Bab 1 - The Night with a Full Moon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Update tepat waktu. Selamat membaca :)

***

Bunyi tapak kuda berlari memecah keheningan dan kegelapan hutan. Sang penunggang, pangeran Leon menyadari kudanya melambat. Ia membelai leher si kuda.

“Kau lelah, Phoenix?” tanyanya setelah menghentikan laju kudanya itu. Keningnya mengerut, tak biasa kudanya merasa kelelahan meskipun dalam perjalanan panjang. Phoenix dan Phoebe, kedua kudanya adalah jenis kuda unggulan yang memiliki jumlah goull melebihi kuda biasa pada umumnya. Mereka terlatih, bahkan berlari dalam gelap. Harusnya tak ada masalah mereka melanjutkan perjalanan hingga pagi.

“Yang Mulia! Apa anda lelah?” tanya sang pengawal yang berbalik arah menghampirinya.

“Tidak Owen, mungkin kita harus mencari tempat untuk mengistirahatkan Phoenix dan Phoebe.” Leon melihat sekeliling, hutan yang dilaluinya cukup gelap, hanya diterangi cahaya bulan purnama yang mengintip di celah-celah pohon.

“Ah, sebenarnya saya juga merasa Phoebe sepertinya lelah. Tapi akan berbahaya jika kita menginap di dalam hutan Kraud ini.”

“Jika menurut peta, beberapa mil lagi kita akan keluar dari hutan, ke wilayah Lanecolt. Kita istirahat di area itu.”
“Baiklah, Yang Mulia.”

Leon mengelus surai Phoenix, “Bertahanlah sebentar lagi, Phoenix.”

Mereka segera meninggalkan tempat.
Tak butuh lama, mereka menemukan area lapang di wilayah Lanecolt. Area itu cukup terbuka, jarang ada pohon, karena itu cahaya bulan purnama tampak terang. Di sekelilingnya ada hamparan bunga aster, di tempat paling pinggir ada tanah dengan rerumputan. Mereka memutuskan beristirahat di tempat itu sampai pagi.

Leon melihat sekeliling, sejak memasuki wilayah Grèinvada Selatan, ia merasakan aura yang mengganggu. Bahkan aura itu mempengaruhi goull Phoenix dan Phoebe.

Menoleh, Leon melihat Owen sama waspadanya dengan dirinya. Sepertinya, malam ini pun mereka harus berjaga seperti malam-malam sebelumnya. Aura aneh itu terus menyelimuti, seakan menyambut mereka yang datang ke Grèinvada lebih dulu daripada pasukan perang.

***
Bulan purnama menerangi menara Grèinvia. Grèinvia merupakan bagian dari istana utama, Grèindaval, yang dikhususkan untuk tempat tinggal pribadi ratu. Elora tiba-tiba terbangun, keringat dingin menjalari tubuhnya. Ia merasakan goull yang sangat besar dan itu benar-benar mengganggunya.

Selama beberapa hari, ia merasakan goull itu lama-lama semakin mendekat. Jika terus-terusan berdekatan dengan goull seperti itu, Elora yakin goull sihirnya akan melemah.

Ekspresi Elora berubah menjadi kemarahan. Tangannya terkepal. “Ternyata, kedatanganmu lebih cepat daripada yang kukira.”

Pandangannya mengarah ke luar melalui jendela besar. Setiap bulan purnama, Elora selalu tidur di Grèinvia, alih-alih bersama raja di istana utama, Grèindaval. Bukan tanpa alasan, kekuatan sihirnya akan melemah saat bulan purnama. Namun, kali ini, ada kekuatan yang jauh lebih besar dan dapat menguras habis goullnya jika dibiarkan.

“Pangeran Leon, pemilik pedang suci Iagaan. Aku akan membunuhmu.”

***

Kabar akan kepulangan pangeran Leon beserta pasukannya telah tersebar di seluruh Grèinvada setelah raja menerima surat. Raja Frederic memerintahkan segera melakukan persiapan pesta penyambutan putra satu-satunya yang akan kembali setelah bertahun-tahun lamanya itu. Terhitung, sudah 15 tahun pangeran Leon tidak kembali ke istana.

“Sungguh masih sulit dipercaya, pangeran akan kembali.”

“Benar. Kedatangannya pastilah menjadi berkat yang luar biasa untuk Grèinvada.”

Dapur utama istana pagi itu dibuka dengan topik kedatangan pangeran Leon.

“Aku penasaran bagaimana wajahnya. Kita menjadi pelayan saat pangeran sudah tak di istana.”

“Seorang yang sangat tampan tentunya. Aku yakin itu.”

“Apakah lebih tampan dari pangeran Cedric dari Kalopsia? Aku beberapa kali mencuri pandangan saat melayani perjamuan minum teh.”

“Kau tak sopan, Martha. Kau harus tetap menunduk untuk menjaga sopan santun di depan keluarga kerajaan.”

“Mau bagaimana lagi, Flo? Aku penasaran.”

“Jangan diulangi, kalau Brigitte tahu, kau pasti habis dimarahi.”

“Ya ... ya ... baiklah.”

“Lalu, kapan pangeran Leonard akan datang? Aku tak sabar menunggunya.”

“Dalam beberapa minggu mungkin. Kuharap Yang Mulia pangeran cepat sampai.”

“Aku harap juga begitu.”

“Hei, aku juga mendengar rumor tentang pemilihan calon istri pangeran, apakah itu benar?”

“Berhenti mengobrol dan lakukan pekerjaan kalian!”

Seorang perempuan paruh baya memasuki dapur, mengagetkan pelayan-pelayan muda itu. Mereka segera berhamburan kembali pada pekerjaan masing-masing. Brigitte, sang kepala pelayan berkacak pinggang.

“Pekerjaan kita sangat banyak, jadi, jangan buang-buang waktu,” Brigitte mendelik ke arah para anak buahnya.

“Baiklah, Brigitte. Tapi, apakah kau tak merasakan euphoria Grèinvada setelah kabar kepulangan pangeran?” tanya Martha sembari memindahkan masakan ke dalam panci, “Bukankah kau sebelumnya adalah pengasuh pangeran saat kecil?”

Brigitte menghela napas, tentu saja ia sangat bahagia, seakan ia sedang menanti putra kandungnya yang lama tak kunjung pulang. Bahkan, semenjak kabar kepulangan pangeran, ia memikirkannya setiap malam dan membuatnya susah tidur. Kebahagiaannya itu benar-benar sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Hash!” Brigitte mendengkus keras. “Tentu saja aku senang akan menyambut putra raja kita. Lalu, kalau aku bahagia, apakah aku harus loncat-loncat sepanjang hari hingga mengabaikan pekerjaan utamaku? Cepat selesaikan pekerjaan kalian bersama yang lain.”

“Baiklah, Brigitte,” ujar para pelayan bersamaan.

Senyum simpul menghiasi wajah Brigitte, ia pun penasaran dengan rupa pangeran Leon yang sekarang.

“Pangeran kecil kita pasti tumbuh menjadi lelaki yang hebat,” gumamnya setelah meninggalkan dapur.

***
Sebuah kereta yang ditarik kuda berwarna coklat tua terlihat memasuki halaman bangunan kastil megah. Seorang gadis belasan tahun berpakaian pelayan turun dari kereta itu ketika sampai di depan pintu masuk kastil. Ia membawa sebuah kotak kayu yang tak begitu besar. Memasuki kastil, ia melewati rekan-rekan sejawat yang melakukan tugas masing-masing, mereka tampak sibuk seperti mengelap perabotan atau menyapu.

Gadis itu mempercepat langkah ketika menaiki tangga, bibirnya mengulas senyum, ia tak sabar hendak memberikan kotak itu kepada majikannya.

“Nona Raquel! Ini saya, Ella,” teriaknya ketika sampai di depan pintu sebuah kamar. Tak lama kemudian pintu terbuka dan ia masuk, “Nona, pakaian yang anda tunggu-tunggu sudah datang.” Senyum Ella melebar.

Raquel segera mengambil kotak itu dan membukanya, ia mengambil sebuah gaun sutra beludru berwarna biru dengan hiasan renda bertumpuk. Di bagian dada terdapaat ornamen bordir berwarna emas. Senyum simpul menghiasi wajah Raquel. Gaun itu dipesan khusus setelah mendengar kabar kakaknya akan pulang dan akan dipakai pada pesta penyambutan di istana nanti.

Raquel sudah tak sabar menunggu datangnya sang kakak, Rodney yang tidak ditemuinya selama 15 tahun, sejak ia sendiri berumur 5 tahun. Rodney meninggalkan Grèinvada ketika berumur 8 tahun untuk belajar berpedang bersama pangeran Leonard. Setelah itu, kabarnya Rodney mendampingi pangeran berperang untuk Grèinvada. Kata ayahnya, Duke Natkinson, mereka berguru pada seorang mantan komandan militer raja Frederic.

Sayangnya, atas perintah raja, keluarga dilarang tahu ke mana mereka pergi. Mengirim surat pun harus melalui istana. Sesekali memang Raquel mengirim surat untuk Rodney. Namun, Rodney sendiri jarang membalasnya, terakhir, suratnya dibalas dua tahun lalu.

Saat kecil, Raquel ingat ketika Rodney baru saja pergi, ia mengunjungi kamar ayah ibunya setiap malam dan menangis di pangkuan Duchess Laura. Beranjak dewasa, Raquel sering memandangi lukisan Rodney dan mengajaknya mengobrol jika merindukannya. “Sudah seberapa dewasanya kau, Kak? Apa kau akan mengingatku?” Raquel selalu melakukan sapaan rutin itu.
Menjadi putri seorang Duke di Lanecolt, membuat Raquel sejak kecil harus melalui pelajaran-pelajaran sebagai seorang Lady seperti tata krama, berbagai macam kerterampilan, sampai pengetahuan umum. Terkadang, ia merasa bosan dengan kegiatannya hingga sering berpikir akan lebih menyenangkan jika ada Rodney.

“Apa Nona ingin memakainya?” tanya pelayan Raquel yang lain bernama Pauline, seorang wanita akhir tiga puluh tahunan.

Ella tampak antusias, “Cobalah pakai, Nona. Anda pasti terlihat cantik dengam gaun itu.”

Raquel tampak menimbang, lalu menggeleng, “Simpan saja dulu di almari pakaianku, Ella. Aku ingin bersiap mencari bunga untuk altar di kapel.”

“Bunga altar? Bukankah ini masih terlalu pagi, Nona?” tanya Pauline.

“Justru itu, Pauline. Aku harus berangkat pagi untuk mendapatkan bunga yang kuinginkan. Doaku telah dikabulkan, karena itu, aku ingin memberi persembahan terbaik.”

Pauline dan Ella saling berpandangan dan masih tidak mengerti maksud Raquel. Melihat itu, Raquel beranjak duduk di depan kaca rias dan menyuruh Pauline menyisir rambut coklat kemerahannya.

“Bersiap-siaplah Ella. Sebentar lagi kau harus ikut denganku. Temani aku mencari bunga aster di padang Loseri.”

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro