Path-14 : Versus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ternyata tidak sulit melaksanakan rencana Lizzy. Aku, Lizzy, dan Hide mengendap-endap dari arah timur. Kelompok sasaran kami masih sibuk bertengkar. Jadi kami tak perlu khawatir mereka akan curiga. Kemudian Hide mulai menyuarakan suara geraman harimau, membuat mereka membisu mendadak.

"Kau dengar itu?" si gadis pirang merapatkan tubuhnya ke temannya.

"Jangan dekat-dekat aku, bodoh!"

"S-Siapa pula yang mau mendekat?"

"Hei, sudahlah," seorang gadis bersurai cokelat menatap sekitar dengan cemas. "Ini hutan sungguhan. Tidak dipungkiri jika ada hewan buas di sini. Bisa saja ada hellbeast yang berkeliaran."

"Kita hanya perlu melawannya! Kalian pengecut sekali!!"

"Sekarang," desis Lizzy.

Hide mengangkat kedua tangannya. Ratusan lebah mengumpul menjadi satu, lalu menyerbu kelompok itu tanpa ampun. Mereka menjerit-jerit histeris. Saat salah seorang dari mereka hendak merapalkan mantra pelindung, Travis melemparkan ramuan peledak di dekat mereka, membuat mereka terpukul mundur hingga menginjak bibir sungai. Aku berjongkok, hendak membekukan sungai. Namun Lizzy menahanku. Mengisyaratkanku untuk bersabar.

Lizzy mengulurkan tangannya. Sebuah batang pohon yang sudah tumbang melayang, lalu Lizzy mengarahkannya untuk membuat kelompok itu mundur lebih jauh ke sungai. Saat tinggi air sudah sepinggang mereka, barulah Lizzy memintaku untuk segera membekukannya. Tanpa diminta dua kalipun, aku segera menyentuh air sungai. Detik selanjutnya, air membeku, membuat mereka terjebak diantara bekunya air sungai. Lizzy kembali meletakan batang pohon secara perlahan, lalu keluar dari persembunyian. Gadis itu mengeluarkan belati dari ikat pinggangnya, berjalan mendekati si gadis bersurai pendek.

Wajah mereka sangat pucat. Seputih kertas. Mereka hendak melawan, namun gerakan mereka terkunci. Lizzy telah menggunakan kekuatan gravitasinya untuk menaikkan derajat gravitasi di tangan mereka agar tak dapat bergerak. Dengan tenang, Lizzy meraih tangan si gadis bersurai pendek, lalu memotong gelangnya.

Lizzy tersenyum miring, "Maaf ya. Tapi aku membutuhkan ini."

"Dasar gadis sial--"

Belum genap mereka mengucapkan umpatan, mereka telah lebih dulu menghilang. Diteleportasikan secara otomatis kembali ke sekolah.

Gelang kami berdenting pelan. Ada garis muncul di wajah gelang kami, menunjukan angka satu dalam bilangan romawi. "Satu sudah, sisa dua," Hide tersenyum puas.

"Jangan puas dulu. Bisa jadi setelah ini kita yang dieleminasi," aku mengingatkan.

"Aku sudah meminta para hewan di sekitar untuk memperingatkanku jika ada musuh mendekat," Hide berkata santai. "Omong-omong, lima ratus meter ke selatan, ada kelompok yang sedang bertarung. Lebih baik kita menjauh saja."

"Bagaimana kalau ke utara?" saran Travis.

"Di utara bersih. Tidak ada siapapun."

"Eeh, benarkah? Kalau begitu, kemana kemungkinan terbaik?" tanyaku.

Hide terdiam. Lelaki itu menatap ke udara, fokus mendengarkan kicauan burung. "Kata mereka, ada kelompok yang membakar di selatan. Kemungkinan itu kelompok Sena. Bisa bahaya jika kita bertemu mereka."

Lizzy mengangguk setuju. "Di sana ada Sora dan Juliet. Curang sekali."

"Kita ke tenggara saja. Tujuh ratus meter dari sini, ada kelompok yang sepertinya aman."

"Baiklah, ayo kita ke sana!"

***

"Mereka tampak kuat," bisik Lizzy saat kami sudah tiba di dekat lokasi kelompok sasaran kami. Ia menunjuk seorang gadis bersurai putih. "Dia memiliki kekuatan untuk menghilang. Dia sedikit mengancam."

Aku tertegun. Berarti orang itu memiliki kekuatan sama seperti Chaerin?

"Lalu orang yang itu," Lizzy kembali menunjuk seorang lelaki berambut merah menyala. "Dia bisa mengkloning dirinya. Dia berbahaya."

"Kau yakin mau melawan mereka?" tanya Travis sedikit ragu. "Kita bisa saja habis di tangan mereka."

"Atau mungkin tidak," Hide tersenyum lebar. Dia meletakan jari telunjuknya ke tanah, membiarkan seekor semut beranjak naik ke kuku telunjuknya. Ia mendekatkan semut itu ke telinganya. Senyumnya terus mengembang. "Lelaki berambut ungu itu, dia pionnya."

"Kenapa mereka membicarakan masalah pion? Bukankah itu berbahaya?" Leon mengerutkan keningnya.

"Itu karena mereka bodoh," celetukku. "Apa kekuatannya?"

"Duplikat," jawab Hide. "Kalau gadis yang itu kekuatannya lentur. Lalu yang satunya lagi aku tidak tahu."

"Yasudah, kita akan melawannya. Leon, bantu aku merancang rencana," ujar Lizzy, meski nada bicaranya tampak engan.

Leon tersenyum, "Oke. Karena suasan sekitar tidak mendukung, menurutku mau tidak mau kita harus bertarung. Pertama, Lizzy, cobalah untuk menambah gravitasi. Pukul turun mereka ke bawah. Jangan sampai mereka berhasil bergerak. Kalau bisa, kunci mulut mereka juga."

Lizzy menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk pelan. "Tapi tidak bisa lama, karena aku masih kesulitan mengontrolnya. Kalian juga jangan berada di dekatku, atau kalian ikut terhimpit gravitasi."

"Ini cukup beresiko," ungkapku. "Bagaimana kalau gagal?"

"Pasti bisa," Leon meyakinkan.

"Tunggu," desisan dari Hide membuat kami terdiam. "Katanya ada yang mendekat. Kita harus bergegas."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" Leon menatap Lizzy lekat-lekat. "Sekarang!"

Lizzy menarik napas panjang, lalu berlari mendekati kelompok itu dari belakang. Sebelum mereka menyadarinya, Lizzy sudah lebih dulu memukul mereka dengan gravitasi. Mereka jatuh terduduk, tertekan ke bawah. Aku tahu rasanya, karena dulu aku juga pernah merasakannya. "Cepat!" pekik Lizzy.

Aku segera menciptakan es yang sangat runcing, lalu aku berlari dengan cepat menuju lelaki berambut ungu. Tanpa menunggu perintah, aku menghancurkan gelang pesertanya. Aku melakukannya dengan cepat, karena aku merasakan bahwa tubuhku juga ikut terpukul gravitasi. Untungnya aku berhasil merusaknya, hingga mereka segera menghilang beberapa detik setelah gelang hancur. Lizzy melepaskan kekuatannya, yang sejujurnya membuat tubuhku kembali terasa ringan.

"Kena, Lizzy! AWAS!!"

Sebuah bola api menghantam ke arahku dan Lizzy. Lizzy segera menarikku menggunakan kekuatannya untuk menghindar. Beruntung, kami selamat dari ledakan keramat bola api itu. Seorang pria muncul dari balik pohon, melayangkan tinjunya kepadaku. Aku segera membuat perisai es, lalu melompat mundur. Kudapati Lizzy melakukan hal yang sama. Dia terlihat terkejut, tapi segera menguasai dirinya. Empat orang gadis menyerang Lizzy sekaligus, membuat Leon, Hide, dan Travis keluar dari persembunyian mereka untuk membantu.

Sial, kami terlambat.

Keberadaan kami telah diketahui oleh musuh.

Lelaki yang menjadi lawanku kembali melayangkan tinjunya, tidak. Dia tidak melayangkan tinjunya, namun cakarnya. Kuku tangannya begitu panjang, berusaha untuk mencakarku. Kusimpulkan, itu adalah kekuatannya. Mungkin saja kekuatannya adalah merubah bentuk tubuh. Dia berbahaya.

Benar saja. Karena kuku-kuku panjangnya tidak berhasil menghancurkan tameng esku, dia merubah tangannya menjadi sebuah pedang. Hal itu membuatku melotot. Kekuatannya lebih dari berbahaya. Dia serius ingin melawanku dengan itu?!

"Wajahmu tampak terkejut, Ice." Lelaki itu menyeringai lebar. Menyeramkan. "Ayo berduel. Kudengar kau belajar berpedang dengan ksatria paling hebat, kan?"

"Mantan ksatsia," koreksiku. Aku segera menciptakan pedang es, lalu memasang kuda-kuda. "Aku tidak mau melukaimu, jadi kumohon jangan nekat."

Dia tertawa, "Jika ini perang sungguhan, kau pasti sudah kalah, Ice. Di dalam perang, tidak ada belas kasih. Kau ini lembek sekali," cibirnya.

Aku tidak kalah. Apakah dia lupa bahwa aku juga ikut andil dalam perang dua tahun lalu?

Dia melayangkan tangan pedangnya kepadaku. Saat aku hendak menangkisnya, sebuah api menyembur ke arah kami. Beruntung, aku memiliki refleks yang cepat. Aku segera melompat tinggi--sedikit menggunakan mantra melayang--lalu mendarat di atas dahan pohon yang cukup tinggi. Aku melotot tak percaya saat mengetahui dalang yang menyemburkan api kepadaku. Kupikir itu berasal dari kelompok laki-laki itu, ternyata aku salah besar.

Sena yang menyemburkan api. Terlihat Juliet, Sora, dan dua orang lainnya yang tak kukenal ada di belakang Sena. Tidak hanya aku yang terkejut, tapi Lizzy, Leon, Travis, dan Hide juga.

"Bagaimana sih? Kau bilang kelompok Sena ada di selatan?!" bentak Lizzy sedikit kesal.

"Yah, aku tidak tahu! Bisa saja burung itu salah memberikan informasi, kan?"

"Bodoh sekali," umpat Travis. "Kita benar-benar berada di dalam masalah besar."

"Oh, halo Kena!" Juliet melambai-lambaikan tangannya kepadaku, seakan saat ini kami tengah berada di Kafeteria sekolah. "Wah, kita bertemu sebagai lawan? Menakjubkan!"

Sora mengangguk menyetujui. Gadis itu memungut ranting kering lalu merubahnya menjadi busur. Sial, aku lupa bahwa Sora memiliki dua kekuatan!

"Huwah, ada Juliet! Ini berbahaya, Fon. Ayo kita pergi saja!" sahut seorang gadis yang tadi melawan Lizzy.

"Hei, mau kemana, hm?" Juliet tersenyum manis, yang sejujurnya sangat menyeramkan. Dia mengarahkan jari telunjuknya dan tengahnya ke udara, menunjukan angka dua. Detik berikutnya, aliran petir biru menyambar ke jarinya. Seringaian lebar terlihat di wajah Juliet. "Ayo kita bertarung!"

Petir menyambar ke pepohonan, membuatku mau tak mau melompat turun. Sora melemparkan anak panah api kepadaku. Aku segera menangkisnya dengan tampeng es. Sialnya, tamengku justru mencair saat mata panah menyentuh esku. Aku melotot. Sora pasti membakar anak panahnya menggunakan api Sena. Mengingat es ciptaanku tak bisa sembarang dicairkan dengan api biasa, dan pasti bisa dicairkan dengan api khusus. Kekuatan Sena misalnya.

Dengan cepat, aku membantingkan tubuhku ke permukaan tanah, sebelum panah api itu membakar lenganku. Meski mata panah berhasil menggores lenganku, namun itu lebih baik daripada harus terbakar hidup-hidup.

"Aw, meleset," Sora tersenyum miring, dengan ekspresi bersalah yang dibuat-buat. "Padahal kalau terkena gelangnya, kita bisa menang."

Aku beranjak berdiri, sedikit tertatih-tatih. Aku menatap tidak mengerti. Apa maksudnya?

"Tidak salah lagi, Kena pasti pionnya," ujar salah seorang lelaki pirang--anggota kelompok Sena.

"Kalau begitu, aku saja yang melawannya," Juliet berseru antusias. "Kalian, lawan saja kelompok yang itu. Kita kan baru mengeliminasi satu pion."

"Kau pikir kami akan membiarkan kalian?" tahu-tahu saja, Hide sudah berdiri di depanku. Lelaki itu menatapku sesaat, lalu jarinya kirinya menunjukan angka tiga.

Aku tahu kode itu. Segera, aku melirik orang ketiga dari arah kiri. Lelaki yang dapat mengubah bentuk tubuhnya, dialah si pion.

Tanpa peringatan apapun, Juliet segera menerjang ke arah kami. Hide membanting ramuan asap ke tanah, hingga membuat pandangan sekitar terhalang kepulan asap. Hide mengeluarkan belati dari sabuknya, lalu mencoba menyerang Juliet di tengah kepulan asap. Tak sulit bagi Hide untuk melakukannya. Hide memiliki penglihatan yang sangat tajam. Indranya begitu peka.

Api terlihat membara, mengusir jauh kepulan asap. Aku mendesis saat melihat siapa yang melakukannya. Aku mengacungkan mata pedangku ke arah Sena. "Ayo bertarung!" tantangku.

Sena bergeming, tidak menanggapiku.

"Hei, kan sudah kubilang aku yang akan melawanmu!" Juliet melayangkan sebuah tendangan kilat kepadaku. Aku segera menangkisnya. Secepat serangan awalnya, gadis itu kembali mengangkat kakinya yang lain. Begitu terus secara berulang-ulang, hingga membuat lenganku yang menangkisnya menjadi memar. Sialnya lagi, tendangannya diikuti sengatan listrik. Aku tak bisa membayangkan luka yang ada di lenganku saat itu. Juliet melemparkan senyum sinis, "Kenapa tidak melawan, Ice?"

Juliet tahu aku membenci panggilan itu. Lantas, apakah dia mencoba memancing amarahku? Karena sudah terlanjur termakan emosi, aku segera memutar tubuhku, lalu menyikut rusuk Juliet. Memukul gadis itu mundur beberapa langkah.

"Wah ... menyeramkan," dia terbatuk-batuk, memegangi rusuknya seraya meringis pelan. Juliet mulai menyerangiku dengan pukulan bertubi-tubi. Beberapa kali aku menciptakan perisai es, namun Juliet selalu berhasil menghancurkannya. Hingga akhirnya Juliet melepaskan pukulan keramat, dengan aliran listrik bertegangan besar dan sukses membuat tubuhku terpelanting.

Tak larut dalam rasa sakit, aku segera berguling untuk menghindari Juliet yang sudah kembali menyerangku. Juliet benar-benar kuat. Tidak hanya unggul dalam pertarungan jarak jauh, dia juga pandai dalam pertarungan jarak dekat seperti ini. Aku bahkan sampai kewalahan.

"Kena, aku tahu kamu belum mengeluarkan kekuatan penuh," desisnya geram. "Kenapa? Kau ragu? Yang sedari tadi kau lakukan hanyalah menghindar saja."

Aku menegup air liurku. Itu benar. Aku ragu melawan temanku sendiri. Aku takut jika aku tidak bisa mengendalikan kekuatanku, lalu Juliet terluka. Tidak. Aku tidak mau melukai temanku.

"Pertahanan memang penting. Tapi kamu tidak akan mencapai kemenangan tanpa menyerang."

"AKH!"

Aku menoleh ke sumber suara. Lizzy tengah disekap oleh dua orang dari kelompok Sena. Sora berdiri di depan Lizzy dengan senyum culas. Jemarinya memainkan belati tajam. Aku melotot. Apa yang hendak mereka lakukan?!

"Sejak awal, kami tahu kau bukanlah pionnya," Juliet tertawa sinis. "Kau pasti memiliki strategi agar tidak mudah ketahuan lawan, kan? Biasanya peserta menjadikan orang terkuat sebagai pion. Tapi karena kau berbeda, maka kau akan menjadikan orang terlemah sebagai pion."

"APA?! AKU TIDAK LEMAH!" Lizzy tampak tidak terima. "Darimana kau mendapat kesimpulan itu, hah? Aku bukan pionnya!" gadis itu meronta, berusaha membebaskan diri.

"Mana mungkin pion mau mengaku," Sora memutar bola matanya.

Lizzy melirikku tajam. Tunggu, ada yang berbeda dari lirikannya. Aku ikut melirik ke arah yang ditujukan Lizzy. Beberapa meter di belakangnya, ada seorang lelaki yang tampak kepayahan berdiri. Dia berusaha untuk berdiri, namun seakan gravitasi terus memaksanya untuk duduk. Otakku terhubung. Aku berhasil menangkap sinyal yang diisyaratkan Lizzy.

Pantas saja Lizzy tidak menggunakan kekuatannya untuk membebaskan diri dari cengkeraman dua orang yang menahannya. Rupanya dia memfokuskan kekuatannya kepada si pion.

Kalau begitu, aku harus cepat. Tapi, Juliet masih ada di hadapanku. Harus ada seseorang yang mengalihkan perhatiannya untuk beberapa detik.

Leon melesat ke arah Lizzy. Dia menghantamkan pukulan kepada seorang yang sedang mensekap gadis itu, mencoba untuk melepaskannya. Meski gagal, dan akhirnya Leon jatuh tersungkur karena tendangan yang dilayangkan padanya.

"Kalau kau bukan pion, untuk apa kelompokmu berusaha untuk melepaskanmu?" Sora terkekeh. Dia meraih tangan Lizzy, bersiap memotong gelangnya.

Tepat sebelum mata belati menyentuh gelang peserta Lizzy, ribuan lebah datang membabi buta sekitar. Hide yang melakukannya, hingga membuat perhatian semua orang teralihkan. Ini kesempatanku. Secepat kilat, aku melesat medekati si lelaki pion tanpa ketahuan, bersiap mengahancurkan gelangnya.

"Pengalihan yang bagus, tapi ..." Sora tersenyum sinis. Lizzy menjerit begitu mendapati Sora berhasil menghancurkan gelang pesertanya. "Maaf, kalian sudah kalah."

Tapi diluar dugaan, Lizzy justru tertawa, membuat mereka semua mengerutkan kening. "Maaf saja, tetapi sejak awal kalian sudah salah. Aku bukanlah pionnya." Gadis itu melirikku, tubuhnya mulai diselimuti cahaya teleportasi. "KENA, SEKARANG!"

Sebelum efek kekuatan Lizzy menghilang, aku sudah lebih dulu menghancurkan gelang peserta si pion. Tubuh kami--kelompokku--ikut bercahaya, bersiap berteleportasi secara otomatis kembali ke sekolah karena berhasil lulus ujian.

Air wajah mereka tampak masam, kentara sekali mereka tak terima.

Tapi kami berhasil mengelabui mereka. Karena sejak awal, baik aku maupun Lizzy bukanlah pionnya. Pion kami adalah Hide. Karena Hide memiliki peluang untuk tidak dicurigai. Lizzy dan Leon yang telah merancang skenario ini. Rencana B akan dijalankan dalam situasi terdesak. Rencana B tidak benar-benar bertarung, namun bersikap seolah-olah bahwa Lizzy lah si pion, bertarung habis-habisan dan melindunginya. Tidak semua orang bodoh. Beberapa justru memiliki kemampuan analisis yang luar biasa. Kami hanya membuat mereka merasa sudah menang, lantas menjatuhkan mereka saat mereka sadar bahwa mereka telah kalah.

Tentang Sora yang dapat membaca pikiran, kami memanipulasi pikiran kami sendiri. Kami mengosongkan pikiran, lalu berpikir seolah-olah Lizzy adalah pionnya. Mungkin sedikit sulit, tapi untunglah Sora tidak curiga. Sora terlalu fokus kepada Lizzy, sehingga dia sedikit mengabaikan isi pikiran yang lainnya. Dan kuucapkan, lagi-lagi ini rencana brilian dari Lizzy dan Leon.

Rencananya memang mengerikan.

Dan berkat rencana itu, kami berhasil lulus dengan sempurna.

***TBC***

Magic Cafe

Tadinya di chapter ini pen dikasih kejutan, tapi gajadi hwehehehee.

Maafkan Vara yang update di jam yang sangat tidak manusiawi seperti sekarang. Gatau kenapa pen update XD

Oke, atas permintaan seoranf readers yang Vara lupa id name nya, QnA Vara buka! Kita buat corner baru yaw.

Magic Question.

Di sini, kalian dipersilagkan nanya apapun, dan pertanyaan kalian akan langsung dibales sama karakter-karakter di sini.

Kalian mau nanya ke siapa hayoooo. Asalkan jangan tanya macem-macem ke mereka kayak:

"Kapan nikah?"

"Kapan tamat?"

"Kenapa gantung terus?"

"Kapan update?"

Woooo, kalo ada yang nanya kek gitu Vara yang jawab mwuehe.

Kalian dipersilahkan nanya ke siapa aja, selama masih karakter di School of Magic dan Pandora Heart.

Jangan sampe ada yang nanya gini:

"Yuki sama Shiro bakal jadian nggak?"

SALAH CERITA WOY.

Ehh mangap malah ngegas wkwk

Oke, silakan ditanya. Adios~

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro