Bab 7 : Hai, Ta!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kedua gadis berwajah serupa saling duduk berhadapan di meja makan. Tangan mereka saling bersedekap di dada. Keduanya hanya saling tatap. Di meja makan dua ponsel tergeletak.

“Jadi,”

Keduanya bicara bersamaan. Keduanya terdiam lagi.

“Kamu,”

Mereka kembali bicara bersamaan. Keduanya pun terdiam sekali lagi. Masing-masing menunggu siapa pun yang mau berbicara lebih dahulu.

“Aku dulu,”

Ketiga kalinya mereka bicara bersamaan. Keduanya menghela napas dengan cara yang sama. Lalu saling tatap. Satu menit kemudian keduanya malah tertawa bersamaan.

“Ha ha ha, jadi kamu ngapain aja, Ta?”

Regita tidak menjawab pertanyaan itu. Dia malah melepaskan ikatan rambutnya yang kemudian digulung cepol.

“Nggak ngapa-ngapain. Cuma ke dokter terus pulang.”

“Masa?” Renata menaik-naikkan alisnya. Sesekali dia melirik ponsel di atas meja. “Ada bukti tak bergerak di dalam ponselmu, loh.”

“Kamu sendiri? Waktu makan siang ngapain aja?”

“Ih, aku kan cuma gantiin kamu,” elak Renata. Perempuan itu kemudian menyambar ponsel. Dia lalu memeriksa ponsel itu. Dia menutup mata dan menekan fingerprint dengan jari tangannya.

“Pake segala tutup mata,” cibir Regita yang juga meraih satu ponsel yang masih tergeletak di atas meja.

Renata mengabaikan cibiran itu dan membuka mata. Saat melihat kunci layar terbuka, dia segera membuka aplikasi Whatssap. Wajahnya semringah melihat pesan teratas. Satu pesan dari nomor yang belum tersimpan.

Ekor mata Renata melirik kembarannya yang juga sedang sibuk menatap ponsel. Perempuan itu tak lagi menahan senyum. 

“Kamu kasih tahu nama panggilan kamu ke Ervan?” tanya Regita. Dia melihat senyuman di wajah saudaranya.

“Heem.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa kamu kasih tahu nama panggilan kamu?”

Renata menurunkan ponsel. Dia duduk menghadap Regit yang masih asyik dengan ponselnya.

“Kamu keberatan?” tanyanya.

Regita menggeleng.

“Terus?” tanya Renata lagi.

“Yaaa …, penasaran aja.” Regita mengangkat kedua bahunya.

“Aku cuma khawatir kalau pas dia manggil, akunya nggak nengok,” aku Renata membuat Regita mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Soalnya pas di café itu dia sempet manggil, kan. Dan dia manggillnya tuh ‘Regita’. Otomatis aku nggak ngeh dong.”
Regita terkekeh mendengar cerita dari Renata. “Jadi, kamu mutusin dia panggil kamu Rere, gitu?”

Renata hanya mengangguk.

“Kamu suka dia?”

Renata menatap Regita ketika pertanyaan itu terlontar.

“Kenapa kamu bilang gitu?”

“Karena kamu ngasih nomor kamu ke dia.” Regita tersenyum melihat Renata.

“Itu karena dia minta nomor handphone aku. Eh, nomor handphone kamu sebenarnya.”

“Tapi, kamu ngasih nomor handphone kamu, kan?”

Renata menggigit bibir bawahnya.

“Ta, aku—“

“Ssst. Nggak usah ngomong apa-apa.”

“Tapi aku—“

“Aku bilang diem. Nggak usah ngomong. Sekerang dengerin aku.” Regita memperbaiki posisi duduknya. “Aku yang maksa kamu untuk pergi menemui dia. Menggantikan aku. Tapi yang terjadi di café saat pertemuan itu, itu adalah kamu dan dia.”

Renata menatap Regita yang tersenyum.

“Kalau pada akhirnya memang kamu jadi suka sama dia. Aku nggak ada masalah. Toh, aku sendiri emang belum pernah ketemu sama laki-laki ini.”

Renata segera bangkit dan menghambur memeluk Regita. “Kakakku ini baik bangeet.”

Regita balas memeluk Renata. Keduanya berangkulan erat, hingga akhirnya suara dering telepon memisahkan pelukan mereka.

Regita segera mengangkat panggilan terlepon tersebut.

“Hallo.”

Dengan Mbak Regita?”

“Iya, saya sendiri.”

Saya mau nganterin makanan, Mbak. Bener kan di Florencia Tower?”

“Oh, iya, Pak. Naik aja. Lantai empat.”

Oh, bukan, Mbak. Saya belum sampai. Masih di restoran. Cuma mau konfirmasi pesanan aja.”

“Aahh.” Regita mengangguk  paham. Setelah lima menit berbicara dengan sang pengantar makanan, Regita akhirnya duduk di sofa. Tepat di sebelah Renata yang sedang menonton televisi.

“Kamu order makanan?”

“Iya. Lapar. Malas masak.”

“Pesen berapa porsi?”

“Tiga dong!”

Renata mendelik mendengar jawaban itu.

“Satu buat kamu. Dua lagi buat aku!” jelas Regita sambil menyeringai.

Renata mengacuhkan seringaian jahil dari saudaranya. Dia malah bertanya, “Jadi, siapa dia?”

Seringai di wajah Regita  menghilang. Dia pura-pura tak mendengar apa yang ditanyakan oleh adiknya. Perempuan itu memilih untuk mengambil remote tv dan mengganti saluran televisi.

“Jangan pura-pura, deh.” Renata menarik remote di tangan Regita.

“Apaan, sih?” gerutu Regita.

“Jawab dulu pertanyaan aku? Siapa dia?”

“Siapa apanya?”

Renata semakin menatap Regita dengan intens.

“Aku udah baca ya, pesan dari dia. Kamu pakai nama aku, kan.”

Regita membuang muka. Tak mau menatap wajah kembarannya.

“Ayo ngaku!”

Saat Regita beradu pandang, dia mencoba utnuk memperlihatkan wajah tak berdosa.

“Bukan siapa-siapa!”

“Ta, jujur, nggak?” paksa Renata sambil memelototi kakaknya itu.

“Ish, kan udah dibilangin bukan siapa-siapa.”

“Terus kenapa mesti pakai namaku??!”

“Soalnya … hhmmm … soalnya … hhmm….”

“Soalnya kenapa?” Renata merasa gemas dengan apa yang hendak disampaikan oleh Regita. Tidak biasanya saudara kembarnya bersikap aneh. Meskipun cenderung bertindak spontan.

“Soalnya dia tetangga kamu?”cicit Regita

“Apa?!”

“Dia tetangga kamu.”

“Tetangga yang mana?” Renata berusaha mengingat tetangga mana yang dimaksud. Seingat perempuan itu, tetangga kanan dan kirinya sudah berkeluarga. Tata nggak mungkin pacaran ngegebet laki orang, kan ya.

“Yang itu.”

“Yang mana? Pak Bondan? Mas Ragil?” Renata menyebutkan dua nama tetangga di kiri dan kanan apartemennya.

“Bukan,” sahut Regita.

“Terus?”

Regita mengacungkan telunjuk dan mengarah ke pintu. Renata mengikuti arah telunjuk Regita.

“Pintu? Maksudnya penjaga pintu? Penjaga pintu apartemen? Satpam?”

Regita menggelengkan kepala yang semakin membuat Renata merasa geregetan.

“Dia tetangga di depan unit kamu.”

Perlu beberapa detik bagi Renata untuk mencerna ucapan saudaranya. Seketika dia membelalakkan matanya. “Raspati?”

“Haah?” Gantian Regita yang melongo mendengar adiknya mengucapkan sebuah nama yang justru asing di telinganya.

“Oh, NO!” pekik Renata membuat Regita menjadi khawatir.

“Ada apa , Re?”

“Kenapa kamu harus pakai nama aku, sih? Dia itu orang gila!”

“Hah?” Regita kembali melongo. “Raspati tuh siapa?”

“Orang yang tinggal di depan unit aku. Namanya Raspati.”

“Ish, orang namanya Gandi, kok.”

“iya itu. Kenapa kamu pakai nama aku.”

“Yaaaa … kupikir karena kalian tetangga, dan aku nggak mau kamu terkesan jelek di mata dia.”

“Ihh … padahal biarin aja. Bagus kalau dia kesel sama aku.”

“Kook gitu?”

“Aku nggak suka sama dia.”

“Tapi, aku suka.”

Seketika Renata menatap Regita dengan ekspresi terkejut campur takut. Belum sempat ia melontarkan umpatan, bel berdering.

“Pesanan datang,” seru Regita merasa terselamatkan.

“Tunggu di sini. Biar aku yang ambil.” Renata mencegah Regita bangkit dari kursinya. “Pembicaraan kita belum selesai.”

***

“Berapa, Pak?” tanya Renata pada kurir.

“Loh, kan udah dibayar, Mbak.”

Renata terdiam lalu tersenyum kikuk. “Oh, iya, Pak. Saya lupa.” Renata yakin di dalam sana, Regita sedang menertawakan dirinya.

“Ini tanda terimanya, Mbak. Terima kasih.”

“Terima kasih, juga, Pak.”

Renata menutup pintu setelah si bapak pengantar makanan membalikkan badan. Baru beberapa langkah dari pintu Renata akhirnya berbalik lagi saat bunyi bel kembali terdengar.

“Ada apa lagi, Pak?” tanyanya sambil membuka pintu. Seketika dia termangu, melihat seorang pria berdiri sambil tersenyum jahil.

“Hai, Ta!” sapa laki-laki itu.




Bogor,
15 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro