8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ify mengusap kepalanya dengan handuk dan mendudukkan dirinya di kasur. Terlalu banyak yang dia bicarakan dengan Daniel membuatnya jadi lupa waktu. Ify menoleh ke nakas samping ranjangnya dan menatap foto Ibu yang tengah memeluknya−telah dibingkai. Di sampingnya terdapat jam weker.

Gadis ini memutuskan untuk menidurkan dirinya di ranjang dan menatap langit-langit kamarnya yang begitu menakjubkan. Tak pernah sekali pun kekagumannya berkurang saat pertama kali dia menginjakkan kakinya di kamar ini.

"Apa aku terima saja permintaan Daniel?" gumamnya. Namun sedetik kemudian Ify menggeleng cepat. "Mana mungkin! Memangnya aku dokter kejiwaan yang bisa menyembuhkan sakit hati seseorang, harshh..." eluh Ify sambil mengacak rambutnya.

Ify memutuskan untuk mendudukkan dirinya kembali dan mulai berpikir.

"Tapi bagaimana pun juga, mana mungkin aku menumpang di sini selamanya?" lanjutnya.

"Kenapa aku yang kau pilih?" Pertanyaan beberapa waktu lalu kembali terngiang di otaknya. Saat Daniel melontarkan ide gila itu.

"Karena kau mencari keluargamu sekali pun kau tak ingat bagaimana wajahnya, bagaimana suaranya. Itu artinya, kau orang yang baik dan bisa untuk kumintai tolong," jawab Daniel yakin.

Ify menatap Daniel tak percaya, "Bagaimana bisa kau meminta tolong pada orang yang baru dua kali kau temui?" tanyanya retorik.

Daniel terdiam, nampaknya pria itu baru memikirkan kemungkinan yang Ify lontarkan.

"Karena aku seorang kakak. Kau juga seorang kakak, kau pasti sangat mengerti bagaimana posisiku sekarang."

"Pintar sekali kau merebut hatiku," sahut Ify sarkastis.

Daniel menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Memasang wajah anak lima tahun saat merengek pada ibunya untuk sebuah lolipop. "Hanya kau yang bisa kumintai tolong."

Ify mengambil kasar serbet yang tadi dipakainya untuk mengelap ingus dan dilemparkannya ke Daniel. Pria itu tentu langsung bergidik ngeri. "Singkirkan wajahmu yang menjijikkan itu! Aku harus memikirkannya dulu malam ini," jawab Ify ketus.

Daniel tersenyum riang, "Tak ada sesuatu yang tak ada imbal baliknya di dunia ini. Ify, aku akan membantu mencari adikmu sebagai balasannya. Bagaimana?"

Ify mendesah. Mengingat kalimat terakhir dari Daniel sebelum mereka berpisah membuat kepala Ify semakin terasa pening. Entah kenapa begitu berat bagi Ify meninggalkan rumah juga Kazune yang selama ini telah banyak membantunya.

Ify kembali menoleh ke arah nakas. Melihat baik-baik mata juga senyuman milik Ibunya. Dia pun tersenyum sedih.

"Bu..," gumam Ify pelan, "inikah jalan yang kau pilihkan untuk membantuku?"

***

Sebuah gelas kaca berkaki dengan sisa minuman berwarna merah khas dia angkat dari meja bar. Ify dekatkan gelas itu ke lubang hidungnya. Seketika Ify mengernyit saat tahu aroma apa itu, alkohol.

"Oniisan mabuk?" gumam Ify ngeri. Tak bisa membayangkan jika saja kemarin malam Kazune minum lebih banyak dan kehilangan kendali saat melihatnya pulang terlambat. Ify menelan ludah, tak berani membayangkan apa yang baru saja nyaris dialaminya. Seperti di kebanyakan adegan dalam serial drama.

"Kau suka bir juga?" tanya Kazune tiba-tiba membuat Ify nyaris saja menjatuhkan gelasnya. Kazune berjalan santai memasuki dapur kemudian membuka kulkas dan meraih sebotol air mineral. Ditenggaknya langsung air itu tak peduli dengan tatapan bertanya yang terus memancar dari kedua mata amber Ify.

"Oniisan... semalam minum saat menungguku pulang?" tanya Ify ragu-ragu. Takut Kazune masih marah padanya. Melihat Kazune yang memandanginya dengan tatapan yang sulit dibaca, Ify hanya bisa menggigit bibirnya bagian bawah.

"Kemana kau semalam?" tanya Kazune tegas. "Kau pikir ini rumahmu yang bisa seenaknya saja kau masuki?" lanjutnya pedas.

Ify menunduk dalam, tak berani menatap mata Kazune. Cukup mendengar suaranya saja sudah membuat matanya memanas.

Kazune meraih gelas bekas minumnya semalam dan melemparkannya asal ke wastafel sehingga menyebabkan bunyi gelontang. Dia juga menggeser botol anggurnya jauh-jauh dari Ify agar tak ada benda apa pun yang membatasi dirinya dan gadis ini selain meja bar.

"Kemana semalam?" Nada suara Kazune masih sama seperti sebelumnya. Sarat akan kemarahan. "Tak pernah dengarkan ucapanku jika tingkat kejahatan pada gadis saat malam hari di sini jauh lebih mengerikan?"

Air mata Ify sudah mengalir bebas. Berbeda seperti saat dirinya menangis di depan Daniel. Ify sama sekali tak berani bergerak sekali pun itu untuk menghapus air matanya.

"KENAPA MENANGIS, HAH!?" Kali ini Kazune benar-benar meluapkan emosinya. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia paling tak suka melihat gadis menangis disaat dia tengah bicara serius. Kazune benci dengan air mata seorang perempuan. Sangat benci.

"Aku tanya kemana kau semalam, kenapa kau justru menangis, Fyka Sakura!?"

Napas Kazune memburu. Bagaimana pun juga sangat menyebalkan bicara dengan emosi tingkat tinggi tapi lawan bicara justru memilih untuk diam dan hanya menangis. Kesal, Kazune pun memutuskan untuk bangkit dari kursinya dan keluar dari dapur. Berjalan mendekati anak tangga.

Tepat sebelum Kazune menginjakkan kaki kirinya di anak tangga yang kedua. Ify pun bersuara. "Aku mencari adikku," ucapnya parau. "Kemana pun aku pergi. Aku selalu mencari adikku. Itulah alasan mengapa aku masih bertahan di sini."

Dengan pelan, Kazune menolehkan wajahnya ke arah Ify yang masih tertunduk menatap lantai. "Setidaknya kau menghubungiku, agar aku−"

"Sudah kuputuskan," sela Ify. Kazune memandangnya bingung. "Aku akan pindah dari sini."

Jantung Kazune seakan berhenti berdetak. Bagaimana bisa gadis ini membuat keputusan gila itu hanya karena dia marahi? Tidakkah Ify sadar kalau kemarahan Kazune begitu beralasan. Kazune khawatir akan keselamatan gadis mungil ini.

"Ify-chan, bagaimana bisa kau−"

"Aku tak bisa selalu merepotkanmu, Kazune oniisan. Aku tak bisa karena Ibuku pasti takkan menyukainya."

Kazune menuruni anak tangga dan menghampiri Ify. Diputarnya kursi gadis itu dan diangkatnya wajah yang kedua matanya masih menggenang sisa air mata. Ditatapnya Ify tepat di manik mata dan sekali lagi jantung Kazune seperti berhenti berdetak. Mata itu. Mata yang sangat...

"Terima kasih banyak untuk segalanya, Kazune oniisan, aku takkan pernah melupakanmu."

Kazune terdiam. Kosong. Dia sama sekali tak bisa mencerna perkataan yang dilontarkan Ify barusan. Yang ditangkap Kazune saat ini hanyalah mata dan senyum gadis itu. Sangat indah dan begitu familiar baginya.

"Oniisan?" tanya Ify bingung melihat Kazune sama sekali tak memberikan ekspresi dari ucapannya.

"Y... ya?" tanya Kazune gagap.

"Kau baik-baik saja?" tanya Ify khawatir, karena ini kali kedua dia mendapati seseorang termenung saat menatap wajahnya.

Kazune menggeleng, "Ya, aku baik-baik saja." Dia mendesah, sudah hampir dua minggu Ify berada di rumahnya. Tapi kenapa dia baru merasakan hal ini? Dan apakah ini memang suatu yang baik? Ify pergi dari rumahnya? Dan membuat rumahnya kembali menjadi rumah yang aman dan terisolasi.

Kazune berpikir sejenak, melihat wajah gadis ini. Dia pun meyakini, bahwa ini memang yang terbaik. Sudah seharusnya gadis ini pergi sejak dulu. Atau seharusnya Kazune memang tak pernah bertemu Ify.

Walau pun bukan pertama kalinya rumah Kazune dipakai menginap oleh orang Indonesia, hanya saja kali ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya ingin menahan Ify untuk tinggal lebih lama.

***

Ify menyeret kopernya keluar dari kamarnya menginap selama ini. Dengan tersenyum dia menutup pintu kamar itu. Berharap kalau kamar seindah itu kelak benar-benar akan dia miliki dan tinggali bersama adiknya.

Saat hendak berjalan menuju tangga, dia melihat pintu kamar milik adik Kazune yang berada tepat di depan pintu kamarnya. Bagaimana bisa selama ini dia belum sekali pun menemui adik orang yang telah begitu membantunya?

Ify mendekati pintu kamar itu dan mengetuknya, berharap bertemu dengan si empunya kamar sekedar untuk mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Tapi tak ada jawaban dari dalam. Apa orangnya sudah berangkat sekolah?

Entah kenapa Ify begitu penasaran, dia pun menyentuh knop pintu dan menariknya ke bawah. Ujung pintu telah terbuka sedikit dan tercipta siluet seseorang dari dalam.

"Ify-chan?"

Ify menoleh dan mendapati Kazune tengah berdiri di dekat tangga. Pria itu buru-buru menghampiri Ify dan menutup pintunya secara perlahan.

"Hah... Kau ini..." ujarnya gusar. "Kau sudah memanggilnya?"

Ify menggeleng polos, sama sekali tak menyangka kalau niat baiknya untuk pamit mendapat respon seperti ini, "Aku hanya ingin mengucapkan sayonara−selamat tinggal. Aku tak bermaksud lancang, Oniisan, sungguh!" Ify membentuk jari telunjuk dan jari tengahnya menjadi huruf V.

"Aku, kan, pernah bilang kalau adikku itu lebih pemalu daripada kucing. Lagipula ini jamnya untuk melukis, kau bisa mati di tangannya kalau berani mengintip lukisannya."

Ify bergidik ngeri, sesadis itukah?

"Adikmu juga bisa membunuhmu jika kau mengintip lukisannya?" tanya Ify penasaran. "Psycopat sekali," ceplos Ify.

"Aw!" erangnya saat menyadari kalau Kazune menjetikkan jarinya tepat di kening Ify. Rasanya kening itu langsung berdenyut hebat, Ify hanya bisa mengerucutkan bibirnya. "Kau sama sadisnya dengan adikmu," seru Ify kesal. Dia mengelus-elus keningnya.

Kazune tak peduli dengan ucapan Ify dan mengambil alih kopernya. Membantu gadis itu untuk cepat-cepat menjauhi pintu sebelum sang adik benar-benar terganggu.

***

"Kau benar tak mau kuantar?" tanya Kazune di halte. Dia memasukkan tangannya ke saku mantel. Hawa dingin memang tak separah hari kemarin, tapi tetap saja mampu membuat tangannya membeku.

"Tidak perlu, Oniisan, aku tak mau merepotkanmu lagi. Kau menyeret koperku sampai sini saja itu sudah lebih dari membantu," ujar Ify dan diakhiri dengan senyuman. "Oh, busnya datang. Sayonara, Kazune oniisan, arigatou gozaimasu," lanjutnya seraya melambai.

Pintu bus terbuka, Ify pun masuk dan segera mengambil tiket kemudian duduk di dekat jendela. Sekali lagi dia melambai pada Kazune dan melihat mulut pria itu bergerak lebar-lebar, sepertinya dia mengucapkan sesuatu yang penting.

Ify mengernyit, "Aku? Masih jadi asistenmu?" tanya Ify tak percaya, Ify hanya menyeringai, "akan kupikirkan lagi," balasnya dengan artikulasi yang lebih jelas.

Bus pun berjalan dan membawa Ify ke arah Shibuya, tempat janjiannya dengan Daniel. Dalam hati Ify berdoa, semoga jalan ini adalah jalan tergila dan terbaik yang telah dipilihnya. Untuk segera menemukan Sakura juniornya.

***

Daniel mengetuk-etukkan ujung sepatu pantofelnya ke aspal. Sudah dua puluh menit lebih Daniel memutuskan untuk kabur dari meetingnya dan menunggu gadis itu di tengah hawa dingin pagi hari kota Tokyo. Segelas kopi panas dari salah satu cafe terdekat sudah tandas dan kini yang tersisa hanya desah napasnya yang mengepul, lelah menunggu seseorang tanpa kepastian.

Bodoh sekali Daniel baru ingat kalau dia tak sekali pun menanyakan berapa nomor ponsel Ify dan kini konsekuensi Daniel adalah mati beku menunggu Ify di depan monumen anjing tersetia pada tuannya. Hachiko.

Matanya langsung melebar senang ketika mendapati seorang gadis turun dari sebuah bus dengan sebuah koper. Gadis itu menggunakan mantel dan topi rajutan berwarna merah, begitu mencolok diantara orang-orang ditambah dengan bawaannya.

"Kau ini bukannya membantu, justru menatapku seperti orang dungu," cibir Ify. "Tolong bawakan," ucapnya bossy sambil menyodorkan kopernya pada Daniel.

Daniel mendengus, "Benar-benar, harusnya aku yang marah, kenapa lama sekali?" Walau pun dari nada suaranya terkesan Daniel marah, tapi dia tetap saja membawakan koper Ify. "Tapi terimakasih, kau tidak membuat keputusan yang membuatku merana."

Ify menatap Daniel dengan tatapan kau-berhutang-banyak-padaku.

"Aku lapar, kita makan dulu?" Perkataan Ify bagaikan permintaan anak kecil yang tidak bisa ditolak, atau dia akan merajuk dan berantakan sudah semua rencananya.

"Kau mau apa?"

"Sesuatu yang manis."

***

Taiyaki isi cokelat Ify telah tandas dan kini dia sedang menikmati Taiyaki isi kacang merahnya. Wafel berbentuk ikan hias yang lucu ini sudah mengisi perutnya yang memang belum diisi sejak dia keluar dari rumah Kazune.

"Kau yakin tak mau kue ini Daniel?" tanya Ify basa-basi untuk yang ketiga kalinya, "aku boleh menghabiskannya?"

Daniel menoleh ke arah Ify dan tersenyum dari balik kemudi, "Tentu, kau telah bersedia bekerja sama denganku dalam misi ini, jadi apa pun yang kau minta pasti kuberikan. Oh, iya, berapa nomor ponselmu?" tanya Daniel sebelum nanti mungkin dia akan lupa lagi.

"Ponselku hilang," sahut Ify santai, seolah ponsel bukanlah barang berharga baginya.

"Begitu? Ya sudah nanti biar kubelikan," balas Daniel tidak kalah santainya.

Ify mendelik, "Kau mau membelikanku ponsel baru? Benarkah?" tanya Ify tak percaya namun antusias juga. Barang gratis? Siapa yang akan menolaknya?

"Tentu, untuk komunikasi kita mengenai perkembangan Ryo."

Ify mencibir, ternyata itu tujuannya. Semua pria sama saja, dengus Ify dalam hati. Baiklah, mulai sekarang Ify bertekad untuk tidak terlalu mudah terbuai dengan kata-kata manis pria. Karena di dalamnya pasti ada maksud terselubung.

"Jadi seperti apa rupa adikmu itu?"

"Namanya Ryo Tennouji, kalau kau menemukan seorang anak laki-laki dengan seragam tanpa nametag dan suka berkeliaran seenaknya saat jam pelajaran. Dipastikan dia adalah adikku, oh, iya, dia juga tidak pernah mengikuti pelajaran renang."

Ify mengangguk-anggukkan kepalanya, "Lalu, wajahnya?"

"Kau perhatikan saja aku, kami hanya berbeda di bagian hidung dan gigi. Hidungnya pesek dan dia punya dua gigi gingsul."

Ify menahan tawanya, Daniel yang mengetahui itu langsung tersenyum.

"Ada apa? Kenapa dengan adikku?" tanyanya penasaran.

"Dia pesek dan bergigi gingsul, kan? Apa dia mirip dengan drakula?" tanya Ify geli. "Bagiku orang yang memiliki dua gigi gingsul sekaligus itu mirip dengan drakula, pantas saja kalau kelakuannya suka menarik perhatian dan kekacauan."

Daniel hanya bisa tertawa mendengar komentar Ify mengenai adiknya. Berharap kalau nanti Ify bertemu dengan Ryo secara langsung Ify masih beranggapan kalau adiknya merupakan drakula yang menggemaskan dan mengundang tawa. Bukan justru membuatnya ingin loncat dari atap gedung asrama saking frustasinya.

"Aku berharap kau masih bertahan dengan pemikiranmu saat bertemu dengan adikku, bukan sebaliknya."

Ify mengernyit, untuk apa dirinya harus sekhawatir itu? Toh kakaknya saja bersikap begitu manis dan lembut padanya. Jadi sang adik juga pasti bersifat sebelas dua belas dengan kakaknya. Karena darah jauh lebih pekat dan kental daripada air.

***

Pintu dibuka dan didapatinya seorang wanita dengan perawakan Jepang yang begitu khas. Berkulit seputih pulam, alis tipis, mata kecil dan rambut panjang yang diikat rapi. Di tangannya sudah ada beberapa kantung yang diyakininya adalah seragam dan keperluannya selama tinggal di sekolah asrama ini.

"Maaf membuatmu lama menunggu, Ify," sapanya ramah. "Ini dia seragammu, buku dan peralatan lain akan dikirimkan secepatnya ke asrama. Ingat, ID Card ini jangan sampai hilang atau berpindah tangan, aku tak mau dengar lagi ada kasus penyusupan ke asrama seperti beberapa waktu lalu."

Rei Nozawa meletakkan seragam dan ID Card Ify di atas meja. Dia pun melipat tangannya di depan dada dan mengamati baik-baik wajah Ify.

"Daniel benar-benar mencintai Indonesia, semua gadis pilihannya selalu berasal dari sana," ujar Rei diakhiri dengan senyum geli.

Ify hanya bisa menyahut dengan senyum. Tak lama pintu kembali terbuka dengan suara seorang perempuan. Refleks, Ify pun menoleh.

"Summimasen, Rei-sensei, kau memanggilku?" tanyanya sopan. Tak lupa dia mengangguk dan memberi senyum pada Ify.

Rei memberikan kode pada Via untuk mendekat dan memperkenalkan Ify dengannya. Di sinilah kisahnya dimulai. Ify sebagai murid resmi Tennouji International School. Berkenalan dan berteman dengan Siren Victoria. Murid beasiswa asal Indonesia. Persamaan asal membuat kedua gadis ini dekat begitu cepat.

Sudah tentu membuat Ify nyaman dan tak sadar. Untukapa dirinya dikirim jauh-jauh ke negeri empat musim ini oleh waktu.    


BERSAMBUNG

Pembaca yang baik selalu ninggalin jejak berupa tanda bintang atau komentar ya ^^ Sampai jumpa di part selanjutnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro