Path-17 : Belive

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Romeo tengah sibuk memilah data murid untuk ujian lapangan individu kelas Amature. Sebenarnya, bisa saja Romeo tak perlu serepot ini, dan menentukan lawan setiap murid lewat undian. Namun karena sifat Romeo yang terlalu rajin, jadi dia memutuskan untuk menentukannya lewat nilai dan intel. Jadilah dia begadang semalaman sampai pagi.

Vere―pixieball miliknya―datang membawakan secangkir kopi panas. Ini sudah cangkir kelimanya sejak Romeo mulai begadang."Romeo, sebaiknya kau tidur saja," ujar Vere sembari meletakan cangkir kopi itu di meja.

"Hm. Sebentar lagi," Romeo meraih cangkir kopi, lalu meneguk sedikit isinya sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya.

Pixieball itu mendengus sebal, "Kamu ini seperti robot saja."

"Kalau ada robot yang bisa mengerjakan tugas ini, sudah kubuat dari dulu."

"Heh, aku akan menemui Vian."

"Buat apa?" tanya Romeo tanpa menghentikan kegiatannya.

"Akan kuminta Juliet kemari untuk memaksamu tidur."

Aktivitas Romeo terhenti. Lelaki itu memicingkan matanya, menatap sinis. "Kalau aku tidur, ini tidak akan selesai. Pagi ini murid kelas Amature ada ujian individu."

"Pakai undian saja!" sayap kecil Vere mengepak pelan, menghasilkan serbuk bercahaya tipis. "Jangan terlalu rajin! Kau kan punya kekuatan yang berhubungan dengan mesin, jadi gunakan dengan benar! Buat robot atau semacamnya."

"Akan kupertimbangkan," ujar Romeo.

Meski Vere sudah memaksa berkali-kali, pada akhirnya Romeo tetap melanjutkan pekerjaannya. Dia berhasil menyelesaikannya tepat dua jam sebelum ujian dimulai. Karena pekerjaan sudah selesai, kini saatnya dia untuk beristirahat. Romeo punya waktu luang hingga siang. Jadi, dia bisa tidur dengan tenang.

"Vere, bangunkan aku jam satu siang, ya," pesan Romeo seraya rebahan di atas ranjang empuknya.

"Huh, kau ini seperti kelelawar saja. Pagi tidur, malam bekerja." Meski mencibir tak senang, Vere tetap mengiyakan ucapan Romeo. Pixieball itu terbang ke luar, berniat bermain bersama yang lainnya saja dari pada menemani majikannya di dalam kamar.

Rasanya, baru saja Romeo memejamkan mata dan menghela napas lega, suara ketuk pintu mengusik pendengarannya. "Vere, siapa itu?"

Tak ada jawaban. Hanya ada suara ketukan pintu yang terus terdengar tanpa henti. Romeo mengerang kesal. Lelaki itu beranjak berdiri, lalu membuka pintu dengan malas. Siapa pula yang berani mengganggu ketenangannya? Apakah dia tidak tahu kalau saat ini mata Romeo bahkan tidak sampai lima watt?

"Ah, Romeo. Maaf mengganggu."

Kening Romeo mengerut heran. "Miss Wanda? Ada apa sampai repot-repot kemari?"

Wanda tersenyum simpul. Dia menatap Romeo dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penampilan Romeo begitu kusut dan acak-acakan. Ada kantung hitam tebal di bawah kelopak matanya. Sebenarnya dia tak tega untuk mengganggu Romeo, tapi mau bagaimana lagi? Saat ini dia sangat membutuhkan kehadiran si ketua Dewan. "Aku membutuhkanmu untuk ikut denganku."

"Huh? Kemana?"

"Nanti akan kuberi tahu," Wanda tetap tersenyum, menyorot ramah. "Sekarang, bersiaplah. Kutunggu kau di gerbang segera."

Wanda pergi setelah Romeo mengonfirmasi bahwa dia akan hadir. Lelaki itu menghela napas gusar. Dia mengambil handuk, lalu mandi secepat kilat. Romeo hanya memakai setelan kemeja, dan dibalut dengan jubah hitam semata kaki. Ini pakaian yang biasa dipakai penyihir saat bepergian. Beberapa memang lebih sering memakai armor besi di balik jubahnya. Tapi menurut Romeo itu tidak perlu.

Setelah siap, Romeo segera menuju gerbang utama sekolah. Sesekali satu dua orang menyapanya di perjalanan. Banyak orang yang segan terhadapnya. Sikapnya yang terlalu perfeksionis membuat beberapa orang lelah menghadapinya. Maka dari itu, teman-temannya termasuk penyabar dan patut diacungi jempol.

"Mau kemana, Tuan over-aktif."

Langkah Romeo terhenti. Lelaki itu menatap orang yang menegurnya lamat-lamat. "Mau menemani kepala sekolah pergi ke luar."

Juliet yang tengah bersedekap sembari bersender ke dinding menaikkan sebelah alisnya. "Oh ya? Berapa lama kau tidur?"

"Satu jam," jawabnya berbohong.

"Benarkah? Tapi tadi Vere berkata bahwa kau tidak tidur semalaman, lho."

Romeo menghela napas pendek. Hewan satu itu sesekali harus diberi pelajaran. "Jangan mengadu ke Ayah dan Ibu, ya? Nanti aku dimarahi." Romeo menatap Juliet dengan sorot memohon. "Aku janji setelah ini akan beristirahat cukup."

Juliet melirik sosok Romeo lewat ekor matanya, lalu mendengus kasar. "Asal kau tidak lupa meminum vitamin yang kuberikan, tak akan kuadukan."

Seulas senyum merekah di wajah kusut Romeo. Matanya berbinar-binar. Dengan cepat, dia menjabat tangan Juliet. "Baiklah, terima kasih Juju!" Juju adalah panggilan dari Romeo kepada Juliet saat mereka masih kecil. Akan tetapi karena suatu hal, Juliet menolak dipanggil seperti itu di hadapan umum lagi. Padahal, Romeo sangat menyukai panggilan itu.

"Jangan panggil aku begitu!" Juliet melotot, bergidik jijik. Gadis itu menepis tangan Romeo sedikit kasar.

Romeo tertawa, "Oke. Sekarang, aku pergi dulu, ya!"

"Huh, baiklah. Hati-hati."

***

Romeo tidak bisa menyembunyikan ekspresi herannya begitu kereta pegasus mendarat di depan kantor pusat Kerajaan Timur. Di sana sudah ada Rouve―sang raja Kerajaan Timur. "Selamat datang! Akhirnya kalian datang juga," sambutnya.

"Terima kasih, tuan Rouve. Maaf kami terlambat." Wanda turun dari kereta pegasus, lalu membungkuk hormat. Romeo dan Rosseline―yang juga ikut menemani Wanda―ikut turun dan membungkuk hormat.

"Selamat pagi, Paman," sapa Romeo. "Bagaimana kabar Paman?"

Rouve tersenyum ramah. "Sangat baik. Bagaimana denganmu? Kau sudah tumbuh dewasa sekali ya? Ayah dan Ibumu sehat?"

"Sehat, Paman."

"Sena bagaimana? Apakah perilakunya di Sekolah baik?"

"Tidak banyak tingkah, hanya terkadang terlalu pendiam saja," jawab Romeo jujur.

Rouve tertawa. Setelah sedikit berbasa-basi dengan Romeo, dia mempersilahkan mereka semua masuk ke dalam Kantor pusat. Wanda dan Rouve berbincang sedari tadi, sedangkan Romeo dan Rosseline berjalan di belakang mereka. Romeo menoleh kepada Rosseline, "Miss, untuk apa kita kemari?" tanya Romeo, tak tahan dengan rasa penasarannya.

Rosseline menggeleng, menandakan tidak tahu. "Aku juga tidak tahu. Wanda tiba-tiba saja mengajakku pergi tadi pagi."

"Huh? Jadi Miss tidak tahu apa tujuan kita ke sini?"

"Kupikir, kamu telah diberi tahu oleh Wanda?" Rosseline balik bertanya, menatap muridnya dengan tatapan tidak mengerti. "Sebaiknya coba kita tanya saja."

Romeo mengangguk menurut. Dia terdiam, mendengarkan pembicaraan Wanda dan Rouve secara seksama, mencari jeda yang tepat untuk bertanya. Bagaimanapun, Romeo tahu sopan santun untuk tidak menyela pembicaraan orang yang lebih tua.

"Iya, aku sudah mendengar dari William. Mungkin saja, ada aliran hitam yang bekerja sama dengan iblis."

"Tapi iblis dilarang mengganggu keberlangsungan hidup penyihir. Itu mengingkari perjanjian."

"Dan kau percaya iblis akan menepati janjinya?"

"Tidak semua iblis segila itu, Tuan. Ada beberapa yang tidak akan berkhianat."

Romeo merasa kepalanya akan pecah saat itu juga. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang kedua orang di depannya bicarakan. Iblis? Perjanjian? Apa pula hal secamacam itu. Lelaki itu menoleh, menatap Rosseline beberapa saat. Dia membuka mulutnya, hendak bertanya, namun Rosseline lebih dulu memotong, "Jangan tanya aku, Romeo. Aku juga tidak mengerti."

Romeo kembali mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Jalan satu-satunya adalah menunggu Wanda dan Rouve menjelaskan.

Mereka tiba di mulut lorong. Ada deretan anak tangga yang menurun ke bawah. Lorong sekitarnya pun sangat gelap, hingga Romeo tak dapat melihat kemana anak tangga itu mengantar. Rouve membuka telapak tangannya. Kobaran api terlihat membara. Tanpa basa-basi, Rouve segera mengisyaratkan mereka untuk ikut turun.

Romeo yang merasa familiar dengan sekitar pun mulai berpikir. Otaknya berputar, dan terhubung dengan sesuatu. Keningnya berkerut dalam. "Apakah tujuan kita ke penjara bawah tanah, Paman?"

Rouve tertawa pelan, "Oh, kau sadar rupanya. Iya, kita akan menuju penjara bawah tanah."

"Untuk apa?" Rosseline memgerjap tidak mengerti. Atmosfer sekitar mulai mencekam semakin menurunnya mereka menapaki anak tangga. Tak ada apapun yang terlihat. Lorong sangat gelap. Pencahayaan mereka satu-satunya hanyalah berasal dari kekuatan api Rouve, itupun minim sekali.

"Kau akan segera tahu," Wanda tersenyum di dalam kegelapan, yang entah mengapa membuat tubuh Romeo merinding.

Setelah beberapa menit yang mencekam, akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Hanya ada obor sebagai pencahayaan, dengan satu ruangan lagi yang dipisahkan oleh jeruji besi. Di pojok sel, berdiri sosok yang begitu familiar di mata Romeo. Sontak, Romeo mengasah pedang pendek yang sengaja dia bawa dan diselipkan di sabuknya. Lelaki itu memasang kuda-kuda, bersiap untuk situasi terburuk.

Rosseline juga ikut was-was. Tidak ada yang tahu jika sewaktu-waktu sosok yang berada di balik sel penjara itu akan menyerang mereka.

Rouve yang melihat tingkah merekapun tertawa pelan, "Tak perlu seperti itu."

"T-Tapi bagaimana kalau ..."

"Jika aku ingin melenyapkan kalian, sudah kulakukan sejak dua tahun yang lalu," Amartia berbicara, setengah bergurau. Dia memutar bola matanya, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Halo ketua Dewan. Lama tidak bertemu. Dan ... selamat malam, Rouve! Mengapa sampai repot-repot kemari?" Romeo ternganga saat mendengar Amartia menyapa Rouve dengan tidak sopannya, seakan mereka adalah kerabat lama yang tak pernah berjumpa.

"Sebenarnya ini sudah pagi," Rouve terkekeh, dan dibalas dengan seringaian lebar Amartia.

"Yah ... di sini gelap sekali. Aku jadi tidak bisa melihat cuaca."

"Tenang saja, sebentar lagi kau akan dipindahkan dari sini."

Romeo melotot, "Hah?! Bagaimana kalau dia berkhianat?!"

"Sudah kubilang, jika aku mau mengkhianati kalian, sudah kulakukan dari dulu," balas Amartia tak terima.

"Bagaimana cara kami mempercayai omong kosongmu itu?" Rosseline menatap tajam. "Kau yang dulu hampir menghapus kehidupan di dimensi ini!"

"Oke, kuakui kesalahanku," Amartia berjalan mendekati jeruji besi. "Tapi sudah kubilang, kan? Kalau aku mau pergi, sudah kulakukan sejak dulu," lelaki itu menjentikkan jarinya. Seketika, jeruji besi yang memisahkannya dengan mereka melebur menjadi debu, membuat Romeo dan Rosseline memasang kuda-kuda.

Wanda tersenyum simpul, "Dia tidak akan berbuat macam-macam, tenang saja."

Rosseline menatap sang kepala sekolah dengan sorot tak percaya, "Apa yang membuatmu begitu yakin?"

"Kau lihat sendiri? Jika dia hendak mengkhianati kita, maka dia sudah melakukannya sejak dulu," Wanda tersenyum, lalu melempar tatapannya kepada Amartia. "Bagaimana jika kita berbicara di luar saja? Di sini udaranya tidak enak sekali. Tidak baik untuk wanita berumur sepertiku."

"Ide bagus!" Amartia berseru antusias, dia menyelipkan telapak tangannya di saku celana. "Bagaimana Tuan raja? Kau keberatan?"

"Tentu saja tidak. Ayo, aku sudah menghubungi pelayanku untuk menjemput kita ke Istana," Rouve tersenyum ramah.

Romeo dan Rosseline hanya bisa bertatapan, bertelepati tanpa suara mengenai hal ini. Pasangan guru-murid itu benar-benar ragu dengan Amartia. Meski akhirnya mereka terpaksa menyetujui karena Rouve adalah raja, dan apapun yang keluar dari mulutnya adalah sebuah perintah.

***

"Aku baru tahu iblis bisa makan," sindir Romeo saat melihat Amartia dengan santainya meminum teh dan mengunyah kue kering yang disuguhkan. Mereka kini berada di balkon luas Istana Timur, duduk santai sembari minum teh hangat.

Amartia mengangkat kedua bahunya, "Aku bukan iblis."

"Kalau begitu kau malaikat? Yah ... meskipun aku tak yakin ada malaikat semenjijikan dirimu," cibir Rosseline.

Amartia tak mempedulihan sindiran dan ejekan dari Romeo dan Rosseline. Mereka pasti belum sepenuhnya percaya dengannya, mengingat tragedi beberapa tahun silam yang terulang kembali. "Aku juga bukan malaikat."

"Lalu kau ini apa? Manusia?"

"Aku campuran dari manusia, iblis, dan malaikat," terang Amartia karena bosan terus ditanyakan hal yang sama sejak tadi. "Ibuku setengah malaikat, dan Ayahku setengah iblis. Lalu lahirlah aku, si malaikat iblis yang juga setengah manusia."

"Hm, cukup rumit," ungkap Rouve. "Baiklah, mungkin cukup basa-basinya. Sekarang kita bicarakan saja inti permasalahannya."

Raut wajah Amartia yang tadi santai kini berubah keras. Rambut lelaki itu tersibak angin, menunjukan goresan luka panjang yang melintang di mata kirinya. "Aku sudah dipermainkan oleh iblis itu. Tch, Coctyus sialan ... iblis itu ..!" Amartia menggepalkan telapak tanganya. Seulas senyum sinis terukir di wajahnya. "Karena dia telah mempermainkanku, aku jadi terpaksa mengorbankan temanku. Aku hampir saja menghancurkan dimensi kalian. Maaf ... argh, mengingatnya saja membuatku sangat murka."

"Coctyus?" ulang Wanda memastikan. "Siapa dia?"

"Dia adalah orang yang memberikanku kristal kematian. Dia berkata, jika aku berhasil membuka gerbang ke Dehell, maka dunia baru akan tercipta. Dunia yang damai bagi semuanya. Detik setelah aku hampir membuka portal ke sana, aku baru tersadar, bahwa dunia seperti itu tidak akan pernah ada. Aku hanya akan menghancurkan semuanya, sama seperti dulu." Amartia tertawa getir. "Dan kristal kematian berhasil dibawa oleh Lucifer ke Dehell. Aku yakin, Coctyus berkeliaran di dimensi ini. Aku dapat merasakannya."

"Jadi ... Coctyus adalah bawahan Lucifer?" Romeo mulai serius. Lelaki itu berpikir keras, lalu mengeluarkan secarik foto dari pocketnya. Dia menyerahkan foto itu kepada Amartia. "Apakah kau mengenal lambang ini?"

Mata Amartia terbelalak, melotot tak percaya. "Ini ... Dari mana kau mendapatkannya? Ini lambang Coctyus!"

"Ada beberapa muridku yang terkena sihir hitam. Kekuatan mereka tersegel. Kami menemukan lambang itu tergambar jelas di leher mereka," jelas Wanda. Wanita itu bersedekap, menatap tajam. "Aku yakin ada penyusup di Sekolahku. Tapi entah mengapa aku tak bisa merasakannya. Para Dewan telah mengambil hipotesa, bahwa salah satu diantara kepala pelayan bisa jadi pelakunya."

"Kepala pelayan?" Rouve menatap heran. "Bagaimana bisa ..?"

"William adalah orang pertama yang terkena sihir hitam. Beruntung, kekuatannya tidak tersegel. Dia tidak pernah pergi dari ruang bawah tanah Perpustakaan sentral, kecuali saat rapat bersama para raja dan bertukar informasi dengan kepala pelayan lainnya," jelas Rosseline. Dia sudah mengetahuinya dari anggota Dewan. "Ada empat kepala pelayan yang menjadi kemungkinan. Semalam Val menghubungiku, bahwa satu orang sudah terbukti tak bersalah. Maka tersisa tiga lagi. Kami akan mengeceknya satu per satu."

"Kalau boleh tahu, kepala pelayan siapa saja?" tanya Rouve.

"Maaf, Tuan. Bukannya tidak menghormatimu, tapi jika kau tahu, mungkin saja rencananya tak akan berjalan lancar," ucap Wanda. Rouve mengangguk mengerti.

Romeo melirik Amartia yang tengah berpikir keras lewat ekor matanya. Lelaki itu mendesis. Mau tak mau, dia harus mulai mempercayai makhluk ini. "Hei Adonan, apa kau tahu sesuatu?"

Amartia tertegun, menatap Romeo seraya mendelik tak percaya, "Kau panggil aku apa barusan?!"

"Adonan," jawab Romeo sekenanya. "Kau bercampur-campur, seperti adonan. Masalah kupanggil begitu?"

Amartia mendengus gusar. Ini pertama kalinya ada yang berani mengejeknya, apalagi menyebutnya adonan. Romeo ini benar-benar berani. "Terserahmu saja."

Romeo mengangguk puas. Lelaki berumur dua puluh dua tahun itu menatap Amartia lamat-lamat. "Apakah kau tahu sesuatu tentang Coctyus?"

"Coctyus itu anak Lucifer. Sebenarnya dulu Lucifer adalah malaikat, lalu dibuang ke Neraka dan menjadi iblis. Setelah dibuang ke Neraka, Lucifer justru mengacaukan segalanya, hampir membuat kehidupan di Neraka hancur. Satan datang ke Surga, lalu meminta bantuan Michael untuk kembali mengusir Lucifer. Dan begitulah, Lucifer berhasil disegel di Dehell, meskipun dampaknya begitu besar bagi dunia atas. Kristal kehidupan yang terpecah menjadi dua bagian, dan ... kristal kematian yang menghilang. Coctyus adalah orang yang berhasil menemukan kristal kematian, lantas menyalah gunakannya. Dia ingin mengembalikan sang Ayah, dengan iming-iming demi menciptakan dunia yang baru. Para saudaranya tidak mau membantu. Bagaimanapun, Lucifer sudah dicap sebagai pengkhianat. Meski Lucifer adalah Ayah mereka, tapi mereka tidak mau ikut terseret dalam urusan pelik dunia atas. Mereka lebih memilih menutup telinga, bersikap seolah-olah mereka baik-baik saja. Coctyus menentangnya, lalu dia diusir ke bagian terdalam Neraka untuk diasingkan.

"Dulu aku tinggal di atas, lebih tepatnya di Surga. Karena sering diolok-olok, aku jadi ingin menciptakan dunia yang tenteram dan damai bagi semua orang. Aku mulai melakukan percobaan, meski temanku menentangnya, tapi aku tetap bersih kukuh. Hingga terjadi suatu kegagalan, dan aku dibuang ke Neraka. Diasingkan, disiksa," Amartia menarik napas panjang. Tersirat kepedihan dari sorot matanya. "Di Neraka, aku bertemu Coctyus. Dia memberikanku kristal kematian, lalu menjerumuskanku ke dalam kegelapan. Karena itu, aku berusaha merebut belati keabadian dari kediaman Gabriel, tapi gagal. Belati itu justru terjatuh ke dimensi sihir, lebih tepatnya ke Kerajaan Utara. Annabeth menemukannya, lalu raja Utara menyimpan belati itu.

"Karena dianggap sudah melakukan kesalahan fatal, aku diusir dari dunia atas ke sini. Dan di sini, aku mulai mencuri kekuatan orang-orang, hingga aku bertemu Annabeth. Annabeth adalah gadis yang terbuka, dan menurutku bodoh. Dengan mudahnya dia memberi tahuku bahwa dia adalah seorang putri kerajaan. Dia juga menceritakan tentang belati yang terjatuh dari langit di halaman Istananya. Dari sana, aku mulai mendekatinya. Dan sisanya, mungkin kalian sudah tahu."

"Jadi ... semua ini berawal dari keinginan Coctyus untuk mengembalikan Ayahnya?" Rosseline hampir tak berkedip selama mendengarkan cerita Amartia karena terlalu serius. "Lalu ... apa yang akan terjadi jika Lucifer berhasil keluar dari sana?"

"Kehancuran bagi tiga dimensi. Lucifer adalah dosa kematian dari kebanggaan. Dia memiliki kekuatan yang terlalu besar. Untuk menyegelnya saja, Michael dan Satan sampai bekerja sama. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika Coctyus berhasil mengeluarkan Lucifer dari penjara Dehell."

"Tiga dimensi? Kalau begitu, dimensi manusia juga?" Romeo menatap tak percaya. "Kenapa bisa begitu?"

Amartia berdeham, dia membenarkan posisi duduknya. "Pertama, penjara Dehell dan Taman kehidupan itu letaknya berdekatan. Kalian pasti sudah tahu tentang Taman kehidupan, kan? Jadi aku tak perlu menjelaskannya lagi. Jika portal Dehell terbuka ke dimensi ini dan Lucifer berhasil keluar, maka Dehell yang asli akan meledak dan berdampak buruk bagi Taman kehidupan. Taman kehidupan berisi jiwa-jiwa manusia. Bisa saja jiwa-jiwa di sana hancur, dan otomatis kalian akan mati." Penjelasan Amartia membuat semua orang yang duduk di sana merinding hanya dengan mendengarnya saja. "Kedua, aku pernah mendengar pembicaraan anak-anak Azrael. Mereka yang bertugas menjaga Taman kehidupan. Mereka pernah berkata, sebentar lagi saat purnama merah tiba, bumidimensi manusia―akan ditimpa meteor yang disebabkan melemahnya barrier yang melindungi keberlangsungan tiga dimensi."

Rouve terbelalak, "Jangan bilang ... kita punya dua masalah?"

"Iya," Amartia menengadahkan kepalanya, menatap langit, tampak sedang menghitung-hitung sesuatu. "Kalian punya waktu sekitar tujuh bulan lagi untuk menghentikan segalanya. Segera cari dalang dari sihir Coctyus yang menyebar di sekolah kalian, atau kita semua akan tamat." Lelaki itu mengangguk-anggukan kepalanya, "Jika dalang yang pertama terungkap, kita bisa dengan leluasa mencari cara untuk menghentikan yang kedua."

Romeo termangu. Lelaki itu tampak berpikir keras. Dewan dan para murid tidak boleh mengetahui ini dulu, masih belum. Jika banyak orang yang tahu, maka semuanya akan kacau. Mereka semua akan saling tuduh menuduh dan itu akan mempersulit keadaan. Sebisa mungkin, dia yang menyimpan semua ini. Prioritasnya adalah mencari dalang. Lagipula, Clyde dan tim medis juga ikut membantu. Dia harus bersabar.

Paling tidak, sebelum purnama merah, dalangnya sudah harus ditemukan.

***TBC***

Magic Cafe

Gomen, Vara telat update wkwkwkwwkkkkk.

Kuota tidak berpihak.

HAHAHAHHAHAHAA, RASAKAN KALIAN! VARA BUAT PUSING MWUEHE.

Bebeb Romeo jan kepusingan, nanti bebeb Juliet khawatir :v

//ditabok.

Konfliknya tabrakan manteman. Jadi sebelum purnama merah, semua harus kelar. Hadeuh, gimana pula cara Vara ngebikinnya :'v

Eits, jangan khawatir! Vara udah bikin kerangkanya sampe tamat. Jadi, perkiraan PH akan tamat pada chapter 40. Iya, ga panjang kan? Vara juga gamao panjang-panjang ehe. Capek :3

Takutnya juga kalian bosen :v

Btw Juliet Tsundere yak, Vara suka sama karakter Tsundere wkwkwk.

Oke, untuk memperjelas latar, Vara buka corner baru!

MagicPedia

Disini kita bahas hal-hal yang bersangkut pautan dengan latar cerita. Karena kayaknya pusing kalo dihapalin semua saking banyaknya karakter yang bermunculan wkwkwkwkwkkk.

1. Kerajaan Utara.

Dipimpin oleh Kena, tapi diambil alih oleh William untuk sementara. Kerajaan Utara itu punya wilayah kekuasaan paling besar. Kekuatan yang turun temurun diturunkan di sana adalah ice. Jadi daripada Beth, Kena lebih mewarisi gen leluhur. Seharusnya sih kakaknya yang gen nya lebih dominan, tapi untuk kebutuhan cerita, yasudah lah ya wkwk.

Kalo Time Keeper, itu diturunkan dari kristal kehidupan yang secara tidak langsung ada di sekitar mereka. Sebenernya sih pedang cahaya selalu disimpan oleh Ayahnya Kena. Jadi pas Ibunya ngelahirin Kena dan Beth, di sana ada Ayahnya juga. Jadi secara ga langsung efek kristal kehidupan ngenain mereka berdua. Oh iya, belum pernah Vara jelasin ya? Wkwk, kapan-kapan aja deh.

Ibu kotanya adalah kota Excensia, kota dengan teknologi termaju di sepanjang perabadan manusia. Tapi sesudah direbut oleh para Dark witch, kota itu mati, bukan hanya kota Axtensia saja, tapi seluruh kota-kota kecil dan pedesaan disekitarnya juga mati.

2. Kerajaan Selatan

Kerajaan terbesar kedua, dengan ibu kota Kota Gardenia, kota yang terkenal akan keindahan alamnya. Flo adalah putri dari kerajaan ini. Selain terkenal dengan keindahan alamnya, Kerajaan Selatan merupakan tempat penjualan ramuan terbaik. Seluruh material lengkap ada di setiap sudut alun-alun. Jadi jangan salah jika Flo sangat mahir dengan hal meramu.

3. Kerajaan Barat Laut

Ini kerajaan yang teritorial wilayahnya terbesar ketiga. Teknologinya memang belum semaju kerajaan utara dan selatan, namun bisa dibilang hampir menyamai. Kerajaan Barat Laut terkenal dengan ibu kotanya yaitu kota Densia, karena banyak melahirkan penyihir-penyihir berpotensi tinggi yang mampu melindungi dimensi sihir. Pangeran dari Kerajaan ini adalah Romeo yang memiliki kekuatan berupa angin.

4. Kerajaan Tenggara

Dengan ibu kota Kota Hanym, wilayah ini terkenal akan kulinernya yang menggugah selera. Ribuan jenis makanan ada di dalam kota ini membuat setiap alun-alun memiliki aroma khas yang berbeda. Raja mereka adalah Gild, dan putrinya adalah Yura. Kekuatan turun temurun yang dimiliki adalah blockade, yaitu kemampuan untuk memblokir.

5. Kerajaan Timur.

Dipimpin oleh Raja Rouve, dan akan diwarisi oleh Sena. Wilayah kekuasaan terbesar kelima, dan terkenal dengan kekuatan penjagaannya yang ketat dan begitu tinggi. Wilayah ini beribu kota Kota Axtensia, dengan potensi prajurit yang kuat dan hebat.

6. Kerajaan Timur Laut

Beribu kota Kota Seanse, wilayah ini terkenal dengan keindahan bawah airnya yang begitu memukau dan beragam masakan laut. Hanz adalah putra mahkota di sana. Air adalah kekuatan yang diwariskan. Teknologinya memang belum terlalu maju, tapi setidaknya sudah mulai menyamai yang lain.

7. Kerajaan Barat

Kota ini memiliki populasi penyihir terpadat di dimensi sihir. Jarang ada manusia di wilayah ini karena dominan penduduknya berdarah murni penyihir. Ibu kotanya adalah Kota Ravenear, kota dengan sekolah sihir terbanyak di dimensi sihir. Ryan adalah pangeran dari Kerajaan ini. Kekuatan yang diturun temurunkan adalah tanah.

8. Kerajaan Barat Daya

Kerajaan dengan wilayah terkecil, meskipun tidak bisa dibilang kecil. Beribu kota Kota Goldenage, wilayah ini adalah wilayah yang memiliki sumber berlian terbanyak di dimensi sihir, atau bisa disebut wilayah terkaya. Meskipun begitu, teknologinya tak kalah maju dengan teknologi Kerajaan Utara. Val adalah putra mahkota dari sini, yang memiliki kekuatan logam. Itu mengapa Kerajaan Barat daya merupakan Kerajaan yang juga terkenal akan hasil tempaannya.

Udah, kelar. Semoga nggak lupa lupa lagi yak wkwk.

Btw ini copas dari SOM, lupa chapter berapa haha.

Wah gila, chapter kali ini panjang juga ya. Cerita+MagicPedia total 3500 kata. Wkwkwk.

Udah ah, kepanjangan. Bubyeeeee.

See u on next path~!
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro