Path-23 : Thinking Well

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah baca, tolong baca A/N yahh. Jangan diskip :D

***Happy Reading***

Aku menyorot tak mengerti. Entah sejak kapan, keningku tahu-tahu saja sudah berkerut. Kuarahkan tatapan kepada Master Joule, meminta penjelasan lebih darinya. Alih-alih menjawab, Master Joule justru tertawa. Entah apa yang ditertawakannya? Aku tidak tahu.

"Mulai hari ini, kita akan melatih skill-skill milikmu itu, Kena," jawab Master Joule pada akhirnya karena aku terus menatapnya dengan tatapan menuntut penjelasan.

"Dengan pedang sungguhan?!" pekikku tertahan. Aku menggeleng, tak habis pikir. "Bagaimana jika aku tak sengaja melukaimu, Master? Aku tidak mau. Lebih baik menggunakkan pedang kayu saja."

"Heh, kau meremehkanku?"

Aku cepat-cepat menggeleng, tidak mau terkena teknik kuncian spesial Master Joule. "T-Tidak. Bukan itu maksudku ..."

"Nah, bagus." Dia mencondongkan mata pedang besinya ke arahku. "Lawan aku."

Tanpa sadar, aku menggigit bibir bawahku. Master Joule serius ingin aku melawannya dengan pedang asli? Bagaimana jika aku tak sengaja melukainya?

Aku menggeleng cepat, enggan.

"Cepat, Kena!" desaknya, "Kalau ini di dalam perang sungguhan, lawan yang akan membunuhmu lebih dulu!"

Tanganku menggenggam gagang pedang semakin erat. Haruskah aku melawannya?

"Kena, jika kau tidak menyerangku sekarang, aku tidak mau mengajarkan teknik spesial berpedang kepadamu."

Aku mendesah frustasi. Kurasa, aku tidak memiliki pilihan lain.

Kupasang kuda-kudaku, bersiaga penuh. Tatapanku terkunci pada sosok Master Joule yang masih diam di sana. Dalam persekian detik, aku berlari cepat ke arahnya, melesat sembari melayangkan mata pedang ke arahnya.

Entah apa yang terjadi, tapi sosok Master Joule sudah tak ada di sana. Membuat pedangku berakhir menebas udara kosong. Mataku mengerjap beberapa kali. Aku yakin sekali tadi Master Joule masih ada di sini. Lantas, kemana dia?

"Kau harus melatih konsentrasimu, Kena."

Aku sontak menahan napas. Kulirik mata pedang keperakan yang hanya berjarak beberapa senti dari leherku. Tahu-tahu saja, Master Joule sudah berada di belakangku, mengarahkan pedangnya. Jantungku berpacu begitu cepat.

Bagaimana mungkin dia bisa berada di sana secepat itu?

Seakan membaca pikiranku, Master Joule tertawa. "Tidak ada yang melarangmu untuk memakai kekuatan, 'kan?"

Ah, aku lupa bahwa Master Joule memiliki kekuatan speed warp. Berbeda dengan kekuatan teleportasi Yura yang bisa digunakkan hingga sejauh apapun, speed warp adalah kekuatan yang memungkinkan penggunanya untuk berteleportasi sejauh satu sampai lima meter dari tempatnya. Kekuatan yang sangat berfungsi sekali untuk bertarung.

Aku berdecak jengkel. Master Joule tidak pernah berkata jika aku boleh menggunakan kekuatan.

Tanpa berpikir dua kali, aku segera memutar tubuhku, mencoba menebas sosok Master Joule yang masih berada di belakangku. Tubuh Master Joule menghilang. Mataku segera menjelajah dengan cepat, mencari keberadaannya.

Di kiri!

Aku menghentakkan kakiku, menciptakan es di sisi kiriku. Aku menoleh, namun tak mendapati apapun di sana. Apakah tadi aku salah lihat?

"Perhatikan pandanganmu."

Kurang dari sedetik, aku segera melompat menjauh dari tempatku berpijak. Entah sejak kapan Master Joule sudah ada di belakangku. Sudah kuduga. Kekuatan miliknya memang sangat menyusahkan.

Matahari yang bersinar terik membuat peluh bercerai berai di tubuhku. Aku menyilangkan pedang begitu Master Joule melesat ke arah tempatku berdiri.

Tang!

Suara denting pedang beradu terdengar begitu memekakan telinga. Jantungku hampir saja lepas dari tempatnya karena terlalu terkejut. Kuhentakkan kakiku ke tanah hingga jarum es tumbuh dari dalam tanah.

Tubuh Master Joule menghilang lagi, lalu muncul lima meter di hadapanku. Sepertinya dia sempat terkejut karena esku. Sebab dia justru berteleportasi menjauh. Tak ingin kehilangan kesempatan, aku melesat dan mengayunkan pedangku ke arahnya.

Kami kembali bertarung. Aku mengeluarkan seluruh skill yang telah kupelajari bersamanya. Semua skill telah kupelajari dengan baik. Mungkin, itu mengapa sekarang Master Joule tampak kewalahan melawanku.

Tapi tentu saja, Master Joule lebih unggul. Aku ceroboh, dan mata pedang Master Joule berhasil berada lima senti dari leherku. Master Joule menang, dan aku kalah―lagi.

Master Joule menurunkan pedangnya, membiarkanku menghela napas sejenak. Napasku menderu tak beraturan. Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya. Tubuhku telah bermandi keringat. Rasanya gerah sekali.

"Yah, mungkin keahlian berpedangmu sudah cukup."

Aku mendongak, menatap tidak mengerti. Sudah cukup? Aku bahkan belum bisa mengalahkannya.

"Kau sudah menguasai seluruh skill yang kumiliki," pria berumur setengah abad itu menyarungkan pedangnya. Dia berkecak pinggang, menatap langit yang masih terang bersama awan-awan teduh. Meskipun usianya sudah tergolong tua, namun Master Joule masih terlihat segar dan gagah. "Langitnya indah," ucapnya.

Aku ikut menatap langit. Tidak ada yang istimewa pada langit siang ini. Sama seperti biasa. Hal ini membuatku mengerutkan kening, tidak mengerti.

Seakan mengerti apa yang kupikirkan, Master Joule tertawa. "Setiap hari, langit memang indah, Kena. Hanya dengan menatap langit, aku memiliki harapan lebih untuk hidup. Bukan hanya langit. Tapi sesuatu yang ada di sekeliling kita juga indah. Air yang mengalir, angin yang berhembus, juga suara orang-orang yang kita cintai. Apakah kau pernah berpikir, jika hari esok tidak datang, dan kita tidak bisa lagi melihat semua itu?"

Aku menelan air liurku, kemudian menggeleng pelan. Aku tidak paham kenana arah pembicaraan ini.

Master Joule tersenyum. Dia menatapku sesaat, lalu kembali menatap langit. "Aku selalu berpikir, jika saja aku melakukan hal yang benar pada masa lalu, mungkin saja aku dapat bahagia sekarang. Tapi aku sadar, bahwa aku hanya terfokus pada satu titik yang sudah jauh tertinggal di belakangku. Hidup itu seperti kereta. Kereta akan terus berjalan ke depan, mengikuti rel-rel kehidupan. Tak peduli meskipun banyak orang yang turun darinya, dia tetap melaju. Karena di depan sana, masih banyak orang yang menunggu untuk menaiki kereta. Hidup juga sama. Ada orang yang datang lalu pergi. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Namun kita harus terus melangkah maju, mengikuti kemana takdir membawa. Kau mengerti, Kena?"

Aku menggigit bibir bawahku. Aku tidak paham. Mengapa Master Joule mengatakan hal sedemikian rupa?

Master Joule kembali tertawa. Namun kali ini, tawanya menyiratkan sendu. Begitu pilu untuk kudengar. "Mungkin untuk saat ini belum. Tapi suatu saat nanti, kau pasti akan mengerti, Kena." Angin berhembus, membuat rambut kami berkibar. Master Joule menatapku hangat, tanpa memudarkan senyumannya. "Boleh aku bertanya?"

"Y-Ya?"

"Jika satu harapanmu dapat terkabul, maka apa yang akan kamu minta?"

Aku terdiam. Lagi-lagi tak mengerti mengapa Master Joule menanyakan hal aneh seperti ini.

"Pikirkan baik-baik, Kena." Pria itu melangkah menuju kursi taman, tempat tasnya diletakkan. Dia meraih tasnya, lalu menghela napas panjang. Senyuman masih setia tersungging di bibirnya. Kerutan dan garis halus terlihat kontras di wajahnya. "Kau sudah menguasai seluruh skill yang kupunya. Maka, tersisa satu skill yang belum kau kuasai."

Jantungku berdebar begitu cepat. "A-Apa itu?"

"Aku akan mengajarkannya padamu, setelah kau menjawab pertanyaanku." Master Joule melangkah menjauh, meninggalkanku di belakangnya. Dia melambai sekilas. "Temui aku jika kau sudah menemukan jawabannya, ya. Latihan hari ini cukup sampai di sini. Jangan pernah temui aku, sebelum kau berhasil menjawab pertanyaannya!"

Tubuhku membeku di tempat. Berarti ... latihanku bersama Master Joule sudah berakhir begitu saja?

Aku menatap langit siang. Matahari bersinar begitu terik. Pertanyaan yang diberikan Master Joule begitu sederhana. Namun, kenapa aku tidak dapat menjawabnya?

Ini ... aneh.

***

"Sekarang, giliran Xia yang jaga!"

"Yaaaahh," Xia-xia mendengus sebal. Meski tampak enggan, akhirnya dia menutup matanya menggunakan dua tangan kecilnya. Bibirnya tak henti mencibir. "Yasudah, aku hitung sampai sepuluh!"

Para pixieball yang lain langsung berlari heboh. Mereka mencari tempat persembunyian, sebisa mungkin tidak ditemukan pertama agar tidak menjadi penjaga permainan.

"Delapan ... sembilan ... sepuluh!" Xia-xia membuka mata, menatap sekitar Perpustakaan. "Siap atau tidak, aku datang!"

Xia-xia terbang menelusuri sekitar Perpustakaan. Matanya tak kunjung berhenti mencari keberadaan pixieball yang lain. Setelah lima menit tak kunjung menemukan satupun temannya, Xia-xia mendengus kesal. Ini sebabnya mengapa dia tak suka jika harus menjadi penjaga permainan. Mencari teman-temannya yang lihai bersembunyi itu menyusahkan.

Karena terlalu sibuk mencari, tanpa sengaja Xia-xia menabrak sesuatu. Beruntung, dirinya tidak terjatuh dan menghantam kerasnya lantai. Dia mengelus kepalanya yang terasa sakit, lalu menatap sesuatu yang telah ditabraknya.

Vere.

Wah, ini bahaya! Tanpa berpikir dua kali, Xia-xia segera terbang menjauhi Vere―si pixieball milik Romeo.  Namun sialnya, Vere telah lebih dulu menarik salah satu sayang Xia-xia, membuat Xia-xia tak bisa terbang menjauh. Dengan cengiran canggung, Xia-xia menyapa Vere, "H-Hai Vere ..!"

Vere mendengus. "Sudah berapa kali aku bilang, jangan bermain petak umpat di Perpustakaan!"

"Aduh, ampun!" Xia-xia mengatupkan tangan mungilnya. "Tolong jangan bilang ke Miss Wanda, ya! Nanti kami diomeli lagi!"

"Huh! Baiklah!" Vere melepaskan cengkeramannya pada sayap Xia-xia. "Tapi ingat ya, ini yang terakhir kalinya!"

"Aye-aye Kapten!" Xia-xia hormat, bagaikan seorang prajurit kerajaan. "Omong-omong, kau melihat pixieball yang lainnya?"

"Tadi aku melihat Flance bersembunyi di balik rak buku sejarah," jawab Vere.

"Oke! Terima kasih, Vere!!" Saat hendak terbang menjauh, Vere kembali mencegat Xia-xia, membuat pixieball satu itu mendecak sebal. "Apa lagi?"

"Kau ..." Vere menggantung kalimatnya, "Bermain bersama pixieball milik dia?"

"Dia?" Xia-xia berpikir sesaat. "Oh, dia. Tidak. Aku sudah membuntutinya sejak kemarin. Tapi dia tidak memiliki kita."

"Ini aneh," Vere bergumam sendiri. "Yasudah, aku pergi dulu."

"Eh? Mau kemana?" tanya Xia-xia, "Kamu tidak mau bermain bersama kami dulu?"

"Tidak sekarang," Vere terbang menjauh. "Aku mau menemui Cero dulu. Dia tidak bermain bersama kalian, 'kan?"

"Tidak."

"Aku akan mencarinya. Kalau kau bertemu dengannya, bilang aku mau bertemu."

"Oke!" Xia-xia mengangguk menurut. Sebelum akhirnya, dia terbang menuju tempat dimana teman-temannya bersembunyi.

***

Alice merebahkan dirinya di atas ranjang milik Lizzy. Dia menatap hampa langit-langit kamar. Entah untuk yang keberapa kalinya, dia menghela napas panjang.

Bosan.

Berhari-hari tidak boleh ke luar dari Kamar Lizzy. Sama saja rasanya seperti dikurung di Ruang terapi. Meski rasanya lebih baik di sini.

Beberapa kali, Flo dan Juliet kemari untuk sekedar menemani Alice dan mengajak mengobrol. Tapi tentu saja tidak bisa terlalu sering. Apalagi sejak selesai ujian, dia belum bertemu dengan Yura dan Kena. Kata Lizzy, akhir-akhir ini para Dewan sangat sibuk. Apalagi Kena juga baru saja sadar dari pingsannya beberapa hari lalu. Alice ingin sekali bertemu mereka, tapi Hanz melarangnya keluar Kamar.

Tapi mungkin seharusnya hari ini dia senang. Karena Kena dan Yura berjanji akan datang menemuinya sore ini.

Namun tetap saja ... menunggu itu melelahkan.

"Lizchan kemana ya ...?" tanya Alice entah kepada siapa. Dia beranjak duduk, lalu membenarkan letak kacamatanya yang sedikit miring. Dia beringsut mendekati jendela, lalu membukanya. Membiarkan matahari sore menerobos dengan liarnya.

Alice berpangku tangan, melihat lapangan yang terhampar jelas dari jendela. Asrama putri berdekatan dengan gedung kelas basic. Dari sini, Alice dapat melihat jelas murid-murid kelas basic berlatih menggunakan sapu terbang. Ada beberapa yang terjatuh dari sapunya, lalu kembali bangkit dan mencoba lagi. Tanpa sadar, Alice tersenyum kecil. Dia jadi teringat masa-masa dulu.

Sesuatu terlihat dari kejauhan. Awalnya hanya berupa titik kecil, namun lama-lama Alice dapat melihat jelas apa itu. Sesuatu itu melesat cepat, lalu menghantam Alice. Terlalu terkejut, hingga Alice terjatuh dari ranjang Lizzy.

"Aduh," keluhnya. Alice beranjak duduk, mengelus kepalanya yang berdenyut karena sempat mengahtam lantai. Alice membuka mulutnya, hendak memarahi siapapun yang menghantamnya.

"Alice!"

Alice kembali mengatupkan mulut. Dia menatap cermat pixieball di hadapannya, sebelum akhirnya memekik girang, "Vine?!"

Vine―pixieball miliknya―memeluk Alice. "Aku sangat merindukanmu!"

"Aku juga," ucap Alice sungguh-sungguh. Dia melepaskan pelukannya, menatap sang pixieball lekat-lekat. "Kenapa baru sekarang menemuiku?"

"Karena aku baru saja dikembalikan sekarang," Vine mengepakkan sayapnya, duduk di atas ranjang. "Kau tahu, Alice? Saat kau dikurung di ruang terapi, namamu sempat dihapus dari daftar murid."

"Ya, itu berlaku kepada murid yang tidak mengikuti pembelajaran lebih dari seminggu," Alice ikut beranjak duduk di ranjang. "Tapi sekarang namaku sudah ada kembali di daftar murid. Memangnya kenapa?"

"Saat namamu dihapus dari daftar murid, maka aku akan ditiadakan," jawab Vine yang sukses membuat Alice terkejut. "Aku tercipta dari cerminan kepribadianmu. Aku juga ada untuk menjadi pasanganmu. Maka jika kau sudah tidak ada lagi di daftar murid, maka keberadaanku juga akan dihapus."

"Lalu ... jika kamu dihapus ... kamu ada dimana?"

"Entahlah, aku juga tidak ingat," jawab Vine jujur. "Tapi aku senang, karena bisa berada di sini lagi!"

Alice tersenyum. "Iya, aku juga senang!"

Pintu diketuk. Alice menoleh, mengerut heran. Dia beranjak berdiri, lalu membukakan pintu. Dari balik pintu berhambur dua orang gadis yang langsung memeluknya.

"Kechan, Yuchan!" Alice berseru senang begitu menyadari siapa yang saat ini memeluknya.

"Aku merindukanmu!" Yura melepas pelukannya, tersenyum hangat. "Maaf ya karena lama tidak menjengukmu."

Alice menggeleng, "Tidak apa. Aku mengerti kok."

"Ah, ada Vine juga!" Kena melepas pelukannya. "Lama tidak bertemu!"

"Ayo masuk," Alice mempersilakan kedua sahabatnya masuk, lalu kembali menutup pintunya.

Kena duduk di atas kursi belajar Lizzy. Dia memperhatikan tumpukan buku yang sepertinya baru saja dibaca. "Kau sedang apa?" tanyanya.

"Sepertinya kau sibuk, ya?" Yura menambahkan. Gadis itu menatap deretan gelas alkemia yang masih kotor dan baru saja dipakai.

Alice menggeleng. "Tidak. Aku tidak pernah sibuk."

"Lalu ini semua ...?"

"Ah, aku tidak diperbolehkan keluar kamar," Alice duduk di ranjang. Bibirnya mengerucut. "Katanya aku masih di dalam masa penyembuhan. Membosankan sekali. Jadi, aku hanya bisa melatih sihir dan meracik ramuan. Itu kegiatanku sepanjang hari."

"Wah, aku tidak dapat membayangkannya," Yura menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Pasti membosankan, ya?"

"Sangat!"

"Kalau begitu, selagi aku masih berada di sini, apa ada sesuatu yang tidak kau mengerti?" Kena mengambil sebuah buku, lalu membuka halamannya. "Lizzy sedang menjalankan misi harian. Kalau kau mau, aku bisa mengajarimu beberapa hal yang tidak kau mengerti tentang ramuan."

"Wah! Kechan memang terbaik!" puji Alice. "Kebetulan, aku sedang kesulitan dalam membuat night vision potion. Kau bisa mengajariku?"

"Tentu."

"Heeeehhh ... kita belajar cara membuat ramuan?" Yura mengeluh, yang sebenarnya lebih mengarah sebagai protesan. "Rasanya sama saja seperti belajar di Kelas."

Alice tertawa. Sedangkan Kena justru berjalan mendekati meja tempat Alice biasa meracik ramuan, tampak mengabaikan protesan Yura. "Jadi, kamu mau membantu atau tidak? Kamu juga payah dalam hal meracik, 'kan?"

"Aku tahu aku payah. Tapi jangan diperjelas!" Yura bersungut-sungut. Namun akhirnya mengangguk. "Iya, aku akan membantu."

Alice tersenyum, lalu ikut bergabung untuk meracik ramuan.

Selama meracik ramuan, Kena menjelaskan cara-caranya dengan sangat detail. Sedangkan Yura dan Alice menyimak. Vine ikut membantu untuk mengambilkan material-material yang diperlukan.

Diam-diam, Alice memperhatikan Kena. Dia merasa, ada sedikit kejanggalan pada diri Kena.

Kena ... belum tersenyum selain saat memeluknya.

Apakah dia sedang ada masalah?

"Alice, kenapa diam saja? Cepat tuangkan cairan merahnya!"

Alice tersentak pelan, lalu segera menuangkan cairan berwarna merah ke dalam pot ramuan.

Mungkin saat ini, Alice harus fokus terlebih dahulu.

***TBC***

Akhirnya kelar ya rob..

Sejak kurang lebih tiga bulan Vara nulis Pandora Heart, ini chapter yang sukses bikin Vara galau selama berhari-hari.

Itu loh... perkataan Master Joule yang bikin Vara galau :')

Bikin quotes yang panjang ternyata nggak gampang yah. Wkwk.

Update sehari lebih cepet. Gimana gimana? Seneng ndakk???

Di chapter ini, Vara seriusan nebar kode kerazz. Sampe kalian ga ngeh, berarti tingkat ke-nggak pekaan kalian lebih parah dari Kena wkwk.

Btw Vara berniat bikin grup chat LINE tentang The Tales series. Bisa juga bahas yang lain. Biar kita makin deket aja. Vara pengen punya temen di wattpad wkwkwk.

Atau lebih baik WA aja ya? Menurut kalian gimana? Apa sebaiknya Vara buka grup chat atau nggak? Dan kalau buka, mendingan di WA atau LINE?

Dijawab yah.

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro