Path-07 : Mad

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara berirama ketuk langkah kaki terdengar bergema di antara lorong panjang. Mataku melirik-lirik cemas ke arah pintu putih yang tetap engan terbuka meski sudah sejam lamanya aku berdiri menunggu. Aku menggigit bibir bawahku. Cemas. Khawatir. Sedih. Semua perasaan itu menghantuiku. Sejak menerima kabar dari Hanz sejam yang lalu, perasaanku jadi tak tenang. Tanpa berpikir dua kalipun, aku sudah melesat pergi. Meninggalkan tumpukan buku yang belum selesai kubaca. Mengabaikan fakta bahwa aku sedang mempelajari materi untuk ujian kenaikan tingkat. Tahu-tahu aku sudah berada di sini--di depan pintu ruang kesehatan yang sama sekali tak mengizinkan aku masuk meski sekedar mengintip ke dalam. Alice ada di dalam, dengan kondisi yang tak kuketahui sama sekali. Kuharap Alice baik-baik saja.

"Kena, tenanglah."

Aku menatap Keichi yang tengah duduk di kursi samping pintu ruang kesehatan. Dia adalah patner Alice. Aku menatapnya sinis. Bagaimana dia bisa setenang itu padahal patnernya sedang dalam masalah serius?!

Seakan membaca pikiranku, dia berseru tak terima, "Hei, aku juga khawatir! Aku patnernya, maka akulah yang paling cemas di sini."

Kesal, aku membuang pandangan ke lain arah. Sejam lamanya sejak aku tiba di sini, dan aku masih tidak diperbolehkan masuk. Tadi ada Yura, Lizzy, dan beberapa orang lagi. Tetapi mereka menyerah karena tetap tidak diperbolehkan masuk. Pada akhirnya, mereka memilih untuk menunggu kabar saja dari pihak badan kesehatan.

Mungkin aku ini termasuk keras kepala. Aku tetap kukuh menunggu di depan pintu. Siapa tahu mereka yang di dalam merasa kasihan padaku dan membiarkanku masuk. Tidak ada yang tahu, kan?

"Tidak."

Aku menoleh, menatap pintu ruang kesehatan yang sedikit terbuka, menampakan seorang murid sedang mengintip ke luar--menatapku. Bergegas aku menghampirinya. "Aku boleh masuk?"

"Kan sudah kubilang tidak boleh." Gadis itu menatapku sedikit sebal. "Ice, aku tahu kau khawatir. Tapi saat ini kau masih belum boleh masuk--semua orang kecuali badan kesehatan belum boleh menjenguk."

Keningku berkerut begitu gadis di balik pintu itu memanggilku dengan sebutan ice. Banyak dari mereka yang melupakan namaku dan memanggilku begitu. "Namaku Kena. Panggil saja begitu."

"Aku sering lupa namamu, jadi biarkan aku memanggilmu ice, berhubung rambutmu berwarna biru dan memudahkanku mengingatnya."

"Ya, ya. Terserah." Aku mengalah, mendengus kasar. "Tolong biarkan aku masuk."

"Belajarlah dari si rambut landak itu. Dia menunggu sangat tenang."

Aku menoleh. Keichi menoleh. Pandangan kami saling beradu. Kentara sekali dari wajah Keichi bahwa lelaki itu tidak terima dipanggil "si rambut landak."

"Aku tidak tahu harus senang atau kesal," Keichi bersungut-sungut pelan.

Menyebalkan. Tak bisakah mereka membiarkan aku masuk sebentar saja? "Aku tidak peduli! Biarkan aku masuk!"

"Sudah kubilang tidak boleh--Hei! Jangan dobrak pintunya!"

"Masa bodoh! Panggil Clyde! Aku ingin bicara padanya!!"

"Oke!" Gadis itu tampak pasrah. Ia berseru sengit sebelum akhirnya membanting pintu. "Akan kupanggil Clyde! Nanti, tunggu saja sejam lagi!"

Aku hendak memprotes, tapi pintu sudah tertutup lebih dulu. Ingin rasanya aku mengetuk-ngetuk pintu, mendobraknya paksa. Tetapi aku belum cukup gila untuk mendobrak pintu yang terbuat dari bijih besi white iron yang konon kerasnya melebihi besi manapun di dimensi sihir. Berteriak pun percuma, karena mereka pasti mengaktifkan sihir kedap suara.

Maka yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghela napas putus asa.

"Sudah kubilang duduk manis dan menunggu saja."

"Berisik!" hardikku kesal. "Alice begitu tidak beruntung mendapat patner semenyebalkan kamu!"

"Seharusnya aku yang berkata begitu," Keichi memutar bola matanya. "Dia gadis yang teledor dan ceroboh. Apalagi dia payah dalam hal sihir dan ramuan. Lagipula kekuatannya tidak terlalu berguna. Sama sekali tidak berarti apapun--AKH!"

Lelaki itu menjerit tertahan begitu aku menginjak kakinya. Aku melotot tak suka. "Tutup mulutmu! Beraninya kamu merendahkan temanku di hadapanku!"

"Baiklah! Aku minta maaf. Aku hanya bercanda!"

Aku membuang muka. Karena sudah terlanjur termakan emosi, aku berlalu cepat meninggalkan lelaki itu sendirian di depan ruang kesehatan. Ah sudahlah. Nanti sore aku akan kembali lagi. Jika sampai mereka tetap tidak membiarkanku masuk, aku bersumpah akan menghancurkan pintunya menggunakan ramuan fireworks.

"Akhirnya datang juga."

Yura berdecak-decak pelan begitu melihatku sudah menapakki kaki di Kafeteria. Wajah Yura terlipat. Lizzy di sebelahnya juga tampak tak begitu senang. Mereka bernasib sama sepertiku, tidak boleh masuk ruang kesehatan.

"Hm." Aku membalas seadanya dan menarik kursi di meja yang sama dengan mereka berdua, lantas duduk lesu di atasnya. "Mereka menyebalkan sekali. Apalagi si rambut landak itu."

"Keichi? Dia memang sedari dulu menyebalkan." Lizzy bersender ke senderan kursinya sembari bersedekap. Tubuh--serta kursi yang tengah didudukinya--mulai melayang beberapa meter di udara. Entah dia sadar atau tidak karena sedari tadi dia sibuk bersungut-sungut. "Aku tak habis pikir dengan mereka yang tidak membiarkan kita masuk. Kita begini kan karena khawatir. Lagipula, kok bisa ya ada sihir hitam di sini? Sedari dulu memang banyak penyusup yang menyamar menjadi murid. Tapi, dark witch sudah lenyap. Seharusnya tidak ada lagi hal seperti ini."

Aku dan Yura menatap tubuh Lizzy yang semakin melayang. Posturnya tetap duduk di kursi. Sepertinya dia tidak menyadarinya. Karena sebentar lagi kepalanya akan menyentuh langit-langit Kafeteria. "Um, Lizzy..."

"Apa, Kena? Aku sedang kesal. Jadi biarkan aku--AW!" Lizzy mengusap kepalanya yang membentur langit-langit ruangan. Dia melihat sekitar. Hampir seisi Kafeteria menatapnya bingung. Dengan malu, Lizzy kembali mendarat turun. "Kekuatan gravitasiku ini memang merepotkan," omelnya pada diri sendiri.

"Cukup berbahaya," komentar Yura. "Bisa saja kau melayangkan satu gedung Sekolah tanpa sadar."

"Semoga saja tidak. Itu mengerikan."

Aku melipat tanganku di atas meja, kemudian menyelipkan wajahku di antara ruang yang kubuat. "Kelas hari ini diliburkan karena para guru sedang rapat. Membosankan sekali."

"Menurutmu, apa yang sedang para guru bahas?"

"Entahlah."

"KENAAAAAAAA!!!" Aku tersentak begitu merasakan ada sesuatu yang menghantam punggungku. Aku meringis. Itu menyakitkan sekali! Pandanganku tertumbuk pada sosok bulat dan gempal bersayap kecil yang sedang mengusap-usap kepalanya sembari mengaduh pelan. Tampaknya dia juga kesakitan. Mataku melotot sebal begitu mengenali sosok yang baru saja menabrakku itu. Sadar bahwa aku terus menatapnya, Xia-xia langsung menarik-narik rambutku. "Kena! Kena! Aku punya berita mengerikan!"

"Apa?" Balasku acuh tak acuh. Aku menepis pelan tangan mungil Xia-xia yang terus menarik-narik rambutku yang sudah susah payah kutata rapih. "Jika kau membicarakan soal betapa pendiamnya Hera, aku tidak mau dengar."

Sesosok pixieball terbang mendekati Xia-xia dengan tenang. Tidak. Yang satu ini memang selalu tenang. Bertolak belakang dengan Xia-xia yang terlalu cerewet. "Bukan tentang aku," pixieball yang bernama Hera itu memberikan pernyataan.

"Oh," aku menatap mereka berdua malas. Mereka sering menceritakan hal yang tidak penting kepadaku. Ralat, bukan mereka, tapi hanya Xia-xia karena Hera selalu diam.

Oh, mungkin kalian bisa menebak Hera itu pixieball milik siapa?

"Sena tadi mencarimu," Hera berkata, yang mana bahwa ia memanglah pixieball lelaki berwajah tripleks itu. "Tapi itu bukan berita yang mau Xia beri tahu."

"Ada apa sih sebenarnya?" Kali ini Yura tampak penasaran. "Oh ya, di mana Flance dan Yumi?"

"Sedang bermain kartu," Xia-xia menjawab cepat. "Kalian tahu tidak, tadi saat aku dan Hera sedang bermain kejar-kejaran, kami berdua tidak sengaja mendengar pembicaraan rapat guru di ruang dewan."

"Benarkah?" Lizzy tampak tertarik. "Apa yang mereka bicarakan?"

"Kekuatan yang hilang atau semacamnya." Xia-xia duduk di atas kepalaku. Serbuk-serbuk yang berasal dari sayapnya membuatku hampir saja bersin. "Katanya, kemungkinan besar akan terjadi bencana dalam waktu dekat. Jadi, mereka berencana mendatangi Amartia di penjara bawah tanah Kerajaan Timur."

"HAH?! Untuk apa??"

"Berdiskusi katanya," Xia-xia menatap Hera sesaat, sebelum melanjutkan, "Memangnya Amartia itu siapa?"

"Bukan urusanmu, hewan yang sok mau tahu."

"Kena kenapa sih dari tadi kelihatannya acuh sekali? Padahal tadi pagi kau masih seperti biasa," Xia-xia memprotes.

"Hari ini mood Kena hancur. Jadi, jangan buat dia membekukan satu gedung sekolah."

"Aku berharap sekolah membeku," seluruh pasang mata kini menatap Hera dengan tatapan bingung.

"Kenapa?"

"Karena aku suka musim dingin."

***TBC***

A/N

Ahahahhahahahahhahahaha, akhirnya bisa kesambung ke wifi :')

Untung ga jadi besok ya update nya wkwk :v

wokeh, met baca semuanyaaaa!

Big Luv, Vara
🐣🐤🐥

Lah, kok miring gtu yah wkwk :v

Gapapa, btw itu Kena yaw.

Maapkan gambaran Vara yang jelek. Asli, itu vara lagi gabut :3

Silakan dinikmati~
(Situ kira es krim)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro