ABM - Part [2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah pembicaraan keluargaku dan keluarga Marvel tadi, otakku benar-benar tak bisa mencerna apa yang telah mereka sampaikan padaku.

Bagaimana bisa itu semua terlintas pada pikiran Marvel? Bisa-bisanya ia, pria yang aku cintai menginginkan oranglain menggantikannya sebagai calon mempelai prianya.

Bahkan aku sama sekali tak tau seperti apa pria itu. Masalah apalagi yang akan kuhadapi ini. Besok adalah hari pernikahanku dengan Marvel. Hari dimana aku akan bahagia.

Tapi itu tidak akan terjadi, karna pria itu bukan Marvel. Bukan pria yang aku cintai.

Ingin sekali aku menolak dan lari dari kondisi yang kuhadapi saat ini. Tapi sayangnya itu semua tidak akan terjadi.

Selain ini adalah keinginan terakhir Marvel, juga aku tak mau membuat keluargaku malu. Meski ku yakin semua orang yang sudah di undang pasti akan mengerti adanya.

Orang tuaku sudah sangat banyak berbuat untukku. Ini semata-mata hanya untuk membalas kebaikan mereka, meski aku tau semua perbuatan orangtuaku tidak akan bisa aku membalasnya.

Semoga ini yang terbaik untuk kehidupanku kedepannya.

"Alizaaa?" Ku dengar suara dari luar kamar memanggilku. Itu suara Kak Marissa.

Aku memilih tak menjawab, dan membalikan badanku membelakangi pintu.

Kudengan suara handle pintu bergerak. Tanda ada seseorang yang mencoba masuk ke dalam kamar.

"Za, ayo sarapan dulu."

Aku tak menggubris omongan Kakak-ku, tempat tidurku bergerak menurun saat Kak Marissa duduk di pinggir ranjangku.

"Kau harus makan Za, besok hari pernikahanmu, jangan sampai kau jatuh sakit." Kak Marissa benar-benar tak mengerti perasaan adiknya, dia bicara seolah-olah semuanya mudah.

Aku baru saja berduka dan sekarang harus menikah dengan pria yang tidak aku kenal dan tidak aku tahu bagaimana pria itu.

"Kakak sangat mengerti perasaanmu, tapi jika tak mau mengapa semalam kau menyetujuinya?"

Air mataku tanpa di sadari menetes, aku menerimanya karna keadaan aku hanya tidak ingin membuat orang tuaku malu dan kecewa karna aku batal menikah.

"Menangislah sepuasmu, Kakak tidak akan melarangmu. Tapi kau harus makan, ayo!" Sepertinya isakanku terdengar olehnya. Kak Marissa merangkulku agar aku berdiri dan mengusap air mataku.

Aku mengikutinya sampai di ruang makan. Disana Mami dan Papi sudah menungguku sepertinya.

Mami tersenyum kepadaku dan menarik salah satu kursi untuk aku duduk. "Kau tak papa kan, sayang?" Mami mengelus lembut rambutku.

Aku menggeleng dan tersenyum terpaksa.

"Syukurlah, ayo makan." Ia menghela napas lalu menatapku dengan senyuman yang hangat..

Selera makanku tidak ada, malas sekali aku menyuapkan makanan itu kemulutku.

"Apa kau tak suka makanannya sayang?" Suara Mami membuyarkan lamunanku

Kilihat piring yang masih penuh dengan nasi goreng kesukaanku. Aku tak pernah bisa menolak godaan nasi goreng buatan Mami tapi, kali ini mulutku menolaknya.

Dari baunya aku yakin Mami membuatkannya spesial untukku, karna aku belum memakan apapun sepeninggalan dari rumah Marvel. Maka dari itu Mami ingin menggugah selera makanku. Tapi ini takkan berhasil.

"Aliza gak nafsu, Mi."

"Setidaknya kau harus makan sesuap atau dua suap nasi sayang, besok hari pernikahanmu, kondisimu harus baik." Mendengar kata pernikahan itu semakin membuat nafsu makanku hilang.

Aku hanya memasukan satu suapan, itu pun perlu air untuk mendorongnya, mulutku benar-benar menolak.

"Oh iya, Rommy kapan sampai di Indonesia, Kak?"

"Nanti siang, Mi," jawab kak Marissa.

Aku mengalihkan pandanganku dari nasi goreng yang sedang ku aduk-aduk sejak tadi di hadapanku. Mendengar soal Kak Rommy aku jadi ingat dengan Niken dan Jeremy yang akan tiba di Indonesia siang ini juga.

Niken dan Jeremy adalah teman kuliahku, mereka pacaran sejak kuliah, dan setelah lulus mereka memilih membuka usaha di luar negri.

Mereka datang karna mau menghadiri pernikahanku dengan Marvel, dan aku belum sempat menceritakan yang terjadi pada mereka.

"Aku ikut ya, Kak. Niken sama Jeremy juga tiba siang ini."

"Tidak, kau tidak boleh kemana-mana hari ini, biar Kakakmu yang sekalian jemput mereka dan membawa mereka kesini," ucapanku di bantah Mami.

Aku sangat bosan sekali dirumah tadinya, kalau aku menjemput mereka aku bisa hangout dulu setidaknya bisa sedikit aku melupakan masalah yang kuhadapi saat ini.

"Tapi, Mi.."

"Mami bilang tidak ya tidak, kau tak boleh kemana-mana sampai hari pernikahanmu. Mami tak mau terjadi apa-apa sama kamu."

"Yasudah biar Kakak aja yang jemput mereka, nanti Kakak ajak mereka menginap disini." Mendengar itu semua aku hanya mengangguk pasrah.

Suara bel rumah didengar oleh semua anggota keluargaku.

"Biar aku saja yang buka." Aku beranjak pergi dan melangkah ke arah pintu utama.

Aku mendengus ketika seseorang di balik pintu itu terus menerus menekan belnya. Tidak sabaran!

"Iya bentaaaar, bawel banget sih."

Mempercepat jalanku, aku membuka pintu rumah. Keningku berkerut menatap seseorang yang kini berdiri di hadapanku. Senyum mengembang di bibirnya. "Jasmine?" ucapku menatapnya tak percaya.

"Hai," katanya seraya mengangkat tangannya, menyapa.

"Lho, lo kok ada disini?" tanyaku masih bingung. Karena seingatku, Jasmine sedang berada di luar kota dan dia akan datang ke acara pernikahanku besok. Tidak sekarang.

"Gue kangeeeen," serunya menubruk tubuhku dan memeluknya erat.

Aku tersenyum dan membalas pelukan sahabatku yang satu ini. "Iya, gue juga kangen sama lo," ucapku menepuk-nepuk punggunnya. Lalu melepskan pelukanku.

"Lo kaya gak seneng gue dateng?" katanya menatapku kesal.

Aku terkekeh, lalu mencubit kedua pipinya gemas. "Gue gak nyangka aja lo dateng sekarang. Harusnya lo kasih kabar dulu."

"Hehe, kan ceritanya mau kasih kejutan." Wanita cantik di hadapanku menyengir, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. "Btw, sabar ya, Za. Gue udah tau semuanya." senyuman di bibirnya memudar, berganti dengan tatapan sedih dan simpati.

Aku memaksakan tersenyum. Lagi-lagi seseorang mengingatkanku pada Marvel.

"Lo tau darimana? Seingat gue, gue belum cerita sama lo?"

"Revan kasih tahu gue, kemarin. Makanya gue cepet-cepet dateng kesini."

Biar kalian gak bingung, aku bercerita dulu boleh? Oke, jadi gini. Waktu aku masih kuliah dulu. Aku punya tiga sahabat. Jasmine, Niken, dan Jeremy.

Aku ingat ketika kami bertiga mendapatkan masalah persahabatan yang menurutku agak konyol jika aku memikirkannya sekarang. Bagaimana tidak, karena Jeremy satu-satunya cowok di geng kami. Kami bertiga sempat kebawa perasaan. Diam-diam ternyata kami mempunyai satu perasaan yang sama pada Jeremy.

Semua itu terbongkar ketika, dengan sengaja kami mengadakan sesi curhat-curhatan dengan tema, memberi tahu siapa cowok yang sudah bikin kami baper. Dan jawaban kami semua sama yakni, Jeremy.

Wajar saja sebenarnya. Jeremy adalah tipe pria yang romantis dan perhatian, kalo tampan mah udah jangan diragukan lagi. Makaya kita semua terpincut.

Cobaan persahabatan kami tidak berhenti disana. Ketika, kami akhirnya tahu bahwa Niken lah yang akhirnya bisa merebut si pangeran romantis itu.

Kami sempat memusuhi mereka berdua karena hal itu.

Tapi, setelah kami pikir-pikir malu juga musuhin temen sendiri gara-gara cinta bertepuk sebelah tangan. Nah, disitu kita (aku dan Jasmine) membuat keputusan memperbaiki persahabatan kami, dengan menerima Jeremy dan Niken pacaran. Sempat sakit hati, kalo liat mereka berdua mesra-mesraan di depanku. Tapi, apa boleh buat? Aku tak ingin bersikap egois. Begitu pula dengan Jasmine.

Sampai suatu saat aku bertemu dengan Marvel dan temannya-Revan. Seiring berjalannya waktu aku semakin dekat dengan Marvel. Awalnya, aku gak tau kalau Jasmine sama Revan juga saling suka.

Aku ingat saat malam valentine empat tahun yang lalu kita jalan bareng-bareng. Tidak di sangka-sangka Marvel menyatakan perasaannya padaku. Dan disisi lain juga sama Revan menyatakan perasaanya pada Jasmine. Jadi hari jadi aku sama Jasmine itu barengan di tanggal bulan dan tahun yang sama.

Mengingat semua itu bagaikan di hujam batu yang besar, menyakitkan. Marvel sudah tak berada di sisiku sekarang, sedangkan aku masih bisa lihat teman-tamanku bersama pasangan yang mereka, yang mereka cintainya.

"Woi!" Aku mengerjap ketika suara Jasmine menerobos gendang telingaku. "Sabar, ya. Kita selalu ada buat lo disini. Btw, ayo masuk gue kangen tante, om dan Kakak lo." Jasmine merangkulku, menghelaku masuk ke dalam rumah.

"Hai om, tante," saat sampai di ruang makan Jasmine melepaskan rangkulannya di pundaku lalu bersun tangan pada Mami dan Papi. "Hai, Kak Marissa? Apa kabar?" tambahnya.

"Eh, Jasmine. Kemana saja? Jarang main kesini sekarang?" ucap Mami.

"Iya tante aku masih sibuk sama pekerjaanku, ini aku khusus cuti untuk anak ini," jawabnya kembali merangkul bahuku. Aku senang sahabat-sahabatku masih ada di sampingku bahkan saat aku punya masalah.

Mami tersenyum, "Ayo, makan bersama. Kamu pasti laper, 'kan,"

"Engga, Tante terima kasih. Aku tadi sempat mampir ke cafe dulu."

"Oh, yasudah."

"Ayo ke kamar aja." Aku menggandeng tangan Jasmine dan mengajaknya ke kamar setelah Jasmine menyimpan oleh-oleh buat kami.

Aku membaringkan tubuhku saat sampai di kamarku.

"Jadi gimana ceritanya?" Mataku menatap Jasmine yang duduk di tepi tempat tidur. Pertanyaan itu membuatku teringat masalah yang sedang kuhadapi. Malas sekali sebenarnya, aku membahasnya.

Ini pernikahan konyol. Aku menjalani hubunganku pasang surut selama empat tahun. Sekaranglah puncaknya kami mendapatkan kebahagiaan. Tapi, orang lain lah yang akan memiliki aku sepenuhnya setelah hari esok berakhir.

"Gue ceritain nanti kalau Niken sama Jeremy udah datang aja. Malas kalo harus cerita dua kali," ucapku malas.

Untungnya Jasmine hanya mengangguk mengerti.

Keheningan terbentang diantara kami. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan. Sementara Jasmine, seakan mengerti dan memberi waktu aku untuk berpikir. Entah berpikir untuk apa. Tapi, ini yang aku butuhkan.

"Gimana hubungan lo sama Revan?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutku.

Jasmine mengalihkan pandangannya padaku dari ponsel yang sejak tadi di mainkannya.

Revan dan Jasmine, menurutku mereka adalah pasangan yang sangat cocok dan romantis. Meski kadang kelakuan mereka berdua bisa membuat kita geleng kepala. Apalagi kalau sudah berdebat. Mereka seakan punya dunianya sendiri. Tidak peduli jika ada yang merasa terganggu oleh ulah mereka. Tapi, mereka selalu punya cara untuk berbaikan kembali. Dan itu membuatku iri. Pertengkaran mereka, membuat hubungan mereka semakin erat.

Obrolan kami meracau kemana-mana. Sudah lama rasanya aku tidak berbicang-bincang panjang lebar seperti ini dengan sahabatku. Semenjak Jasmine memutuskan meneruskan usaha orangtuanya di luar kota.

Aku melirik pada jam yang berada tak jauh dariku. Sudah menunjukan pukul 3 sore.

Aku bangkit dari tempat tidur ketika mendengar ada seseorang yang baru saja datang.

Belum sempat aku membuka pintu kamarku. Pintu sudah terbuka terlebih dahulu.

"Aliza...? I miss you...." Niken menghambur ke arahku dan memelukku. Aku tersenyum mendengar ucapannya dan aku membalas pelukannya.

"Gue juga," jawabku.

"Lo ga kangen sama gue, Ken?"

Kami melepaskan pelukan kami, ketika Jasmine berucap.

Niken menatap Jasmine bingung, lalu mengangkat bahunya tak acuh. Melangkah melewatiku dan Jasmine masuk ke dalam kamar.

"Niken!" rengek Jasmine kesal.

Niken, aku dan Jeremy yang memperhatikan tertawa lepas melihat sikap Jasmine yang kekanak-kanakan. Niken tak berubah dia selalu usil pada Jasmine. Dan Jasmine dengan kekanak-kanakannya.

"Iya gue juga kangen sama lo." Niken kembali berbalik dan memeluk Jasmine yang masih kesal.

Sedangkan Jeremy masih berdiri di ambang pintu. Dengan sikap so coolnya. Tapi, memang cool, sih. Tambah cool malah. Eh.

Semua kebahagiaan dihadapanku ini sejenak bisa melupakan kepenatan di dalam benakku. Tapi bagaimana jika mereka sudah tidak ada, mereka sudah sibuk dengan urusan mereka lagi. Aku pasti sangat kesepian. Jasmine masih di Indonesia sedangkan Niken dan Jeremy? Aku tak mau kehilangan mereka. Meski aku tau mereka tidak akan hilang. Senyumku menyungging di bibirku, setelah itu ku gigit bibir bawahku, aku tak ingin terlihat cengeng. Yang ada aku ikut tersenyum meski terpaksa.

"Za, gue ikut berduka," ucap Niken menatapku sedih.

"Gue juga, Za. Tenang saja kita akan selalu ada di samping lo, kok," susul Jeremy, memberi pelukan singkat padaku.

Bibirku tersenyum berbanding terbalik dengan hatiku yang sangat merasa hancur.

Kami pun berpelukan berempat. Setelah itu aku menceritakan semua nya pada sahabat-sahabatku. Mereka memang sempat kaget sekali. Tapi, harus bagaimana lagi tak ada yang bisa menghalangi. Hari pernikahanku akan di laksanakan esok.

Mengingat hari itu. Aku memikirkan seseorang yang akan menggantikan Marvel. Bagaimana jika orang yang akan menjadi suamiku itu adalah om-om mesum. Tapi apa Marvel tega melakukannya? Aku segera menyingkirkan pikiran yang engga-engga tentang hari esok.

Obrolan kami suguh menyita waktu, semuanya tidak terasa. Kami mengobrol sampai larut malam.

Aku, Jasmine dan Niken tidur bersama, sedangkan Jeremy tidur di kamar tamu sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro