Tik Ku tak mau disuntik!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semester dua pelajarannya semakin berat seperti berat badanku pada awal-awal kuliah. Istilah dalam bahasa Jawa ginuk-ginuk atau gendut menggemaskan walau mukamu tidak menggemaskan seperti kucing anggora.

Di semester dua ini kegiatan serta tugas juga membuat kami sering menjadi penghuni malam kampus yang membuat kami lebih mirip setan 4D jadi-jadian. Tapi bagiku itu sebuah anugrah, karena apa?  Wifi kampus akan sangat lancar jika di atas jam enam magrib jadi ini cocok bagiku sebagai koloni anime.

Jam sudah menunjukkan pukul enam maghrib,  aku dan beberapa anak sedang sibuk membuat makalah untuk presentasi besok pagi. Kami duduk lesehan di depan kelas tepatnya di depan meja dosen sambil membuka warnet dadakan. Bagaimana tidak,  ada sekitar sepuluh laptop dari berbagai merk yang ditata berjejer berserta terminal kabel dan beberapa bungkus snack dan botol minuman serta musik yang mengalun dari salah satu ponsel kami.  Tak sungkan-sungkan kami pun menyanyi meski suara kami sangat tak enak di dengar.

Lalu Christina mencolek bahuku kananku membuatku menoleh ke arahnya.

"Anterin pipis, " katanya

"Iya deh sekalian aku ke musholla juga, " kataku, "eh kalian nggak ke musholla? " tanyaku pada anak-anak yang sibuk mengerjakan makalah.

"Gantian aja, Riz, " kata Ghaffaar tanpa memandangku.

Aku mengangguk lalu melangkah keluar kelas bersama Christina.

Suasana kampus di atas jam 5 sore sedikit seram. Ralat,  lumayan seram bagi diriku yang penakut. Kecuali jika abang Edward Cullen datang dari atap kampus untuk menancapkan taringnya ke leherku, aku akan rela.

Kami melewati ruang anatomi dan ruang lab skill mini hospital yang begitu gelap ditambah suara gemerisik dedaunan yang bergesekan serta suasana kampus begitu sunyi. Lalu kami berbelok ke kiri dimana lorong besar berisi lima kamar mandi besar dan delapan WC.

Aku menelan ludah ketika Christina masuk ke kamar mandi pertama yang berukuran paling besar diantara lain. Suasana lorong ini begitu mencekam dengan satu buah lampu yang nyala sedikit redup.

Aku mendengar suara jantungku sendiri lalu merogoh ponselku untuk mengusir rasa aneh yang mulai menyelimuti diriku.

"Mbak? " suara Christina terdengar dari dalam kamar mandi

"Hmm. "

"Kamu tidak pipis? " tanya Christina, "jangan deh,  pipis di tempat lain aja, "katanya sebelum aku membuka suara.

Terdengar suara air tanda christina sudah selesai dengan acara pipisnya. Lalu tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka.

"Ayo ke kelas,  ada yang liatin kita di dalam, " kata Christina sambil melangkah cepat membuatku bergidik ngeri dan mempercepat langkahku.

"Ada apa emangnya? "

"Ada cowok tinggi besar disana, " kata Christina, "kamu nggak ngerasa aneh gitu? "

Aku menggaruk tengkukku, "ngg... Nganu... "

"Udah jangan diterusin,  dia ngliatin kita, " kata Christina lalu berlari kecil menuju kelas membuatku reflek menoleh ke belakang.

"Kampreto! " umpatku sambil berlari menyusul Christin.

Itu lah nggak enaknya punya teman yang memiliki 'kelebihan'.  Ada aja yang dilihatnya, belum lagi kalau di kelas dia tiba-tiba sering heboh sendiri akibat dicolek atau diliatin hantu. Tapi yanh jadi korban selalu aku,  dia suka membisiki apa yang diliatnya saat itu.

Serem kan?

####

Esoknya di kelas setelah apel pagi,  aku ingin memejamkan kedua mataku sejenak dengan modal beralaskan jaket sebagai bantal. Kemarin kami pulang pukul 8.30 malam setelah menyelesaikan makalah kami.

"Woi woi,  dosen,  woi! " seru salah satu anak membuat kedua mataku yang tadinya sudah menutup dengan indah kembali terjaga.

"Langsung ke lab skill aja dek, " kata Bu Puji yang berdiri di depan pintu lalu beliau melangkah menuju ruang praktek.

Hari ini kami akan melakukan SOP (standar operasional prosedur)  tentang cara menyuntik secara iv (intravena/masuk ke pembuluh darah) dan ic (intrakutan/masuk ke dalam jaringan dermis atau epidermis kulit) ke boneka praktek yang mirip manusia. Setelah itu kami akan praktek menyuntik ke teman kami sendiri secara berpasangan.

Aku menelan ludah, jujur terakhir aku disuntik itu kelas lima SD saat mendapat imunisasi di lengan kiri. Itu pun aku menangis keras bahkan sebelumnya aku bersembunyi agar tidak mendapat imunisasi karena takut jarum suntik. Lah sekarang, praktek suntik dengan teman sendiri yang masih abal-abal kan jadi takut.

Kami pun memasuki ruang lab skill dengan mengenakan skort dan berdiri melingkari salah satu bed yang sudah tersedia satu boneka praktek. Alat dan bahan untuk penyuntikan juga sudah disiapkan oleh PJMK mahasiswa (penanggungjawab matkul). Bu Puji berdiri di samping boneka sambil membuka mata kuliah pagi ini.

Aku mendengar dengan seksama SOP penyuntikan obat-obatan secara intravena dengan benar sambil mencatat di buku catatanku. Setelah tidak ada pertanyaan, Bu Puji pun melanjutkan penjelasannya tentang penyuntikan obat secara intrakutan (ic).

Jadi,  ic ini biasanya untuk skrining alergi seperti antibiotik,  untuk tes tuberkulin sebagai penegakan diagnosa tbc pada pasien,  atau pemberian imunisasi seperti imunisasi BCG pada bayi baru lahir.

"Jadi,  untuk intrakutan ini sudut penyuntikannya sekitar 15 derajat ya, nak, " jelas Bu Puji dengan suara khas medok orang Jawa dan sedikit nyaring ,"dan.. Dosis yang biasanya diberikan untuk tes alergi biasanya 0,01 sampai 0,1 ml jadi kalian pakai spuitt yang satu ml. Paham? "

"Siap paham, " jawab kami kompak.

Lalu Bu Puji mempraktekkan cara menyuntik ic sambil menjelaskan bahwa ic ini harus ada undulasi atau gelembung kecil untuk menadakan bahwa obat benar-benar sudah masuk ke area dermis atau epidermis kulit.

"Nanti kalau kalian berhadapan dengan pasien,  jangan lupa untuk menjelaskan bahwa ini akan sedikit sakit. Komunikasi terapeutik kalian harus tetap berjalan ya. "

"Siap bu. "

"Nah,  setelah undulasinya muncul kalian beri tanda lingkaran dengan spidol atau bolpoin lalu tulis disana kalian tes obat apa. Misal ceftriaxon lalu tulis tanggal. Beritahu pasiennya jika dalam waktu sekitar 5-10 menit timbul kemerahan atau gatal berarti pasien tersebut alergi. "

Kami semua mengangguk paham dengan penjelasan Bu Puji.

"Undulasi ini akan hilang dengan sendirinya karena obat bisa diserap melalui kapiler, " jelas Bu puji sambil menutup jarum suntik, "besok ujian ya,  sekarang berpasangan dua orang terus praktek nanti saya evaluasi. "

Reflek lenganku ditarik oleh Siti, teman kelasku. Sebelum yang lainnya berebutan mencari pasangan untuk disuntik. Aku tersenyum namun dalam hatiku aku sungguh takut, apalagi jarum suntik yang satu ml itu begitu kecil dan pasti akan sakit.

"Aku takut disuntik,  kamu aja yang aku buat percobaan, " kataku.

"Nggak mau,  kita harus jiwa korsa. Sama-sama senang,  sama-sama sakit. " kata Siti sambil mengacungkan kepalan tangan kanannya seperti akan berperang.

Aku mendengus pasrah menuruti kata Siti lalu aku pun naik ke salah satu bed kosong. Semua anak tiba-tiba melingkari kami membuatku semakin canggung. Siti pun mempraktekkan suntikan secara ic mulai dari penyiapan alat dan bahan.

Ohya, selama kami praktek suntik menyuntik kami tidak menggunakan obat sama sekali. Jadi untuk latihan menyuntik ini kami menggunakan aquadest sebagai bahan pengganti obat. Jadi aman, deh! 

Balik lagi, aku memandangi Siti yang kini sedang memperagakan komunikasi terapeutik kepada pasien. Aku hanya bisa menjawab 'iya dan boleh' dengan nada ragu. Kemudian Siti mencuci tangan dan mengenakan handscoon lalu dia menaruh perlak kecil di bawah lengan kananku.

"Mama.... " lirihku sambil menutup mataku dengan tangan kiriku

Beberapa anak-anak tertawa mendengarku, aku tidak peduli. Toh disuntik itu emang sakit bahkan sakitnya hampir menyamakan sakitnya ditinggal gebetan nikah :v eakkk...

"Saya suntik ya, Bu, " kata Siti kepadaku

Aku hanya mengangguk lalu...

"Huaaa... Mamaaaaa!!!!! " teriakku membuat anak-anak tertawa keras

"Hei hei,  ada apa sih kok heboh! " seru Bu Puji yang tak ku sadari beliau berdiri di samping kiriku, "kamu diem aja,  disuntik gitu aja udah teriak. "

"Maaf, Riz," kata Siti dengan nada bersalah, "undulasinya nggak keluar nih. "

Mati aku! 

"Bu boleh diulang lagi nggak? " tanya Siti kepada Bu Puji.

"Iya nggak apa-apa, besok harus ada undulasi,  kalau kamu nyuntiknya nggak ada undulasi kamu nggak lulus ujian. "

Mati aku!  Disuntik lagi! 

Aku menelan ludah ketika Siti mengatakan padaku bahwa dia mengulangi prosedur menyuntiknya lagi. Aku sudah menangis bahkan rasa nyeri di lengan tempat disuntik tadi masih sangat terasa.

Kau bisa membayangkan sakitnya disuntik secara intrakutan itu seperti kulitmu disayat begitu pelan dengan silet.  Tak berdarah tapi nyerinya bisa sampai ubun-ubun. Jangan mengejekku sebagai anak alay,  tanya saja pada temanmu atau saudaramu yang menjadi mahasiswa keperawatan.

Aku kembali berteriak membuat Bu Puji memarahiku karena berisik. Suntikan yang kedua ini berhasil membuatku dan Siti lega.

"Oke sekarang kamu yang ku suntik! " kataku dengan semangat sambil mengelap air mataku.

####

Esoknya pukul 9 pagi dengan mengenakan skort kami semua berkumpul di gazebo yang letaknya tepat di depan lab skill untuk antri dalam ujian SOP injeksi intravena dan intrakutan. Aku dan Siti masih menjadi pasangan ujian hidup dan mati karena rasa nyeri saat injeksi intrakutan masih terbayang di benak kami.

Benar saja,  kemarin saat aku melalukan praktek injeksi intrakutan kepada Siti. Aku tidak menghasilkan undulasi seperti Bu Puji bahkan hampir tiga kali. Temanku itu sudah menangis bombay walau dia tidak berteriak alay sepertiku sampai injeksi yang keempat aku baru bisa menghasilkan undulasi.

"Nanti jangan kayak kemaren ya, " kataku, "sumpah aku nggak bisa digituin. "

Siti tertawa, "aku juga,  malah kamu yang injeksi aku sampe empat kali. '

Aku menggaruk tengkukku merasa bersalah sambil nyengir.

Tak berapa lama akhirnya namaku dipanggil. Ohya sistem ujian praktek di kampus tergantung dosennya. Kadang ada dosen yang menginginkan siapa yang siap ujian dia yang maju duluan. Ada dosen yang menginginkan ujian sesuai nomor absen.

Bu Puji menerapkan ujian siapa yang siap dia maju duluan. Aku mendaftar di lembar absen ujian nomor 12 melalui Erika si PJMK praktek satu jam sebelum ujian dimulai.

Aku dan Siti pun masuk bersama empat pasangan ujian lain. Kami berpencar menempati bed kosong yang sudah disiapkan.

"Ayo mulai,  siapa dulu yang praktek, " kata Bu Puji.

Aku dan Siti berpandangan.

"Suit aja deh daripada ribet, " kataku lalu memulai suit dengan Siti.

Sial! 

Aku kalah ketika jari kelingkingku bertemu dengan jari telunjuk Siti. Paham nggak? Jadi jari kelingking ibarat semut dan jari telunjuk ibarat manusia. Semut lawan manusia menang manusia. Semoga kalian paham.

Aku pun merebahkan diriku di atas bed sambil berkomat-kamit merapalkan doa kepada Tuhan semoga ujian ini Siti langsung berhasil menciptakan undulasi di lenganku.

Sayup-sayup beberapa anak di bed lain merintih kesakitan bahkan sampai bilang Allahuakbar sebagai pengalihan nyeri mereka saat jarum kecil itu menusuk kulit mereka.

Aku menelan ludah lalu memandangi Siti yang mulai melalukan prosedur injeksi dengan benar. Aku tidak bisa berpikir bahkan rasanya ingin kabur dari tempat ini sekarang juga. Ah kenapa kami harus mendapat praktek seperti ini?

"Huaaaaaaa!!! " teriakku spontan ketika Siti berhasil menusukkan jarum di kulit lengan bawah sebelah kiri.

Air mataku jatuh namun tidak dengan Siti. Dia tersenyum puas karena telah menciptakan undulasi yang begitu sempurna. 0,1 ml aquadest masuk semua ke dalam lapisan kulitku.

"Bagus, " kata Bu Puji, "gantian sekarang. '

Ya begitulah ujian praktek suntik menyuntik yang identik dengan teriakan dan rintihan mahasiswa yang takut suntik seperti diriku. Belum lagi omelan Bu Puji yang khas dengan suara melengking badai jika mahasiswanya tidak berhasil menciptakan undulasi sambil menggebrak meja.

"Walah nak.. Nak... Ngunu ae ra iso piye to?  Wingi lak wes diajari to yo.... "

(Walah nak.. Nak.. Gitu aja nggak bisa gimana sih?  Kemarin kan sudah diajari kan? )

Jadi, jika sudah mendapat omelan seperti itu dipastikan otakmu akan berhenti bekerja selama beberapa menit karena kaget mendengar lengkingan suara Bu Puji. Jadi jangan sampai jika ujian praktek dengan Bu Puji ada yang salah.

Tbc....





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro