7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lampu sudah berubah warna menjadi merah. Semua orang dari segala penjuru bergegas menyeberangi persimpangan ini. Dengan bangganya Ify melangkah bersama dengan lautan orang-orang lokal yang juga menyeberang.

Ify menolehkan kepalanya, sekali lagi tersenyum senang karena bisa menyeberang di persimpangan Shibuya yang begitu tenar di mata dunia. Persimpangan tersibuk. Gadis ini pun kemudian kembali berjalan dan mendekati patung anjing yang sekitarnya terdapat beberapa orang tengah mengambil foto bersama keluarga atau teman sebayanya.

"Patung Hachiko, tak menyangka kalau aku akan benar-benar ke tempat ini." Ify memandang ke sekeliling dan mencari gadisnya. Anak perempuan berusia 15 tahun dan bermata amber.

"Kenapa kau juga tidak di sini, Dik?" gumam Ify sedih.

"Siapa yang kau cari?"

Ify terlonjak dan reflek mengangkat tangannya. Hendak memberikan pukulan. Sementara orang yang mengagetkannya itu hanya bisa mengedipkan matanya, bingung.

"Daniel?" tanya Ify tak habis pikir. Pria itu benar-benar seperti hantu yang mendadak muncul di hari mulai gelap. "Kau membuntutiku, ya?" tanya Ify skeptis.

"Apa kau pikir aku tidak ada pekerjaan? Untuk apa aku membuntutimu?" balas Daniel tak terima. "Kau sendiri? Sedang janjian dengan seseorang di sini?"

Ify menggeleng, "Tidak."

"Lalu?"

Ify memicingkan matanya, "Bagaimana aku tidak curiga kau membuntutiku. Kau saja ingin sekali tahu apa yang kulakukan di sini!"

Daniel terdiam. Benar juga, ya. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Daniel berdeham, "Kau mau minum kopi?"

Ify menelengkan kepalanya, menatap Daniel sekilas. "Kau mau menculikku?" tanyanya dengan nada−dibuat-buat−serius.

"Aku akan menculik dengan persetujuanmu," sahut Daniel sambil menahan tawanya.

"Baiklah, aku juga belum makan malam, Daniel oniisan," goda Ify. Daniel pun terkekeh.

***

Daniel menyendokkan lagi Atsuage ke dalam mulutnya. Membiarkan Ify menatap serius hidangannya itu. Pria ini tertawa disela kunyahannya. Dia pun memperhatikan makanan Ify. Nasi kari itu sudah setengah hilang dari piring. Tapi sepertinya Ify masih begitu berminat dengan makanannya.

"Kau mau ini?"

Ify menggeleng, "Itu apa?" tanyanya polos. Tidak menyadari bahwa Daniel tengah memandanginya.

Daniel meletakkan sendoknya di sebelah piring, diambilnya serbet dan dia usapkan di bibirnya. "Atsuage kentang rebus. Atsuage adalah bagian yang lembut yang berada dibagian dalam tahu atau orang lokal menyebutnya tofu. Atsuage di masak dengan daging ayam tanpa tulang yang sudah direbus dengan sake dan ditambah dengan kecap manis, mirin, gula, hondashi juga seperempat garam."

Ify memandang Daniel takjub. Benar-benar seperti seorang koki yang tengah menilai sebuah hidangan. "Kau ini chef, ya?"

"Tidak, kau, kan, tadi tanya apa yang kumakan."

Ify mengernyit, "Cukup bilang saja kalau itu kentang rebus!" serunya gemas. "Kau jelaskan pun aku takkan paham apa itu honda... honda..." ucap Ify menggantung.

"Hondashi, kaldu ikan bonito instan," ucap Daniel meralat.

"Bonito kalau di Indonesia itu merk susu," balasnya setengah bergurau. "Sudahlah, aku sudah tahu kalau kau itu makan kentang rebus."

Melihat wajah Ify bersemu merah, Daniel hanya bisa tersenyum diam-diam. Gadis ini benar-benar mengingatkannya akan masa lalu. Masa lalu yang secara tidak langsung telah dia rusak dan membuat segalanya berantakan.

"Daniel?"

Daniel segera sadar dari lamunannya. Dia pun menatap Ify sembari tersenyum, "Ya?"

"Kenapa kau memandangiku seperti itu?" tanya Ify malu-malu.

Daniel pun berdeham, entah untuk yang keberapa. "Tidak, aku hanya merasa wajahmu mirip dengan seseorang."

Mata Ify melebar, "Benarkah!?" serunya antusias. "Di mana? Kau mengenalnya? Kau pernah bertemu dengannya? Siapa namanya? Apa dia benar-benar mirip denganku? Matanya sama seperti mataku?"

Daniel menatap Ify bingung. Entah pertanyaan yang mana yang harus dijawabnya lebih dulu. Dia pun menerawang sebentar, lalu menatap Ify dengan penuh penyesalan.

"Ingatanku agak buruk," ujarnya pelan. Dalam hati merutuki dirinya sendiri. Dia yang memulai perbincangan ini.

Ify menggeleng tak percaya, "Tidak, kau masih begitu muda. Lagipula kau menatapku dengan tatapan yang..." Ify terdiam, "kau pasti mengenalnya, kau pasti mengenal adikku."

Daniel menelan ludah. Adik!?

"Ify-chan," jawabnya. "Ada berapa banyak orang yang mirip di dunia? Kudengar kita punya tujuh kembaran di muka bumi ini, apalagi wajahmu yang sangat manis dan khas. Aku rasa pernah melihatmu sebelumnya. Mungkin di Indonesia." Daniel mulai menggunakan bahasa Jepangnya lagi, dan terkekeh mendapati Ify yang tak sepenuhnya mengerti ucapannya.

"Aku pernah melihatmu di Indonesia, aku yakin," lanjut Daniel.

Ify menatap Daniel dengan tatapan yang tak percaya. Namun sedetik kemudian dia mendesah. Matanya memanas. Dia membuang wajahnya ke luar jendela. Menjauhi tatapan Daniel.

"Aku mencari adikku, Daniel." Suara Ify mulai memberat, menahan agar isakan itu tak terdengar. Dia segera mengelap kelopak matanya dengan punggung tangan. "Almarhumah Ibuku yang memintanya."

Daniel membeku, dia menatap lurus Ify yang masih enggan mengalihkan perhatiannya dari pemandangan di luar jendela. Rasa nyeri mendadak menjuluri sekujur hatinya. Berdosa karena telah membuat gadis di hadapannya ini terluka.

"Jadi... Kau jauh-jauh ke Tokyo untuk..." Daniel tak sanggup melanjutkannya.

Ify mengangguk. Dia menundukkan kedua wajahnya, air mata itu sudah tak mampu lagi dibendung Ify. "Bagaimana ini, aku justru menangis di hadapanmu seperti gadis bodoh," ucap Ify dengan suara gemetar, dia masih berusaha tertawa kecil untuk menutupi tangisnya. Ify lagi-lagi menghapus air matanya. Kali ini dia berani mendongakkan kepalanya dan menatap Daniel sembari tersenyum.

Sadar kalau matanya pasti sudah memerah dan hidungnya basah. Ify mengambil serbet di atas meja kemudian memakainya untuk membuang ingus.

"Ify..." gidik Daniel, geli juga melihat tingkah Ify yang mengelap ingusnya dengan serbet restoran.

"Aku tak bawa sapu tangan, lebih baik pakai serbet daripada terus menerus mengalir dan kau akan bertambah jijik."

Daniel terperangah. Sekarang Daniel semakin bingung. Harus ikut iba dengan nasib Ify atau memaki gadis yang tidak mengerti table manner ini. Dilipatnya tangan di depan dada. Menunggu kelanjutan ucapan Ify yang tertunda dengan tragedi-mengelap-ingusnya.

Tapi rupanya Ify memilih untuk diam dan memandangi piring bekas nasi karinya.

"Kau tak punya Ayah?" tanya Daniel asal. Sepertinya dia masih risih dengan perbuatan Ify tadi dan segera menyadari bahwa dia melakukan kesalahan lagi.

Ify menatap Daniel sendu, dia tersenyum miris, "Aku punya, tapi aku tak tahu dia ada di mana sekarang."

"Maaf, Ify, aku tak bermaksud−"

"Tak apa," potong Ify. "Aku sudah biasa dengan pertanyaan semacam itu sejak aku kecil."

Daniel merutuki dirinya lagi dalam hati. Sudah berapa banyak garam yang Daniel taburkan di atas luka gadis ini. Dia menghela napas, dan mulai merasa bahwa sekarang mungkin gilirannyalah yang membuka kartu ASnya.

"Aku juga tak mengenal Ayahku, Ibuku, setidaknya sejak aku pindah ke kota ini."

Ify sepertinya tak ingin banyak bicara karena emosinya masih belum betul-betul kembali ke keadaannya yang sebelumnya, tenang dan merasa semua baik-baik saja. Akan selalu baik-baik saja.

"Saat aku berusia sepuluh tahun, kami pindah ke Tokyo. Ayah dan Ibuku mulai mengurusi bisnisnya. Aku dan adikku memulai kehidupan kami di sini tanpa mereka, kami hanya ditemani oleh pelayan di rumah. Awalnya terasa biasa saja. Sampai saat adikku menemukan seorang gadis dan aku merasa bahwa aku akan kembali ditinggalkan.

"Aku akan semakin kesepian, aku pun mendekati pacar adikku dan memintanya untuk menjauhinya. Aku bahagia saat mereka putus dan kupikir adikku akan kembali dekat denganku seperti dulu. Tapi semua berubah. Sekarang... Aku benar-benar kehilangan semuanya."

"Adikmu marah padamu?" tanya Ify iseng. Dia merasa bahwa Daniel butuh sedikit direspon untuk memberinya ruang bernapas juga meminum kopinya.

Daniel mengangguk, "Dia berubah jadi anak nakal, biang onar. Mungkin itu cara balas dendamnya padaku karena sudah membuatnya jadi jomblo seumur hidup." Daniel terkekeh mendengar tiga kata terakhir yang meluncur dari bibirnya.

"Memangnya kau punya kekasih?" timpal Ify.

Daniel menatap Ify, dia menyeringai, "Aku juga jomblo seumur hidup."

Ify mencibir, "Bodoh, jangan teriak orang jelek kalau kau sendiri juga jelek!" canda Ify. "Ngomong-ngomong, berapa usia adikmu? Sepertinya sikap dia masih begitu kekanakan."

"Tujuh belas tahun dua setengah bulan," balas Daniel santai. Dia kembali menyeruput kopinya.

Ify mengerjap, "Be-berapa?"

"Kau ini tuli, ya?" Daniel terkikik melihat ekspresi Ify. "Tujuh belas tahun dua setengah bulan."

"Kau ini kakak yang begitu perhatian. Kenapa adikmu tak menyadari itu?" Daniel tersenyum mendengar pujian Ify. "Tunggu. Usia adikmu tujuh belas? Lalu berapa usiamu?"

"Aku? Aku sembilan belas tahun, apa aku belum pernah mengatakannya?"

Ify mendengus, "Seharusnya dari awal kau sebutkan usiamu, aku berdosa sekali memanggilmu tanpa embel-embel tetua dibelakangnya."

"Aku tak setua itu!" balas Daniel tak terima. "Ify..."

"Apa?"

"Bisa kau membantuku?"

***

Kazune meminum kembali birnya. Menikmati sisa malam dengan minum seorang diri di meja bar. Sesekali dia menatap pintu dan menggerutu. Kemana gadis yang menumpang di rumahnya itu? Selarut ini masih belum pulang.

Tak lama kemudian pintu pun terbuka dibarengi dengan lampu ruang tamu yang menyala secara otomatis dan mati saat orang itu memasuki area rumah lebih dalam.

"Darimana kau?" tanya Kazune galak.

"Gomenasai−Maafkan aku, Oniisan, aku baru saja bertemu dengan temanku."

"Jelaskan besok pagi, aku mau tidur." Kazune membanting gelasnya di meja dan melewati Ify begitu saja.

Ify memandangi punggung Kazune yang menaiki tangga menuju lantai satu. Sepertinya dia benar-benar harus memikirkan permintaan Daniel padanya.

***

Kazune merebahkan dirinya di ranjang, menatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan lagi pertemuannya dengan Via tadi siang.

"Kau diterima magang di Tennouji Fashion?"

Via menggeleng senang, "Aku ditawari untuk magang, bukan diterima. Keduanya jelas berbeda, Oniisan." Tak sekali pun senyum itu pergi dari bibir mungil Via. Terlihat sekali kalau gadis itu benar-benar bahagia.

"Kau bahagia sekali, pantas kau mentraktirku makan hari ini," goda Kazune.

"Tentu saja, ini mimpiku, Oniisan! Mana mungkin aku tidak bahagia. Kau juga bahagia karena ini, kan?"

Kazune terdiam. Entah harus jujur atau berkata bohong hanya untuk membuat senang gadis kecil dihadapannya sekarang ini.

"Kau bahagia, aku juga bahagia. Kau sedih, aku juga sedih. Jadi, lakukan yang terbaik agar kau selalu bahagia dan mendapatkan mimpimu itu segera."

Via melonjak-lonjak di kursinya, dia tak bisa duduk dengan tenang. "Ha... oniisan... Rasanya aku sudah tak sabar..."

Kazune mendesah. Haruskah gadis itu magang di sana? Tidak adakah perusahaan lain yang tertarik dengan bakatnya yang luar biasa? Kenapa harus Tennouji? Kenapa?


BERSAMBUNG

Pembaca yang baik, selalu ninggalin jejak berupa tanda bintang/komentar. Sampai jumpa di part selanjutnya ya! Monggo dibaca juga kisah MARRY ME IF YOU DARE, chicklit yang aman dibaca semua usia. No-adult-scene-there. Beda dengan TWENTY COUPLE Series yang marriedlife.

^^ Salam,

Nnisalida

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro