BAB I. Pertama Kali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara burung berkicau merdu di tempat ini. Angin sepoi-sepoi berhembus pelan, begitu menenangkan. Dengan pohon-pohon rindang yang menyejukkan, ditambah tanaman-tanaman hias yang membuat taman sekolah ini bagaikan surga bagi pemuda yang sedang duduk di salah satu bangku panjang yang ada di sana. Sepi dan menenangkan. Inilah salah satu hal yang ia sukai selama ada di bumi.

Pemuda tadi menghela nafas panjang. "Setidaknya aku bisa beristirahat sebentar dari tugas-tugas yang diberikan," gumamnya. "Mengurusi dunia manusia ini tidak ada habisnya. Merepotkan saja."

"Kau berkata seperti itu seakan kau bukan dari dunia ini saja."

Pemuda tadi menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari belakangnya. Nampak seorang gadis berdiri tak jauh darinya.

"Ngomong-ngomong, apa sebenarnya yang kau bicarakan tadi? Rasanya aneh mendengar kata-kata seperti itu," tanyanya sembari berjalan mendekat ke arah si pemuda.

"Tidak. Tidak ada. Aku hanya bergumam sendiri. Tak usah dipedulikan," ucapnya.

"Aku tidak pernah melihatmu. Siapa namamu? Namaku Raysa. Raysa Kamila."

Ada keheningan sejenak sebelum pemuda tadi menjawab, "Reiza."

"Reiza? Reiza saja?"

Reiza mengangguk. Tanpa berbicara apa-apa lagi, ia berdiri dan berjalan meninggalkan Raysa yang memerhatikannya. "T-Tunggu! Kau mau kemana?" serunya.

"Bel sudah berbunyi. Cepatlah masuk kelas. Atau guru killermu akan menghukummu."

"Eh? Bagaimana kau tahu sekarang jam pelajaran matematika?" Raysa keheranan. Tapi, seakan hanya angin berlalu, Reiza tak memedulikan pertanyaan itu dan tetap berjalan menuju kelasnya.

Raysa hanya menghela nafas. "Dicuekin," gumam Raysa. "Ya sudahlah. Aku harus cepat-cepat ke kelas." Raysa berlari menuju kelasnya yang baru satu menit saat ia sampai ke kelasnya, guru pun datang. Dan kelas pun dimulai.

"':...**... :'"

Reiza menatap ke luar jendela kelas yang mengarah langsung ke lapangan olahraga. Terlihat beberapa siswa berlari kesana kemari. Ada juga yang sedang duduk-duduk istirahat setelah gilirannya sudah terlewat.

Tapi, bukan semua itu yang Reiza perhatikan. Dia tidak memperhatikan apapun sedari tadi. Gurunya yang sedang menerangkan di depan pun ia hiraukan. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Masih memikirkan gadis di taman tadi.

"Gadis tadi ... Apa ia mendengar omonganku barusan?"

Sejujurnya, Reiza sedikit terkejut saat tiba-tiba gadis itu menghampiri dirinya di taman tadi. Untungnya, Reiza dapat segera menyembunyikan keterkejutannya itu.

Haruskah ia melakukan sesuatu padanya? Kalau gadis tadi mendengar apa yang ia katakan, ia harus segera melakukan sesuatu. Atau masalah lain akan muncul. Tapi bagaimana jika ternyata gadis itu tidak tahu apa-apa?

"Reiza!" Seseorang membentak padanya. Itu gurunya. Reiza terbangun dari lamunannya dan menoleh ke arah guru yang sudah menatapnya garang. Teman-temannya juga menatap ke arahnya.

"Apa yang kamu lihat di luar sana?" tanya guru tersebut dengan nada suara yang ditinggikan. "Karena kamu tidak memperhatikan sedari tadi, berarti saya anggap kamu sudah bisa. Kerjakan soal ini. Sekarang!" Guru tadi menunjuk ke papan tulis yang sudah penuh oleh angka-angka yang tak beraturan. Terlihat begitu ruwet. Dan soal yang ditunjuk oleh sang guru, adalah soal kuadratik dengan aljabar yang memusingkan. Kalau dilihat-lihat, ini adalah soal SMP yang dibahas lagi di SMA. Tapi tetap saja, rata-rata anak sekolahan melupakan materi yang telah lalu.

Reiza bangkit dari duduknya lalu berjalan ke depan dengan santainya. Mengambil spidol yang tergeletak di atas meja guru, dan mulai mencoretkan jawaban di atas papan tulis. Spidol yang beradu dengan papan tulis menghasilkan suara decitan yang terdengar cukup keras di antara kepentingan kelas itu. Dan tak sampai 5 menit, spidol yang digunakan Reiza sudah ia letakkan lagi di atas meja.

Guru dan teman-temannya memandang papan tulis dengan tak percaya. Soal yang disuguhkan pada pemuda tadi sudah terjawab dengan benar, juga komplit dengan penjabarannya. Padahal, soal tadi dapat dibilang cukup sulit karena baru dibahas hari ini. Dan untuk seseorang yang tidak memperhatikan sejak awal kelas dimulai, dapat menjawab soal sekomplit itu adalah sesuatu yang cukup mengejutkan.

Di saat guru dan teman-temannya masih tak bergeming, Reiza melangkahkan kakinya. Namun bukan tempat duduknya yang ia tuju, melainkan pintu kelas yang tertutup. Tanpa memperdulikan seruan gurunya yang memerintahkannya untuk kembali duduk, ia meraih gagang pintu dan membukanya. Lalu keluar dan menutup kembali pintunya tanpa membalikkan badan.

Ia menghela nafas. "Mungkin lebih baik aku ke perpustakaan."

"':...**...:'"

"Kenapa ... kau juga ada di sini?" Reiza menatap gadis yang terlelap di atas mejanya, bukan, tapi diatas buku yang sepertinya tadi ia baca.

"Cepat bangun dan cari tempat lain! Ini meja yang biasa aku pakai," seru Reiza.

"Mm-hm .... Diamlah. Aku sedang berusaha belajar untuk ulangan."

BLETAK!

"A-Aww!" Raysa mengelus-elus kepalanya. "Sakit ...." Ia mengangkat kepalanya. Melihat pemuda yang sedang memegang buku di salah satu tangannya yang terangkat. Ah, itu bukunya. Buku bahasa Indonesia yang cukup tebal itu sudah berpindah tangan darinya. Dan ia menduga buku itu telah digunakan pemuda itu untuk membangunkannya.

"Kau ..., laki-laki yang di taman tadi, kan? Reiza? Sedang apa kau disini?"

"Bukan urusanmu kenapa aku di sini," tukas Reiza. "Lebih baik sekarang kau berdiri dan cari tempat lain. Ini tempatku."

"Meja di perpustakaan ini boleh ditempati siapa saja. Jadi bukan masalah kalau aku duduk di sini," balas Raysa.

Reiza mendecih. Dan memilih untuk duduk di bangku yang kosong di depan Raysa. Buku yang diambilnya dari Raysa tadi ia lempar ke hadapan Raysa. Membuat gadis itu terlonjak kaget. Tujuan Reiza ke sini adalah untuk mencari ketenangan. Meladeni orang keras kepala seperti Raysa tak akan ada habisnya. Jadi dia memilih untuk mengalah.

"Sebenarnya kau ke sini mau apa? Kau tidak terlihat membawa buku untuk dipinjam dan dibaca," selidik Raysa di balik buku yang ia baca.

"Aku bolos pelajaran. Memangnya kenapa?" ucap Reiza sinis. Raysa mendengus. Lalu melanjutkan kegiatan membacanya. Tapi sekali lagi, ia mengintip dari balik bukunya dan memperhatikan Reiza yang sedang terpejam, dengan kepala yang bertumpu pada sebelah tangannya.

Reiza yang merasa diperhatikan membuka matanya dan melihat ke arah Raysa dengan tahapan seperti orang yang terganggu. "Apa?" tanyanya dengan nada yang memang benar-benar menunjukan bahwa ia terganggu.

"Eh. Tidak. Hanya saja, kau ini ... Apa memang selalu sendiri, ya?" Raysa mengutarakan rasa penasarannya pada Reiza.

Reiza yang mendapat pertanyaan seperti itu mengerutkan dahinya. "Selalu?"

"Yah, soalnya tidak sekali itu aku melihatmu duduk di taman belakang sekolah. Beberapa kali aku pernah melihatmu di sana ... sendirian," jelas Raysa.

"Dasar penguntit."

"Bukan begitu! Aku memang sering ke sana untuk mengecek tanaman yang kutanam di sana. Itu sudah jadi kebiasaanku."

Reiza memutar bola mata tanda tak percaya.

"Dan kupikir ... karena kau selalu sendiri, berarti kau tidak punya teman." Raysa menutup bukunya. Jari telunjuk dan jempolnya memegang dagu nya. Seperti orang yang sedang berpikir akan sesuatu. "Kau sulit bergaul, ya? Oh, bukan. Mungkin tidak ada yang mau berteman dengan orang yang terlalu cuek pada orang lain sepertimu," lanjutnya.

"Pertemanan? Aku tidak butuh hubungan seperti itu," sahut Reiza. "Hubungan seperti itu hanya akan menghambat pekerjaanku saja."

Namun, seakan hanya angin berlalu saja, Raysa tak memperdulikan tanggapan Reiza. Gadis itu menyingkirkan bukunya, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Reiza. Dengan tersenyum ia berkata, "Nah, kalau begitu Reiza, aku akan menjadi temanmu, mulai hari ini. Ok?"

"Hah?"

"'...**..."'

==BAB 1--DONE==

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro