ABM - Part [5]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Melihatnya yang terlihat merasa terpukul. Ku beranikan diri melangkahkan kakiku mendekati Radit yang terduduk.

"Maaf jika aku sudah merusaknya," ucapku pelan. Mencoba menarik perhatiannya.

Tak ada jawaban darinya. Dia hanya meremas rambutnya dengan frustasi sebelum ia mendongkakan kepalanya, melihat ke arahku yang berdiri di hadapannya.

"Maaf," ucapku kembali. Wajahnya berubah dingin, membuatku sedikit bergidik ketika dia menatapku tajam. Aku melangkah mundur satu kali ketika ia beranjak pergi ke arah kamar, melewatiku. Lalu tak lama dia keluar lagi, dan pergi menggunakan mobilnya. Akan pergi kemana dia? Menemui wanita bernama Alya tadi, kah?

Kuhempaskan tubuhku dengan kasar pada sofa. Menutup seluruh wajahku dengan telapak tangan. Tangisku mulai pecah. Menangisi apa yang aku pun tidak tahu itu apa. Ingatanku kembali mengingat akan Marvel. Jika saja aku menikah dengan Marvel. Semua ini tidak akan terjadi. Tidak akan ada orang yang tersakiti karena kehadiranku. Apa aku sanggup menjalaninya setelah ini? Aku terjebak dalam kondisi seperti ini.

Apa kau melihat ini Marvel? Jika maksudmu aku akan bahagia dengan ini kau salah besar. Aku sama sekali tidak merasa bahagia dengan semua ini, harus hidup dengan orang yang tak kuncintai dan tak mencintaiku. Ini benar-benar sulit.

Aku bangkit dari kursi dan masuk ke dalam kamar, membaringkan diri di tempat tidur. Entah apa yang membuat alam seakan merasakan hatiku, gelegar kilat masuk menerobos ke dalam kamar melalui jendela, awan menjadi kelabu dengan angin yang berhembus kencang.

Aku bangkit dan melangkah menutup jendela yang terbuka. Sesaat menatap hujan yang turun deras secara tiba-tiba, mampu membasahi semua yang berada di bumi dengan waktu singkat. Mengingat semua kenangan bersama Marvel yang sudah tak berada di sampingku. Kebahagiaan direnggut begitu saja dariku. Apa ini adil untukku? Aku merasa, aku dijauhkan dengan semua orang yang menyayangiku.

Pada siapa aku harus mengadu sekarang? Sesak terasa, aku merasa dadaku penuh, kutangkup wajahku dengan kedua tanganku, lagi-lagi aku menangis. Sial! Sejak kapan aku menjadi cengeng seperti ini? Kau membuatku menangis terus-menerus.

Aku memutar tubuhku menghadap kedalam kamar, bersandar pada dinding lalu tergelosor tubuhku hingga bokongku menyentuh lantai. Kulipat kedua kakiku dan ku benamkan wajahku disana "Marveel..." dalam hati ku berteriak.

Baiklah jika ini yang kau inginkan aku akan menjalaninya, menjalani hidupku yang kelam. Laki-laki yang sekarang jadi suamiku itu adalah pilihanmu bukan?

Tubuhku terasa lemas, mataku terasa berat dan beberapa kali aku terkerejap. Sampai tubuhku mengalah dan meringkukan diri di lantai. Tubuh yang mendingin hingga dinginnya lantai berlapis marmer itu pun tak terasa. Saking lelahnya tubuhku, aku terlelap tanpa menghiraukan suara petir yang saling bersahutan. Hingga aku sampai di bawah alam sadarku.

***

Aku mengerjapkan mataku, mempertegas penglihatanku yang terhalang kabut. Semakin lama bayangan laki-laki itu semakin mendekat dengan senyum mengembang di bibirnya.

Aku mengucek mataku meyakinkan apa yang kulihat sekarang ini benar. Senyum perlahan tersungging di bibirku melihat laki-laki yang kurindukan ini. Aku beranjak dari tempat tidur dan menghampirinya. Dia membuka kedua tangannya lebar-lebar dan aku menghambur memeluknya dengan erat.

Kehangatan yang aku rindukan, wangi yang aku rindukan. Aku merindukannya hingga tak tahan menahan air mata yang membuncah. Aku mendongkakan kepalaku melihat wajahnya.

"Jangan pernah tinggalkan aku lagi," ucapku tertahan, Marvel tak menjawab dia hanya tersenyum.

Rasa nyaman yang aku rasakan membuatku kembali terlelap, mencari posisi yang enak sambil memeluk tubuh kekar dan hangatnya.

***

Mataku terbuka saat merasakan dingin yang begitu menusuk ke dalam pori-poriku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap sekeliling. Aku dapat mengingat sekarang, aku sedang berada di kamar dan tidur di lantai di bawah jendela.

Badanku terasa sangat tidak enak, semuanya terasa sakit, dan kepalaku pusing luar biasa. Aku mencoba bangkit dengan ekstra tenaga yang kupunya. Berjalan meraba-raba mencari saklar lampu, karna lampu di kamar ini masih gelap. Entah berapa lama aku tertidur di lantai. Yang pasti di luar sana sudah gelap.

Dan akhirnya aku menemukan saklar itu. Segera aku menekannya. Membuat ruangan yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang menderang. Mataku melihat jam yang berada tidak jauh dari aku berdiri. Sekarang sudah menunjukan pukul setengah satu malam. Aku tertidur di lantai itu cukup lama. Aku melihat kesekeliling, sepertinya Radit belum pulang sejak kepergiannya tadi sore.

Menghempaskan tubuhku di tempat tidir yang terasa hangat dan nyaman ini. Aku kembali meringkuk mencari posisi yang nyaman. Tubuhku benar-benar terasa sangat tidak enak. Sakit semuanya. Aku lelah, aku perlu istirahat.

Ting tong!

Oh, shit. Baru saja aku akan menutup mata. Aku terpaksa harus kembali membuka mataku ketika, aku dengar suara bel rumah berbunyi. Siapa yang bertamu semalam ini? Pikirku. Tak bisakah menunggu hari esok?

Mengangkat tubuhku yang terasa berat, aku berusaha berjalan dengan sempoyongan menahan pusing luar biasa, keluar dari kamar untuk membuka pintu. Semua pelayan di rumah ini pasti sudah kembali ke vapilliun untuk beristirahat. Karna memang semua pelayan di rumah ini tidur terpisah dari rumah utama, jika jam kerja mereka sudah selesai.

Sebagian lampu sudah di matikan. Dan suara bel itu terus berbunyi tak sabar. Setelah aku berhasil memegang handle pintu dan memutar dua kali kunci untuk membukanya.

Di balik pintu ada tiga orang laki-laki yang aku kenal. Radit di popong oleh kedua sahabatnya Chandra dan Bimo. Dan aku bisa menebak Radit pasti tengah mabuk berat.

"Aliza, suamimu mabuk. Dia tak bisa di kendalikan. Apa ada masalah? Dia tak biasanya begini jika masalahnya tak begitu berat," ucap Bimo dengan tenang.

Tentu saja aku langsung mengingat pertengkaran suamiku dengan kekasihnya tadi sore.

"Ya, dia sempat bertengkar dengan Alya tadi,"

Candra mengerutkan dahinya saat mendengarkan penjelasanku.

"Benarkah? Tapi setahuku dia tak pernah seperti ini kalau hanya bertengkar dengan Alya? Apa yang terjadi?"

"Aku gatau, Mas. Mungkin karena Alya menyuruh Mas Radit melupakannya."

Seketika aku melihat sorot ketidaksukaan di mata Chandra. Beda dengan Bimo menatapku biasa saja.

"Udah, lah. Gue pegel ini, buruan masuk," ucap Chandar kesal.

Hei? Ada apa dengannya?

"Yaudah, ayo," jawab Bimo

Tapi, kemudian Chandra tiba-tiba melepaskan tangan Radit yang di papahnya. Membuat Bimo kehilangan keseimbangan karena harus memopong berat tubuh Radit dengan tiba-tiba. "Lo aja, gue nunggu di mobil," Sementara itu dengan refleks aku memegang tangan Radit dan menaruhnya di pundaku membantu Bimo membawanya ke kamar.

Bimo menoleh ke belakang melihat Chandra yang mulai menjauh dan menghilang masuk kedalam mobil.

Setelah sampai di dalam kamar, kami membaringkannya di tempat tidur, dan Radit sepertinya benar-benar tidak sadar meski kami hempaskan tubuhnya dengan kasar ke tempat tidur. Ia sama sekali tidak terusik. Yang ada, Radit mengerak-gerakan tubuhnya seakan mencari posisi yang nyaman untuk ia tidur.

"Maafkan sikap Chandra tadi ya, Za. Seharusnya dia gak bersikap begitu. Dia pasti menganggap kamu penyebab Radit terpuruk seperti ini. Dia sebenarnya baik. Dia hanya gak mau temannya terluka," ucap Bimo tanpa basa-basi. Ia menepuk bahuku beberapa kali, memberi ketenangan.

Aku tersenyum melihatnya, Bimo sama percis seperti Marvel. Aku menatap sedih dan merasa bersalah saat Chandra bersikap seperti tadi. Tapi, tanpa harus menjelaslan dia tau apa yang aku rasa. sama seperti halnya Marvel. Dia selalu berhasil tau apa yang tengah aku rasakan.

"Gak apa-apa, Mas Bimo. Aku mengerti posisiku saat ini." Aku kembali tersenyum hangat menatapnya.

"Yasudah kalau kau mengerti, Mas pulang dulu. Chandra pasti sudah menunggu."

"Aku antar kedepan," ucapku mensejajarkan langkahku dengannya.

"Lo lama banget, sih! Buruan napa? Gue ngantuk nih," gerutu Chandra dari dalam mobil setelah membuka kaca jendela mobil.

"Yasudah, Za. Mas pulang, ya. Tolong jaga Radit, bilang sama dia besok gak usah ke kantor. Biar Mas Bimo saja yang ambi alih pekerjaannya. Dia sepertinya akan butuh beberapa waktu untuk beristirahat. Kunci semua pintu. Mas pulang dulu," ucap Bimo panjang lebar, sebelum melangkah ke arah mobilnya. Aku menjawabnya dengan anggukan mengerti dan tersenyum.

Aku berdiri di teras hingga mobil mereka hilang setelah melewati gerbang rumah. Dan segera masuk lagi ke rumah.

Radit sedang tertidur lelap di tempat tidur, masih menggunakan kemeja tadi sore bahkan sepatu nya belum dilepas. Aku menatapnya lama. Dia begitu damai dalam tidurnya. Aku baru menyadari, ternyata dia begitu tampan dengan hidung mancung, bibir pink dan bulu mata panjang lentik yang terlihat menggemaskan.

Aku menggeleng menyadari apa yang aku pikirkan. Maafkan aku Marvel. Aku takkan mudah melupakanmu.

Aku melangkah menuju tempat tidur dan duduk di tepi ranjang membuka sepatu yang masih Radit kenakan. Dan menyimpannya di sisi tempat tidur.

Bau alkhohol begitu menyengat dari tubuhnya, seberapa banyak dia minum? Sebegitu depresinya kah dia? Hingga berakhir tak sadarkan diri seperti ini. Entah apa yang aku rasakan, tapi sekarang aku merasa, aku iri pada Alya. Radit begitu mencintai gadis cantik itu. Iri karna Marvel sudah tak berada di sisiku atau.. iri dengan hal lain. Entahlah....

Dan apa yang kau pikirkan, Aliza? Pikiranmu sudah kemana-mana. Tentu saja Radit akan seperti ini, karna Alya lah yang dia cintai. Dan sepertinya aku harus segera tidur dari pada aku terus berpikir yang tidak-tidak. Lagi pula kepalaku masih terasa pusing dan aku masih merasa tak enak badan.

Aku melanglah memutari tempat tidur dan membaringkan tubuhku di samping Radit. Aku menarik selimut dan menyelimuti kami hingga pinggang. Aku memilih tidur membelakanginya.

Kantuk sudah menyerangku dan aku hampir terlelap.

"Alya...." Karna mendengar Radit begumam aku kembali terjaga di tambah dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya yang sangat erat. Dia mengatakan apa tadi? Alya? laki-laki ini sudah jelas mencintai gadis itu. Sedikit sesak aku mendengarnya. Ah, tidak. Ini pasti sesak karna aku di peluknya sangat erat hingga membuatku tak bisa bernapas.

Aku berusaha melepaskan pelukannya tapi tak berhasil. Pelukannya sangat kuat. Semakin ku coba, tangannya melingkar semakin erat.

"Alya, ku mohon. Jangan tinggalkan aku." Aku mendengarnya begitu lirih dan mendengar dia terisak. Apa terisak? Apa dia menangis?

Aku membalikan tubuhku, pelukannya tak begitu erat lagi. Tapi tetap aku dalam pelukannya hingga saat aku membalikan tubuhku. Wajah kami begitu dekat. Bau alkhohol begitu pekat. Aku menatap seksama wajahnya benar saja aku melihat air mata mengalir di sudut matanya meski sebenarnya dia sudah tak menangis sekarang. Di bantal yang tiduri pun tampak bulatan tak begitu besar menggenang bekas air matanya.
Membuat warna di bulatan sarung bantal itu lebih tua di banding aslinya. Dia benar menangis. Menangisi kekasihnya.

Lama aku memerhatikannya, hingga aku tak dapat lagi menahan kantukku. Aku tertidur dalam pelukannya.

Sinat mentari yang masuk kedalam kamar menerobos ke jendela memaksaku untuk membuka mata, terasa perih rasanya saat aku mencoba membuka mata menyesuaikan penglihatanku. Kepalaku pun terasa masih pusing dan tak enak badan. Badanku terasa bertambah sakit. Aku mengerang, sebelum aku bangun dari posisi tidurku. Dan membuat selimut yang menyelimuti melorot hingga ke pinggang. Dan saat itu juga, mataku terbelalak. Ketika aku melihat dan menyadari aku hanya memakai pakaian dalam, saja.

Astaga, apa yang terjadi? Kemana semua pakaianku. Aku melihat ke samping. Radit sudah tak ada di sana. Kemana dia. Apa yang dia lakukan semalam? Apa dia memacam-macamiku? Ah, sial aku tidak ingat apapun.

***

Vomment nya ya:))

Komen kalo ada yang salah dan perlu di perbaiki. Jangan lupa telan bintang oke:))

Semoga kalian suka...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro