4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ryo memicingkan mata. Menatap gadis berwajah putih dengan kedua alis matanya yang tebal. Tangannya masih menggenggam benda tipis persegi panjang di saku celana seragamnya. Sama sekali tak berniat mengeluarkan atau mengembalikannya segera pada gadis yang berdiri di hadapannya.

"Apa lagi yang kau tunggu, Ryo? Lekas kembalikan ID Card Victoria," ujar seorang wanita tegas dalam bahasa Inggris. Tapi nyatanya Ryo masih tetap bergeming.

Ryo tertawa kecil, kemudian dia keluarkan tangan kirinya dari saku dan melemparkan benda itu, membuat gadis yang ada di hadapannya itu gelagapan. Namun dia tetap berhasil menangkap ID Cardnya dengan baik.

"Sopan sekali," ucap Victoria dingin. "Arigatou−terimakasih," lanjutnya dengan nada yang lebih sinis.

"Dou itashimashite−sama-sama," balas Ryo tak acuh. "Kalau begitu, aku pergi."

Dengan santainya Ryo pun melenggang keluar dari ruangan. Tidak memedulikan kedua perempuan yang terperangah dengan tingkahnya barusan.

"Maafkan saya Victoria, sekali pun saya guru saya tetap tak bisa berbuat banyak terhadap anak itu," ucap Rei Nozawa. Guru bagian kesiswaan di Tennouji International School. Orang yang selalu berurusan dengan kedua bersaudara Tennouji sejak dulu.

Victoria yang biasa disapa dengan Via hanya bisa meringis, "It's ok, sensei. Saya paham betul bagaimana takdir melukiskan watak anak itu."

Rei pun menepuk bahu Via, "Lekas laporkan jika ada sesuatu yang bergeser atau bahkan hilang dari asramamu. Karena sepertinya hanya kau yang menyadari bahwa Ryo menyusup ke Archard," ucap guru itu sambil tersenyum geli.

"Lebih tepatnya sial karena harus berurusan dengan pria pongah seperti dia," sahut Via malas. "Kalau begitu, saya pamit." Via membungkukkan kepalanya kemudian keluar dari ruangan Rei Nozawa. Ini kedua kalinya Via keluar dari ruangan itu. Setelah pertama kali masuk ke sana saat mengurusi proses pemindahan sekolahnya dari Jakarta ke Tokyo.

***

Ify turun dari bus dengan wajah yang berseri. Ini pertama kalinya dia naik bus di Tokyo. Menurutnya itu adalah pengalaman yang keren. Salju masih turun, namun tidak menyamarkan kekaguman yang terus tercetak di wajahnya sepanjang perjalanan.

Kazune segera berjalan mendahului Ify yang masih memandangi daerah sekitarnya. Sadar kalau dirinya sudah ditinggalkan, dia pun berlari kecil menghampiri Kazune. Berjalan mengiringi pria itu, jalannya tidak secepat tadi saat mereka berada di mal.

"Ahh," sadar Ify, "terimakasih banyak untuk semuanya, Oniisan, kau membelikan banyak barang untukku hari ini." Ify mengangkat kantong belanjaannya sambil tersenyum.

Kazune melirik, dia hanya menjawabnya dengan deheman singkat. Tak berniat sama sekali terhanyut dengan gumaman gadis itu yang masih saja dalam topik yang sama.

"Waahh..."

"Keren!"

"Ini tidak pernah ada di Jakarta, nih!"

Hanya itu dan terus terulang. Kazune pun sampai di depan sebuah... toko? Ify mengernyit, kemana lagi Kazune membawanya pergi sekarang? Apa dia akan membelanjakan Ify lagi, pikir Ify percaya diri.

"Ini tempatku bekerja, ayo!"

Kazune langsung masuk meninggalkan Ify yang termenung di bawah guyuran salju, mungkin karena sudah memakai mantel, syal dan topi rajutan yang baru dibelikan Kazune, Ify tidak merasakan betapa dinginnya setiap butiran putih itu mendarat di kulitnya. Sampai akhirnya...

"Hei! Kita sudah terlambat kerja, kau masih berdiri saja di sana? Mau dipecat?" serunya dari dalam.

Kerja!?

Ify mengernyit. Jadi barang bawaannya ini bukan sebuah hadiah? Melainkan gaji di muka dari sebuah pekerjaan? Ify meringis, yah... setidaknya gadis itu sudah yakin bahwa kehidupannya ke depan di Tokyo akan terjamin karena dia sudah mendapatkan pekerjaan tanpa perlu repot-repot membuat lamaran.

Ify memasuki sebuah ruangan yang cukup luas dengan banyak orang berpakaian putih di dalamnya. Gadis itu meringis, dia merasa tak asing dengan pakaian yang dikenakan semua orang yang berada di sini.

"Ify-chan." Ify menoleh dan sesuatu sudah di lemparkan ke arahnya, terkejut semua kantung belanjaannya pun terlepas dan gadis itu reflek menutup mukanya. Membiarkan benda yang dilemparkan ke arahnya itu pun ikut jatuh menindih kantung belanjaannya.

"Parah," gumam Kazune. "Belum pernah lihat orang latihan karate, ya?"

Ify menjauhkan kedua tangannya dari wajah, dia menatap Kazune bingung dan dilihatnya sesuatu yang tadi meluncur ke arahnya. Dia meraih benda itu.

"Ini..." gumam Ify.

"Dogi, seragam karate. Mulai sekarang kau bekerja di sini. Sebagai asistenku."

Apa!? Jerit Ify dalam hati.

"O... oniisan," ucap Ify terbata, "aku mana mungkin jadi asisten, aku tak bisa karate." Ify menatap ke sekeliling. Banyak anak seusianya yang sedang berlatih: meninju, menendang dan menghajar lawannya yang berseragam sama.

Ify menelan ludah, jika dirinya menjadi asisten. Itu sama saja dirinya akan menjadi samsak tinju semua karateka di sini. Bahkan pencak silat beladiri asli Indonesia saja dia tak pernah berlatih, apalagi karate.

"Kau takut akan jadi bahan latihan mereka?" terka Kazune. Ify menoleh ke arahnya dengan kedua alis yang menyatu, wajahnya berkerut. "Kau akan kujadikan asisten kesayanganku, jangan khawatir," lanjutnya geli.

***

Via mengernyit, baru saja keluar dari kelasnya dan hendak berjalan ke arah asrama Archard. Dia berpapasan dengan Ryo dan dua pria kekar berpakaian serba hitam di belakangnya. Awalnya dia berpikir untuk menghindari Ryo dan mencari jalan lain, tapi tiba-tiba ide jahil melintas di otaknya.

Via pun berjalan angkuh di garis lantai yang kini juga tengah dipijak Ryo.

Ryo yang melihat aura menantang dari gadis itu pun hanya bisa tersenyum kecil, apalagi ini? Dia masih ingin main-main denganku, ya? pikirnya selintas.

Tepat tiga lantai sebelum akhirnya tabrakan itu terjadi, Via dan Ryo sama-sama berhenti. Ryo masih menunggu apa yang hendak gadis itu lakukan. Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai detik yang ke sepuluh. Ryo kehilangan kesabaran.

"HEI! Minggir!" serunya bossy. "Kau menghalangi jalanku!" serunya dalam bahasa Indonesia, pertanda kalau Ryo ingin pertengkaran ini hanya dia dan Via yang menikmatinya.

Via bergeming, kemudian dia memasang wajah yang... Astaga, gadis ini begitu cute jika sedang memasang wajah yang menahan tangisnya. Matanya kini benar-benar memerah, bahkan berkaca-kaca.

"A-apa?" tanya Ryo gagap. Tidak mengerti apa yang terjadi dengan gadis ini. "Kenapa kau menangis?" tanyanya gusar. Dia pun menoleh ke arah dua pengawalnya. "Hei! Aku tak tahu kenapa dia menangis, ini bukan salahku! Awas saja kalau kalian melapor lagi pada Daniel!" seru Ryo pada kedua pengawalnya.

Dia pun kembali menatap Via bingung. "Hei, Victoria-san, kenapa kau menangis di hadapanku? Apa maksudmu, hei!?" tanya Ryo cemas, tapi tetap dengan nada bossynya.

Ryo mengacak rambutnya frustasi, "Kau... Kau tak lihat kita sudah jadi bahan tontonan, hei! Berhenti menangis, Victoria-san!" Rio memandang sekeliling, koridor utama yang berada di antara gedung sekolah dan gedung asrama pada saat jam usai sekolah ramainya bukan main. Tak sedikit murid yang hendak ke asrama berhenti untuk memandangi adegan seorang gadis yang menangis di depan si bungsu pemilik sekolah.

"Apa masalahmu?" tanya Via parau, "kenapa kau merebut ID Cardku dan masuk ke asrama begitu saja? Apa kau tak tahu bagaimana peraturannya? Orang asing di larang masuk ke dalam asrama, bagaimana jika ada sesuatu yang salah terjadi di dalam asrama kemudian aku dituduh jadi pelakunya," lanjut Via dengan suaranya yang parau.

Gadis itu pun mengusap air matanya, kemudian dia menunduk.

"Maafkan aku jika menurutmu aku pernah punya salah lalu kau mengerjaiku seperti itu, jujur saja, aku takut sekali jika terjadi sesuatu di asrama dan aku dituduh sebagai pelakunya. Kemudian aku dikeluarkan dari sekolah, berbeda denganmu, aku perlu susah payah untuk masuk ke sekolah ini. Kau. Tentu kau merasa tak butuh takut dengan segudang peraturan itu hanya saja−"

"Kau pikir aku akan mencuri di sekolahku sendiri, kau gila!" sela Ryo tak terima, disudutkan di sekolahnya sendiri jauh lebih berbahaya daripada dia ketahuan sedang minum di izakaya oleh Ayahnya. Setidaknya, harga dirinya tidak akan jatuh di depan murid satu sekolah, hanya cukup di bentak oleh Ayah kemudian dia dihukum, masalah selesai.

"Aku gila atau apa pun terserah kau memanggilku, hanya saja." Via mengangkat kepalanya, menatap Ryo tajam, "Berhenti bersikap seenaknya pada murid di sekolah ini, walau pun aku hanya murid beasiswa dan tidak membayar. Tapi status kita di sekolah ini sama, kau pemilik sekolah ini atau bukan, tapi tujuan kita sama. Hanya berharap pengalaman di sini merubah takdirmu ke depannya. Jadi berhenti bersikap kaulah pemilik sekolah dan mampu berbuat semaumu. Terimakasih."

Via bergegas pergi dari hadapan Ryo, dia menerobos kedua pengawal Ryo yang berdiri kaku di belakang pria yang wajahnya sudah merah padam itu. Dia berlari dan bergegas belok ke arah pintu utama asramanya. Menempelkan ID Card kemudian masuk ke dalam, menyusuri lorong yang kanan kirinya berisi pintu bertuliskan nomor kamar.

Sesampainya dia di pintu kamar nomor 78, dia masukkan kunci kamarnya dan langsung masuk ke dalam dengan cepat. Via menyandarkan tubuhnya di balik pintu, kemudian tersenyum.

"HAHAHAHAA!!"


BERSAMBUNG


Ceritanya, di sekolah pakai bahasa Inggris karena sekolah internasional. Kemudian kadang menggunakan bahasa Jepang karena latarnya di Jepang. Tapi berhubung mereka semua blasteran Indonesia, jadi dialognya semua menggunakan bahasa Indonesia. 

Bingung ga? Kalau bingung gapapa, saya nulisnya juga setengah bingung dulu...


Budayakan Apresiasi (tanda bintang), Hindari Plagiasi

Terimakasih ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro