ABM - Part [4]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hingga pagi tiba mataku terbuka aku menoleh ke sampingku, sosok lelaki yang berbaring di sampingku sudah tak berada di tempatnya.

Benarkah ini hanya mimpi, tapi ini bukan mimpi dengan kelopak bunga yang masih bertaburan di mana-mana.

Aku menoleh saat kudengar suara handle pintu bergerak.

"Kau sudah bangun? Bagaimana tidurmu." Radit berada di balik pintu. Dia sudah berpenampilan rapi entah akan kemana, tapi bukan pakaian kerja.

Dia melangkah ke arahku. "Cepat bersiaplah, kita akan pulang."

Aku mengubah posisi tidurku menjadi terduduk, keningku mengerut. "Pulang?" Pulang kemana? Ini rumahku.

"Kau sudah sah menjadi istri Mas, jadi kamu harus mengikuti kemanapun suamimu pergi. Dan kita tidak akan tinggal di rumah orangtuamu. Jadi cepat bersiaplah, Mas menunggumu di meja makan. Pakaian dan barang-barang sudah di kemasi," ucapnya sebelum meninggalkan kamar.

Aku menghela napas dalam-dalam, apalagi ini? Tinggal bersamanya? Bisakah aku? Aku membuang napas dengan kasar, dan beranjak dari tempat tidur yang nyaman ini, melangkah ke arah lemari. Benar saja baju-bajuku sebagian besar sudah tidak berada di tempatnya. Aku meraih handuk dan mandi. Dengan berendam air hangat, mungkin bisa membuatku melepas lelah.

Meskipun dia terlihat baik padaku, tapi hatiku merasa ada yang aneh. Dan tentu saja begitu. Membayangkan aku bisa menikah dengan orang yang tak ku cintai saja aku tak ingin, bagaimana aku bisa mencintainya. Mengenalnya saja aku, tidak. Dan sekarang aku sudah menjadi istri seseorang tersebut? Hari-hariku mungkin takkan indah lagi setelah ini.

Pandanganku menerawang jauh entah kemana, tanganku memainkan air yang merendam seluruh tubuhku. Kenyataan hidup yang pahit. Sekilas aku melihat bayangan Marvel tersenyum padaku, pria yang sangat aku cintai.

Air mataku yang tertahan pecah seketika, sakit rasanya mengingat semua kenanganku dengan pria yang ku cintai itu. Aku masih tak percaya dengan jalan hidup yang aku jalani sekarang.

"Aliza? Kau sedang apa lama sekali." Beberapa gedoran di balik pintu kamar mandi menyadarkan lamunanku.

Bergegas, aku segera bangkit dan meraih handuk yang menggantung di sisi pintu kamar mandi. Aku membuka pintu dan Radit sudah berada di hadapanku. Untung saja aku memakai handuk baju.

"Iya aku siap-siap dulu, keluarlah aku mau berpakaian " ucapku saat berjalan melewatinya dan melangkah menuju lemari.

"Kau menangis?" ucapnya saat pandangan kami bertemu, mataku memang memerah dan sembab akibat nangis tadi. Segera aku memalingkan pandanganku. "Tidak, ini terkena sabun tadi."

"Yasudah, kalau kenapa-kenapa bilang, aku tunggu di mobil. Jangan lama-lama, ya." Aku memperhatikan sosoknya yang mulai menghilang dibalik pintu.

Setelah memilah-milih akhirnya aku memutuskan untuk memakai baju blous warna peach dan rok bunga-bunga selutut. Setelah mengeringkan rambut dan mengikatnya dengan kuncir kuda aku segera keluar kamar. Keadaan diluar sudah tak seramai semalam, bahkan Kak Marissa pun sudah pulang ke rumah suaminya tadi pagi. Hanya ada Mami dan Papi disini.

Sempat sedih karna harus meninggalkan kedua orangtuaku di rumah. Tapi, ini konsekuensi nya. Aku sudah bukan milik kedua orangtuaku lagi sepenuhnya. Sekarang sudah ada laki-laki yag menggantikan posisi orangtuaku untuk menjaga dan melindungiku.

Setelah bersedih-sedihan akhirnya waktu mengharuskanku segera pergi. Aku melambaikan tangan saat mobil di pekarangan rumahku ini mulai melaju.

Suasa hening di dalam mobil, kami sibuk dengan pemikiran masing-masing. Radit fokus dengan jalanan di depan. Sedangkan aku memilih untuk melihat keluar jendela. Menikmati setiap apa yang kulihat.

Beberapa jam kami berada di dalam mobil, perjalanan yang melelahkan. Rumah suamiku jauh dari rumahku tadi. Rumahku di daerah selatan sedangkan, rumah suamiku berada di daerah utara.

Setelah berjam-jam berada di dalam perjalanan. Akhirnya mobil kami terhenti di sebuah pekarangan luas, di depan rumah yang tak begitu besar, tetapi mewah bercat abu-abu, merah dan hitam.

Tampak beberapa pengurus rumah tangga menyambut kedatangan kami. Satu laki-laki dan wanita paruh baya, ada juga wanita seumuran denganku yang berpenampilan seperti seorang pelayan restaurant dengan rambut lurus di gerai, kemeja dan rok mini juga sepatu hak tinggi yang ia gunakan tak lupa polesan make up yang tak begitu menor.

Aku segera keluar setelah suamiku membukakan pintu mobil untukku. Mereka tampak tersenyum ramah dan sedikit menunduk. Aku pun membalas senyumannya mereka.

Tapi, setelah melihat wajahku aku bisa menangkap raut terkejut mereka akan kedatanganku. Mengapa seperti itu? Apa ada yang salah?

"Pak Jarwo, tolong bawa barang-barang kami kedalam ya," ucap Radit saat melangkah melewati mereka. Pak Jarwo menggagguk.

Aku melangkah di belakang suamiku dengan tanganku berada di genggannya. Pintu putih di depan sepertinya yang kami tuju. Setelah beehasil masuk ruangan ini sangat luas tapi isinya tak terlalu banyak, hanya ada tempat tidur ukuran King, lemari baju yang besar, seperangkat sofa dan meja nya lalu meja rias di samping kiri tempat tidur.

Radit mengempakan tubuhnya di tempat tidur, sedangkan aku memilih ke kamar mandi untuk membersihkan badan, karena perjalanan yang cukup menyita waktu, badanku jadi merasa lengket sehabis mandi tadi pagi.

Setelah beberapa menit berlalu, aku telah selesai dengan mandiku. Kini aku menemukan suamiku sudah tertidur- sepertinya, barang-barang pun sudah berada di ruangan luas ini, aku membuka koper milikku dan memilah baju yang akan aku kenakan dan pilihanku pada t-shirt berwarna putih dan hotpants warna gelap.

Setelah selesai berpakaian, perutku terasa lapar ditambah lagi bau makanan yang menggoda indra penciumanku. Aku sekilas menatap sosok laki-laki yang sedang tertidur lelap di tempat tidur. Laki-laki yang akan membimbingku kelak. Sebelum aku keluar sempat aku melihat-lihat seisi ruangan besar ini, sampai frame foto yang terbalik berada di nakas menarik perhatiaku. Aku meraih foto yang terbalik itu. Aku melihat foto seluet pria yang mencium pipi wanita, dan yang aku yakini pria itu adalah suamiku.

"Sedang apa?" Frame foto yang ku pegang hampir saja lepas dari genggamanku, aku menoleh pada Radit yang sudah terjaga entah sejak kapan.

"Eh...." Aku merasa tidak enak ketahuan melihat-lihat barang pribadinya seperti ini.

Mata Radit beralih pada frame foto yang masih ku pegang. Sesaat aku menelisik raut wajahnya. Apakah dia akan marah padaku, tetapi hingga beberapa saat aku tak kunjunh melihat sorot kemarahan dimatanya, dia bangkit ke arahku. "Itu aku dan pacarku, simpan lagi pada tempatnya," ucapnya datar tanpa aku bertanya.

Karena aku tak mau mencari masalah. Aku hanya menurut, menyimpan lagi frame foto itu seperti semula. Aku sudah tau itu pasti pacarnya, entah kenapa aku merasa sakit hati mendengarnya. Bagaimana bisa ia mengatakannya dengan raut wajah polos seperti itu? Aku memang tak punya perasaan padanya tapi setidaknya dia sudah menjadi suamiku sekarang. Dan dengan entengnya dia bilang itu pacarnya dan meyuruhku untuk menyimpannya kembali lagi. Jiwa pemberontakku tiba-tiba saja ciut jika menghadapinya. Kenapa seperti ini?

"Jadi lain kali kau jangan pernah lagi kau menyentuh barang-barang pribadiku. Apa kau mengerti?" ucapnya masih dengan raut wajah datar. Diraihnya foto itu dan membenarkan posisinya yang tergeletak.

Aku mengangguk, "Maaf...." Hanya kata itu yang terlontar dari mulutku, meski aku tak tau apa salahku.

"Sudahlah, tak apa. Kamu sudah makan? Dari pagi kau belum sempat makan bukan?"

"Ya," jawabku singkat. Perutku sudah sangat lapar. Dan aku malu jika harus mencari-cari makanan di dalam rumah yang tidak ku kenali ini. Untunglah dia bertanya.

"Kau duluan saja ke ruang makan, aku mau bersih-bersih dulu." Tanpa menjawab aku langsung meninggalkannya di kamar.

Semua kehiduapnku menjadi asing sekarang. Orang-oranya, keadaannya, kondisinya. Semuanya tak kukenali.

Bahkan setelah aku keluar dari kamar tidur, aku benar-benar bingung harus melangkah ke arah mana? Dimana ruang makan yang di maksud Radit?

Akan tetapi, untung saja aku masih bisa menangkap bau makanan yang mengguar ke seluruh penjuru, sehingga bau masakan itu dapat membawaku kesana. Terlihat wanita paruh baya yang kini tengah menata berbagai macam masakan di atas meja makan. Mbak Sumi namanya, ditemani wanita yang berpenampilan waiters tadi yang bernama Ningsih. Aku menyeret salah satu kursi di meja makan dan menghempaskna tubuhku di atasnya. Kugunakan tanganku untuk menopang dagu. Ningsih menyambutku dengan senyum dan aku membalasnya. Tak ada perbincangan basa-basi disini, pikiranku larut pada pria yang kini aku sebut 'Suamiku' itu. Berbagai macam pemikiran kini berputar di dalam benakku, terus mempertanyakan pertanyaan yang tidak kuketahui jawabannya. Hingga telingaku mendengar seseorang tengah berbicara. "Iya, sampai bertemu disana." Aku menoleh pada arah suara, dan aku melihat dia sedang mengobrol dengan seseorang di balik telpon sebelum menutupnya.

"Mau kemana?" Bodoh! Gadis batinku merutuki dirinya sendiri, untuk apa aku peduli dengan urusannya? Kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku? Hati kecilku tak ingin sedikitpun mengetahui apa yang mau dia lakukan.

"Ada acara bersama teman-teman, dan sepertinya Mas akan pulang larut malam sekali. Jadi, malam ini kau tidur duluan saja, tidak usah menungguku pulang." Bagus, itu yang aku harapakan. Sepertinya akan lebih baik jika dia tak berada di rumah. Aku tersenyum dan mengangguk mengerti.

Tak lama ponselnya kembali berdering, aku melihat senyuman terukir pada bibir pinknya. Entah siapa yang menghubunginya? Dan untuk apa pula aku harus peduli? Tak ingin tahu, aku mengalihkan pandanganku pada piring berisi makanan dan menyuapkan pada mulutku.

Suara bel rumah memecah keheningan diantara aku dan Radit. Ningsih yang juga mendengar suara bel, segera beranjak membukakan pintu rumah. Tak beberapa lama bermunculan beberapa orang. Tiga orang laki-laki dan dua orang wanita dengan satu diantara wanita itu diseret di paksa untuk masuk.

"Gue bilang gue gak mau! Kenapa kalian maksa banget, sih!" ucap wanita yang diseret masuk.

Aku menghentikan aktivitasku begitu juga dengan Suamiku.

Wanita itu diam saat melihat pada Suamiku lalu, kemudian dia melihat ke arahku. Begitu juga dengan teman-teman yang lainnya. Mereka menatap bingung padaku.

"Ini siapa, Dit? Sepupu lo, ya? Cantik juga," ucap salah satu pria teman Suamiku, tiba-tiba merangkul bahuku mendekat pada tubuhnya. Berengsek! Main rangkul aja!

Aku menggerakkan tubuhku rusih. "Apaan, sih! Lepasin!"

"Gery, lepasin dia!" ucap Radit tenang. Aku menepis lengan pria bernama Gery itu, yang lancang merangkulku.

"Aliza, kenalin ini teman teman, Mas. Ini Gery, Chandra dan Bimo. Yang ini Dea dan Alya," ucap Radit memperkenalkan satu per satu dari mereka. Dan satu yang menjadi perhatianku. Jadi, wanita yang diseret masuk itu namanya Alya. Aku menyalaminya satu-satu.

"Jadi kapan kita berangkat? Lebih cepat lebih bagus bukan?" ucap Bimo laki-laki yang menarik perhatianku, aku melihatnya seperti melihat Marvel.

"Gue gak ikut," kata wanita yang bernama Alya. Ia menangkis tangan Chandra dan Dea yang memeganginya.

Aku hanya menonton tanpa tahu apa yang mereka bicarakan dan mereka rencanakan, kembali duduk di kursi, aku melanjutkan acara makanku yang tertunda.

"Kenapa? Kalian sedang berantem? Ini 'kan acara kalian. Gak seru kalo salah satu diantara kalian gak ikut. Ayo ikut, Al,"  ucap salah seorang dari mereka.

Setalah aku memasukan suapan terakhir ke mulutku, aku memilih meninggalkan
Suamiku dan teman-temannya lalu, memilih menyibukan diri di dalam kamar.

"Mas, aku masuk kamar, ya. Mau istirahat. Capek," ucapku sebelum meninggalkan ruang makan, Radit hanya bergumam, "Hm..."

Mendengar jawabannya aku segera berjalan meninggalkan semuanya. Dan aku sempat mengerutkan keningku ketika, tatapanku dan tatapan wanita yang bernama Alya itu bertemu. Dia menatapku seakan tidak suka akan keberadaanku.

Mereka bilang sekarang adalah acara Radit dan Alya? Atau mungkin? Wanita di dalam foto tadi itu adalah Alya.

Tak mau banyak berpikir. Aku melihat pada koperku yang terbuka, setelah aku sampai di dalam kamar. Daripada aku bingung akan melakukan apa. Jadi, aku memilih untuk merapikan semua barang-barangku. Hingga tak lama aku mendengar wanita berteriak dari luar dan seperti ada orang tengah beradu mulut, salah satu suara aku mengenalnya, itu suara Radit. Apa yang sedang terjadi diluar? Demi membunuh rasa pernasaranku, aku bergegas keluar dari kamar dan melihat apa yang tengah terjadi. Disana hanya ada Radit dan Alya. Mereka berada, di ruang tamu. Aku menguping di balik dinding yang membatasi antara ruang tamu dan ruang keluarga.

"Dengar, sayang. Dia memang istriku, tapi aku tak mencintainya. Aku mencintaimu tidakkah kau mengerti itu?" Mendengar Radit berkata seperti itu membuat hatiku pilu, entah apa yang membuatnya begini. Aku tak peduli dia mencintai siapa. Tapi, kenapa mendengar pernyataan dengan tegas Radit bahwa dia mencintai wanita lain membuat hatiku sakit.

"Lalu, kenapa kamu memilih menikahi dia kalau kamu memang cinta sama aku Dit?"

"Kau tau Marvel sepupuku? Sahabat kecilku? Dia meninggal pada kecelakaan dua hari sebelum menikah. Dia memintaku untuk mewujudkan impian calon istrinya. Aku tak ada pilihan lain. Sudah banyak sekali ia membantuku. Di tambah ini adalah permintaan terakhirnya. Aku tak bisa menolak." Radit merendahkan nada suaranya.

Dan mengapa sekarang aku merasa menjadi orang paling bersalah disini? Dengan begitu aku sadar aku telah menghancurkan hubungan mereka.

Entah apa yang membawaku menemui mereka "Maaf..." ucapku lirih.

Sontak mereka menoleh padaku "Kau menguping?" Radit melangkah ke arahku.

"Aku telah salah menikah denganmu. Kau tak mencintaiku, begitupun aku. Maaf karna aku telah mengganggu hubungan kalian."

"Kau tak salah, sudahlah! Tak ada gunanya di perpanjang. Sepertinya hubungan kita hanya sampai disini saja. Kau sudah terikat dalam sebuah ikrar. Mulai dari sekarang aku minta kau mencoba melupakan aku, dan mulailah mencintainya." Aku pikir Alya akan melabrakku dan memakiku, tapi dugaanku melenceng, dia terkesan menyerahkan miliknya padaku. Ini membuatku lebih merasa bersalah. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pernikahanku baru saja berjalan satu hari, haruskah aku bercerai sekarang? Konyol. Memang semuanya konyol dari awal.

Radit mengacak-acak rambutnya frustasi. "Apa-apaan kau ini? Aku tak bisa melakukan itu sayang, aku sangat mencintaimu." Radit menarik Alya kedalam pelukannya.

Aku berusaha menahan air di mataku tapi tak bisa. Aku bingung mengapa aku merasakan sakit ini. Tanganku menyeka air yang keluar di sudut mataku. Tak ada yang bisa keluar dari mulutku. Aku memejamkan mataku beberapa kali, sesak rasanya melihat Alya membalas pelukan suamiku. Tanganku gemetar seketika juga mendingin. Ingin aku beranjak dari tempat itu. Tapi tak bisa. Seluruh tubuhku mematung. Hingga kulihat Alya melepaskan pelukan nya.

"Aku mencintaimu, tapi kau tak boleh mencintaiku lagi. Pergilah. Jalani kehidupanmu. Aku pergi," ucap Alya tersenyum getir lalu melangkah keluar rumah. Radit tak mengejar, dia hanya menghempaskan tubuhnya ke sofa, mengacak rambutnya dan menundukan kepalanya. Aku tau apa yang di rasakannya. Sosok Alya pun sudah tak terlihat.

Vote and Comment dong :)) Semoga dapet feelnya ya.. Harap di mklum juga penulis amatir :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro