Path-19 : Amature Exam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ujian individu baru akan dimulai jam sepuluh pagi. Karena aku―secara ajaib―bangun terlalu pagi, jadi setelah sarapan aku memutuskan untuk pergi ke Gedung olahraga, melatih pergerakan dan staminaku.

Tadinya aku akan pergi ke sana bersama Sena dan Juliet, tapi Sena pamit karena namanya dipanggil melalui speaker pengeras oleh Romeo, meminta lelaki itu untuk segera hadir ke ruang Dewan.

Dan berakhirlah aku kemari bersama Juliet. Gadis ini berbicara terlalu banyak, membuatku jengah hanya dengan mendengarnya.

Tunggu. Jadi, apakah ini yang selama ini dirasakan oleh Sena? Lelah mendengarkanku terus mengoceh? Wah, Sena patut diacungi jempol.

Sesampainya di Gedung olahraga, aku mendapati ada lumayan banyak murid yang berlatih di sini. Ruangan luas yang dikelilingi kursi penonton bagaikan stadion ini terdengar begitu riuh. Beberapa murid menggunakan kekuatannya secara leluasa tanpa perlu khawatir akan merusak fasilitas sekitar. Kenapa? Karena sekitar telah dipasang dinding anti-sihir, dan hanya bisa dilewati oleh manusia saja.

"Oh, pagi, Kena! Pagi, Juliet!" Lizzy menyapaku. Gadis itu tengah bersama Yura. Sepertinya mereka sedang berlatih.

Aku balas menyapa seadanya. "Pagi."

"Pagi juga!" Juliet tersenyum ramah, "Sedang latihan?"

"Seperti yang terlihat," Yura menguap malas.

Lizzy menoleh, "Jangan malas begitu. Ayo kembali latihan."

"Uh ... oke."

"Latihan? Boleh aku ikut?" tanyaku semangat. Jarang-jarang aku bisa latihan bersama Lizzy dan Yura, juga Juliet.

"Tentu," Lizzy tersenyum, "Kau lihat cara kami latihan, ya. Tolong hitung sampai tiga!"

Aku dan Juliet mengangguk, lalu mundur beberapa langkah. Yura dan Lizzy berdiri saling berhadapan, terpaut sejauh tiga meter. Mereka bersiaga, memasang kuda-kuda. Aku mulai menghitung. Tepat pada hitungan ketiga, mereka melesat bersamaan.

Lizzy lebih dulu melayangkan sebuah pukulan. Yura menepis pukulan itu, lalu meliuk dengan lihainya. Lizzy kembali menghantamkan tinju kepada Yura. Tapi sebelum kepalan tangan Lizzy menyentuh tubuh Yura, sosok Yura sudah menghilang terlebih dahulu.

Yura muncul dengan tiba-tiba di belakang Lizzy, mengangkat kakinya, mencoba menendang. Lizzy melompat tinggi menggunakan kekuatannya, menggantung di udara.

Mataku mengerjap beberapa kali, berdecak kagum.

Yura berteleportasi dengan cepat. Dia berteleportasi ke udara, lalu memutar tubuhnya sendiri, kembali melayangkan tendangan.

Lizzy mengulurkan tangannya. Dia mengendalikan gravitasi. Tubuh Yura langsung terjatuh dengan cepat dan menghantam kerasnya lantai Gedung olahraga.

Gadis bersurai hijau permadani itu mengaduh pelan, "Oke, time out!" serunya sedikit keras.

Lizzy mendarat dengan mulus, lalu menatap Yura sedikit jengkel. "Memangnya kalau ujian nanti ada time out, huh?"

Beberapa murid yang juga ikut menonton pertarungan antara Yura dan Lizzy membubarkan diri begitu mereka selesai bertarung―kembali fokus berlatih.

Tanpa sadar aku bertepuk tangan. "Whoah! Hebat!" pekikku kagum.

Juliet mengangguk menyetujui. "Yura, sejak kapan kau jadi segesit itu?"

Yura beranjak berdiri―dibantu oleh Lizzy. Dia tampak berpikir sesaat, "Sejak Lizzy memaksaku untuk rajin berolahraga."

Aku melotot, "Kenapa tidak ajak aku?!"

"Kamu terlalu susah untuk dibangunkan!" balas Yura tak terima.

Aku meringis, menyeringai tanpa merasa dosa. "Hehe ..."

"Yang terpenting sekarang," Lizzy berkecak pinggang. Rambut ungu pudarnya yang dikuncir sudah basah oleh keringat. "Yura, kenapa kamu tidak memblokkir kekuatanku saja? Kalau begitu, tidak ada gunanya kekuatan blockade milikmu!"

"Huh? Kau lupa?" Yura balas menatap. "Khusus untuk bangsawan, hanya diperbolehkan memakai salah satu kekuatan! Kalau aku sampai nekat memakai kekuatan blockade, yang ada aku akan didiskualifikasi!"

"Eh? Begitu?" Aku baru tahu persyaratan itu. Kalau begitu, aku tidak boleh memakai time keeper.

"Iya. Tadi pagi Miss Ann yang memberi tahuku," Yura mendesah pelan. "Itu mengapa aku harus melatih kelincahanku. Kalau tidak, bisa bahaya. Aku 'kan payah dalam bertarung."

Juliet menepuk bahu Yura, "Jangan pesimis begitu. Kau ini 'kan tuan putri! Ayo, semangat!"

Yura menghela napas pendek, "jangan semangati aku. Aku benci itu."

Aku mengedipkan mataku sebanyak dua kali. Yura selalu benci jika ada orang yang menyemangatinya.

"Kenapa?"

"Semangat berarti memaksaku untuk melakukan sesuatu di luar batas kemampuanku. Itu benar-benar merepotkan," Yura mendengus. "Jadi, jangan semangati aku!"

"Haha, baiklah," Juliet tertawa pelan, entah apa yang dia tertawakan. Gadis itu mengeluarkan pita dari saku celananya, lalu menguncir tinggi rambutnya. "Ayo berlatih. Aku juga sedikit payah bertarung."

"Sedikit?" Aku mengernyit, "Kau hampir membunuhku saat ujian kelompok kemarin!"

"Hei! Tidak sampai membunuh, ya!" Sekali lagi, Juliet tertawa. "Aku sudah menahan diriku. Buktinya, sekarang kamu masih sehat-sehat saja, kan?"

Aku mendengus, "terserah."

"Kenapa saat kita berkumpul, selalu berakhir mengobrol?" Alis Lizzy bertaut, "Ayo latihan! Kena, kau berpasangan dengan Juliet, ya. Aku akan berpasangan dengan Yura."

"Kenapa aku harus denganmu?" Yura memprotes, "Aku mau dengan Kena saja!" gadis itu mulai merajuk. Pipinya mengembung, membuat kesannya menjadi begitu menggemaskan.

"Jangan merajuk!" Lizzy melotot, "Kau masih harus melatih pergerakan kakumu itu! Ayo, kita latihan!"

***

Tanpa sadar, dua jam telah berlalu. Setengah jam lagi, pengumuman rival akan diumumkan. Lalu tepat pukul 10, ujian akan dimulai sesuai nomor urut. Ujian akan dilaksanakan di Aula yang telah disulap menjadi arena bertanding. Tadinya kupikir, ujian akan dilaksanakan di sini―Gedung olahraga. Tapi karena luas Gedung Olahraga sangat terbatas, maka ujian diselenggarakan di Aula.

Di Aula―yang sudah disulap menjadi arena pertandingan―terbagi menjadi tiga arena. Semua itu dilakukan agar proses ujian berakhir secepat mungkin. Jika saja ujian dilaksanakan di Gedung olahraga yang hanya cukup untuk satu arena saja, mungkin besok pagi baru selesai.

"Huft," Aku mengusap peluh yang membasahi wajah menggunakan handuk kecil. Keringatku terlalu banyak. Sepertinya aku harus segera mandi―lagi. Kutatap teman-temanku yang sudah terduduk menghela napas lelah di kursi stadion. Keringat mereka tak kalah banyaknya dariku. Apalagi Lizzy. Bajunya bahkan sampai basah.

"Sepetinya aku akan kembali ke Kamar," Juliet berbicara sebentar, lalu kembali meneguk air mineralnya.

"Yeah, ujian dengan tubuh berkeringat sama sekali tidak menyenangkan," Yura mengibas-ngibaskan tangannya ke leher. "Udaranya panas sekali."

Lizzy mengangguk pelan, "Sebaiknya kalau ingin mandi, kita segera kembali. Setengah jam lagi, pengumuman lawan akan diumumkan, bukan?"

"Oke," aku melompat dari posisi dudukku, merenggangkan tangan dan kaki. "Aku tidak sabar ujiannya! Membuatku gugup saja."

Yura tertawa pelan. "Mau kuantar?" tawarnya.

"Oh, kalau kau tidak keberatan, boleh saja," aku menyengir lebar.

"Antar aku juga ya, Yura!" Juliet menunjuk dirinya sendiri. "Jangan Kena saja, aku dan Lizzy juga!"

"Oke, oke," Yura menghela napas pelan. "Yasudah, ayo," gadis itu mengulurkan tangannya padaku, tersenyum manis.

Aku balas tersenyum. Setelah Yura memerintahkan Juliet dan Lizzy untuk menunggu di sini, gadis itu mengaktifkan kekuatannya.

Cahaya yang menyilaukan membuat mataku refleks terpejam. Tubuhku terasa ringan sesaat. Hanya dalam waktu seperkian detik, aku―dan Yura―sudah sampai di dalam Kamarku.

"Bersiap, ya!" Yura melambai sekilas menggunakan jari telunjuk dan jari tengahnya, tersenyum lebar. "Sampai jumpa di kelas Senior!"

Aku tertawa, balas melambai. "Iya, sampai jumpa di kelas Senior!"

Yura kembali berteleportasi, sedangkan aku segera mandi dan mengganti bajuku menjadi pakaian yang dikhususkan untuk ujian.

Pakaian yang menjadi syarat untuk mengikuti ujian sebenarnya tidak terlalu rumit. Hanya armor kulit yang melapisi seluruh tubuh. Ini dilakukan untuk meminimalisirkan luka yang didapatkan melalui pertandingan. Yah, semoga saja tidak ada yang cedera terlalu berat.

Setelah mengeringkan rambutku, aku menguncir surai biruku ini tinggi, agar tidak mengganggu pergerakanku. Kutatap cermin yang bersandar di dinding, menggepalkan tanganku, mencoba semangat.

"Yosh, aku harus lulus!" Aku tersenyum mantap. Tekadku sudah bulat. Tidak ada alasan untuk mundur.

Setelah persiapanku matang, aku segera pergi ke Aula. Di sana sudah banyak orang berkumpul. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari keberadaan seseorang yang―setidaknya―kukenal.

Tapi sialnya, situasi Aula begitu ramai dan sangat bising. Aku saja bahkan sampai terdorong ke sana ke mari. Oke, aku tahu aku ini memang tidak terlalu tinggi, tapi apakah mereka benar-benar tidak melihat keberadaanku sampai-sampai aku terombang-ambing di tengah lautan manusia seperti ini?

Papan transparan bermunculan di langit Aula, berisikan daftar lawan. Aku memicingkan mataku, mencoba menajamkan penglihatan. Sayangnya posisiku terlalu jauh dari papan transparan, jadi aku tidak bisa melihatnya.

Dengan sangat terpaksa dan nekad, aku mencoba menerobos lautan manusia ini. Sebenarnya tidak sulit untuk menyelinap di antara gerombolan murid, karena tubuhku yang ramping dan memudahkanku untuk melakukannya. Yang menyusahkan itu, mereka yang terus-terusan saling mendorong, membuatku juga ikut terdorong. Lagipula, apa sulitnya mengantre? Apakah mereka tidak diajarkan tata krama seperti itu?

Seorang lelaki di belakangku terdorong cukup keras, menabrakku dan membuatku terjatuh. Aku terkejut, dan hampir saja menjerit. Lelaki yang menimpaku menahan dirinya sendiri menggunakan kedua tangannya, membuat posisi kami menjadi sedikit err ... aneh?

Seakan, seperti di film-film romansa yang biasa kusaksikan saat masih di dimensi manusia dulu. Lelaki itu menahan tubuhnya dengan kedua tangannya agar tidak jatuh menimpaku. Wajah kami hanya terpaut beberapa senti. Aku bahkan dapat merasakan hembusan napasnya yang bergitu hangat. Kutatap maniknya yang sekelam malam. Membutuhkan waktu bagiku untuk mengenali siapa lelaki itu.

Napasku tercekat.

Leon.

Lelaki itu tampak sama terkejutnya denganku. Dia cepat-cepat berdiri, namun kembali terdorong dan kembali berakhir di posisi yang sama. Leon berdeham pelan. Wajahnya sedikit memerah. "Maaf," bisiknya.

Oke, aku benar-benar tidak nyaman dalam posisi seperti ini. Aku segera mengaktifkan kekuatan time keeper-ku, membuat waktu menjadi lambat. Menyisakan aku dan Leon di waktu yang normal.

Dengan segera mungkin, Leon beranjak berdiri. Dia membantuku, lalu menoleh ke sekitar―tampak bingung karena pergerakan orang-orang melambat.

Aku meraih tangan Leon, menariknya untuk membebaskan diri dari kerumunan. Setelah berhasil pergi sejauh mungkin dari lautan manusia itu, aku melepas kekuatanku, membuat waktu kembali mengalir dengan kecepatan normal.

Leon mengerjapkan matanya beberapa kali, tampak linglung. "E-Eh, apa yang terjadi?"

"Aku memperlambat waktu," jelasku singkat. Aku berdeham pelan, wajahku terasa sedikit panas. Aku melirik lelaki di sampingku ini dengan sedikit jengkel.

Leon yang tampak menyadari rasa kesalku segera menunduk dalam. "M-Maaf, aku tidak bermaksud melakukan hal seperti tadi. I-Itu ... itu kecelakaan! Sungguh!"

Meskipun sudah tahu kenyataannya, entah mengapa aku tetap merasa kesal. Dengan decakan pelan, aku mengangguk, "Iya, tidak apa-apa." Aku menatap gerombolan manusia yang masih ramai dan begitu riuh. Tanpa sadar, aku mendesah frustasi. Kalau begini caranya, sampai ujian mulaipun aku tidak bisa melihat siapa lawanku.

"Um ... kau dapat urutan ketujuh di arena dua," perkataan yang terlontar dari mulut Leon membuatku menoleh. "Tadi aku sempat melihat namamu. Kamu akan melawan seseorang yang bernama Riana."

"Oh," aku mencoba memaksakan seulas senyum. "Terima kasih."

Leon menggaruk tengkuknya, "Sama-sama."

Canggung.

Baik aku maupun Leon, kami sama-sama merasa canggung. Kejadian barusan terasa begitu cepat. Aku tak memiliki alasan mencari topik pembicaraan untuk mencairkan suasana.

Saat bersama Sena, rasanya tidak pernah secanggung ini.

Di saat seperti ini, aku jadi mengharapkan kehadiran Sena.

"Kena."

Aku sontak menahan napasku, menoleh ke sumber suara yang nyaris tanpa aksen. Mataku membola, menatap tak percaya siapa yang baru saja memanggil namaku.

Sena.

Lelaki bersurai merah itu menatapku, datar seperti biasanya. Tapi, ada sesuatu yang tersirat dari tatapannya. Seperti ... amarah?

Sena menarik tanganku, dia menatap Leon dengan tajam. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku tidak melakukan apapun," Leon mengangkat kedua bahunya.

"Jawab."

"Kalau kau tidak percaya, tanya saja Kena," ujar Leon sembari mengendikkan kepalanya, menunjukku.

Aku mengangguk, "Iya, dia tidak melakukan apapun, kok," kataku mencoba meyakinkan.

Sena menatap datar, "Seharusnya kau menjaga kehormatanmu," ucapnya dingin.

Leon menatap Sena tak mengerti, "Aku selalu menjaga kehormatanku."

"Kita pergi," ujar Sena kepadaku. "Sampai jumpa di arena pertandingan."

Lelaki bersurai hitam kelam itu mengulaskan seulas senyum miring, "Ya. Sampai jumpa di arena pertandingan."

Sena menggenggam erat tanganku, lalu membawaku pergi―entah kemana.

"Hei! Kau mau membawaku kemana?" aku mulai memprotes, tak terima telah diperlakukan selayaknya barang.

"Kemanapun," jawab Sena datar. Tatapannya lurus kedepan. "Asal jauh darinya," lanjutnya.

Keningku terlipat. "Huh? Kenapa?"

"Bukan apa-apa."

"Kalau begitu, lepaskan!"

"Tidak."

"Sebentar lagi ujian akan dimulai!"

Langkah Sena terhenti, begitu tiba-tiba sampai membuatku menabrak punggungnya. Aku mengusap hidungku, meringis pelan. Rasanya seperti hidungku ini akan masuk ke dalam.

"Kenapa berhenti tiba-tiba?!" protesku lagi.

Entah mengapa, dia mengeratkan genggaman tangannya padaku. "Bukan apa-apa."

Aku terdiam. Menatap tangan Sena dan tanganku yang bertaut begitu erat. Bersamanya dua tahun terakhir ini membuatku begitu mengenal dirinya. Sena, selalu seperti ini saat aku terluka. Tapi masalahnya, saat ini aku baik-baik saja. Apa yang dia khawatirkan?

"Maaf," Sena berkata lirih, "Sebaiknya kita kembali. Ujian akan segera dimulai."

Aku mengangguk pelan, menurut. "Iya."

Kami berjalan bersama―meski Sena berjalan beberapa langkah di hadapanku. Namun, tangannya tetap senantiasa menggenggam tanganku.

Hangat.

Dan kuharap, waktu dapat terhenti agar dia tidak melepaskan genggaman tangannya padaku.

***

"Oh, aku kenal dia," Sora meneguk air mineralnya beberapa kali, sebelum akhirnya melanjutkan, "Dia sekelas denganku."

Aku menatap lamat, "Apa kekuatannya?"

"Audio rush, kekuatan untuk mengendalikan volume suara. Mungkin dia terlihat lemah, tapi jangan remehkan dia. Kalau mau, dia bisa membuat gendang telingamu itu pecah."

Aku bergidik, lalu mengangguk mengerti. Sekarang ini, aku tengah berada di ruang tunggu arena dua. Kebetulan―yang menyenangkan―Sora juga mendapatkan arena dua. Nomor pesertanya ke-33, yang sangat jauh dariku. Yah, aku cukup beruntung mendapat nomor urut ke-7, dan bukan beratus-ratus. Jadi, aku tidak perlu menahan rasa gugup terlalu lama. Aku sudah menyiapkan hatiku jikalau hasilnya tidak sesuai harapan. Setidaknya, aku sudah melakukan yang terbaik.

Ujian sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu. Setiap pertarungan diberikan tenggat waktu sepuluh menit. Sistem ujian ini memakai poin. Poin akan didapatkan sesuai besarnya serangan yang menyerang telak musuh. Poin akan keluar begitu salah satu dari lawan tumbang, atau tenggat waktu berakhir.

Tujuan utamaku adalah mengumpulkan poin serangan sebanyaknya. Tidak guna menumbangkan musuh, apabila poin yang didapat sedikit. Lagipula, naik atau tidaknya ke kelas Senior dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan poin.

Semoga lawanku tidak menyusahkan. Akan menjadi hal yang merepotkan jika dia memiliki pemikiran yang dangkal dan lebih memilih menumbangkanku.

Aku memejamkan mataku, memanjatkan doa. Dewi keberuntungan, berpihaklah padaku. Semoga aku bisa melalui ujian ini dengan lancar.

Aku dapat merasakan sesuatu menepuk pelan bahuku. Aku menoleh, menatap tepat di iris hitam milik Sora. Dia tersenyum teduh, mengatakan dalam diam jika semua akan baik-baik saja. Aku balas tersenyum, lalu mengangguk pelan.

Kira-kira ... entah sudah berapa lama aku terus berdoa, dan namaku sudah terpanggil.

"Kepada nomor urut 7, dimohon untuk bersiap di pintu Arena. Sekali lagi kepada nomor urut 7, dimohon untuk bersiap di pintu Arena. Terima kasih."

Uh ... jantungku berdegup begitu kencang. Aku terlalu gugup. Aku menoleh, menatap Sora yang sedang menggepalkan tangannya untuk menyemangatiku.

Oke, aku tidak boleh gugup. Aku sudah bertekad untuk menang. Dengan langkah yakin, aku berjalan mendekati pintu Arena. Lapangan Arena berbentuk lingkaran, dan sekelilingnya sudah diberikan dinding anti-sihir. Sudah ada Miss Ann berdiri di sana, bersama seorang gadis berambut pirang keriting dengan high-light merah. Dia tersenyum manis padaku, dan kubalas dengan senyum canggung.

"Baiklah, kalian sudah tahu aturannya, kan?" Wanita berumur nyaris kepala empat itu bersedekap, menatap sangar. Aku menegup air liurku, lalu mengangguk kecil. "Kalian diperbolehkan bertarung, namun hindari bagian vital. Berbeda dengan ujian kelompok, ujian kali ini sedikit berperaturan. Jadi, jangan sampai didiskualifikasi, oke?"

Aku dan gadis pirang yang bernama Riana itu mengangguk. Sekali lagi, Riana mengulum senyum. "Mungkin kekuatanku memang payah. Tapi, jangan remehkan aku, Ice."

"I-ya ..." kubasahi bibirku yang terasa kering, mencoba mengusir jauh rasa gugup. Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, menatap mantap. "Aku tidak akan kalah!"

"Aku juga," Riana mengulurkan tangannya. "Ayo berjuang!"

Aku mengangguk, menjabat tangannya.

"Baiklah, akan segera dimulai," Miss Ann memperingatkan. "Riana, kamu masuk melalui pintu seberang, ya?"

"Baik, Miss," Riana pergi memutari ruang tunggu, menuju pintu seberang.

Jantungku berisik sekali. Ini bukan pertama kalinya aku berduel, kan?

"Baiklah, Kena. Kamu diperbolehkan masuk," Miss Ann tersenyum. "Jangan buat tetinggi kecewa."

Alisku bertaut. Aku mengangguk ragu. "Miss Wanda ya?"

"Iya. Wanda tetinggi di sini," Miss Ann melebarkan senyumannya. "Jangan buat kecewa, ya."

"Baik, Miss!"

Aku melangkah ke tengah lapangan. Suasana sekitar begitu hening. Padahal Arena satu dan Arena tiga tepat berada di sebelah Arena dua, tapi suaranya tidak terdengar. Mungkin sudah diredupkan oleh sihir kedap suara.

Tujuh meter di hadapanku, Riana berdiri dengan senyuman hangat. Aku tak mengerti mengapa sedari tadi dia terus tersenyum. Aku hanya khawatir mulutnya akan robek jika dia terlalu sering tersenyum seperti itu.

Layar transparan muncul di langit-langit Arena. Ada hitungan mundur dari sepuluh. Aku menarik napas panjang, lalu menghelanya. Aku harus bisa!

Tiga, dua ... satu!

Ujian dimulai!

Aku menghentakkan kakiku, menciptakan dinding es yang memisahkan kami berdua. Secepat aku menciptakannya, aku kembali menghentakkan kakiku, membekukan lantai Arena.

Ada alasan mengapa dinding es adalah yang pertama kali kuciptakan.

Pertama, kekuatan Riana adalah pengendalian gelombang suara. Gelombang suara yang dikeluarkannya tidak akan bisa menembus dinding es, dan akan membuatnya memantul kembali kepada si penyerang.

Kedua, aku tidak mau mengambil resiko jika aku terkena kekuatannya lebih dulu. Aku bisa tuli dibuatnya.

Dinding es yang kubuat mulai retak. Sial. Sebesar apa gelombang suara yang diciptakannya?!

Terlalu sibuk memikirkan hal itu, tanpa sadar dinding esku sudah hancur lebih dulu. Aku kembali menghentakkan kakiku. Es tajam keluar begitu saja dari dalam tanah, mencoba menyerang Riana.

Riana ternyata lumayan cerdas. Selagi aku sibuk menciptakan dinding kaca, dia mengucapkan sebuah mantra sihir empat baris level tinggi yang memakan waktu cukup lama.

Eh?

Aku mengerjapkan mataku.

Tunggu.

Aku tidak ingat jika di dalam persyaratan diperbolehkan untuk menggunalan sihir selain kekuatan.

Bukankah kalau begitu, dia akan didiskualifikasi?

"Tunggu!" Aku berjalan mendekat. Riana masih sibuk membaca mantra sihir level tinggi. "Apa yang kamu lakukan? Bukankah kita tidak diperbolehkan memakai sihir?"

Riana menatapku dingin. Caranya menatap sebelum ujian tadi dan sekarang begitu berbeda. Dia menyeringai lebar, "Oh, benarkah? Bukankah peraturannya dirubah?"

Aku melotot, "Tidak! Aku yakin peraturannya tidak dirubah!"

Gadis bersurai pirang keriting itu terkekeh. Tongkat sihirnya mengarah kepadaku. Dia sudah selesai merapalkan mantra sihir, bersiap menyerangku. "Kau tidak tahu? Malang sekali nasibmu, Ice."

"Siapa yang merubah peraturannya?" Jika Miss Ann―panitia ujian―yang merubahnya, pasti aku sudah diberi tahu. Tapi ... kenapa tidak?

Miss Ann tidak sejahat itu kepadaku! Tidak mungkin. Kalau bukan Miss Ann yang merubah peraturannya, lalu siapa? Kepala sekolah? Ketua dewan? Siapa ...?!

Suara tawa sinis dari Riana membuatku menatapnya heran. Dia mengukir seringaian licik. "Tentu saja," Riana terkekeh, "Aku yang merubah peraturannya."

***TBC***

A/N

Kena-Sena shippers, tolong tahan emosinya yak wkwkwkwkkkk.

Ini Sena beneran harus gercep, kalo nggak Kena bakalan direbut.

Kapan ya Vara bikin Sena buat *ehem* *ehem* ke Kena .... kapan-kapan aja deh.

Kan seru tuh liat kalian komen marah-marah. Bikin Vara ketawa sendiri😁

Btw Kena sabar ya Vara siksa lagi. Suer deh, sampe lima chapter ke depan, kamu gabakal Vara siksa. Tapi gatau deh yang lain :v

Nanti pas arc Luminas Festival .... ada kejutan :D

Mungkin akan jatoh kira-kira di chapter 25 atau 26? Atau bisa aja kurang bisa aja lebih.

Silakan ditunggu yaw wkwkwkk.

Oh iya, mau nanya dulu dong sebentar. Vara niat publish cerita baru. Kalian lebih suka fantasi atau thriller? Dijawab yaa hehe :3

Bubyeeeee.

With bunch of Luv, Vara.
🍦🐤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro