswa keperawatan khususnya yang masih junior seperti diriku. Aku pun juga curi-curi pendengaran untuk mengetahui nominal anak kedokteran kalo bayar spp berapa.

Kau mau tahu?  Ya... Harganya satu sepeda motor matic lah,  itu belum uang praktek. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala ketika anak mahasiswa kedokteran bermata sipit mengeluarkan segepok uang ratusan ribu rupiah. Dia bayar spp seperti beli cabe sekilo, begitu tenang ketika mengeluarkan uang segitu dari dompet mewahnya. Sedangkan aku, membawa uang untuk bayar spp ini dengan cara mengikat uang tersebut dengan karet gelang ala emak-emak di pasar lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik dan memasukkan ke tas ransel dengan posisi ransel di depan dada. Ku peluk erat-erat ranselku takut jika uang spp itu hilang. Bahkan berulang kali aku cek apakah uangku masih ada di ransel apa enggak, saking takutnya.

Hampir setengah jam menunggu,  akhirnya namaku dipanggil. Aku segera melangkah ke petugas teller bank untuk melakukan pembayaran. Dengan jantung berdegup kencang dan keringat sebesar biji jagung aku menghitung kembali uang spp-ku di depan mbak teller takut kurang. Kalau lebih sih nggak apa-apa tinggal masukin ke dompetku.

"Pas mbak, " kataku sambil menyerahkan uang kepada teller

"Saya terima uangnya ya dek, " kata si teller lalu mengecek kembali uangku.

"Uang segitu buat shopping di mall depan kampus asyik kali ya, " gumamku ketika melihat lembaran uang itu ditaruh di mesin penghitung.

"Oke pas,  silakan tanda tangan disini, " kata si mbak teller

Aku pun menanda tangani bukti pembayaran itu. Lalu si mbak teller menyerahkan lembar putih dan merah kepadaku, yang kuning untuk berkas bank.

Setelah selesai aku pun pergi ke tukang fotokopi di luar kampus yang ditempuh sekitar 5 menit. Fotokopi empat kali, sekalian fotokopi print KHS (kartu hasil studi) empat kali,  fotokopi transkrip nilai,  dan fotokopi registrasi semester berikutnya.

Ribet? 

Iyalah,  kampusku gitu lho. Jadi kau harus sabar ketika harus bolak balik dari rumah ke kampus hanya untuk menyelesaikan administrasi.

Setelah fotokopi selesai,  aku kembali ke kampus lalu meminta tanda tangan kepala prodi S1 serta stempel basahnya. Jangan harap proses ini cepat seperti yang kau kira. Jika beruntung kau bisa mendapatkan tanda tangannya langsung, jika tidak kau harus mengumpulkan file dan menunggu ya... Setidaknya satu hingga dua jam.

Aku membuka pintu ruang prodi S1 dan benar saja, antrian sudah menunggu. Aku mendengus lalu tanpa babibu langsung mengumpulkan fileku di atas meja pak Wayan untuk diserahkan ke meja Bu Dhian.

"Ditunggu sebentar ya dek,  bu Dhian masih rapat, " kata Pak Wayan

"Siap pak, " kataku, "terimakasih. "

Setelah dua jam aku menunggu di luar ruang prodi hingga sesekali aku terkantuk-kantuk. Akhirnya salah satu mahasiswa memanggil kami untuk mengambil file yang sudah di tanda tangani oleh Bu dhian.

"Stempel sendiri ya nanti, " katanya

Lah? 

Aku kira itu file sudah sekalian dengan stempelnya. Ternyata ku lihat fileku hanya ada tanda tangan beliau. Otomatis anak-anak pun berebutan untuk mengambil stempel yang cuma ada satu di atas meja Pak Wayan.

"Hei hei.. Antri, udah jadi mahasiswa tingkahnya kayak anak tk kalian semua! " seru Pak Wayan dengan kesal

Kami pun akhirnya baris memanjang untuk antri stempel basah. Astaga,  ribet amat kampusku.

Setelah semua file dipastikan sudah selesai kelengkapannya baru aku mengumpulkan satu file terdiri dari KHS,  transkrip nilai,  registrasi dan fotokopi pembayaran masing-masing ke BAK (badan administrasi kemahasiswaan),  PA (pembimbing akademik),  dan prodi S1. Sisanya kita simpan untuk file kita sendiri.

####

Menjelang naik ke semester berikutnya, dulu setelah apel dilakukan sidak dadakan yang membuat kami sedikit ketakutan. Karena sidak ini melibatkan puket II dan anak-anak menwa (resimen mahasiswa).  Jamanku dulu anak menwa-nya terkenal sangat garang di kampus,  tidak peduli kau cewek atau cowok,  tidak peduli kau senior atau junior, semuanya dianggap sama. Kalau salah ya tetap salah.

Kami,  anak tingkat satu dijemur sedikit lama setelah apel pagi selesai lima belas menit yang lalu. Keringat sudah mulai bercucuran mengingat matahari begitu senangnya membakar kami perlahan-lahan. Lalu kak Dimas, salah satu anak menwa melangkah ke depan barisan dan kemudian diikuti Bang Angga dan Bang Satria.

Kampret,  orang itu lagi

"Selamat pagi! " teriak Bang Sat

"Selamat pagi! "

"Hari ini kita adakan sidak dadakan untuk cek kelengkapan atribut kalian, " katanya dengan angkuh

Dag dig dug

Aku melihat diriku sendiri,  takut karena aku lupa tidak mem-brasso ikat pinggangku. Ku lihat sepatuku masih dalam rentang normal kehitamannya. Seragamku juga licin karena ku setrika tadi pagi, name tag juga ada,  kancing almamater juga masih lengkap tidak hilang satu pun.

"Ayo,  dicek kelengkapan adek-adeknya, " perintah Bang Angga

Kemudian anak-anak menwa yang berdiri di belakang kami berpencar untuk mengoreksi kelengkapan kami.

"Kak ada yang nggak di brasso sabuknya! ' teriak anak menwa yang berambut pendek di sisi kanan barisan.

Aku semakin tertunduk takut jika kena hukuman.

"Kenapa sepatumu nggak di semir,  hah! " teriak kak Aldi dengan ketus di samping barisanku.

Kulirik,  Lely sedang berdiri ketakutan karena sepatunya tidak di semir.

Satu-persatu anak-anak pun ketahuan bahwa atribut mereka tidak lengkap. Lalu kak Fatimah datang mendekatiku lalu dia menarik kemejaku yang menutupi ikat pinggangku.

Glek!

"Nggak dibrasso ya. " ketusnya

"S-si-siap kak,  lupa, " kataku gemetaran

"Siapa nama kamu, " tanyanya

"Rizky kak. "

Dia pun mencatat namaku di buku pelanggaran mahasiswa.

Kampreto.

Lalu anak-anak menwa berkumpul di depan dan salah satu dari mereka melaporkan kepada Bang Angga dan Bang Sat sebagai yang tertua di antara mereka.

Kemdian Bang Angga menyuruh kami untuk melepas almamater dan duduk di lapangan apel. Astaga, panasnya matahari semakin membuat kepalaku pening.

"Kalian tahu aturan di kampus ini? ' tanyanya sambil melipat tangan di kedua dada

"Siap tahu! "

"Kenapa nggak dilaksanakan! "

Krik... Krik... Krikk...

"Ayo jawab!  Katanya tahu! "

"Lupa kak! " teriak salah satu anak

"Lupa kok terus! " seru Bang Angga, "sekarang yang sabuknya tadi tidak di brasso jilat itu sabuk sampe kinclong! "

Huaaaa dijilat?  Rasanya kan pait pait gimana gitu. Gila ya itu orang

"Yang sepatunya tidak di semir,  gigit ujung sepatunya sampai saya bilang stop! "

Ini kampus apa militer sih?  Batinku

"Kak yang rambutnya panjang gimana kak?  Itu ada yang gondrong rambutnya, " kata kak Deni sambil menunjuk cowok bertubuh tinggi gemuk di barisan terdepan.

"Di petal aja, dek, " kata Bang Sat enteng

Aku menelan ludah ketika semua anak satu-persatu menerima hukuman termasuk aku. Kalau yang atributnya lengkap sih enak,  dia langsung kembali ke kelas. Tapi aku rasa hampir teman satu angkatan kena hukuman semua.

Aku menjilat sabukku sendiri, rasanya pahit karena bahan sabuk dari Kuningan. Sial!. Sampai kapan nasib junior seperti diriku akan berakhir? 

"Kalian itu masih junior udah elek-elekan! " teriak Bang Angga dengan kesal, "gini ini ya yang mau jadi tingkat dua! "

"Siap tidak! "

"Eh,  gigit terus itu sepatumu, " kata Bang Angga memergoki anak yang tidak menggigit sepatunya.

"Pps nya ditambah lagi ya! "

"Siap tidak! "

"Apaan!  Kalian itu masih junior udah ada yang tidak mematuhi hirarki, terlambat apel,  tidak lengkap atributnya, mau jadi apa kalian hah! '

"Jahat banget sih tuh orang, kan kita masih mahasiswa bukan anak tentara, " dengus Rima di sebelahku

"Stop! " seru Bang Sat, "push up sepuluh kali! "

Huaaa... Habis jilat sabuk dan gigit sepatu kami pun di suruh push up seperti biasanya.

Di bawah terik matahari yang menunjukkan pukul 9 pagi. Kami beramai-ramai melakukan hukuman rutin kami sebagai junior. Sungguh derita junior takkan berakhir sebelum kami benar-benar naik ke tingkat dua (semester tiga).  Disaat kampus lain asyik dengan baju bebas mereka,  asyik dengan style mereka. Disini kami diperintah untuk berpakaian rapi mulai dari rambut sampai kaki. Tidak ada kuku panjang,  kuku ber cat,  rambut gondrong bagi cowok,  tidak ada rambut bercat bagi cewek.

Ribetnya kampusku....

Tbc....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro