Caping Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memandangi diriku melalui cermin kelas yang berukuran 2 x 1 meter. Seragam perawat berwarna putih kinclong dimana seragam ini adalah seragam yang akan membawa kami ke lahan praktek semester depan. Hari ini kampus mengadakan acara caping day yaitu upacara yang diadakan oleh semua mahasiswa perawat yang baru masuk sebelum mereka terjun ke rumah sakit untuk praktik. Kata dosenku,  tidak afdol seorang mahasiswa perawat tidak mengikuti acara caping day yang sakral karena nanti ada dorama Florence Nightingale, salah satu tokoh keperawatan dunia yang terkenal dengan lenteranya pada saat perang krim tahun 1854.

Ku lihat anak-anak di kelasku mulai melakukan aksi alay.  Ada yang foto-foto dengan stetoskop baru mereka yang dibeli melalui kakak kelas sambil berpose ala sampul buku kesehatan,  ada yang sedang membuat boomerang di instagram dengan memonyongkan mulut mereka,  ada yang masih sibuk ber-make up hingga terlihat seperti tante muda,  hingga membuat live streaming di instagram.

Kalau aku?  Memang sih aku juga berfoto,  apalagi kala itu masih musimnya aplikasi camera 360 dimana keajaiban datang melalui sebuah aplikasi. Waktu itu wajahku tidak bisa dibilang cantik seperti sekarang (pede mode on :v)  jerawat masih Setia menghiasi pasca pps dengan kulit yang begitu kusam. Nah waktu itu sekali jepret dengan aplikasi camera 360 wajahku jadi cantik seketika :v

"Eh ayo,  udah mulai upacaranya! " seru Fani di ujung pintu.

Lalu kami pun segera menuju ke ruang upacara yang terletak di lobi. Lobi?  Kau pasti berpikir kenapa tidak di aula?. Jawabannya bervariasi, waktu itu aula digunakan untuk acara lain aku lupa. Lagipula upacara ini begitu mendadak setelah satu bulan acara malam keakraban bersama kakak kelas.

Menyedihkan?  Tentu, kami sempat kecewa karena kami sudah dandan cantik ternyata prosesinya di lobi kampus dengan cuaca yang cukup panas. Tapi mau gimana lagi, ketetapan kampus juga begitu adanya.

Lalu aku pun duduk disamping Ira dan Putri. Kemudian acara pun dimulai dengan pembukaan, sambutan, menyanyikan mars kampus dan mars PPNI (organisasi keperawatan nasional) kemudian dilanjut dengan dorama Florence Nightingale.

"Eh,  katanya kalo nggak merinding berarti empati kamu belum ke buka, " bisik Ira di telingaku

"Heh?  Apa hubungannya merinding sama empati? " tanyaku

"Kata dosen kemarin sih gitu,  kamu sih ketiduran, " dengus Ira membuatku hanya bisa menggaruk kepalaku.

Aku sempat membaca kisahnya Florence Nightingale yang memang sangat Bagus dan menginspirasi. Apalagi beliau adalah pelopor dunia keperawatan dimana saat itu perawat dipandang sebagai pekerjaan hina terutama di negara Inggris. Florence terkenal dengan lenteranya karena beliau selalu membawa lampu lenteranya untuk mengecek kembali kondisi prajurit yang terluka akibat perang Krim. Oleh karena itu lambang keperawatan pun menggunakan lambang lentera sebagai simbol penghormatan Beliau.

Kemudian dorama pun dimulai dengan adegan perang Krim terdiri dari beberapa mahasiswa tingkat atas. Kemudian mereka pun berjatuhan seolah terluka parah. Kemudian seorang kakak kelas berbalut baju putih datang membawa lentera. Dia sangat cantik bahkan kami semua terhipnotis dengan kecantikan dan aktingnya sebagai Florence Nightingale yang membuat bulu kuduk merinding.

Dia pun memperagakan adegan dimana Florence Nightingale merawat para prajurit dengan sabar diiringi si pembaca naskah menyairkan sebuah puisi untuk perawat yang semakin membuatku terhanyut.

"Sudah siapkah kau mengabdikan dirimu kepada Tuhan untuk kemanusiaan? " kata kakak kelas itu sambil mengangkat lenteranya hingga menyinari wajah cantiknya.

Aku menelan ludah,  jujur kala itu aku benar-benar dibuat merinding oleh adegan tadi. Memang menurutku menjadi perawat atau tenaga medis lainnya itu tak mudah seperti kau menghapal buku satu bab atau seperti kau sedang membedah tubuh katak di masa SMA. Tidak seperti itu, tenaga medis apapun itu namanya membutuhkan jiwa dan mental kuat serta fisik yang tangguh menghadapi kondisi apapun.

Setelah dorama selesai, kami pun satu persatu dipasang kap diatas kepala kami (bagi yang tidak berjilbab) dan pemasangan name tag (bagi yang berjilbab).  Beberapa dosen memberi selamat terutama pada anak D3 yang minggu depan akan menjalani praktik klinik di rumah sakit. Sedangkan anak S1 di kampusku baru semester dua menjalani praktek di rumah sakit.

####

Aku akan menceritakan sedikit pengalaman praktek pertama kali di semester dua. Masih tertanam jelas di jiwa dan ragaku pertama kali ke rumah sakit dengan berbekal ilmu yang masih sangat sedikit.  Aku tidak tahu sistem kampusku ini seperti apa kok anak semester dua S1 udah di suruh praktek. Sedangkan anak kampus lain setidaknya semester tiga bahkan saat setelah S1 mereka baru bisa praktek.

Saat itu praktek KMB (klinik medikal bedah).  Kelompokku terdiri dari 5R seperti formasi power rangers :v. Bukan,  kelompok kami berdasarkan abjad. Otomatis Aku,  Rizky Aditya, Rizky Veronica, Rima wahyuningrum,  dan Rima Cahyanti. Karena nama kami hampir sama,  maka kami pun sepakat memanggil nama kedua kami.

Kami pun ditempatkan di ruang Bedah 1 dimana berisi 20 bed. Ruang ini digunakan untuk pasien pre dan post operasi serta pasien pre dan post kemoterapi. Di sebelah ruangan ini berbatasan langsung dengan ruang Jiwa yang hanya dibatasi oleh pagar tinggi. Setiap kali aku lewat, orang dengan gangguan jiwa selalu melambaikan tangannya menyapa kami dengan suara genit atau kadang menyanyikan lagu daerah sambil senam aerobik.

Hari ini aku,  Vero,  dan Aditya kebagian jaga pagi mulai pukul 7 sampai 2 siang. Kami didampingi oleh Mbak Meta sebagai perawat pendamping dan Mbak Novi sebagai pembimbing selama kami praktek. Bedanya, Mbak Novi ini sudah S1 Keperawatan, tugas beliau itu menguji kami dalam mengelola satu kasus individu dan satu kasus kelompok. Mbak Novi juga sering memberi kami pertanyaan seputar kasus kelolaan kami. Sedangkan Mbak Meta beliau mengajarkan kami skill keperawatan di rumah sakit.

"Ada yang mau nyoba injeksi bapak Tono? " tanya Mbak Meta saat kami mengikuti jadwal pemberian injeksi pukul 8.

"Saya mbak, " kataku lalu menerima spuitt 5 cc dan sebuah obat injeksi. Kubaca obatnya adalah ranitidin.

"Jadi,  kalau mau injeksi ke pasien sebaiknya kita mengambil obat dari ampul ke spuitt itu di depan pasien biar pasien tahu bahwa dia diinjeksi obat ini, " kata Mbak Meta menjelaskan, "jangan lupa di swab dulu di Y connectornya atau di karet yang warnanya kuning kayak infusnya Pak Bambang, trus roller clamp kamu matiin atau selang infusnya kamu tekuk baru deh masukkin obatnya. "

Aku mengangguk paham dengan penjelasan Mbak Meta. Lalu aku pun menghampiri Pak Tono.

"Selamat pagi bapak, " sapaku.

"Pagi mbak, " kata Pak Tono

"Pak, saya mau masukkin obat ranitidin ini untuk mencegah mual/ muntah ya pak, " kataku diikuti anggukan Pak Tono.

Kemudian aku pun mengikuti intruksi Mbak Meta dengan diawasi beliau. Setelah selesai, temanku yang lain pun diberi kesempatan untuk menginjeksi ke pasien lain.

"Kamu dapet kasus kelolaan apa dek? " tanya Mbak Meta

"Saya dapet pasien bu Aminah, Mbak,  " kataku, "ibunya sakit tumor payudara,  mbak. "

"Iya,  itu ibunya masih perbaikan KU (keadaan umum),  hb nya dari kemarin belum naik padahal udah masuk 3 bag darah, " jelas Mbak Meta, "sudah dikaji pasiennya? "

Aku menggeleng, "malu mbak, saya bingung mau tanya apa. "

Ya jujur saja, pertama kali berhadapan dengan pasien tentunya memerlukan waktu untuk beradaptasi. Sampai hari ketiga praktek, aku belum juga melakukan anamnesis (wawancara) ke pasien dan melakukan pemeriksaan fisik.

Sampai pada akhirnya,  aku dipaksa Mbak Meta untuk mengkaji pasiennya. Suka tidak suka,  malu tidak malu, aku harus mengkaji pasiennya.

Dengan berbekal buku Laporan Pendahuluan yang kubuat tentang tumor payudara. Aku pun menghampiri bu Aminah yang ruangannya berada tepat di samping kiri nurse station.

"Selamat siang, bu, " kataku dengan ragu-ragu.

Bu Aminah yang sedang ditunggui oleh seorang wanita paruh baya menoleh sambil tersenyum.

"Saya Rizky, mahasiswa perawat yang bertugas siang ini bu, " kataku memperkenalkan diri, "boleh saya minta waktunya sebentar untuk tanya-tanya? "

"Boleh mbak, " kata Bu Aminah

"Keluhannya sekarang apa ya bu? "

"Nyeri mbak di dada kiri saya, " kata Bu Aminah, "udah sebulan lalu sih,  kata dokter Edi ada tumor dan rencananya saya mau dioperasi. "

Aku mengangguk sambil mencatat keterangan dari Bu Aminah.

"Sebelumnya ada riwayat keluarga yang menderita kanker atau tumor? "

"Tidak ada, mbak. "

"Ibunya sekarang usia berapa? "

"35 tahun. "

"Punya anak berapa bu? "

"Satu mbak,  masih tujuh tahun."

Aku pun mengangguk lalu Bu Aminag bercerita bahwa sebelumnya dia tidak merasakan apa-apa kecuali ada benjolan kecil dan sakit. Bu Aminah tidak begitu tahu tentang tumor sehingga benjolan itu beliau anggap benjolan biasa karena kecapekan. Namun lama-lama benjolan itu tumbuh semakin besar dan akhirnya Bu Aminah pergi ke puskesmas lalu dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan rontgen.

Bu Aminah awalnya sedih karena ia sungguh tidak menyangka akan menderita penyakit tumor ini. Namun,  ia tetap bersabar bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya.

Aku terharu ketika melakukan wawancara dengan Bu Aminah tentang pengalamannya selama di rawat di rumah sakit. Lalu aku pun melakukan pemeriksaan fisik sesuai format pengkajian yang ku miliki.

Dua hari mengelola kasus yang dialami Bu Aminah ada kejadian yang tidak pernah ku lupakan. Waktu itu aku jaga sendirian sebagai mahasiswa. Hari kamis kalau nggak salah,  saat itu aku sedang melakukan observasi tanda-tanda vital pukul 7 malam. Saat di bed Bu Aminah,  kudapatkan hasil bahwa suhu tubuh Bu Aminah sangat tinggi mencapai 41 derajat. Segera aku melapor pada perawat yang bertugas saat itu.

"Kasih infus paracetamol ya dek,  grojok ya, " perintah Mas Alfin, "aku mau laporan ke dokter dulu soalnya dari tadi siang emang suhunya tinggi terus.  "

Aku mengangguk lalu mengambil botol infus paracetamol dan melangkah cepat ke kamar Bu Aminah. Pikiranku tak karuan,  sungguh aku takut ada apa-apa karena rencananya besok beliau akan dioperasi. Padahal dua hari lalu kondisi beliau sudah membaik berdasarkan hasil laboratorium terakhir.

"Bu,  saya masukkan obat turun panasnya ya, " kataku pada ibunya Bu Aminah yang sudah menangis sambil memberi kompres ke dahi Bu Aminah, "saya bantu kompres juga ya bu. "

Setelah memasang botol infus paracetamol dengan kecepatan penuh. Aku membantu memberi kompres dingin di lipatan ketiak, paha,  dan leher. Bu Aminah tidak sadarkan diri dengan tubuhnya yang menggigil hebat.

"Bu, Bu Aminah, " panggilku sambil menepuk lengannya supaya dia bangun.

Tidak ada respon

"Dek,  tensi lagi ya!  " seru Mas Alfin, "observasi tiap 30 menit! "

Aku mengangguk lalu ku ambil tensi dengan tangan gemetaran. Sungguh waktu itu aku tidak bisa berpikir bagaimana menghadapi situasi seperti ini apalagi ilmu yang ku miliki masih sedikit.

Tekanan darah Bu Aminah masih normal, tapi napas dan suhunya juga masih tinggi walau sudah diberi grojokan infus paracetamol. Mas Alfin pun mengambil sampel darah untuk dilakukan pengecekan darah lengkap dan BGA (blood gas analysis) yang diambil di arteri femoralis (arteri di pangkal paha)  .

"Tolong anterin ya ke lab," kata Mas Alfin, "bilang Cito! "

Aku mengangguk lalu melangkah cepat ke laboratorium. Pikiranku berkecamuk, apakah Bu Aminah akan baik-baik saja?  Atau tumor yang di dalam payudara Bu Aminah yang membuatnya panas tinggi?

Saat itu setelah aku mengambil hasil laboratorium, namun aku belum bisa menginterpretasikan hasil lab. Tapi kata mas Alfin,  leukosit Bu Aminah melebihi diatas normal yang bisa menjadi faktor tingginya suhu tubuh Bu Aminah.

"Udah sepsis ini kayaknya, " kata Mas Alfin.

Sepsis adalah suatu keadaan yang dapat mengancam jiwa dimana tubuh mengalami peradangan akibat infeksi dalam tubuh.

"Kalo sepsis kenapa mas? " tanyaku polos

"Kalo pasien udah sepsis berarti dia dalam kondisi kritis dek, " jelas Mas Alfin, "aku udah laporan tadi sama dokter DPJP-nya, obat-obatannya juga udah aku masukin semua. Tinggal observasi tiap 15 menit aja. "

Aku mengangguk namun dalam otakku banyak pertanyaan yang ingin kuajukan. Apakah sepsis seperti yang dikatakan Mas Alfin bisa sembuh? Sebenarnya apa yang menyebabkan sepsis itu sendiri?  Bu Aminah tidak memiliki luka terbuka yang bisa menyebabkan infeksi, apakah tumor yang belum dioperasi juga menyebabkan infeksi? 

Aku tidak tahu.

Esoknya saat jaga pagi, aku terkejut ketika mendapati bed bu Aminah sudah kosong. Jantungku berdegup kencang mengenai spekulasi keadaan Bu Aminah.

"Mbak, " panggilku pada perawat yang jaga malam yang belum melakukan timbang terima ke dinas pagi, "kamar 2B kok kosong? "

"Bu Aminah? "

Aku mengangguk

"Ibunya meninggal tadi malam dek, " katanya

Jdeeer!!!! 

Kaki ku lemas ketika mendengar berita itu. Bu Aminah pasien kelolaan pertamaku di semester dua meninggal akibat komplikasi dari tumornya itu yang menyebabkan Bu Aminah meninggal. Padahal rencananya pagi ini jika kondisinya sangat stabil, beliau akan dioperasi pengangkatan tumor.

Aku memandangi bed 2B yang sudah ditata rapi dengan sprei baru dan selimut baru. Aku menahan genangan air mataku jika mengingat wajah Bu Aminah yang hangat ketika kuajak bicara.

Semoga dia diterima di sisi Allah, semoga kau tidak merasakan sakit disana Bu Aminah.

Tbc...

Dpjp : dokter penanggung jawab pasien


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro