Path-24 : A Little Smile

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua bulan telah berlalu, dan aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaan yang diucapkan Master Joule. Setiap malam aku merenungkan jawabannya. Sayangnya, aku tak kunjung mendapat jawaban yang pasti. Aku pernah berpikir, jika satu harapanku dapat terkabul, aku ingin semua orang di sekitarku sehat. Atau, aku ingin berada selamanya di antara orang-orang yang kusayang. Tapi aku yakin itu bukanlah jawaban yang ingin didengar Master Joule.

Bulan lalu aku datang bertamu ke Rumah Master Joule. Alih-alih disambut, aku justru diusir. Seumur hidupku, aku tidak pernah diusir seperti itu. Master Joule memang orang yang berbeda, tak memandang martabat dan jabatan. Dia menyama ratakan harkat semua manusia.

Sepertinya, aku harus memikirkan jawaban ini dengan serius. Tapi ... bagaimana? Otakku buntu.

Seperti saat ini. Miss Ann sedang menjelaskan sejarah tentang sihir di depan Kelas. Sesekali dia memperlihatkan miniatur transparan yang keluar dari dinding. Aku menguap pelan, mengantuk. Pikiranku sepenuhnya terbang kemana-mana. Tak bisa fokus kepada penjelasan Miss Ann.

"Sihir pertama kali berasal dari meteor ajaib yang pernah menghantam bumi beribu tahun lalu." Miss Ann mengetuk dinding ruangan kelas dua kali. Detik berikutnya, muncul sebuah proyektor transparan yang menggambarkan meteor menghantam bumi. Percikan hijau tergambar jelas di sana. Lalu, gambar tersebut berganti menjadi hujan bintang berwarna hijau. "Setelah kejadian meteor menghantam bumi, sebuah barrier sihir terbentuk di atas lapisan atmosfer. Seorang bayi lahir, lalu muncul keajaiban. Bayi tersebut dapat mengeluarkan es. Esok harinya, bayi yang lahir kembali dianugerahi kekuatan yang berbeda. Bertahun-tahun berlalu, dan pemilik kekuatanpun tercipta.

"Para pemilik kekuatan berkumpul menjadi satu, lalu menggunakan sihir untuk menciptakan dimensi baru menggunakan sihir ruang dan waktu. Sihir ruang dan waktu dapat tercipta apabila pemilik kekuatan time keeper menggabungkan kekuatannya bersama seorang kepala malaikat yang turun ke Bumi. Malaikat itu bernama Azrael.

"Azrael turun ke Bumi untuk membantu para manusia pemilik kekuatan. Karena saat itu, penguasa dimensi manusia menetapkan kebijakan untuk memusnahkan para penyihir atau pemilik kekuatan. Singkat cerita, dimensi sihirpun tercipta. Azrael kembali ke langit untuk menjaga Taman kehidupan."

Salah seorang murid yang duduk di depanku mengangkat tangannya. "Miss, katanya Taman kehidupan itu hanya sebuah mitos. Apa itu benar?" tanyanya.

Miss Ann mengetuk dinding kelas, membuat proyektor transparan kembali menghilang. "Tidak ada yang dapat memastikan itu benar atau tidak. Karena Taman kehidupan adalah tempat berkumpulnya jiwa-jiwa, baik itu manusia maupun penyihir," jawab Miss Ann, mengakhiri penjelasannya. "Sejauh ini, ada yang ingin bertanya lagi?"

Beberapa murid kembali mengacungkan tangan. Sedangkan aku lebih memilih menopang dagu, mengarahkan pandanganku ke jendela. Namun yang kudapatkan saat menatap kaca jendela adalah pantulan kursi kosong, tempat Sena duduk.

Entah ini kebetulan atau apa, aku kembali duduk di samping Sena. Dan secara otomatis berarti kami sekelas. Lizzy duduk di kursi bagian depan. Aku pernah menjelaskan jika sistem tempat duduk di dimensi ini seperti bioskop di dimensi manusia, bukan? Semakin belakang tempat duduknya, maka semakin tinggi posisinya. Aku sempat menanyakan kepada Romeo perihal ini. Katanya, sistem ini dibuat agar semua murid dapat melihat guru yang menjelaskan dengan jelas. Tidak perlu tertutup oleh pemandangan kepala murid. Dan menurutku, itu merupakan ide yang cemerlang.

Omong-omong, entah mengapa para murid kelasku semangat menanyakan tentang ada atau tidaknya Taman kehidupan. Jika saja bukan karena aku pernah ke sana lewat mimpi, mana mungkin aku mempercayai keberadaan tempat itu. Nyatanya, tempat itu merupakan tempat berkumpulnya jiwa sesuatu yang hidup, dan hanya bisa dimasuki oleh jiwa juga. Aku tertidur, dan secara teknis berarti aku mati sementara. Dengan begitu, Beth dapat leluasa menarik jiwaku menggunakan kekuatannya ke Taman kehidupan lewat alam mimpi. Aku memang tidak mengetahui bagaimana caranya Beth dapat berahir di Taman kehidupan. Karena katanya Taman kehidupan dijaga oleh malaikat Azrael.

Aku menoleh, memperhatikan kursi Sena yang kosong. Sena bilang, dia dipanggil ke Istananya untuk menjalani pembelajaran menjadi calon pemimpin. Yura dan yang lainnya juga sama. Setiap hari Sabtu atau Minggu, terkadang mereka kembali ke Istana. Menyisakan aku sendiri, calon Ratu masa depan yang kesepian.

Ah, aku memikirkan hal negatif lagi. Tidak sebaiknya aku selalu memikirkan hal yang negatif seperti itu, seakan aku adalah orang paling menyedihkan di dunia. Ingat, Kena. Di dunia ini ada banyak orang yang lebih menderita darimu. Kau harus bersyukur atas apa yang kau miliki!

"Beberapa bulan lagi, akan terjadi fenomena langka di dimensi sihir ini," Miss Ann mengganti topik―entah mengapa topik pembelajaran mengarah ke sana, padahal tidak ada sangkut pautnya dengan pembelajaran sebelumnya. "Fenomena purnama merah adalah fenomena yang sangat langka. Terjadi seabad sekali. Kita cukup beruntung dapat melihat langsung fenomena ini."

Seorang gadis mengangkat tangannya, membuatku entah mengapa mengarahkan tatapanku padanya. Lizzy yang bertanya. Lizzy memang siswa yang cukup aktif di kelas. Jika dia bertanya, maka topik itu memang sangat menarik perhatiannya. "Katanya, saat purnama merah, sihir di penjuru dunia akan melemah. Apakah itu benar?"

"Pertanyaan yang bagus," Miss Ann mengetuk dinding dua kali. Membuat layar transparan muncul di sana, menampilkan gambar planet bumi yang dikelilingi dua lapisan.

Aku tahu gambar itu. Lapisan pertama―yang paling luar―adalah barrier yang mencegah meteor atau sesuatu menghantam bumi. Sedangkan lapisan kedua adalah atmosfer yang mencegah bumi dari panasnya sinar matahari.

"Purnama merah mengandung kadar sihir yang terlalu besar, hingga membuat sihir di dunia melemah karena besarnya sihir yang dimiliki purnama merah. Beruntung, purnama merah hanya berlangsung selama sepuluh detik. Jadi tidak ada yang perlu kita khawatirkan."

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam sepuluh detik.

Aku membuang muka. Miss Ann adalah guru sihir yang baik. Namun entah mengapa, aku kurang menyukainya. Dia terlalu kritis, menurutku. Itu mengapa aku kurang nyaman saat bersamanya. Meski begitu, bukan berarti aku membencinya. Dia adalah guru yang baik, sungguh.

Bel berbunyi, melengking dengan nyaringnya. Miss Ann mengetuk dinding hingga layar transparan menghilang. "Pembelajaran cukup sampai di sini." Dia tersenyum, tampak begitu elegan. Wanita berumur tiga puluh tahun itu memang memiliki pesona yang luar biasa. "Sampai jumpa minggu depan," ujarnya, lalu melangkah ke luar Kelas.

Suara sahut menyahut siswa mulai memenuhi kelas. Beberapa mengobrol, tertawa. Ada juga yang memutuskan keluar Kelas, menuju Kantin, Perpustakaan, atau sebagainya. Lizzy datang menghampiriku, lantas duduk di kursi Sena yang kosong. Dia memiringkan kecil kepalanya, "Ada apa? Akhir-akhir ini kau terlihat banyak pikiran."

Aku menggeleng, "Tidak kok. Aku sedang tidak banyak pikiran." Perkataanku tidak sepenuhnya dusta. Aku tidak banyak pikiran. Aku hanya sedang gundah dengan pertanyaan yang dilontarkan Master Joule. Itu saja.

Lizzy mengangguk mengerti. Dia menepuk bahuku pelan. "Jika ada masalah, cerita saja. Tidak baik memendam masalah sendirian. Oke?"

Aku tertawa kecil, sedikit terhibur dengan apa yang Lizzy katakan. "Oke," ucapku.

"Kalau begitu, mau pergi ke Kafeteria?" tawar Lizzy, "Atau mau pergi ke suatu tempat? Ke Kelas Yura?"

"Kita pergi ke Kelas Yura, lalu ke Kafeteria," putusku.

"Oke, ayo." Kami beranjak berdiri, lalu berlalu keluar Kelas, menuju Kelas Yura. Lantai untuk jurusan front witch dan netralize witch dipisah, begitu pula dengan jurusan support. Meski tetap satu gedung, tapu menurutku sekolah ini terlalu berlebihan. Memangnya, sekaya apa orang yang membangun sekolah ini sampai memiliki tujuh gedung utama dan beberapa gedung kecil lainnya?!

Aku tak habis pikir.

"Hei, Kena!" teguran dari Lizzy sukses membuat kesadaranku kembali. Aku menghentikan langkahku, menoleh dan mendapati Lizzy berada dua meter di belakang. Lizzy menunjuk pintu cokelat besar berukiran huruf N. "Sudah sampai. Kamu mau kemana?"

"E-Eh, maaf," kataku sedikit malu. Aku mendekati Lizzy. Lizzy mengintip ke dalam Kelas, lalu melambai-lambaikan tangannya. Aku ikut mengintip, menatap dari sela pintu. Yura terlihat sedang berdebat dengan seseorang. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiran kami.

"Sudah kubilang, red mushroom itu masakan yang paling lezat!"

"Tapi, bukankah black mushroom sudah menjadi tren belakangan ini? Orang-orang seusia kita banyak yang merupakan penggemar black mushroom!"

"Tren bukan berarti yang terbaik!" Yura mendengus. Dia berkecak pinggang, menatap nanar lelaki berambut navy di hadapannya. Keningku berkerut. Mereka bertengkar di depan Kelas. Apakah mereka tidak malu menjadi tontonan anak sekelas?

Aku memicingkan mataku, mencoba mengenali orang yang merupakan lawan bicara Yura. Tawaku hampir saja meledak saat mengetahui bahwa itu adalah Hide. Mereka bertengkar lagi. Dan entah mengapa setiap mereka bertengkar, terlihat sangat lucu.

"Hahahaha, mereka lagi ternyata," Lizzy sudah lebih dulu tertawa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, menatap takzim. "Ayo Kena, kita lerai mereka sebelum terjadi perang sihir ketiga."

Aku mengangguk. Kami memasuki Kelas Yura setelah mengucap salam. Beberapa murid menatapku dan Lizzy. Mungkin heran karena dasi kami berbeda corak. Corak dasi untuk jurusan front witch adalah pedang. Sedangkan untuk netralize witch adalah tameng, dan support adalah lambang kesehatan.

"Hei, hei. Mau sampai kapan kalian bertengkar begitu," ujar Lizzy begitu Hide hendak membalas perkataan Yura.

Lelaki itu mengatupkan mulutnya, lalu kembali membukanya, "Kami tidak bertengkar."

"Yeah, kami tidak bertengkar," Yura memberi konfirmasi.

Aku memiringkan kecil kepalaku. "Lalu, kalian sedang apa?"

"Berseteru."

"ITU SAMA SAJA!"

Oke. Mereka sukses membuat emosiku naik.

Lizzy mengelus dadanya, mencoba sabar. Dia kembali mengarahkan pandangannya kepada Yura dan Hide. "Kalian sedang mendepatkan apa?"

"Tentang jamur yang paling lezat," jawab Yura, "Menurutku, jamur yang paling lezat itu jamur merah. Tapi si bodoh yang satu ini bersikeras bahwa jamur hitam paling enak hanya karena tren!"

"Aku tidak bodoh!" kilah Hide. "Aku 'kan tidak mengerti soal masakan!"

"Justru karena kau tidak mengerti, seharusnya kau mendengarkan aku yang lebih mengerti!" Yura mendengus. Bersedekap seraya bersungut-sungut sebal.

Hide menggaruk rambutnya, membuat rambutnya yang berantakan menjadi semakin berantakan. Dia kehabisan kata-kata. Buktinya dia tidak lagi membalas perkataan Yura. "Yah ... maaf kalau begitu." Hide menyeringai canggung.

"Huh, keras kepala."

Aku dan Lizzy tertawa bersamaan. Beberapa murid yang menyaksikan pertengkaran antara Yura dan Hide juga terkekeh. Memang, mereka berdua adalah tontonan yang bagus untuk menghilangkan stres.

"Yura, sudah selesai?" tanyaku, "Ayo ke Kafeteria. Aku lapar."

"Oh, tentu saja. Ayo."

"Hei tunggu," Hide mencegah, "Apakah Sena masuk Sekolah hari ini?"

Aku menggeleng. "Memangnya kau tidak diberitahu?"

"Ah, sudah sih. Tapi kupikir dia hanya bercanda."

Aku menaikkan sebelah alisku. Memangnya Sena adalah tipe orang yang bisa bercanda?

"Sena itu ... dia berpikir tidak sih kalau sahabatnya yang satu ini akan merindukannya," entah apa yang merasuki Hide, dia justru mulai merajuk. Membuatku terkekeh geli.

"Hih, kau lebih menggelikan daripada perempuan," komentar Yura.

"Biar saja!"

"Kalau sudah lulus, kalian akan jarang bertemu. Mungkin kau akan merajuk seperti gadis yang tengah kasmaran setiap hari," ucapan Lizzy membuatku dan Yura sukses tertawa.

Hide menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Yah ... setelah lulus kita semua akan sibuk. Aku mungkin akan melanjutkan usaha toko sihir Ayahku."

"Wah, Ayahmu pemilik toko sihir?"

"Yap, di Kerasaan Timur."

"Mungkin, kapan-kapan aku akan ke sana," ujar Yura yang entah mengapa justru berbincang akrab dan ramah―padahal beberapa menit lalu mereka baru saja bertengkar.

Hide tertawa. "Aku juga. Mungkin aku akan mengunjungi Restoranmu. Membawa cincin."

Yura menatap datar. "Aku tidak menerima lamaran di Restoranku."

"Yah ... sayang sekali," Hide mengerucutkan bibirnya. Beberapa detik berikutnya, wajahnya kembali cerah. "Kalau begitu, aku akan melamarmu di tempat lain saja, ya!"

"Hah, coba saja peruntunganmu," Yura menarik tanganku dan Lizzy keluar dari Kelasnya, meninggalkan Hide di sana.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Jadi, maksud Hide membawa cincin ke Restoran Yura itu adalah lamaran? Bagaimana mungkin Yura dapat menebaknya dengan tepat? Padahal menurutku, membawa cincin ke Restoran memiliki arti yang luas. Bisa saja hanya sebagai hadiah, 'kan?

Lizzy juga tampak terkejut. Mulutnya terbuka kecil, menatap Yura yang tetap menarik tangan kami lekat-lekat. "Yura ... tadi itu ..."

"Jangan bahas tentang asmara, nanti saja. Saat ini aku lapar." Yura melepaskan genggaman tangan kami, mensejajarkan langkahnya. "Kau tahu, Kena? Terkadang, menjadi terlalu peka itu menyebalkan. Aku harap bisa sepertimu saja."

"Eh?" Aku menatap tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Nah, itu!" Lizzy menunjuk-nujukku tidak jelas. "Kamu itu tidak peka, Kena! Cobalah sadar sedikit!"

Ah, semua orang mengatakan hal yang sama. Apa aku kurang berusaha, ya? Padahal, aku sudah berusaha untuk peka terhadap orang-orang di sekitarku. Apa karena aku kurang pintar? Itu berarti aku harus sering belajar di Perpustakaan.

Kami tiba di Kafeteria. Suasana Kafeteria tidak seramai biasanya. Jadi, kami bisa mengabil makan siang dengan cepat dan menempati meja kosong.

"Kita lihat, menu kali ini daging asap," Yura mengiris danging menggunakan pisau, lalu membelahnya menjadi dua bagian. Dia mengintip isinya, lalu mengangguk-angguk, tampak puas. "Tingkat kematangannya sempurna. Ternyata tim dapur mengerti resep yang kuajarkan."

"Ini daging apa?" tanyaku.

"Cloud sheep," jawab Yura.

"Wah, bukankah daging ini mahal? Kenapa pihak Sekolah menyetujuinya?" Lizzy menatap kagum daging hangat yang ada di piringnya.

Yura menyuap sesendok daging ke mulutnya. "Hm ... tidak juga. Aku meminta Ibuku untuk mengirimkan satu kereta penuh daging untuk makan siang hari ini."

"Wah, ucapkan terima kasihku kepada Bibi Laura, ya!"

"Kena, ada ratusan siswa yang bahkan tidak tahu siapa pemberi daging ini." Yura terkekeh. "Jangan ucapkan terima kasih begitu. Kau seperti tidak kenal aku saja."

"Ya, anggap saja aku mewakili ratusan murid di sini," aku menyeringai lebar, memamerkan deretan gigiku.

"Haha, tenang saja. Di Kerajaanku hari ini adalah hari ternak. Para peternak menyumbangkan daging mereka untuk dikonsumsi publik. Mereka merayakannya setiap tahun."

"Wah, rasanya enak sekali!" Lizzy tersenyum sumringan. "Padahal aku sering makan daging ini di Rumah. Tapi, entah kenapa rasanya berbeda. Apa karena Yura yang masak, ya?"

Yura membusungkan dadanya, bangga. "Tentu saja!"

"Saat kecil, seingatku juga sering ada festival seperti itu." Aku ikut menyuap daging. Ternyata rasanya memang sangat lezat.

"Saat kita masih kecil, rasanya apapun bisa membuat bahagia, ya." Lizzy menopang dagunya, menghela napas, lantas tersenyum. "Aku jadi merindukan masa-masa dulu."

Aku mengangguk, ikut tersenyum. "Iya."

Saat masih kecil, aku dapat tertawa lepas tanpa merasakan beban apapun. Namun saat dewasa, aku justru tertawa untuk menutupi beban yang kumiliki.

Waktu memang terus berjalan, ya.

"Hidup itu seperti kereta."

Entah mengapa, perkataan Master Joule terngiang-ngiang di kepalaku. Kira-kira, apa maksud ucapannya, ya?

"Dunia orang dewasa itu memang pelik, ya." Yura bergidik ngeri. "Aku tidak tahu apa yang terjadi saat aku menikah. Rasanya aku mau jadi anak kecil saja selamanya."

Lizzy tertawa, mengangguk menyetujui.

"Tapi waktu terus berjalan, 'kan?" ucapku pelan, "Tidak mungkin kita kecil selamanya."

"Tentu saja," Yura meletakan sendoknya. "Tapi tidak ada salahnya 'kan berandai-andai? Anggap saja sebagai harapan jangka pendek."

"Kalau harapan jangka pendekku, aku ingin kita Sekolah saja selamanya," Lizzy ikut menimpali. "Agar kita bisa terus bermain bersama. Merasakan suka dan pedihnya jatuh cinta. Bukankah ini seperi di film remaja kebanyakan?"

"Wah, itu juga boleh," Yura mengangguk-anggukan kepalanya. "Kalau harapan jangka pendekmu apa, Kena?"

"Aku ..." aku menunduk, menatap daging asapku yang masih hangat. Apa harapan jangka pendekku?

"Tidak perlu memikirkan jauh ke depan. Hanya sesuatu yang paling kau inginkan saja," Lizzy mengaduk-aduk minumannya menggunakan sedotan. Menatapku hangat. "Katakan saja."

Aku terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil. "Yang kuinginkan ... ya?"

Yura mengangguk mantap. "Yup! Tidak perlu sulit-sulit memikirkan prosesnya. Hanya hal yang paling kau inginkan. Sederhana, bukan?"

"Harapan jangka pendekku adalah," Aku mendongak, menatap kedua sahabatku itu dengan senyum berseri, "Adalah hari esok."

"Dan," Lizzy menggantung kalimatnya, "mengapa kamu memilih hari esok?"

"Dengan datangnya hari esok, aku dapat melihat senyum kalian. Aku akan selalu menunggu hari esok. Hari dimana kesempatan datang. Hari dimana tiba harapan baru untuk terus hidup. Hari dimana kebahagiaanku menunggu."

Aku meletakan sendok dan garpuku, lantas mengganggam telapak tangan Yura dan Lizzy. "Dan aku harap ... hari esok akan terus tiba. Dengan begitu, aku dapat melihat kalian setiap hari."

"Tentu saja, kita akan terus bersama." Yura tersenyum hangat.

"Sudah pasti." Lizzy mengacak gemas rambutku. "Kita ini 'kan sahabat!"

"Ya, aku juga berharap begitu."

Aku tersenyum.

Hei, Master Joule.

Aku menemukan jawabanku.

***TBC***

This is my favorite chapter so far :D

Chapter kali ini santai laa. Jangan kebebet sama konflik terus. Sekali-kali santai, nikmatin school life mereka wkwk :v

Meski chapter kali ini santai, Vara tetep nebar kode. Bukan kode buat spoiler sih, cuman kode arah jalannya konflik aja ehe.

Teori asal mulanya sihir itu karena meteor yang menghantam bumi, 'kan? Saat purnama merah, meteor akan kembali menghantam bumi, 'kan?

Yap, itu alasannya.

Vara nggak bakal terlalu jelasin di cerita. Jadi, silakan pakai kepekaan kalian. WKWKWKWKWK.
//ditimpuk.

Time skipnya nggak terlalu maksain kan ya? Soalnya nanti bakal ada time skip sekali atau dua kali lagi :(

Btw yang mau ikut grup chat, bisa dm Vara di inbox nomor WA kalian. Nanti Vara masukin ya :D

Sebenernya mau update tepat jadwal, alias besok. Tapi dengan begonya Vara baru inget kalo hari sabtu Vara ada tes. Jadi kebut ngetik hari ini. Nanti pagi juga Vara akan sibuk buat belajar. Gatau deh sempet pegang hp atau nda :')

Mau curhat bentar si. Jadi gini, SOM udah selesai Vara revisi. Alurnya agak berubah, dan endingnya pun beda. Tanda bacanyapun udah Vara betulin.

Niatnya mau langsung kirim ke *ekhem*. Tapi Vara punya kebiasaan buruk, yaitu nunda sesuatu :')

Revisinya udah kelar dari februari padahal. Tapi Vara biarkan aja itu file berkarat di laptop. Fyi Vara ngetik selama ini pake HP. Vara cuman buka laptop buat revisi atau nonton anime.

Pas kemaren-kemaren, Vara tergerak buat revisi synesthesia. Pas Vara buka laptop, trus buka dokumen.... coba tebak apa?

BOOM !!!

File SOM revisi hilang!

Vara cengo. Ngucek mata, terus ngeliat baik-baik.

WAH!

ISTIMEWA!

Vara pikir awalnya hang. So, Vara matikan daya, terus nyalain lagi. Dan ternyata nggak hang. File punya Vara kehapus semua :')

HEBAT KALI LAPTOP INI! MAKIN SAYANG DEH!

Alhasil, mood Vara turun drastis. Gimana ya? Vara itu tipe orang yang kalo udah ngelakuin sesuatu, udah, gamau diulang lagi. Vara paling anti ngelakuin sesuatu yang sama secara berulang-ulang. (Kecuali ngetik/gambar cerita dgn alur berbeda)

Tapi mau gimana lagi kan? Yaudah.

Makanya kemarin PH sempet tunda update kan? Mood Vara buruk kali. Sampe ide ga ngalir. Padahal udah ngeliatin kereta berkali-kali tetep aja blank. Kayak ga mood gitu :')

Untungnya sekarang udah balik sih.

Terus Vara mikir, yaudahlah ya. Bisa direvisi lagi.

Dan saat Vara niat revisi cerita, muncul masalah baru.

Chargeran laptop Vara meledak! Iya, nyipratin api. Sampe listrik rumah Vara turun. LUAR BIASA KALI.

Chargernya emang perlu diganti katanya. Udah terlalu lama, dan akibat Vara sering mainin sambil ngecharge.

Gaada charger, laptop gabisa nyala.

Niat hati mau minjem laptop adek. Entah sial atau apa, laptop adek juga rusak. Kesirem coca cola keyboarnya.

WAW!

Jadi, ga ada laptop di rumah Vara yang bisa dipake. Yaudah. Byebye revisi! Pankapan aja ya!

Wahaha, A/N nya panjang amat ya. Maap udah nyampah di sini wkwk. Have a nice day!

Terkapar, Vara.
🐥💣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro