Path-18 : -Hours Before Exam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memang memiliki kebiasaan buruk, yaitu bangun terlalu siang. Entah mengapa alarm yang kupasang tidak pernah berhasil membangunkanku. Alarm otomatisku juga terkadang tidak bisa membuatku terjaga, meski terkadang juga berhasil membangunkanku. Oh, kalian pasti bertanya, apa perbedaan alarm biasaku dengan alarm otomatis? Yah, perbedaannya tidak banyak. Jika alarm biasa hanya berbunyi pada saat-saat tertentu saja. Nah, ini perbedaannya. Alarm otomatis berbunyi setiap saat, berkoar-koar tanpa merasa lelah. Dia juga berisik sekali, dan sangat cerewet. Hobi mengotori tempak tidurku dengan serbuk yang keluar dari sayapnya hingga membuatku bersin-bersin. Dan jika aku bangun pagi seperti ini, dia pasti akan menganggap bahwa aku adalah alien yang menyamar sebagai Kena.

"Eh ...? KENA?! KOK KAMU BISA BANGUN SEPAGI INI?!!"

Ah, itu dia alarm otomatisku. Sedang melotot menatapku seakan dia tengah melihat hal paling menyeramkan seumur hidupnya. Xia-xia mulai mengepakkan sayapnya. Serbuk-serbuk bercahaya bertebaran di atas ranjangku, membuatku meringis pelan. Padahal aku baru saja mengganti seprainya, tapi Xia-xia sudah mengotorinya lagi.

Xia-xia melesat ke arahku, dia mengecek setiap sudut tubuhku dengan tergesah-gesah. Dia mengerutkan keningnya, lalu dengan seenaknya melompat-lompat di atas kepalaku, membuatku mengerang sebal. "Kembalikan Kena, alien murahan! Aku tahu kamu sudah menculik Kena!!"

Sudah kubilang, ini rutinitas kami selama dua tahun terakhir. Xia-xia tak pernah percaya jika aku bisa bangun pagi tanpa bantuannya, dan ini menyebalkan.

Dengan decakan kesal, aku menepis tubuh bulat gempal Xia-xia. Hingga hewan bodoh itu terpental dan memantul di atas ranjangku. "Aduh," keluhnya sembari mengelus kepalanya yang mendarat lebih dulu. "Ternyata benar-benar Kena, ya. Kasar sekali."

Aku mendengus, "Xia jangan menyebalkan, ya! Hari ini aku ada ujian individu kelas Amature!"

Xia-xia terbang dan beranjak duduk di atas meja belajarku, lalu menatapku sedikit lama. "Jam berapa mulainya?"

"Jam sepuluh."

"KENA, SEKARANG MASIH JAM LIMA PAGI!!!"

Mataku berkedip sebanyak dua kali, lalu aku bergegas melihat arloji yang melingkari pergelangan tanganku. Ah, benar. Karena terlalu bersemangat, aku jadi bangun terlalu pagi. Aku menghela napas panjang, lalu melepas jubah dan armor kulit yang menjadi persyaratan untuk mengikuti ujian, lantas memasukannya ke dalam pocket. Aku membuka lemari pakaianku, lalu mengambil jaket pendek yang biasa kupakai untuk berolahraga.

"Kena mau apa?" tanya Xia-xia bingung.

"Olahraga," jawabku sembari memakai jaket.

Xia-xia melotot, "Kamu ... benar-benar Kena, kan?"

Aku memutar bola mataku, malas. "Aku berangkat dulu, ya. Mau lari pagi."

Hewan bodoh itu masih menatapku horror, hingga aku pergi. Aku tak mengacuhkannya, dan lebih memilih berlari mengelilingi wilayah Sekolahan.

Langit masih sedikit gelap, suhu sekitar pun masih sangat dingin. Meski memiliki kekuatan es, tapi aku tak terlalu menyukai udara dingin. Aku lebih menyukai sesuatu yang hangat. Ini memang ironis. Aku berlari kecil, menikmati setiap hembus angin yang menerpa tubuhku. Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Aku cemas memikirkan tentang ujian individu nanti. Bagaimana jika aku kalah? Tidak. Bagaimana jika aku tak sengaja melukai lawanku? Itu yang paling kukhawatirkan. Kuakui, aku memang belum siap mental. Aku tahu bagaimana rasanya membunuh, karena dua tahun lalu aku pernah melakukannya. Dalam perang, hal itu berdampingan. Membunuh atau dibunuh, aku harus memilih salah satunya.

Sebisa mungkin, aku ingin semua orang bahagia. Setelah lulus dari sini, aku akan diangkat menjadi Ratu. Dan aku ... tak ingin rakyatku hidup menderita.

Aku hanya ... belum siap.

Tapi keadaan membuatku terpaksa melakukannya. Sebentar lagi, aku akan menjadi Ratu. Memimpin ratusan bahkan ribuan jiwa. Dalam hati kecilku, aku sedikit iri dengan teman-temanku. Mereka masih memiliki orang tua yang lengkap. Tidak sepertiku yang hidup sebatang kara, hanya bisa hidup dengan mengandalkan orang-orang di sekitarku.

Mereka tak pernah tahu, jika dibalik topeng kokohku, aku ini hanyalah seorang pecundang.

Aku bersembunyi di balik iming-iming sang putri yang memiliki kekuatan terkuat. Padahal, aku sama sekali tidak mengharapkan kekuatan ini. Jika bisa, aku ingin menjadi orang yang biasa saja, bersama keluargaku dan hidup bahagia.

Penyihir yang bahkan tak mengharapkan kekuatannya, tak pantas untuk menjadi pemimpin.

Tapi, kenapa aku bisa menjadi ratu mereka? Aku hanya takut ... mereka kecewa.

"Awas! Di depanmu ada--"

Sesuatu seperti menghantam keras keningku, membuatku jatuh terduduk di atas lantai pualam. Aku meringis seraya mengusap keningku yang rasanya begitu menyakitkan. Suara kekehan tawa terdengar, membuatku menoleh ke sumber suara. Keningku mengerut dalam, menatap tak suka. "Kenapa menertawaiku, hah?"

Leon mengendikkan kedua bahunya, dia menutup mulutnya, mencoba untuk berhenti tertawa. "Pft, maaf. Aku tadi sudah mencoba memberi tahumu, tapi kamu justru terus berlari dan menabrak pilar itu. Ahahahaha, maaf." Lelaki itu mengulurkan tangannya kepadaku. "Sini, biar kubantu berdiri."

Aku menepis kasar tangannya, lalu cepat-cepat beranjak berdiri dengan malu. "A-Aku bisa sendiri!" sahutku ketus.

Leon tersenyum lebar. Sepertinya dia sudah puas menertawaiku. "Hei, aku sudah minta maaf. Jangan marah ya?"

Aku mendengus, "Aku tidak marah!" kataku masih belum menghilangkan nada ketus dalam ucapanku.

"Kenapa masih berkata ketus seperti itu?"

"Tidak, kok!" aku membuang muka, menghela gusar. "Perasaanmu saja."

Lelaki itu tertawa pelan, "Lagipula, kenapa bisa-bisanya kamu berlari sembari melamun begitu? Itu berbahaya, kau tahu?"

Aku menatap sosok di hadapanku itu tajam. Dia sok tahu sekali. "Jangan mengutusku! Aku benci diperintah orang lain!"

"Oke, oke," Leon mengalah. Lelaki itu menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuatku mau tak mau balas menatapnya. "Kamu sedang lari pagi?"

"Iya," jawabku. Kuperhatikan rambut lepek lelaki itu. Tubuhnya juga dibanjiri keringat. Sepertinya dia juga sedang berolahraga pagi. "Kau juga?"

"Iya. Aku baru saja selesai mengitari sekolah enam kali. Ini aku sedang dalam proses ketujuh."

Perkataan Leon membuatku sontak melotot. Enam?! Dia gila atau apa? Sekolah ini luas sekali! Aku bahkam tidak sanggup untuk mengitari satu kali. Biasanya aku hanya berlari mengitar hingga gedung Olahraga, lalu kembali lagi ke Asrama. Itu saja belum sampai setengah keliling Sekolah, dan jaraknya sudah terbilang sangat jauh. Dan Leon berkata dia sudah mengelilingi satu Sekolah sebanyak enam kali?! Seberapa lama dia sudah berolahraga?

"Aku biasa berolahraga dari jam empat pagi," ujar Leon seakan membaca pikiranku. "Kenapa? Kau sepertinya terkejut??"

"Jelas!" sahutku histeris. "Kau tidak kelelahan? Aku saja tidak kuat mengelilingi setengahnya, tapi kamu justru sudah enam kali! Dan tadi kamu bilang apa? Sedang proses ketujuhnya? Berapa banyak kamu mau berkeliling?!"

"Sepuluh," jawabnya santai. Membuatku makin histeris. Dia tertawa pelan. "Kekuatanku power-up. Berkat kekuatanku ini, aku memiliki stamina yang lebih besar dibandingkan yang lainnya. Dengan kekuatan ini juga aku bisa menguatkan satu bagian tubuhku. Biasanya saat lari pagi seperti sekarang, aku menguatkan area kakiku agar tidak mudah lelah. Saat duel, aku memfokuskan diri untuk menguatkan area tanganku. Tapi saat situasi terdesak dan membuatku tak bisa berpikir jernih, aku justru tidak sempat untuk menguatkan tubuhku sendiri. Seperti saat ujian kelompok kemarin lusa. Aku ini payah, ya?" Leon tertawa hambar.

Aku menatapnya lamat-lamat, merasa prihatin. Rasa kesalku padanya menguap begitu saja. Aku menepuk pundaknya, tersenyum tulus. "Tidak, kok! Menurutku kamu itu hebat! Kamu punya stamina yang lebih besar. Dengan begitu, kamu bisa menggunakan sihir tanpa cepat merasa lelah."

Leon tersenyum miring, "Tak usah merasa kasihan padaku. Kamu itu orang yang baik. Suatu saat, kamu pasti akan dibutuhkan banyak orang," ujarnya, lalu menepis lembut tanganku di pundaknya. "Sudah, ya. Aku mau melanjutkan olahragaku lagi. Sampai bertemu kembali."

Aku menatap tidak mengerti. Kuperhatikan sosoknya hingga tak terlihat lagi di pandanganku, termakan oleh jarak. Apa maksudnya?

Aku merasakan dadaku nyeri, seperti tersengat listrik. Aku menunduk, lalu mendapati kalung penetral yang kupakai bersinar hijau remang. Kalung ini kenapa bersinar di waktu-waktu tertentu, ya? Apa jangan-jangan rusak? Aku harus menemui Clyde.

"Jangan halangi jalan."

Hampir saja aku menjerit, jika saja aku tidak segera menggigit lidahku. Aku menoleh, menatap nanar lelaki tripleks yang berdiri di belakangku. "Bisa tidak jangan mengejutkanku? Bicara baik-baik!" sahutku ketus.

Sena menatap lurus kepadaku, "Kenapa?"

"Apanya yang kenapa?" seruku sengit.

"Kenapa marah-marah?"

Ah, aku terkadang lupa bahwa Sena sangat mengenal diriku. Aku tak mungkin akan marah-marah padanya tanpa sebab. Setelah menghela napas pelan untuk menenangkan diri, aku menatapnya lamat-lamat. "Kalung penetralku rusak. Tolong buatkan yang baru," kataku sekenanya.

Sena mengangguk mengerti. Dia membuka telapak tangannya. Cahaya hijau yang begitu terang muncul di sana, membuatku refleks memejamkan mata karena terlalu silau. Setelah cahayanya berangsur meredup, aku mendapati ada sebuah kristal hijau tipis di sana. Sena mengeluarkan seuntai tali dari dalam pocketnya, lalu mengaitkannya dengan kristal itu. Dia menyerahkannya padaku. "Ini."

Aku mengerjapkan mataku, tak menyangka bahwa Sena akan benar-benar membuatkan kalung penetral yang baru. Aku menerimanya dengan sedikit merasa sungkan, "T-Terima kasih."

"Kau sedang lari pagi?"

"Iya," ujarku seraya melepas kalung penetral yang lama, kemudian menggantinya dengan yang baru. Aku menyimpan kalung penetral yang lama di saku jaketku, lalu menatap lelaki itu sedikit lama. Sena memakai setelan pakaian santai dan celana training. Sepertinya dia juga sedang lari pagi. "Mau lari bersama?" tawarku setelah menimbang-nimbang beberapa saat.

Sena mengangguk, "Oke."

Kami berlari santai menelusuri sekitar kawasan Sekolah. Sesekali kami bertemu dengan murid yang juga sedang lari pagi. Selama berolahraga, aku bercerita panjang lebar tentang topik apapun untuk mengusir jauh suasana canggung. Meski berasa sedang berbicara dengan tembok, namun rasanya tetap menyenangkan. Entah mengapa, saat bercerita kepada Sena—meski dia hanya mendengarkan dan tidak merespon—aku merasa sangat nyaman. Ah, perasaan apa ini? Aku begitu nyaman jika berada di dekatnya. Dan juga, kenapa setiap kali aku bertemu Sena, aku akan merasa senang, ya?

Apakah ini rasanya ... memiliki kakak laki-laki?

Sena sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu menjagaku dan menolongku saat aku kesulitan. Sena memang sosok kakak laki-laki yang hebat!

Langkahku terhenti, tak jauh dari gedung Kafeteria. Aku melirik arloji yang melingkari pergelangan tanganku. Sena ikut berhenti, menatapku lamat. "Kenapa?"

Aku menggeleng, "Ini sudah jam enam. Meski terlalu awal untuk sarapan, tapi ... mau ke Kafeteria bersama?"

"Tentu."

Aku dan Sena memasuki Kafeteria bersama-sama. Kafeteria masih sepi, hanya ada segelintir orang—beberapa masih memakai piyama dan baju olahraga—yang ada di sini. Menu pagi ini salad dan roti panggang. Sena bersedia mengantre bagianku, sedangkan aku diminta untuk mencari kursi kosong. Lagipula Kafeteria masih sepi, jadi aku dengan mudah mendapatkan meja kosong. Sena juga sudah datang membawa dua nampan berisi makanan beberapa menit setelah aku duduk di meja kosong. Kami duduk saling berhadapan, makan dalam diam.

Aku melahap roti bakar hangatku dengan lahap. Sudah lama sekali aku tidak makan dengan tenang seperti ini. Biasanya, aku selalu bangun kesiangan. Aku datang ke Kafeteria dengan tergesah-gesah, atau terkadang Yura dan Lizzy akan datang ke kamarku untuk mengantarkan makanan. Mungkin sebaiknya aku membiasakan diri untuk bangun pagi.

Aku menyisihkan salad ke pinggiran piring. Aku benci salad. Sayurannya berasa hambar dan pahit di lidahku. Bantuan saus mayo sama sekali tidak membantu. Tetap saja membuatku mual. Berbeda lagi ceritanya jika salad buatan Yura. Yura selalu merebus sayuran dan memberikan berbagai bumbu, sebelum disuguhkan kepadaku.

"Kenapa?"

Aku menatap Sena malas, "Apanya?"

Sena mengendikkan kepalanya ke arah piringku. "Makan saladnya."

"Ugh, aku benci salad," gerutuku tak senang. "Buatmu saja," aku mendorong piringku yang hanya tersisa salad kepada Sena. Sena menatapku datar—seperti biasanya.

"Kena, hari ini kita ada ujian individu," Sena mengingatkan. "Pagi ini anggota dapur sengaja memberikan menu salad untuk kelas Amature karena ada ujian. Salad di sini baik untuk menambah stamina."

"Lihat siapa yang bicara," cibirku, "Kau sudah seperti Ayahku saja."

Lelaki bersurai merah itu menghela napas, lalu menyendok sesendok salad. Dia mengulurkan sendoknya kepadaku, membuatku bertanya-tanya untuk beberapa saat. "Buka mulutmu," perintahnya.

Hah?

"Ayo, buka mulutmu," Sena menatap insten. Sendok terulur ke bibirku, memaksaku untuk membuka mulut.

"T-Tapi ..!"

"Buka mulutmu."

Dengan sangat terpaksa, aku membuka mulutku. Sena menyuapkan sesendok salad untukku. Aku mengunyah aneka sayuran itu di mulutku. Rasanya hambar, seperti biasa. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda. Seperti ... rasa senang?

"Bagaimana?" Sena melemparkan seulas senyum tipis. "Enak, kan?"

"I-Iya ..." aku membuang muka. Kedua pipiku memanas. "Ta-tapi aku bisa makan sendiri! Aku bukan anak kecil lagi!"

Sena menopang wajahnya dengan sebelah tangan, menatapku lamat-lamat. Aku berdeham pelan. Dari caranya menatapku seperti itu membuatku sedikit merasa canggung.

"HAYO! Sedang apa kalian?!"

Aku hampir saja terjatuh dari dudukku karena terlalu terkejut. Aku menoleh, menatap gusar Juliet yang baru saja mengejutkanku. Kenapa semua orang di sini sangat hobi mengejutkan orang?! "Kenapa, huh?"

Juliet tertawa, tampak puas sukses mengerjaiku. Tanpa izin, gadis itu duduk di kursi kosong yang ada di sampingku. Dengan santai, dia menatapku dan Sena bergantian. "Apa aku mengganggu?"

Sangat.

"Kena, maaf sudah melukaimu saat ujian kelompok, ya. Kudengar lenganmu cedera cukup parah?" ucap Juliet sungguh-sungguh.

Aku menggeleng pelan. Lukaku tak separah itu. Apalagi Clyde juga sudah menyembuhkannya untukku. Jadi seharusnya tak perlu ada yang dikhawatirkan.

"Ternyata kau ini cukup kuat, ya?" Juliet menopang dagu dengan kedua tangannya. Tersenyum lebar. "Tendangan kilat yang kulakukan padamu itu teknik terbaruku. Ternyata kamu cukup kuat untuk menahannya. Sepertinya aku harus menyalurkan lebih banyak listrik pada tendanganku."

"Kejam," desisku.

Juliet tertawa, "Oh iya, kudengar Alice sudah boleh keluar dari Ruang Terapi. Kalian sudah tahu?"

Aku mengangguk. Aku sudah tahu. Semalam, Lizzy yang mengabariku. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya.

"Mau bertemu dengannya setelah ini?"

Aku kembali mengangguk.

"Kena, cepat habiskan saladmu," ujar Sena, yang sebenarnya lebih mirip sebuah perintah.

Aku mendelik, meringis tak senang. "Aku sudah kenyang!"

"Habiskan, atau ..."

"Atau apa?"

Sena menatap tanpa ekspresi. "Atau aku tidak akan mengajakmu pergi ke Toko kue yang baru saja buka kemarin."

Mataku sontak berbinar, "Toko kue?"

"Iya. Cepat habiskan."

"Uh ... oke," dengan sangat-sangat-sangat terpaksa, aku mulai menyuap sendok demi sendok salad di hadapanku. Ugh, rasanya aneh sekali.

Tapi, jarang-jarang 'kan bisa pergi bersama Sena ke pusat Kota? Semoga saja si lelaki tripleks itu menepati janjinya.

Aku tidak sabar!

***TBC***

A/N

Bersambungnya kurang greget wkwk.

Tadinya pengen di chapter ini udah mulai, tapi ada daya udah 2000+ words.

Yak, untuk kemasyuran kita bersama, Vara memutuskan untuk menaikkan jumlah words per chapter.

Kan biasanya PH 1300-1500 words, Vara ganti jadi 1500-2000 words per chapter.

Iya, Vara lakuin biar jumlah chapternya nggak kebanyakan wkwk.

Berbahagialah kalian semua, wahai readers ^-^)/~♡

Mulai chap depan, kita lihat pertarungan antara *uhuk* dan *uhuk*

Aduh, Vara batuk nih jadinya sop ilernya nggak keliatan. //ditabok.

Udah yaw! See u next path!

Bubyeee.
🍰🐤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro