ABM- Part [1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku berlari dengan gaun pengantin yang tidak sempat aku ganti, tidak mengacuhkan umpatan orang-orang yang aku tabrak.

Air mataku tumpah seketika. Saat kuterima kabar yang begitu mengagetkanku. Bahkan hingga meruntuhkan duniaku. Aku tak bisa bersikap tenang.

Setelah sampai diluar, aku mencari taksi yang tak kunjung muncul. 10 menit terasa lama sekali saat ini, hingga akhirnya ada taksi melaju ke araku.

Segera aku men-stop dan naik ke dalamnya, "Pak rumah sakit, cepat ya Pak!" ucapku serak disela tangisku.

Supir taksi itu mengangguk mengerti.

Taksi melaju sudah sangat cepat, tetapi aku tetap merasa kurang.

Hingga akhirnya 15 menit yang begitu menyiksa itu berakhir. Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan bangunan besar di hadapanku. Aku membayar argo taksi dengan segera. Kemudian keluar dan langsung berlari dengan bingung mencari ruang bertuliskan ICU.

Aku tau aku menjadi pusat perhatian karna pakaian yang aku kenakan. Tapi tak ku pedulikan semua orang. Karena hanya ada satu orang yang sekarang mengisi semua pikiranku.

Setelah beberapa lama aku mencari dan bertanya, akhirnya aku sampai di tempat tujuanku. Aku menghentikan langkahku, sebelum melanjutkan kembali dengan langkah gontai. Disana, keluarga tunanganku dan Kakak ku berada di depan ruangan bertuliskan ICU itu. Dan mereka terlihat sangat gelisah.

Kakak ku menghampiriku saat ia mengetahui keberadaanku.

Melangkah ke arahku, ia menghambur memelukku.

"Bagaimana keadaan Marvel, Kak?" tanyaku berusaha tegar.

Kakak ku melepaskan pelukannya."Belum tau, belum ada konfirmasi dari dokter. Dia masih dalam proses pemeriksaan. Kau harus bersabar."

Perasaan menyesal itu kini menggelayutiku. Seharusnya tadi aku tak memaksanya untuk menemaniku ke butik, jika saja aku tak memaksanya mungkin saat ini aku masih mendengar dan melihat tawa dan senyumnya.

Tapi aku tak boleh berpikiran negatif. Ku seka air mata yang membasahi pipiku. Dia akan baik-baik saja. Dia tidak akan pernah meninggalkanku sendiri. Batinku.

Perhatian kami beralih ketika pintu ruangan ICU itu terbuka, Dokter keluar dengan keringat yang membasahi dahinya dan raut muka yang tak bisa ku baca. Tapi, sepertinya terjadi sesuatu dengannya.

"Bagimana keadaan anak saya, Dok?" ucap tante Siska tak sabar menghampiri Dokter yang sudah berumur itu.

Sedang, aku hanya melihat dan mendengar dari jauh, aku tak siap dengan apa yang akan di katakan Dokter itu.

"Kami sudah berusaha sebisa kami, Nyonya. Kami sudah berusaha dengan maksimal. Maaf, tapi Tuhan berkehendak lain ..." kata-kata itu terus berputar do dalam pikiranku, ketika indera pendengar tiba-tiba saja menjadi tuli, tak bisa mendengar apalagi yang Dokter itu katakan selanjutnya. Mataku tiba-tiba saja mem-blur dan perlahan menggelap, lututku terasa begitu lemas hingga tak bisa lagi menopang tubuhku sendiri.

-

Aku terbangun dan tersentak dari alam bawah sadarku. Mengerjapkan mataku, aku memegang kepalaku yang terasa sedikit sakit. Setelah pandanganku fokus, aku bangkit dari tidurku dan menyapukan pandanganku. Aku berada di ruangan yang berwarna abu-abu dan cream. Ini kamarku.

Teringat sesuatu, aku mengalihkan pandangaku pada pakaian yang aku kenakan. Aku tak memakai gaun pernikahaanku.

Dan aku merasa sangat lega. Ternyata kejadian tadi hanyalah mimpi. Meski tak sepenuhnya merasa lega, tetap saja aku bersyukur kalau kejadian itu tidak menimpaku.

Aku menuruni tempat tidur dan melangkah ke arah pintu kamar, ketika kudengar orang-orang diluar tengah membicarakanku dan pernikahanku.

Aku hendak membuka pintu ketika tiba-tiba pintu itu terbuka terlebih dahulu. Kakak Marissa berada di balik pintu, "Kau sudah bangun?" ucapnya, menatapku lembut.

"Ya, Kak. Aku mimpi buruk." Aku menubruknya dan memeluknya dengan erat.

Mimpi itu terasa sangat begitu nyata.

Kurasakan usapan lembut tangannya di punggungku. Membuatku semakin menenggelamkan tubuhku dalam pelukanku. "Aku bermimpi, Marvel meninggalkanku," gumamku lirih Melepaskan pelukanku, aku menarik napas lalu menghembuskannya, "Tapi, itu semua hanya mimpi. Dia tak meninggalkanku." Ku alihkan pandanganku pada jam yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Jam menunjukan pukul 2 siang.

"Kak, aku ada janji dengan desainer-ku hari ini untuk fitting baju. Dan aku telat tiga jam. Bagaimana ini, Kak?" ucapku panik. Aku berbalik dan masuk ke dalam kamarku, menyambar tas di tempat tidurku. Aku merogroh tasku dan mencari benda kecil yang aku sayangi itu. Menekan 'recent call' aku mencari kontak bernama My Beloved.

Keningku mengerut melihat notif yang aku terima. Ada panggilan masuk dari Kak Marissa pukul 11:35. Aku tak ingat dengan telpon itu. Akan tetapi, aku taidak acuhkan notif itu. Segera aku melakukan panggilan pada nomer telpon Marvel.

Beberapa kali aku mencoba memanggilnya. Tapi tetap saja jawabannya selalu sama. "Nomer yang anda tuju tidak dapat dihubungi."

"Mengapa nomernya tak dapat dihubungi?" ucapku pada diriku sendiri. Aku mencoba sekali lagi, dan masih tak bisa kuhubungi.

DEG ...

Perasaanki tiba-tiba saja menjadi tidak enak, ketika kulihat Kak Marissa masih berdiri di depan kamarku. Kedua tangannya saling meremas dan menatapku sedih. Apa yang telah terjadi?

"Kau tak perlu pergi ke butik, Za. Bajumu sudah ada disni."

"Disini?" tanyaku bingung, "Tapi, Siapa yang mengantarkannya?"

"Sebaiknya kau ikut Kakak, sekarang." Kak Marissa melangkah masuk ke dalam kamarku, lalu menarik tanganku untuk mengikutinya keluar rumah.

Dia mengajakku ke luar rumah. Aku benar-benar bingung ketika melihat Kak Marissa masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil itu juga ada Mami dan Papi.

"Cepatlah naik, Nak." ucap Mami membuyarkan pikiranku. Dan tanpa berpikit panjang, aku mengikuti semuanya masuk ke dalam mobil.

Mobil yang aku tumpangi melaju semakin jauh dari pekarangan rumahku.

45 menit berlalu, mobil ini berhenti depan depan rumah yang sangat aku kenal, dan sepertinya di dalam rumah itu banyak sekali orang. Kusapukan pandanganku, hingga mataku terpaku pada sesuatu yang membuatku terkaget-kaget. Ada bendera kuning terpasang di pekarangan rumah itu.

Aku menoleh pada Kakak ku, bertanya dengan isyarat menanyakan apa yang sedang terjadi. Mulutnya bungkam. Buliran bening dari matanya yang yang menarik perhatianku, membuatku semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Mami dan Papi pun tak menjawab. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa semua orang bungkam?

Sebelum aku mati karena rasa penasaranku yang tak kunjung ada jawabannya, cepat-cepat aku keluar dari mobil untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Di dalam rumah ramai sekali, mereka terlihat sedang berduka. Kusapu seluruh ruangan dengan pandanganku. Marvel? Aku tak menemukan Marvel dimana-mana. Calon mertuaku, calon Kakak iparku dan calon Adik iparku serta semua keluarga calon suamiku tampak duduk menghadap pada seseorang yang di tutupi kain putih dan batik pada bagian wajahnya.

Perlahan aku melangkah ke arah seseorang di balik kain itu. Tak ada yang memberhentikan langkahku. Dengan lemas aku berlutut di kedua kakiku. Dengan tangan gemetar, aku mencoba menyingkap kain batik yang menutupi wajahnya.

Setelah berhasil ku singkap. Tubuhku beku seketika. Tak percaya dengan yang aku lihat. Dia ... dia yang terbaring kaku tak bernyawa di hadapanku. Semua itu bukanlah mimpi. Ini nyata.

Napasku mendadak sesak, badanku terasa lemas, tangisku tumpah seketika.

"Marvel?" gumamku terbata dan lirih tak kuasa dengan apa yang aku lihat, jemariku mendingin dan bergetar saat hendak aku menyentuh wajahnya.

Tetapi aksiku terhenti, ketika seseorang mencoba merangkulku. "Sabarlah, Kak. Air matamu jangan sampai jatuh pada tubuh Kak Marvel."

Tak hentinya air mataku mengalir deras. Aku meraung, meneriakan namanya demi mengusir sesak di dadaku yang tak kunjung memudar. Calon Adik iparku dan Kakak ku mencoba menenangkanku. Meski sebenarnya itu sama sekali tidak membuatku tenang, yang aku inginkan hanya Marvel bisa membuka matanya dan memelukku. Bagaimana bisa ini semua terjadi padaku?

Bahkan aku sempat berpikir ini semua adalah sebuah rekayasa untuk memberiku kejutan atau semacamnya. Tapi tidak seperti yang aku pikirkan setelah aku melihat sendiri Marvel di kebumikan. Tak bisa lagi menahan diriku,penglihatanku menggelap saat kudengar adzan dari dalam tanah yang sudah di gali. Tubuhku terkulai tak dapat kupopong, samar-samar kedengar beberapa orang memanggil namaku.

***

Saat aku bangun, aku merasa mataku sembab. Aku melihat sekitar, dan terdengar orang-orang yang sedang berbincang di luar ruangan.

Mataku menyapu isi ruangan ini kamar Marvel... Batinku. Semua kejadian hari ini, terlintas di dalam pikiranku bagaikan potongan film. Menyadarkanku pada keadaan yang membuatku terpukul. Mengingatkanku akan kehilangan orang yang sangat aku cintai, dan aku merasa kehilangan semangat hidupku juga.

Mataku tak henti-hentinya melihat-lihat seisi kamar ini, hingga sebuah kotak buludru kecil berwarna merah yang berada di atas nakas berhasil menarik perhatiaanku.

Perlahan aku bangkit dan turun dari tempat tidur, meraih kotak itu. Lalu ku buka kotak itu dengan tangan bergetar. Air mataku kembali menyucuk di balik mata, hingga mengeluarkan isinya. Sepasang cincin dengan mata berlian berwarna putih bening yang cukup besar di banding dengan berlian-berlian kecil di sepanjang batang cincin itu kini terpampang di hadapanku.

Aku ingat sekali dengan cincin ini, aku yang memilihnya waktu itu. Dan aku langsung tertarik dengan cincin ini saat pertama melihatnya.

Air mataku menyeruak dengan deras, tak dapat lagi ku bendung. Seharusnya dua hari lagi cincin ini, Marvel akan sematkan di jari manisku. Tapi semua itu tidak akan pernah terjadi karena semua kejadian hari ini.

Menarik napas dalam-dalam, aku menahan rasa sakit yang begitu dalam di hatiku.

Suara pintu kamar yang terbuka, berhasil mengalihkan perhatianku. Aku menoleh ke arah pintu, disana calon Ibu mertuaku tengah berjalan ke arahku dengan tatapan sayang.

"Sayang? Kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?" aku melihat kesedihan dimatanya dan kekhawatiran terhadapku.

Aku tersenyum samar, "Aku gak apa-apa tante."

"Oh, syukurlah kalau begitu, Nak. Bisa ikut tante sekarang? Ada yang ingin kami bicarakan sama kamu," ucap nya meraih tanganku, membantuku berdiri.

Aku mengangguk kemudian menyimpan kembali kotak buludru merah yang ku genggam, pada tempatnya kembali.

***

Vomment nya aku tunggu ya :))

Semoga kalian suka ya :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro