Path-13 : Spare

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bising. Hanya kata itu yang pantas untuk mendeskripsikan suasana saat ini. Keramaian para murid yang jalan berdesak-desakan demi mencari anggota kelompok mereka. Lizzy sedari tadi melayang menggunakan kekuatannya seraya mengangkat tangannya. "Kelompok sembilan belas? Kelompok sembilan belas!!" begitulah yang sedari tadi diserukannya.

Aku hanya berdiam diri, menunggu. Lizzy yang memintaku melakukan hal ini. Katanya agar tidak terpencar, dan tidak dua kali menyusahkan. Aku juga tidak keberatan, justru aku merasa senang. Lizzy sedari dulu memang hobi melakukan sesuatu yang bagiku merepotkan. Dia terlalu rajin. Sungguh. Maksudku, mana ada siswi yang mau bangun untuk bersiap-siap jam empat pagi? Apalagi, Lizzy sangat rutin lari pagi mengelilingi area Sekolah. Pantas saja tubuh Lizzy sangat ramping dan atletis. Dia juga sering makan sayur, tidak sepertiku. Bagiku, Lizzy itu gadis yang sempurna. Banyak yang menyukai Lizzy, tapi tentu saja Juliet lebih populer. Meski begitu, Lizzy memang pantas diancungi jempol.

Makanya, aku sedikit tidak paham dengan Ryan. Lizzy menyukai Ryan, tapi Ryan tidak. Aku memang tidak tahu apa yang pernah terjadi diantara Ryan dan Beth, hingga membuat Ryan benar-benar jatuh hati pada kakakku itu. Akan tetapi, Beth telah pergi. Dan Ryan tidak bisa berharap terus menerus. Aku memang sempat terpukul saat Beth tiada, tapi Ryan yang terlihat lebih menderita. Menurutku Lizzy bisa mengisi kekosongan di hati Ryan.

"Kena?"

Aku menoleh saat mendapati namaku terpanggil. Senyumku merekah begitu mengenali pemilik wajah dari orang yang baru saja menegurku. "Travis!"

Travis tersenyum, "Lama tidak berjumpa, padahal kita satu sekolah. Bagaimana kabarmu?"

"Baik, kok. Kalau kamu?"

"Baik. Yah ... meskipun terkadang tingkah Chaerin membuat kepalaku sakit."

Aku tertawa. Oh, jika kalian melupakan Travis, dia adalah teman pertamaku saat di kelas Alchemis. Dan tentang Chaerin yang disebutnya adalah teman dekatnya, atau mungkin mereka sudah pacaran. Entahlah, aku tidak tahu. "Kita sekelompok ya?"

Lelaki itu mengangguk, "Kebetulan yang menyenangkan, bukan?"

"Benar," Aku menatap sekitar, lalu kembali menatapnya. "Kalau tidak salah, anggota kelompok kita itu kau, aku, Lizzy, Hide, dan ... siapa?"

"Leon," jawab Travis.

"Ya, Leon. Kau mengenalnya?"

"Tentu saja! Tidak ada orang di kelasku yang tidak mengenal Leon. Dia itu jenius." Travis mulai menggebu-gebu. Entah mengapa, setiap kali dia membicarakan topik yang disukainya, dia akan terlihat begitu semangat. Padahal, sifatnya sedikit pendiam. Tapi dia akan menjadi cerewet jika ada yang menyinggung topik kesukaannya. "Kau tahu tentang rumor yang mengatakan bahwa ada orang yang berhasil naik ke kelas Amature dalam waktu sehari?"

"Eh? Rumor itu benar?"

Travis mengangguk cepat, "Tentu saja! Dan asal kau tahu, Leon adalah orangnya."

Aku termangut-mangut, mengangguk mengerti. Kalau begitu, aku penasaran dengan siapapun yang bernama Leon ini. Dia pasti orang yang sangat hebat.

"Kena!" panggil Lizzy. Gadis itu sudah kembali, bersama dua lelaki yang berjalan di belakangnya. "Oh, Travis sudah di sini? Pantas saja saat kucari tidak ketemu."

"Hai, Kena!" Hide menyapa. Warna bola matanya yang berbeda membuatku kerap mengerutkan kening, entah sudah sesering apa aku melihatnya. "Apa kabar, Kena? Apakah Sena sudah mengatakannya padamu?"

Aku mengangkat sebelah alisku, "Mengatakan apa?"

"Jadi dia belum mengatakannya?" Hide meringis, "Dasar. Padahal sudah kuperingatkan. Jangan salahkan aku jika kamu direbut orang lain."

Mataku melotot, "Kau kira aku barang?" Apa yang dimaksudnya, sih? Siapa pula yang mau merebutku. Aku bukanlah barang yang bisa diperebutkan orang.

"Kena," Lizzy menepuk bahuku, menatap prihatin. "Aku turut berduka."

Travis mengangguk-anggukan kepalanya, ikut menatapku iba. "Aku juga."

Eeehhh?? Ada apa ini? Mereka semua sebenarnya kenapa, sih?

"Um, permisi."

Kami serempak menoleh. Ah, kami melupakan keberadaan satu anggota kelompok kami. Aku menatap lelaki yang tidak salah lagi bernama Leon--si jenius yang disebut oleh Travis. Tapi, tunggu dulu. Entah kenapa aku tampak familiar dengannya. Apakah aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat?

Hide dengan santainya merangkul Leon, dia menatap kami secara bergantian. "Perkenalkan, ini Leon. Dia anak baru di kelasku dan Travis. Si jenius yang sepertinya lebih pintar dari Kena," perkataannya membuat yang lain tertawa.

Ugh, aku tidak bisa menyangkal. Aku naik ke kelas Amature dalam waktu delapan hari, itu telah menjadi rekor tercepat. Dan sekarang rekorku justru dipecahkan olehnya. Meskipun menyebalkan, harus kuakui dia memang hebat.

Lelaki itu tersenyum simpul, "Maaf menyela pembicaraan kalian. Namun waktu kita sangatlah singkat. Kita diberikan waktu sepuluh menit untuk menyusun strategi. Jadi, bagaimana?"

"Ah, aku sudah menemukan solusinya," Lizzy berkecak pinggang. Senyum manisnya terlihat begitu licik. "Menurutku, Kena yang cocok menjadi pion. Kenapa? Karena Kena yang terkuat diantara kita. Dengan begitu, dia dapat menjaga diri. Kita akan membuat formasi lingkaran dengan Kena ditengahnya. Kita dapat melindunginya, sekaligus mengeliminasi pion lain. Cara mengeliminasi peserta dengan cara menghancurkan gelang ujiannya, kan? Jadi mudah saja bagi kita melakukannya."

Aku menatap gelang peserta ujian yang terbuat dari alumunium tipis. Gelang ini muncul begitu saja melingkar di pergelanganku beberapa saat yang lalu setelah pengumuman anggota kelompok. Kata miss Rosseline, cara untuk mengeliminasi peserta lain adalah dengan cara menghancurkan gelang ini. Diam-diam aku sedikit merasa lega. Karena dengan begitu aku tak perlu menyakiti peserta lain kan?

Hide dan Travis mengangguk, "Aku setuju. Menurutku itu strategi yang bagus."

Hm. Menurutku ada sesuatu yang kurang dalam rencana Lizzy. Ada sedikit celah dalam rencananya. Namun, apa? Aku tak bisa menemukannya.

"Aku setuju dengan sebagian besar rencanamu," Leon bersedekap, "Akan tetapi tidak semuanya."

Kening Lizzy mengerut, "Apa maksudmu?"

"Kalau kita jadikan Kena pionnya, maka musuh dengan mudah mengetahui peran si pion. Secara teknis, peserta yang lain pasti akan menjadikan murid terkuat sebagai pion. Kalau begitu caranya, kita sama saja membocorkan rencana kepada musuh."

Lizzy terdiam. Meskipun wajahnya tampak tak suka, namun dia mengangguk menyetujui. "Aku benci mengakuinya, tapi sepertinya kau benar. Lalu, apa rencanamu tuan jenius?"

"Rencanaku ..." Leon tersenyum miring. "Menjadikan Kena patokannya. Dengan begitu, mereka akan salah sangka."

Entah mengapa, senyumku merekah, "Kau jenius!" seruku girang. Leon benar-benar jenius. Dia memang cerdas. Pantas saja berhasil memukau di mata para guru dan naik ke kelas Amature dalam waktu sehari. Pasti para guru memberinya ujian khusus.

Leon tersenyum, "Terima kasih."

Aku menatap Leon dengan tatapan kagum, lelaki itu juga balas menatapku. Kami saling bertumbuk netra untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Lizzy menarikku secara paksa. Membuatku memutus kontak dengan Leon. Aku berdecak sebal, lalu menatap sahabatku itu dengan kening terlipat, "Apaan, sih?!"

"Kena, kamu adalah sahabatku!"

Perkataan Lizzy justru membuatku heran. "Iya, lalu?"

Gadis itu berjalan dan berdiri di hadapanku. Hide juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua berdiri tepat di tengah-tengah antara aku dengan Leon, memisahkan kami. Lizzy menyilangkan lengannya, membentuk huruf X. "Karena aku sahabatmu, maka aku tidak akan membiarkan dia merebutmu dari Sena!"

Heh?

Hide mengangguk setuju. Dia ikut menyilangkah lengannya. "Sebagai teman setia Sena, aku tidak akan mengkhianatinya! Meskipun aku tahu lelaki tripleks itu memiliki ego setengah mati, tapi aku yakin suatu saat dia akan menyatakannya padamu, Kena!"

"Jadi bertahanlah, Kena! Jangan sampai hatimu goyah!!"

Hah, lihatlah wajah mereka. Lucu sekali mereka mengatakan lelucon dengan wajah seserius itu. Sebenarnya, bualan macam apa yang sedang mereka serukan? Sama sekali tidak lucu. Justru memalukan. Mereka berteriak-teriak seperti itu hingga banyak orang yang menoleh ke sini.

Mereka yang berbuat, kenapa aku yang merasa malu?

Ah, ingin diletakan dimana wajahku?

Travis menepuk pundak Leon. Lelaki itu menghela napas prihatin. "Menyerah saja. Kena memiliki penjaga yang sangar. Jangan buat mereka marah, atau riwayatmu akan tamat saat ini juga."

Tunggu, Travis mengerti arah pembicaraan mereka? Ada apa ini sebenarnya??

Leon mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia memiringkan kecil kepalanya, menatap tidak mengerti. "... Oke?"

"Ah, sudahlah!" Aku berdecak kesal. "Leon, cepat katakan rencanamu. Kita telah membuang banyak waktu hanya untuk mendengar lelucon mereka."

"Tapi Kena, ini kami lakukan untukmu!" Lizzy menatapku dengan mata berbinar-binar. "Kami pendukung Kena Sena selamanya!"

"Berisik," desisku. "Jangan bercanda, Kita sedang ujian. Fokuslah sedikit."

Lizzy bersungut-sungut sebal. Dia mengerucutkan bibirnya beberapa senti, "Oke. Oke. Maaf."

"Baiklah, begini rencananya ..."

***

Ujian sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu. Kami telah diteleportasikan ke Hutan Camberly, hutan yang letaknya tak jauh dari daerah sekolah. Bagi siapapun yang terleminasi, maka akan berteleportasi secara otomatis kembali ke sekolah. Maka dari itu, seberusaha mungkin anggota kelompok kami tidak tereliminasi. Meskipun jika suatu kelompok menang walau ada anggotanya yang gugur, tetap saja yang gugur akan lulus. Selama pion selamat, maka anggota tim yang lain juga selamat.

Kami berjalan bersama menelusuri hutan dengan formasi yang dibuat oleh Lizzy. Aku berjalan di tengah, dengankan sisanya jalan di sekelilingku dengan formasi membuat lingkaran. Sejauh ini kami belum bertemu seseorangpun. Dan kami juga harus berhati-hati, karena tidak ada diantara kami yang memiliki kekuatan untuk mendeteksi musuh. Ah, suasana ini membuatku teringat pertemuanku dengan Alice. Apa kabar dengannya? Apa dia baik-baik saja ya? Aku jadi khawatir.

"Suasananya hening sekali," Hide yang berjalan di belakangku berbisik pelan, namun masih dapat terdengar oleh kami. "Apakah kita benar-benar di hutan yang benar, ya?"

Lizzy menoleh. Gadis itu berjalan tepat di hadapanku. "Apa maksudmu?"

"Apakah jangan-jangan kita diteleportasikan ke Hutan yang salah?"

"Jangan bercanda."

"Aku serius!"

Lizzy mendengus, "Tidak mungkin pihak sekolah melakukan kesalahan sefatal itu."

Travis menggaruk kepalanya. Dia berjalan di sebelah kiriku. "Tidak ada yang mustahil, kan?"

Aku terdiam. Benar juga. Sejak lima belas menit yang lalu, kami belum bertemu siapapun. Apakah kami diteleportasikan ke Hutan yang salah?

"Sst," Leon mendesis, membuat langkah kami refleks terhenti. kami tahu kode itu. Dengan cepat, kami segera merapalkan mantra penghilang. Kami menghilangkan diri sendiri, agar tidak terlihat siapapun.

"Kau dengar? Tadi seperti ada suara di sini."

"Benarkah? Tapi aku tidak mendengar apapun."

"Mungkin kau salah dengar."

Aku sontak menahan napas begitu melihat siapa yang muncul tak jauh dari kami. Ada Yura, bersama dua orang yang tak kukenal di sana. Kami bertemu Yura! Sepertinya kelompok Yura adalah kelompok yang cukup kuat.

Yura berkecak pinggang, "Kita belum bertemu siapapun sejak tadi. Apakah jangan-jangan kita diteleportasikan ke tempat yang salah?"

"Jangan mengada-ngada!" salah seorang gadis memeluk dirinya sendiri. Dia tampak menggigil menahan takut. "Tidak mungkin kan pihak sekolah melakukan kesalahan?"

"Bagaimana jika aku teleportasikan kembali ke Sekolah?" tawar Yura yang sebenarnya membuatku melotot tak percaya. "Kita tanya saja benar atau tidak tempatnya."

"Jangan bodoh," ucap seorang lelaki. "Jika kita keluar dari area ujian, kita akan dieleminasi."

"Sebaiknya kita pergi," ujar si gadis, "Sudah kubilang berpencar dengan si pion adalah ide yang buruk."

Yura mengangguk setuju, "Kau benar. Sebaiknya kita pergi bersama-sama."

Mereka pergi berlalu, menjauh dari kami yang masih bersembunyi dengan mantra penghilang. Setelah yakin bahwa mereka telah tiada, barulah kami muncul kembali. Aku menghela napas lega.

"Kenapa mereka tidak dihabisi saja?" tanya Travis.

Lizzy menggeleng, "Kau dengar? Mereka tidak bersama pion. Jadi, untuk apa kita bertarung melawan mereka? Sebisa mungkin kita harus mengirit tenaga, ingat?"

Aku mengangguk, menyetujui perkataan Lizzy. "Sebaiknya kita tidak sembarang menyerang. Tenaga kita diperlukan untuk melawan tim yang kuat."

"Yah, benar," Leon yang ada di sebelah kananku menyeringai. "Berarti kita tidak berada di tempat yang salah, kan?"

"Iya."

"Lalu, bagaimana?" Travis menoleh, menatap kami secara bergantian. "Kalau begini terus, kita tidak akan bisa mengeliminasi satu pion pun sampai tenggat waktu habis."

"Tenang saja," Hide menyeringai lebar. "Serahkan padaku." Lelaki itu mengulurkan tangannya ke udara. Seekor burung kecil hinggap di punggung tangannya. Hide membisikkan sesuatu, lalu kembali menerbangkan burung ke udara.

Kami menatap Hide, menunggu penjelasan. "Apa itu?" tanya Leon akhirnya karena tak bisa membendung rasa penasaran.

"Kekuatanku anima. Kekuatan yang memungkinkanku untuk berbicara dengan hewan. Aku juga dianugerahi insting mereka. Level tertinggi kekuatanku, aku bisa berubah menjadi hewan tertentu. Namun aku belum menguasainya. Aku baru bisa merubah tanganku menjadi cakar hewan saja," Hide memamerkan kedua tangannya yang perlahan tumbuh bulu-bulu lebat. Telapak tangannya berubah menjadi cakar beruang. Meski hanya sesaat dan setelah itu tangannya kembali normal, hal itu tetap membuatku terkagum-kagum sendiri.

"Iya, kau memang mirip hewan," ejek Lizzy. "Jadi, kalung yang kau pakai itu sama sekali tidak cocok padamu."

"Hei, ini kalung penetral, tahu!"

"Iya, desainnya memang terlalu bagus untukmu."

"Ah, tentang kalung penetral," Travis bersedekap. Dia melirik Leon lewat ekor matanya. "Kamu tidak memakai kalung penetral, Leon?"

Leon terdiam, kemudian menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?"

"Kau bisa terkena sihir hitam, lho." Lizzy mendelik. "Kenapa tidak dipakai?"

Lelaki bersurai sekelam malam itu mengendikkan bahunya. "Aku tidak tahu."

"Jangan-jangan kau belum dapat, ya?" terkaku.

"Iya, sih. Belum semua murid mendapatkan kalung penetral ini. Aku jadi kasihan kepada Sena. Pasti melelahkan menggunakan kekuatannya dalam jumlah besar."

Aku terdiam. Mendengar perkataan Lizzy membuatku sedikit cemas. Apa Sena akan baik-baik saja, ya? Sekuat apapun dia, Sena kan juga manusia yang bisa jatuh sakit. Hal ini membuatku benar-benar merasa khawatir.

Kicauan burung terdengar, mencuri perhatianku. Aku menatap burung kecil yang kini hinggap kembali di tangan Hide. Burung itu berkicau-kicau nyaring, kemudian kembali terbang ke udara. Hide mengangguk pelan. "Ayo, ikuti burung itu!"

Kami menurut, lalu berlari mengikuti arah terbang burung. Setelah beberapa saat lari diantara rimbunnya pepohonan, kami tiba di sebuah sungai. Dengan cepat, kami bersembunyi di semak-semak terdekat. Beberapa meter di depan sana, ada lima orang yang sedang berdiskusi di tepi sungai. Yang mana menurutku itu adalah tindakan paling bodoh.

"Kau kan pionnya! Harusnya kau yang jalan di paling depan!" seru si gadis berambut pirang.

"Bodoh, justru karena aku pionnya, harusnya kalian melindungiku!" balas si gadis berambut pendek.

"Hei, sudahlah. Bagaimana jika ada yang mendengar?" seorang lelaki mencoba menengahi.

"Tidak akan ada! Jika ada musuh satu meter di dekat kita, aku pasti sudah menyadarinya!"

"Untung saja kita lima meter dari mereka," bisik Leon di sebelahku. Aku mengangguk setuju.

Lizzy mendesis. Tiba-tiba saja dia sudah menyelak di antaraku dan Leon. Aku hampir saja terjatuh karenanya. Aku melotot. Gadis ceroboh ini ...! Bagaimana kalau aku tak sengaja terlihat oleh mereka? Tapi seakan tak merasa berdosa, Lizzy justru menjelaskan rencananya. "Jadi teman-teman ... kita akan menyerang dari dua arah bersamaan. Kena, aku, dan Hide akan menyerang dari sisi timur. Sedangkan Travis dan Leon dari sisi barat," Lizzy menatap sekitar dengan lamat-lamat. Dia sedang mengamati keadaan. "Kena, bekukan airnya setelah aku memberimu kode, oke?"

Aku mengangguk mengerti.

"Hide, kau bisa menyuarakan suara hewan?"

Hide mengangkat kedua bahunya, "Akan kuusahakan."

"Suarakan suara hewan buas. Lalu, mintalah lebah untuk mengganggu mereka. Usahakan mereka menginjak air sungai."

Aku mulai mengerti arah rencana Lizzy. Menurutku ini brilian sekali.

"Leon, apa kekuatanmu?"

"Power up," jawab Leon.

Lizzy terdiam. "Kekuatanmu tak bisa banyak membantu rupanya. Kamu dan Travis bantu Hide agar mereka semua menginjak sungai."

"Kalau begitu, kenapa dari dua arah berbeda?" tanya Travis.

"Menurut analisaku, kekuatan untuk mendeteksi lawannya itu mulai dari jangkauan satu meter. Dia tampak bodoh dan hanya bisa fokus dari satu arah. Makanya jika ketahuan, mereka hanya fokus pada satu titik, bukan keduanya. Tapi sebisa mungkin jangan sampai terdeteksi. Itu bisa merepotkan dan menguras tenaga. Jika rencana utama gagal, kita jalankan rencana B."

"Rencana B?" aku menatap tak mengerti.

"Iya," Lizzy menyeringai lebar. "Rencana Bertarung."

***TBC***

A/N

Sena muncul saingan kawan-kawaaaaan.

Entah kenapa Vara lebih suka ship Kena-Leon wkawkawkakkk

Eh nggak kok. Meski Kena-Leon lebih menggoda, namun Kena-Sena tetap dihati. //paansih.

Btw kenapa namanya Leon? Jangan ditanya hohoho. Salahkan saja Vara karena lagi tergila-gila sama utaite Leon-sama •3•)~

Vara suka suaranya hwuehehehhheehehe. Cari deh di youtube. Nama channelnya furelies. (bukan promosi kok wkawkawkakk)

Oke, ini kepanjangan yah. Niatnya sih pengen dipanjangin lagi. Tapi kalo dipanjangin, nanti Vara gabisa gantungin kalian dong? //dikroyok massal.

Wokeh, jangan lupa vote and comment yes!

By the way..........

MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN YA! VARA MINTA MAAP KALO ADA SALAH //sujud nangis.

Hiks, ga kerasa puasa dah selesai.

Selamat hari raya idul fitri bagi yang merayakan ^-^)/~

Mau THR dari Vara? Hummm... boleh.

Kalian comment aja mau apa. Misalnya mau double update buat hari sabtu. Mau QnA. Mau Vara bikinin ekstra Path. Mau apalahhh terserah.

Asalkan jangan minta update tiap hari. Jangan jahat yah, nanti Vara tepar. //nangis darah.

Wokeh sengaja update lebih awal satu hari. Takut besok ga sempet megang hp wkwk.

Bubyeeeeee.

Big Luv, Vara.

🍭🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro