5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seminggu sudah sudah Ify berada di Tokyo, beradaptasi dengan musim dingin yang menurutnya semakin hari semakin tidak terasa sedingin sejak hari pertama kedatangannya. Bahkan sekarang Ify justru rindu akan salju yang turun mengguyurinya yang baru tiba di Tokyo tanpa baju tebal apa pun.

Ify tersenyum kecil, dia kembali membaca bukunya−yang dibelikan oleh Kazune−sambil menikmati makan siangnya yang dibeli di Hotto Motto. Sebuah resto cepat saji dengan makanannya yang enak dan masih sangat fresh. Ify mengunyah steaknya beserta salad secara bersamaan.

Sesekali Ify memperhatikan sekelilingnya, benar-benar kota yang sangat nyaman. Sekali pun ini taman terbuka, namun kebersihannya begitu terjaga. Di depan Ify terdapat sebuah jogging track untuk warga sekitar, tak jauh dari sana terdapat sebuah tugu berwarna putih yang terdapat jam di bagian atasnya. Tugu itu dikelilingi oleh jogging track yang lebih lebar dan terdapat bangku di beberapa sudut jalannya. Di sinilah Ify berada. Duduk menikmati makan siangnya sambil memandangi tugu putih dengan jam yang terus berdetak.

Ify menerawang, mendapati sebuah pemandangan gunung yang Ify pikir itu pasti gunung Fujiyama yang tersohor, kalau bukan, ya berarti Ify harus belajar lebih banyak lagi tentang Tokyo.

Ibu...

Pikir Ify seketika. Apakah aku dapat menemukan adikku dengan mudah di kota seluas ini? Apakah dia benar-benar ada di Tokyo? Atau di belahan dunia lain di Jepang? Osaka? Kyoto? Atau bahkan dia di Hokaido?

Ya Tuhan... Ify mendesah. Semakin lama Ify memikirkannya kepalanya justru terasa semakin berdenyut.

Berapa lama lagi Ify harus di sini? Berapa lama lagi Ify akan terus menumpang di rumah Kazune? Warga Indonesia yang sudah terlalu baik padanya. Memberi tumpangan, memberikan makan, bahkan pekerjaan.

"Ahh... Bahuku," erangnya. Dia baru teringat kalau bahunya sempat menjadi korban tidak fokusnya anak didik Kazune di dojo−tempat latihan karate−saat melakukan latihan menyerang. "Sampai kapan aku harus bekerja di sana? Aku bisa jadi dendeng kalau setiap hari harus menjadi lawan anak-anak itu," eluhnya lagi.

Ify memukul-mukul pelan bahunya. Dia langsung kehilangan selera makan. Dibungkusnya kembali sisa makanan itu dan dimasukkannya ke tas. Setidaknya Ify harus mencari supermarket untuk menitipkan sampahnya itu, jika dia tidak ingin dikenai denda hanya karena menyepelekan soal sampah.

Ya... Setidaknya Ify mulai terbiasa dengan segala aturan di kota dengan segudang kedisplinannya ini, dimulai dari naik bus, membeli minuman di vending machine, memesan makanan di resto cepat saji, sampai tata cara membuang sampah−itu karena Kazune sering menyuruhnya untuk menaruh plastik sampah sesuai jadwal pembuangan.

Kali ini Ify memutuskan untuk menaiki bus ke salah satu daerah yang cukup ramai di Tokyo. Berharap kalau dia menemukan seorang anak gadis yang memiliki mata sepertinya. Mata kuning keemasan, turunan dari sang ibu.

***

Ify berhenti di sebuah halte, dia memperhatikan papan penunjuk jadwal keberangkatan bus. Bus ke arah Akihabara datang sekitar dua puluh menit lagi, Ify pun memutuskan untuk berdiri dan kembali membaca bukunya. Sekedar untuk mendalami tata bahasa dan mempelajari tulisan Hiragana yang menurutnya masih sangat amat payah.

Tak lama kemudian, bus pun datang. Ify berdecak kagum.

"Benar-benar, apa tidak bisa mereka terlambat dua atau tiga menit," gumamnya geli. Saat ini mendadak Ify merindukan jadwal bus di Jakarta yang... Yah... Begitulah.

Pintu bus terbuka, Ify masuk ke dalamnya melalui pintu tengah. Hal yang sama ketika pertama kali dirinya menaiki bus bersama Kazune ke dojo. Di dekat pintu masuk, terdapat sebuah kotak yang otomatis mengeluarkan sebuah tiket. Ify pun mengambil tiket tersebut dan duduk di bangku ketiga dari depan.

Ify menatap ke arah depan, lebih tepatnya sebuah layar yang berada di atas sopir. Dia pun terkekeh ketika mengingat saat dulu dia tak mengerti bagaimana cara membayar dan akhirnya Kazune yang turun tangan.

"Kau lihat layar itu? Lain kali saat kau naik bus seorang diri dan mendapatkan tiket yang tertera angka 1, maka kau harus perhatikan angka-angka yang berada di bawah angka 1 yang ada di layar itu. Itu adalah tagihanmu, dan kau harus membayarnya dengan uang pas jika tak ingin berurusan terlalu lama dengan sopir. Kau masih ingat, kan? Kau tak cocok dengan warga lokal jika sedang berinteraksi."

Ify terkekeh, wajahnya bersemu merah. Malu sekali rasanya, Kazune benar-benar begitu baik padanya. Seperti seorang kakak yang mengajarkan adik kandungnya naik bus untuk pertama kali.

"Kalau kau tak punya uang pas, maka kau harus menukarkannya dulu. Lihat itu." Kazune menunjukkan sebuah mesin yang berada tepat di samping kemudi sopir. "Bagian atas adalah tempat kau memasukkan tiket beserta uang pas. Tapi jika kau tidak punya uang pas, maka tukarkan dulu uang yang kau punya di lubang yang ada di mesin itu. Nanti uang receh akan keluar di bagian bawah mesinnya. Kau paham?"

Ify menerawang jauh. Sampai-sampai nyaris saja dia berhenti di halte yang salah. Terlalu banyak melamun tidak baik rupanya. Gadis itu pun buru-buru bangkit dan melakukan pembayaran sesuai dengan yang Kazune ajarkan. Membayarnya dengan uang pas.

***

Ify berdecak kagum, lagi. Pertama kalinya Ify ke daerah sinting di Tokyo ini. Di mana daerah ini menjadi perkumpulan toko yang bahkan tak pernah terlintas di benaknya sebelumnya. Di kanan kiri jalan penuh dengan gedung bertingkat yang memiliki papan besar dengan tulisan Hiragana dan gambar anime yang menurut Ify toko itu pasti toko yang berkaitan erat dengan anime.

Gadis ini pun sering sekali menoleh ke langit, mengamati nama-nama toko yang ada di sana. Tapi saat mengingat tujuannya datang kemari, Ify pun langsung mengamati orang-orang yang berlalu lalang di Akihabara.

Dia mengamati gadis-gadis seusianya yang menggunakan rok−yang menurut Ify−terlalu ekstrim untuk dipakai di musim dingin. Sangat pendek, tapi setelan atas mereka tetap dengan pakaian yang cukup tebal. Selera fashion yang sungguh berbeda dengannya.

"Apa itu?" gumam Ify, dia mendekati sebuah toko yang bagian atasnya terdapat sebuah gambar wanita cantik. Bertuliskan maidreamin cafe. Cafe? Pikir Ify.

"Summimasen−Permisi," ucap seorang dengan suara khas.

Ify menoleh, dia tersenyum ramah, "Ya, ada apa?"

"Kau berniat masuk ke cafe itu?" tanyanya lagi.

Ify tampak berpikir, dia hanya menyeringai. "Kurasa iya," jawabnya ragu-ragu. "Aku penasaran apa isinya," jawab Ify dengan bahasa Inggris. "Kau bisa bahasa Inggris, kan? Aku belum terlalu lancar berbahasa Jepang." Ify tersenyum malu-malu. Lagi-lagi terlalu terbuka pada orang yang baru ditemuinya.

"Kau orang Indonesia?" terka pria itu lagi.

Ify membatin, apa wajahku seIndonesia itu? Sampai semua orang mengenaliku dengan mudah. "Iya, kau benar. Darimana kau tahu?"

"Senyummu sangat manis, khas orang Indonesia sekali. Perkenalkan, aku Daniel." Pria itu mengulurkan tangannya yang kekar, "aku pernah tinggal di Indonesia selama sepuluh tahun," lanjutnya.

Ify membalas uluran tangan pria jangkung itu, "Fyka Sakura, kau bisa memanggilku Ify," ucap Ify sambil tersenyum.

Ify pun mengikuti pria yang lebih dulu memutuskan untuk mengajaknya masuk ke dalam cafe. Peringatan dari Kazune bahwa Ify harus lebih waspada dengan laki-laki di Tokyo ini dia hiraukan. Sekarang Ify sudah memiliki dasar karate dan sedikit banyak bisa berucap dengan bahasa Jepang. Jadi jika terjadi sesuatu di luar rencana, dia bisa mengantisipasi lebih baik dari yang sebelumnya.

Suasana cafe di dalam begitu terasa hangat dengan nuansa eropa yang begitu kental. Ditambah lagi dengan seragam para waitress yang menyerupai pelayan-pelayan di Prancis. Membuat para lelaki yang datang sekedar untuk minum teh di sini jadi semakin dibuai dengan kecantikan para pelayan yang begitu terpancar dengan dandanannya yang begitu kawai−imut.

"Kau sudah lama tinggal di Tokyo?" tanya Daniel membuka perbincangan.

Ify hanya menyeringai, "Sudah satu minggu. Kau sendiri?"

"Sembilan tahun," jawabnya singkat. "Hebat sekali kau, baru satu minggu di Jepang tapi kau sudah berani untuk jalan-jalan seorang diri."

Ify terkekeh, dia pun menggelengkan kepalanya, "Aku bukan sedang jalan-jalan, aku hanya sedang mencari seseorang."

Daniel balas tertawa lebar, dia memajukan duduknya, "Kau mencari kekasihmu yang pergi merantau ke sini? Astaga Ify, kau dramatis sekali, ahaha..."

Ify mengembungkan pipinya, "Kau menertawakan orang yang baru kau kenal, sopan sekali," canda Ify. "Kau sendiri, untuk apa berdiri di depan cafe seperti ini dan mengajak orang asing sepertiku untuk masuk bersama? Kau baru dicampakkan kekasihmu, ya? Karena itu kau mencari teman untuk bercerita?" sindir Ify kemudian. Senang sekali rasanya melihat wajah Daniel langsung berubah kaku.

"Hei, aku hanya bercanda..." ucap Ify mengklarifikasi.

"Aku tahu, hanya saja candaanmu lebih menusuk daripada candaanku tadi," sahut Daniel santai. "Ahh... Rindu sekali rasanya berbicara selepas ini dengan seorang teman. Arigatou, Ify," lanjutnya tulus.

Ify tersenyum, "Dou itashimashite, sepertinya kau benar-benar kesepian, sampai mengajak orang asing sepertiku hanya untuk mengobrol."

Daniel kini kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, bertepatan dengan pesanan mereka yang diantar oleh salah seorang pelayan yang terlihat sangat manis dengan kulit putihnya dan rambut terurai dibingkai dengan bando.

"Bagaimana jika sekarang kita berteman?" tawar Daniel langsung. "Jujur saja, selain asistenku di kantor, teman-temanku bisa dihitung jari, itu pun mereka semua berada di luar negeri."

Ify tampak berpikir, "Kakakku bilang banyak sekali pria jahat yang tertarik dengan gadis cantik sepertiku. Jika kau tidak termasuk ke dalam golongan itu maka kita berteman," jawab Ify senang.

Daniel pun tersenyum senang mendengar ucapan Ify. Akhirnya, impian sederhananya untuk kembali memiliki seorang teman kembali terwujud, setidaknya Daniel merasa kehidupannya akan menjadi sedikit lebih normal.

Saat asyik dengan obrolannya yang semakin melebar ke berbagai topik. Ponsel Daniel yang berada di saku jaketnya berbunyi.

"Moshimoshi−Halo?" Daniel nampak mendengarkan ucapan orang di seberang telepon dengan seksama.

"Kau sudah menemukannya? Baiklah, aku segera ke sana, terimakasih sudah menghubungi."

"Kau mau pergi?" tanya Ify langsung. Dia melihat Daniel buru-buru mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang.

"Maafkan aku Ify, aku harus segera pergi. Lain kali kita bertemu lagi. Oke?"

Ify menganggukmantap, "Tentu, terimakasih untuk traktiranmu," sahut Ify. Dia pun berdiri danmelambaikan tangannya. "Dewa mata−sampaijumpa!"    


BERSAMBUNG


Pembaca yang baik selalu ninggalin jejak (tanda bintang). Terimakasih untuk yang sudah apresiasi, hindari plagiasi ya ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro