Bab 8 : Pertaruhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Siapa lagi?” tanya Regita dari dalam.

Suara saudaranya membuat Renata segera menutup pintu. Dia berlari ke arah Regita yang menatapnya heran.

“Orangnya ada di depan,” ujar Renata sambil melewati Regita. Perempuan itu segera meletakkan makanan yang baru diterimanya dari kurir di atas meja makan.

“Siapa?” tanya Regita heran yang mengekori langkah kembarannya itu.

“Kita tukeran baju dulu, bentar.” Renata kemudian melepaskan kaus yang dipakainya lewat atas kepala.

“Ih, ngapain?” Regita masih saja heran melihat tingkah Renata yang kini hanya mengenakan bra dan celana katun.

“Buruan, buka kaos kamu. Kita tukeran baju.”

“Iya, ngapain, Re?”

“Si Raspati ada di depan pintu.”

Regita terkesiap sesaat. Sebelum kemudian bergerak untuk membuka bajunya. Dia segera meraih kaus Renata yang tersampir di atas sofa.

“Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?”

“Ish, padahal tinggal ngikutin aja omonganku,” gerutu Renata yang baru saja memakai kaus Regita. “Sana, buka pintunya.”

Regita melesat ke pintu dan membukanya. Gandi masih berdiri di sana dengan senyum yang sama.

“Hai, Ta!” sapanya lagi.

Regita melambaikan tangan. “Sorry, tadi gue simpen makanan dulu.” Dia pun menutup pintu di belakangnya. Keduanya hanya diam tanpa bersuara.

“Lo udah pulang?” tanya Regita.

Bagai tersadar, Gandi mengangkat tangan memperlihatkan paper bag berwarna pelangi. “Ah, iya. Gue Cuma nganterin kue doang. Ikut tiup lilin bentar, terus langsung pulang.”

“Oke.” Regita menganggukkan kepala mengerti. “Terus?”

Gandi mengernyitkan dahi tak mengerti dengan pertanyaan dari perempuan di hadapannya.

“Maksud gue, terus apa hubungannya paper bag warna-warni dengan lo pulang dan berdiri di depan pintu?”

Gandi nyengir. “Gue mau ngasih ini ke lo.”

Regita menerima paper bag itu dengan  sedikit canggung.

“Oh, okey. Thank you. Meskipun gue yakin ini isinya some sweets khas anak kecil.”

Regita menatap Gandi yang masih berdiri di hadapannya. Lak-laki itu tampak canggung karena ia melihat sekeliling tanpa berani menatap perempuan yang berdiri di depannya.

“So?” tanya Regita.

“Ah, enggak. Lo lagi ada tamu? Tadi gue denger ada suara lain?”

“Iya. Sodara gue. Untuk beberapa lama dia bakalan tinggal di sini sama gue.” Regita tersenyum menjelaskan.

Sorry, Re. gue terpaksa bilang gitu.

“Oh. Kalau gitu gue ganggu waktu lo berdua.”

Regita menggeleng cepat. ” Nggak masalah.”

“Kalau gitu, gue balik dulu.” Gandi membalikkan badan lalu melangkah menuju unitnya sendiri.

“Oke.” Melihat laki-laki itu sudah berbalik badan. Regita pun melakukan hal yang sama. Tangannya baru saja hendak meraih handle pintu ketika Gandi kembali memanggilnya.

“Ta.”

Regita menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Dia berbalik sambil tersenyum. “Iya?”

“Tadi gue sempat kirim pesan, lo ….”

“Iya. gue udah baca. Sorry belum dibalas.” Regita segera memotong kalimat Gandi.

Laki-laki itu menatap Regita lekat. Dia kemudian tersenyum. Sesungguhnya ada satu hal lagi yang ingin ia tanyakan. Mengenai seorang perempuan berambut sebahu. Dia juga merasa ada hal yang mengganjal saat perempuan itu membuka pintu pertama kalinya. Namun, dia mengurungkan pertanyaan itu.

“Oke. Nggak apa-apa.” Gandi kembali berbalik dan meneruskan langkahnya pulang.

Kali ini Regita berdiam cukup lama sebelum ia membalikkan badan juga. Dia bahkan sempat melambaikan tangan ketika Gandi menutup pintu apartemennya.

***

"Paper bag?” tanya Renata begitu Regita melangkah gontai ke meja makan.

“Kamu makan duluan?” Regita mengabaikan pertanyaan Renata. Dia melihat saudarinya itu sedang asyik menyantap paha ayam bakar.

Renata tidak menjawab. Dia hanya melanjutkan kembali makannya. Di piringnya kini hanya ada tulang-tulang ayam dan sambal yang tersisa sedikit.

Kursi di seberang meja bergeser. Regita duduk dan mulai mengambil bungkusan yang masih ada di dalam plastik.

“Jadi, kenapa kamu tiba-tiba nyuruh kita ganti baju? Kan bisa aja kamu yang ngomong sama dia?”


Renata menatap Regita. “Terus itu bintik-bintik di muka gimana? Kalau dia ketemu kamu siang tadi, berarti dia tau kan masalah di wajah kamu itu.”

Regita terlihat berpikir lalu mengangguk. Dia kembali meneruskan makannya. Ayam Bakar Spesial.

“Lagian aku malas ngobrol sama orang itu.”

“Kenapa sih, emangnya, Re?”

“Orangnya kan SKSD. Aku lebih suka menghindar deh dibanding harus ngobrol sama dia.”

“Tapi,  orangnya asik loh.”

“Terserah.” Renata bangkit sambil memebawa piring kotor ke wastafel. Setelah mencuci tangan, dia berbalik ke sofa dan melihat paper bag berwarna pelangi.

“Ini dari dia?” tanyanya sambil mengankat paper bag itu.

Regita melihat sekilas kemudian mengangguk.

“Dalam rangka apaan?”

Tanpa menunggu persetujuan Regita yang masih asyik menyantap ayam bakar, Renata mengeluarkan isi paper bag. Cupcake. Sebotol yoghurt. DIY paper craft. Tiga lolipop.

“Ini mah isi goddie bag ulang tahun nak-anak.”

“Emang.” Jawab Regita. Dia menghampiri Renata sambil mengeringkan tangan yang baru saja dicucinya. “Katanya itu ucapan terima kasih.”

“Alah, palingan itu modus doang.” Renata kembali memasukkan semuanya ke dalam paper bag. “Kamu serius, suka sama dia?”

Regita tidak menjawab. Dia hanya memandang layar televisi yang sama sekali tidak menyala.

“Ta. Sebenarnya aku nggak ada masalah siapapun orang yang kamu taksir. Tapi kalau kamu cuma sekedar iseng-iseng penasaran ….”

Renata diam tidak melanjutkan kalimatnya. Dia melihat Regita yang masih diam.

“Masalahnya adalah kamu pakai nama aku. Kalau nantinya sesuatu nggak berjalan dengan baik, berarti aku yang bakalan ….”

“Kamu juga tadi pakai nama aku, kan ketemu Ervan,”sergah Regita.

“Itu kan karena kamu yang minta.”

Keduanya sama-sama diam. Mendesah bersamaan.

“Menurutmu, apa yang akan terjadi, kalau kita jujur sama mereka?” tanya Regita pelan

“Maksud kamu?”

“Ervan kenal kamu sebagai Regita. Gandi kenal aku sebagai Renata. Apa yang bakalan terjadi kalo mereka sadar mereka salah orang?”

Renata terdiam mendengar penjelasan dari Regita. Dia merenungi apa yang akan terjadi terhadap mereka.

“Bisa jadi mereka cuma bakalan malu …,” lirih Regita.

“Atau justru sangat marah. Mereka bisa menganggap kita menipu mereka,” ungkap Renata menambahi.

“Jadi, haruskah kita jujur?” tanya Regita pelan. Pertanyaan yang entah tertuju pada Renata atau pada dirinya sendiri.

“Gimana kalau kita biarkan dulu aja?” usul Regita.

“Maksud kamu?”

“Gini. Walaupun mereka kenal kita dengan beda nama, tapi kita kan kasih nama panggilan kita ke mereka. Otomatis nggak akan salah orang, kan?”

“Intinya deh, Ta.”

“Intinya, biarin dulu aja kayak gini.”

“Gila kamu! Yang ada mereka bisa tambah marah. Mendingan kita jujur, palingan cuma malu.”

“Kalau kita jujur sama mereka, apa mereka bakal percaya?”

Renata kembali terdiam.

“Coba dengerin aku dulu. Kita biarin dulu aja kayak gini. Kita harus pastiin kalau orang yang mereka suka juga nggak salah orang. Setelah itu baru kita jujur. Gimana?”

“Yakin masalahnya nggak akan semakin melebar?”

“Yakin!”




Bogor,
Sabtu, 18 September 2021

A/N :

Okee...

Pertaruhan udah dimulai.
Kira-kira, gimana mereka akan menangani masalah tukar peran ini??

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro