12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dibukanya lebar kedua tangan, dipejamkan mata dan ditahannya napas. Merasakan setiap embusan angin yang menerpa rambut hitam kecokelatannya, menyebabkan rambut yang digerai itu bergerak mengikuti arah angin. Bibir merah mudanya tersenyum simpul, rasanya tenang dan nyaman sekali. Seolah semua bebannya sedang dibersihkan, diangkat dan dibawa pergi jauh oleh angin darinya.

Golden week datang, Ify yang memang tak memiliki rumah di Tokyo memutuskan untuk tetap tinggal di asrama bersama dengan Via. Kedua gadis itu terkadang melakukan hal gila semisal meluncur di lorong sekolah, meloncat-loncat di meja dan kursi kelas atau berteriak di atap sekolah sambil memaki nama para murid yang kadang membuat mereka kesal. Dan disinilah Ify sekarang, di tepi danau tempat dulu dia pernah melempar earphone milik Ryo karena kesal.

"Tidak terpikir untuk meloncat dan berenang sambil mencari earphoneku?"

Alis Ify naik, dia kenal betul suara itu. Si empunya sekolah yang selalu membuatnya bingung dan naik darah begitu cepat, "Tidak pernah terpikirkan olehku," ketus Ify. "Jangan menggangguku!"

Ryo tersenyum kecil, "Aku ke sini untuk menemui temanku, kecewa sekali rasanya saat yang kudapat justru sebuah usiran."

Mengernyit, Ify memandang Ryo penuh selidik. Benarkah itu? Atau hanya sebuah tipuan lagi?

"Lupakan saja! Aku kesal padamu!" Ify beranjak dari kegiatannya menikmati pembukaan musim semi perdananya di sini. Meninggalkan Ryo yang menatap punggungnya dengan tatapan yang tak terbaca, sekali pun dengan sebuah kamus bahasa tubuh.

***

"Kau tak pergi keluar?" tanya Via melihat teman sekamarnya itu hanya terpaku menatap kuncup pohon plum di luar jendela mulai mengeluarkan bunga cantik berwarna merah muda. Ya, musim semi telah benar-benar datang.

"Aku takkan keluar jika makhluk itu masih berkeliaran di sini," sahut Ify malas. Ditumpu kepalanya di atas kedua kaki yang ditekuk. Jemari tangannya hanya membuat sebuah tulisan di kaca jendela, entah apa itu.

"Maksudmu Ryo?" tanya Via geli, sepertinya Ify tengah memikirkan pria angkuh itu. "Kau sendiri yang berkata ingin berteman dengannya, sekarang kenapa kau jadi sepertiku? Antipati pada pria itu," lanjut Via penasaran. Didekatinya gadis yang rambutnya berantakan, bangun tidur dia langsung ambil posisi duduknya seperti sekarang, kegiatan liburan, itu katanya.

"Dia..." Ify terhenti, baru saja mau menjawab bahwa pria itu membuatnya bingung. Mengingat kembali saat Ryo mengelus puncak kepala seorang gadis, tak terasa ada sedikit sesak di hatinya. Hei apa-apaan ini?

Mendapati temannya kembali terdiam dan menerawang jauh membuat Via terkikik, "Kau seperti orang yang sedang jatuh cinta, Ify."

Matanya terbuka lebar, "Apa maksudmu!?" pekik Ify tak terima. "Aku takkan jatuh hati apalagi jatuh cinta pada pria sombong itu, dia bukan tipeku!" ketusnya.

"Hati-hati dengan ucapanmu! Aku pikir selama ini kau benar, Ryo takkan bersikap seperti itu jika tidak ada sesuatu yang terjadi dalam keluarganya. Kusimpulkan itu belum lama ini, kakaknya pun sama seperti dia, bersifat ganda," celoteh Via. Melihat temannya meluruskan kaki dan mengambil posisi untuk menyimak, dia semakin yakin. "Lihat kau sekarang, kau begitu ingin tahu mengenai keluarga Ryo, kau harus pikirkan ini baik-baik, Ify, mungkin kau sudah mulai memiliki sedikit rasa untuknya. Sesuatu yang dimulai dengan sebuah penasaran akan mengapa sikapnya bisa seperti itu."

Ify menelan ludah, kerongkongannya terasa semakin kering, kini dia mengerti. Mungkinkah rasa kesal itu berawal dari cemburu? Cemburu saat tahu Ryo memiliki teman yang−mencoba−dekat selain dirinya, orang yang mengusik kehidupan pria itu beberapa waktu lalu.

"Kau seperti tak tahu saja, cinta datang karena terbiasa, tak pernah dengar, ya?" Ucapan Daniel kembali terputar di otaknya. Benarkah? Benarkah apa yang di rasakannya sekarang ini? Ify menggeleng kuat-kuat, ini tak boleh terjadi, tekadnya dalam hati. Ini semua diluar rencananya, this is not her plan. Dia ke sini untuk adiknya, bukan untuk seorang Ryo Tennouji!

"Ify, ayo temani aku, bagaimana pun juga ini musim semi pertamamu, aku akan mentraktirmu hari ini daripada kau terus memusingkan masalah hati."

Via terlihat tengah memadu padankan pakaiannya di depan cermin, dia mengerling nakal ke arah Ify yang menatapnya dengan bodoh. "Ayolah, jangan mengelak lagi, aku tahu betul bagaimana seorang gadis puber tengah dilanda virus merah jambu."

"Astaga, Via..." eluh Ify sambil berdiri. "Aku tidak menyukai Ryo! Sungguh!"

"Itu bukan urusanku, hahaha..."

***

Ueno Park begitu ramai. Area taman yang penuh dengan sakura bermekaran dipadati pengunjung. Menggelar tikar, makan bekal, bercengkrama, berteriak "kampai" kemudian menenggak habis sake masing-masing, bahkan juga berkaraoke. Ify menghela napas, dia merindukan suasana hangat keluarga seperti itu. Dia merindukan sosok Ibu, tak dipungkiri juga sosok Ayah yang hilang dari ingatannya.

"Ify?" Via memanggil Ify yang matanya sudah mulai berkaca-kaca, "kau sakit?"

Ify menggeleng cepat, "Aku hanya rindu Ibuku," jawab Ify yang diakhiri dengan senyum paksa.

"Sebenarnya aku mengajak seseorang untuk menemani kita hari ini, tapi sepertinya dia tak mau datang karena takut akan kita habiskan uangnya, hahaha..."

Melihat Via begitu ceria, membuat Ify membatin. Via tinggal seorang diri di Tokyo dengan seseorang yang disebut kakak, namun orang itu tak pernah menjenguknya di asrama. Sebenarnya, kenapa Via bisa selalu terlihat sesenang ini? Seperti tak ada sejengkal pun masalah yang menggerogoti hatinya.

"Kakakmu?" tanya Ify.

"Sebenarnya bukan, tapi dia sangat baik. Suatu saat kau harus bertemu dengannya," sahut Via, bibirnya tak pernah lepas dari senyuman sebelum... "Ya Tuhan!" Raut wajah Via langsung berubah.

"Ada apa?" tanya Ify penasaran, matanya mengikuti arah pandang Via dan mendapati seorang lelaki berparas... lumayan, tengah memotret pemandangan sekelilingnya. "Siapa dia? Kau mengenalnya?"

"Orang gila itu... untuk apa dia di sini?" omel Via, tangannya langsung menggamit lengan Ify dan menariknya. "Ayo pergi!"

"Hei! Ada apa denganmu? Pria setampan itu kau bilang orang gila? Kurasa kau yang sedang sakit jiwa, Via," protes Ify. "Aku akan tinggal, aku mau tahu siapa dia sebenarnya."

Via membuka mulutnya lebar, tak menyangka Ify melepaskan cengkeramannya dengan mudah dan berjalan santai ke arah photografer berotak miring itu. "Sial! Ify... awas kau nanti!" gerutu Via, dia semakin menggigit bibir bagian bawahnya saat mendapati Alvin tengah tersenyum ke arahnya sembari melambai.

"Hari ini memang sial." Via menarik napas dan melangkah berat, sementara di sana Ify memandangnya dengan cengiran kemenangan. "Akan kubalas kau nanti, Ify!"

***

"Kurasa Alvin menyukai Via, jika tidak mana mungkin orang setampan itu mau mengajak Via kencan."

Mengingat kejadian tadi membuat Ify terkikik, bagaimana tidak? Wajah cemberut Via kontras sekali dengan wajah Alvin yang terlihat begitu senang, ya, tidak salah lagi, Alvin tertarik pada teman sekamarnya.

"Baiklah, sekarang aku harus mencari juniorku. Mana, ya, gadis bermata amber? Apa hanya aku?" gumam Ify sambil menolehkan kepalanya ke berbagai arah, berharap keajaiban menuntunnya pada sang adik.

***

Tangan kekar itu dengan lincah menarikan pensilnya di atas sketchbook. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama musik dari suara karaoke keluarga yang berpiknik tak jauh dari tempatnya duduk sekarang. Bersandar di bawah pohon sakura yang sedang mekar dengan indahnya.

"Aih!?" celetuk Ryo. "Sebenarnya siapa yang sedang kugambar?" Diamatinya sketsa gadis dari samping itu secara seksama, dari sana seolah telah tercipta dua karakter dalam satu wajah yang sama. Bukan hanya itu, namun juga bahasa tubuhnya. Ryo mengacak rambutnya kesal. "Ada apa denganmu Ryo!? Kau seharusnya menggambar Ify untuk permohonan maaf, tapi sekarang kenapa hasilnya justru mirip dengan... Arghh!!"

Putus asa, akhirnya Ryo merobek kasar kertas yang hampir tergambar sempurna sketsa Ify itu. "Kalau dia memang mau berteman denganku, seharusnya dia menerimaku apa adanya!" Dikepalnya kertas itu kuat-kuat dan dilemparnya asal tanpa peduli dengan ancaman denda.

"Aduh!"

Suara seseorang yang kental akan aksen Indonesia membuatnya mengernyit, apa harus warga negara asalnya yang terkena sial akibat kekesalannya? Ryo menoleh dan mendapati wajah itu tengah memandangnya marah. Astaga! Tidak cukup puaskah gadis itu menghantui malamnya dalam setiap mimpi? Kenapa dia harus muncul di hadapannya seperti sekarang ini?

"Kau!" Ify sudah bersiap untuk marah saat mendapati seorang nenek tengah menunjuk dirinya dan Ryo bergantian, sepertinya sedang mengomel. "Apa yang nenek itu lakukan?"

"Dia bilang pada kita untuk jangan berisik, sanak keluarganya sedang tiup lilin," sahut Ryo setelah dia membungkukkan badan pada si nenek.

"Tiup lilin saja di gua kalau mau sunyi," kata Ify sarkastis. "Ini sampahmu, buang saja sendiri. Kau pikir aku tempat sampah berjalan!" seru Ify sambil mengulurkan benda yang sukses memukul keningnya tadi.

"Wajahmu merengut persis seperti tempat sampah," jawab Ryo tak acuh. Meski dalam hati bersyukur bisa bertemu Ify di sini. "Untuk apa kau ke sini? Memungut sampah?" canda Ryo namun bernada ketus.

"Kau bercanda atau serius? Kalau mau punya banyak teman harus bisa membedakan nada suaramu," sahut Ify mengejek.

"Kalau mau berteman harusnya jangan banyak mengatur," sela Ryo, "terima aku apa adanya itu baru teman sejati."

"Menerimamu apa adanya? Kau pikir kau sedang melamarku untuk jadi istri?" tanya Ify dingin meski diakhiri dengan tawa, "teman itu juga harus bisa membawa perubahan positif dalam hidupmu, itu baru teman sejati."

"Jadi... kau mau menjadi temanku?" tanya Ryo sumringah.

Ify menyipitkan mata kanannya, bibirnya membentuk sebuah pola yang begitu menggemaskan. Seperti sedang berpikir keras sampai otaknya nyaris terbakar. "Akan kupikirkan lagi," balas Ify disusul dengan senyum yang tak bisa dibaca.

"Kalau begitu tolong buangkan sampahku, ya, kau boleh membukanya jika kau penasaran." Ryo berjalan lebih dulu dari Ify, meninggalkan gadis itu berdecak dan melayangkan tangannya seolah bersiap untuk melemparkan kertas itu menuju kepala Ryo. Namun ancaman denda menjadi sirine yang begitu besar bunyinya dalam pikiran. Ify pun mengurungkan niatnya.

Disimpannya kertas itu dalam tas karena dia tak melihat tempat sampah di sekitarnya.

"Kalau bukan karena adikku, sudah kupukul kepalanya dengan sepatu," gumam Ify dengan tawa kecilnya.

***

Daniel memandang nanar keluar jendela ruangannya. Tak terasa musim semi telah datang, Akankah kali ini Ashilla kembali nekat seperti musim dingin lalu? Terbang ke Tokyo hanya untuk bertemu dirinya, walau pada akhirnya Ashilla diseret pulang oleh Alvin tanpa persetujuan gadis itu.

Dengan atau tanpa meminta izin, Alvin memang berhak membawa sepupunya itu pulang. Bagaimana pun juga Alvin benar, Ashilla tidak seharusnya menyukai robot tak berperasaan bernama Daniel Tennouji.

Memikirkan kenyataan itu hati Daniel kembali berdenyut. Dia merindukan Ashilla, ya, Daniel merindukan sosok manja dan perhatian yang terdapat satu paket dalam diri sepupu sahabat karibnya. Tapi mau dikata apa lagi? Daniel sudah didoktrin untuk menjadi pemimpin perusahaan. Menjadi kakak untuk seorang Ryo, ditambah lagi dengan tugas barunya. Mengawasi mata-mata cantik yang baru saja dipekerjakannya.

"Aku menyukaimu, Oppa!"

Suara itu kembali terdengar. Daniel menutup telinganya frustasi.

"Apa salah jika aku menyukai pria gila kerja sepertimu!?"

Daniel menggelengkan kepalanya, tubuhnya kembali bergetar mengingat kejadian di bandara waktu itu.

"Aku menyukaimu sejak dulu, sejak kau masih seorang anak laki-laki, remaja laki-laki, sampai kau menjadi seorang pria dewasa. Aku tetap menunggumu! Aku akan selalu mencintaimu!"

PLAK!

Tanda merah di pipi kiri Ashilla begitu menyakiti hati Daniel. Bahkan gadis itu masih bersikeras ingin tinggal dan bertemu dengannya sekali pun Alvin tidak menyukainya, "Pergilah, kau sudah berhasil bertemu dengan Daniel. Jangan sampai aku menamparmu untuk yang kedua kalinya. Pulanglah," ucap Alvin berat.

Ashilla masih bergeming, ditatapnya Daniel yang berdiri lima meter darinya tanpa berusaha untuk mendekat sedikit pun. Matanya sudah tak sanggup lagi menahan air itu.

"Aku takkan berhenti menyukaimu sampai kau mengatakannya sendiri dengan mulutmu, Oppa," ucap Ashilla gemetar.

"Pulanglah," perintah Daniel datar. Tak peduli dengan aliran sungai yang telah mengalir deras dari pelupuk Ashilla.

"Kau lihat, aku sudah berhasil membawanya kemari, bahkan dia tak mau berdiri lebih dekat denganmu. Sadarlah Ashilla dan berhenti menyukai sahabatku," ujar Alvin dengan nada suara yang sudah kembali lembut seperti sedia kala.

Ashilla menundukkan kepalanya, tak lama dia pun mengangguk dan menghapus air matanya. "Baiklah, aku akan pulang seperti keinginanmu. Daniel oppa, ini untukmu," ujar Ashilla sambil menyodorkan kotak berbentuk hati berisi coklat. "Hadiah Valentine dariku, sepertinya aku tak bisa memberikannya langsung padamu pada empat belas Februari nanti."

Tangan Alvin segera menyambar hadiah itu tepat saat Daniel telah melangkahkan kaki kanannya, "Akan kusimpan, kurasa Daniel tak punya waktu untuk memakannya. Pulanglah, jaga dirimu baik-baik dan jangan membuatku marah lagi." Tangan Alvin meraih kepala Ashilla dan mengecup keningnya cukup lama. "Maafkan aku telah menamparmu," ucap Alvin tulus.

"Aku tahu, Oppa, kau hanya sedikit terbawa emosi." Melihat Ashilla tersenyum membuat hati Alvin semakin teriris. Ashilla melambaikan tangannya kemudian pergi.

Di tempatnya, Daniel ingin sekali berlari dan menerjang tubuh gadis itu. Memeluknya dan membisikkan terima kasih atas semua hadiah Valentinenya selama ini. Hadiah itu memang tak pernah tersentuh, namun selalu Daniel simpan dengan baik. Sekali pun telah kadaluarsa.


BERSAMBUNG


Terimakasih udah baca dan meninggalkan jejak ya (vote atau komentar), kalau berkenan, bisa mampir juga ke judul sebelah. See you next part!

Salam,

@nnisalida

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro