Path-27 : One Step Ahead

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu memang berjalan begitu cepat. Tanpa sadar, besok adalah hari digelarnya Festival Luminas.

Kemarin lusa, aku―ditemani Yura dan Lizzy―sudah mendaftarkan diri sebagai peserta Festival kepada Miss Rosseline―selaku panitia utama. Sebenarnya yang mendaftar hanya aku dan Lizzy saja, sedangkan Yura lebih memilih untuk menemani kami. Orang itu sama sekali tidak tertarik untuk memperebutkan ranking terbaik. Kalau ada cara untuk mendapatkan hadiah tanpa bertarung, pasti sudah dia lakukan, begitu katanya.

Aku mendapatkan nomor peserta ke-6, dan aku akan melawan siapapun yang memiliki nomor peserta ke-80. Aku dan Lizzy memang sengaja mendaftar lebih dulu agar mendapat nomor peserta awal. Tapi sepertinya hal itu tidak terlalu berguna. Buktinya, aku yang memiliki nomor peserta awal justru melawan nomor peserta ke-80.

Sistem duel di festival ini seperti turnamen. Siapapun yang menang, maka akan dilawan lagi oleh pemenang. Jadi, total keseluruhannya adalah 5 lap. Festival diberlangsungkan di gedung olahraga. Kesimpulannya, jika aku menang setiap pertandingan, maka aku harus bertarung 5 kali lagi untuk mencapai final.

Lap 1, 2, dan 3 akan berlangsung besok. Sedangkan lap 4, 5, dan final akan berlangsung lusa. Peserta yang mendaftar mengikuti pertarungan hanya sekitar 100 orang. Sisanya, mereka lebih memilih untuk menikmati acara yang tersedia selama festival berlangsung. Aula sudah disulap menjadi panggung, dan akan ada acara pementasan di sana. Setiap kelas membuka apapun sebagai sarana hiburan. Ada yang menyulap kelas mereka menjadi cafe, permainan, bahkan pertunjukkan sihir. Tentu saja, kelasku membuka cafè skating seperti saran Rumi. Dan dengan sangat-sangat-sangat terpaksa, aku harus menyumbangkan kekuatanku untuk membekukan lantai kelas.

Setiap sudut sekolah telah dihias sedemikian rupa. Banyak renda dan pita bertebaran di langit-langit ruangan. Gedung olahraga―tempat berlangsungnya pertarungan―juga tak kalah meriah. Gedung olahraga telah difasilitasi dinding anti sihir agar efek-efek pertarungan tidak sampai mengenai penonton. Agar tidak terulang kejadian yang menimpa diriku, para guru membuat dinding anti-sihir yang tranparan―yang seharusnya mereka membuatnya sejak dulu. Aku memang masih merasa kesal, tapi biarlah. Yang berlalu biarkan berlalu.

"Kena!"

Aku menoleh saat merasa namaku terpanggil. Clyde berjalan menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. Akan tetapi, aku tahu bahwa dia sedang tidak secerah senyumannya. Kantung hitam tebal yang bertengger di bawah pelupuk matanya telah menjelaskan segalanya. "Clyde? Ada apa?"

"Ah, tidak!" Clyde meraih tanganku begitu dia sampai. "Aku hanya ingin menyemangatimu. Besok kau akan bertanding, 'kan?"

"Uh? Iya," jawabku sedikit bingung, "Terima kasih."

"Ini," Clyde mengikatkan seuntai gelang di pergelangan tanganku, membuat keningku berkerut dalam. "Anggap saja ini jimat keberuntungan dariku. Kau selalu memakai kristal penetral, 'kan?"

"Uh ... iya?"

"Bagus. Jangan pernah dilepas, ya!"

"Tunggu!" Aku mencegah Clyde sebelum gadis bersurai merah menyala itu berlalu pergi. Clyde mengangkat sebelah alisnya, menatapku penuh tanda tanya. "Kenapa kamu akhir-akhir ini jarang kutemui?" pertanyaan ini memang sudah lama berkecamuk di benakku. Dan akhirnya, berhasil kutumpahkan sekarang.

Alih-alih menjawab, Clyde justru tersenyum misterius. "Aku memiliki kesibukan, Kena," katanya lirih, nyaris menyerupai bisikan. "Kau mempercayaiku, 'kan?"

Mengapa Clyde berkata seperti itu? Tentu saja aku mempercayainya. Dengan ragu, aku mengangguk kecil.

"Nah, bagus kalau begitu," Clyde melambaikan tangannya kepadaku, "Sampai nanti!"

Aku menatap punggung Clyde hingga sosok itu hilang dari pandanganku di pertigaan lorong. Entah mengapa, ada yang janggal. Seakan, ada sesuatu yang ditutupi olehnya seorang diri. Apakah Clyde sedang ada masalah?

Terlalu larut dengan pikiranku, aku sampai tidak menyadari kehadiran seseorang di belakangku. Bahuku ditepuk, membuatku aku tersentak pelan. Dengan cepat, aku menoleh. "A-Apa?"

"Whoah, santai saja." Val mengangkat kedua tangannya. Seringaian menyebalkan selalu terukir di bibirnya. "Kenapa? Kok terkejut sekali?"

"Ugh," aku menatap sebal, "Siapa yang tidak terkejut saat ditepuk secara tiba-tiba seperti itu?"

"Hei, kenapa kamu marah?"

"Karena kamu menyebalkan!" sahutku jengkel.

Entah mengapa, Val menatapku histeris. Seakan langit akan runtuh saat ini juga. "Apakah semua anak perempuan selalu menyebalkan? Tidak Flo, tidak Kena. Sepertinya dunia akan segera berakhir."

Aku melotot. "Apakah mulutmu itu harus kujahit?"

"Oke! Maaf! Aku selalu salah!" Val mendesis pelan, "laki-laki selalu salah!"

Aku memutar bola mataku. "Kenapa ke mari? Cepat katakan!"

"Ah, iya. Aku mau memberikan ini," Val menyerahkan secarik kertas kepadaku dan kuterima dengan kening terlipat.

"Apa ini?"

"Dokumen yang berisikan alibi kepala pelayan," jawab Val, "juga beberapa murid yang dijadikan tersangka."

Tanpa perlu diklarifikasi dua kali, aku segera mengarahkan pandanganku ke deretan foto yang tertempel di kertas. Ada empat foto kepala pelayan, beberapa guru, juga beberapa murid yang dicurigai.

Alisku bertaut begitu mendapato foto Clyde ada di jejeran tersangka yang dicurigai. Aku segera menatap tajam tepat di manik ungu Val. "Mengapa ada foto Clyde di sini?!"

"Clyde tidak ada di manapun saat kau diserang ketika ujian individu. Dia dimasukkan menjadi tersangka sementara karena alibinya kurang kuat."

"Tapi tetap saja! Kalian tidak boleh menuduh seperti itu! Clyde sudah banyak membantu kita!" seruku kesal. Marah? Tentu saja aku marah ketika temanku dituduh seperti itu. Clyde adalah teman yang baik! Mana mungkin Clyde sampai hati melakukan hal sekeji mengedarkan sihir hitam? "Ingat, Val! Clyde adalah orang yang mengusulkan Sena untuk membuat kristal penetral sebagai pencegah penyebaran sihir hitam! Kalian tidak bisa seenaknya―"

"Kena, tenanglah!" Val menyela perkataanku. Namun sebelum sempat aku mengatakan protesan, dia sudah lebih dulu melanjutkan, "Clyde belum ditentukan sebagai pelaku, baru menjadi tersangka. Jika dia terbukti tidak bersalah, maka dia dibebaskan. Coba lihat, masih banyak murid-murid yang juga dijadikan tersangka."

Aku terdiam, lalu menatap kembali kertas yang sudah kusut karena tanpa sadar sempat kuremas. Val benar. Masih ada beberapa murid yang dijadikan tersangka di sini. Sebagian besar, tidak kukenal. Hanya segelintir siswa yang kukenal wajahnya, namun aku tidak mengetahui namanya. "Val," panggilku pelan. Suaraku berubah serak, "siapa yang menjadikan Clyde sebagai tersangka?"

"Jika boleh jujur, aku tidak tahu."

Alisku bertaut. Aku menengadahkan kepalaku, menatap tepat di manik Val dengan tatapan menuntut penjelasan.

Val menghela napas berat. "Aku diminta Romeo untuk memberitahu anggota dewan yang lain informasi mengenai tersangka ini. Romeo dan Hanz yang mencari pelaku dan menjadikannya tersangka. Karena kebetulan Clyde tidak ada di tempat kejadian, maka dia dimasukkan ke dalam daftar tersangka."

"Tapi, bukan berarti semua orang yang tidak hadir di tempat kejadian dijadikan tersangka, 'kan?"

"Itu yang tidak kuketahui, Kena. Aku tidak tahu mengapa Romeo dan Hanz memasukan Clyde ke dalam daftar ini. Romeo hanya menjelaskan secara singkat bahwa Clyde tidak ditemukan dimanapum saat kejadian berlangsung."

"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu," desakku, "Kau pasti tahu lebih banyak! Aku tahu, si over-aktif itu yang memintamu merahasiakannya dariku!!"

Val meringis. "Kena, kau tidak mempercayaiku?" Lelaki bersurai perak itu memasang raut wajah memelas yang dibuat-buat―yang sejujurnya membuatku muak. "Aku tersakiti, lho!"

"Cih, pantas saja Flo tidak menyukaimu," desisku sebal, "Kau memang menyebalkan!" sahutku sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Val.

Sebelum pergi menjauh, dapat kudengar seruan tak terima dari Val. Nada suaranya tampak kesal sekali. "Kena jahat!"

***

Dua jam sebelumnya ...

Romeo tampak sibuk memilah dokumen―seperti biasanya. Bagi Romeo, waktu tidak sepantasnya dihambur-hamburkan. Setiap detik yang berjalan begitu berharga, dan tidak ada kesempatan untuk memutarnya kembali. Dan karena sebentar lagi Romeo harus lulus dari sekolah ini, maka dia akan melakukan semua hal yang dapat membantu.

Sejujurnya, Romeo sengaja tidak meluluskan diri pada ujian kelulusan. Romeo juga meminta agar para dewan untuk tidak lulus sejak dua tahun lalu―dan tentu saja tanpa sepengetahuan Kena. Miss Wanda juga yang mengusulkan hal tersebut kepada Romeo dan anggota dewan yang lainnya. Karena alasan yang masuk akal, maka semua orang menyetujuinya.

Hanya Sena yang rela menggagalkan diri untuk lulus kelas Amature hanya demi dapat naik ke kelas Senior bersama Kena. Romeo tahu jelas tentang perasaan Sena, dan tentu saja Romeo mengerti. Kena adalah orang yang membuat Sena membuka diri dan mendapatkan banyak teman. Kena juga adalah teman pertama laki-laki itu. Bagi Sena, Kena bagaikan cahaya yang menariknya keluar dari kegelapan. Jadi sudah sewajarnya saja kalau Sena menyukai Kena sedalam itu.

Seharusnya, tahun ini para anggota dewan sudah diperbolehkan lulus. Jadi, sebisa mungkin Romeo ingin melakukan lebih untuk sekolah yang sudah ditempatinya kurang lebih empat tahun ini.

Krek.

Suara nyaring decitan pintu terbuka mengambil alih pusat perhatiannya. Romeo menatap sosok Hanz yang datang dengan setumpuk dokumen di tangannya. Kening Romeo berkerut. Terkadang, Romeo heran mengapa Hanz terlalu baik sehingga rela mengganti tugaskan Sena yang jelas menjabat sebagai wakil ketua dewan. Saat pemilihan, Sena unggul 2 suara dari Hanz, dan Romeo tahu Sena sangat tidak suka saat terpilih menjadi wakil ketua dewan. Sena adalah tipe orang yang malas melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak penting. Karena terpaksa menjadi wakil ketua dewan, maka Sena menjalankannya dengan setengah hati.

Beruntung, Hanz bersedia mengerjakan semua tugas Sena. Lelaki yang merupakan pangeran dari kerajaan Barat laut itu juga tampak tidak keberatan.

"Romeo," panggilan dari Hanz membuat lamunan Romeo buyar seketika, "Kenapa melamun?"

"Ah, tidak," Romeo tersenyum, "Ada apa, Hanz?"

"Aku hendak menyerahkan daftar murid yang kemungkinan menjadi tersangka," Hanz menyerahkan sebuah amplop cokelat berukuran A4 kepada Romeo dengan raut wajah ragu.

Romeo tampak terkejut. "Darimana kau menyimpulkan semuanya?"

"Aku ... tidak menyimpulkannya," Hanz mengelus lehernya, "Aku menemukan amplop itu di depan pintu ruang dewan."

"Eh?" Romeo mengerjap, menatap Hanz tidak mengerti. "Kau menemukan amplop yang berisikan daftar tersangka pengedar sihir hitam ini?"

"I-Iya," Hanz menatap harap-harap cemas, "Apakah kita harus mempercayainya?"

"Sebentar." Romeo membuka amplop tersebut, lalu mengambil secarik kertas yang ada di dalamnya. Keningnya terlipat begitu ia membaca nama serta foto yang tertera di sana. "Ini ... siapa yang mengirimkan surat ini?"

"Aku tidak tahu," jawab Hanz jujur.

"Di sini tertera 4 kepala pelayan yang sempat kita curigai, serta beberapa guru dan murid. Dan lagi ...," Romeo menggantung kalimatnya, "Ada nama Clyde di sini."

"Huh?" Hanz tampak terkejut. Tadi dia memang sempat membuka dan mengintip sedikit isi surat tersebut, namun tidak sampai membaca seluruhnya. Tentu saja dia terkejut saat tahu nama Clyde berada di antara tersangka. "Mengapa bisa?!"

"Aku tidak tahu," balas Romeo seraya menghela napas panjang. "Namun yang pasti, siapapun yang mengirim surat ini ... pasti adalah pelakunya."

"Kenapa kau begitu yakin?"

"Menurutmu, murid normal mana yang dapat mengetahui hasil diskusi kita―para dewan―di saat kita berdiskusi di tempat yang tertutup dan disertai sihir kedap suara? Kecuali jika dia memiliki sihir hitam yang dapat menembus sihir putih manapun."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

"Sementara ini, kita jadikan daftar ini menjadi tersangka," putus Romeo akhirnya.

Hanz tampak terkejut hingga tersentak pelan, "T-Tunggu...! Maksudmu, kau mau menuduh Clyde sebagai salah satu tersangka? Kau serius?!"

"Apakah aku terlihat sedang bercanda, Hanz?"

"T-Tidak ...," Hanz menunduk, menatap sepatu hitam mengkilapnya yang memijak marmer putih ruang dewan.

Romeo mengangguk-anggukan kepalanya pelan, tampak puas. Entah apa yang membuatnya puas? Kemudian Romeo meraih sebuah kertas dan pena, lalu menuliskan sesuatu di atasnya. Setelah selesai menulis, Romeo menyerahkan kertas tersebut kepada Hanz.

Hanz menerimanya dengan penuh tanda tanya. Tanpa diminta, Hanz segera membaca tulisan yang tertera di kertas tersebut.

Pelaku sesungguhnya sedang memperhatikan kita. Bersikaplah bahwa kita telah mengikuti arah permainannya.

Meski dalam hati Hanz sedang terkejut setengah mati, namun dia tetap mengendalikan ekspresi wajahnya seakan tidak terjadi apa-apa. Kini Hanz tahu, Romeo sedang merencanakan sesuatu, bahkan tanpa memberitahunya. Hanz mengangguk menurut, "Baiklah, apa yang dikatakan ketua saja."

"Nah, bagus," Romeo bersidekap, bersender ke senderan kursi yang sedari tadi didudukinya. "Sekarang, tolong panggil Val. Aku hendak memberitahunya hal mengenai ini."

Hanz mengangguk, "Baiklah."

Romeo melirik sebuah sudut ruangan lewat ekor matanya. Diam-diam, dia memperhatikan sesuatu. Kekuatan pertama Romeo adalah wind, kekuatan yang dapat membuat penggunanya memanipulasi angin dan udara. Tentu saja, kini Romeo dapat merasakan kejanggalan dari udara sekitar. Seakan, ada sihir transparan yang memata-matai ruangan ini.

Kalau begitu, ruangan ini sudah tidak aman, batin Romeo.

"Hanz, cepat panggil Val. Dan kalau bisa, setelah festival berakhir, kita akan mengadakan rapar dewan," titah Romeo, "Bersama para guru, jika perlu."

"Baik, Romeo," Hanz menunduk menurut, "Kalau begitu, aku akan pergi dulu," ucap Hanz sebelum akhirnya pergi ke luar dari ruang dewan.

Romeo mengaitkan jemari tangannya, lantas menjadikannya sebagai penopang dagu. Berpikir keras, akhirnya Romeo mengulaskan senyum sinis.

Kalau begitu, aku akan mengikuti permainanmu, dark witch!

***TBC***

Magic Cafe

Ayo tebak-tebakan! Menurut kalian, siapa pelakunya? :D

Wait, first of all, im so sorry! Jadwal PH jadi berantakan gini :'v

Sepertinya jadwal update PH akan berubah, tapi semoga aja nggak. Sekarang, Vara nulis paling pas hari sabtu, minggu, atau pas luang. Andai setiap hari libur :"

Sepertinya vara membutuhkan liburan selama 6 bulan. Dua kali dalam setahun :'v

//digampar.

Ehem. Oke! Jadi, ayo kita buka MC kali ini! Girl Side nya dulu, ya! Biy sidenya sabtu aja wkwkk.

... WAIT!

What the... Kemana Alice dan Sora?!!

Astaga, lupa Vara gambar. Maapkan ya Alice, Sora :'v

Btw itu gaya rambut Flo sama Juliet hampir mirip wkwk. Mereka cuman beda warna rambut.

Honestly, itu Vara gambar pas jamkos kemarin pagi wkwk. Sowry :v

Mungkin dalam waktu dekat, Vara mau publish ekstra chapter. One shoot gitu. Tapi bingung mau publish dimana. Apa Vara bikin work terpisah aja ya?

Kan nggak lucu aja kalo dipublish di work SOM semua. Sedangkan kalo publish di sini.... jatohnya nanti malah berantakan kayak SOM dulu :'v

Tbh, Vara paling suka one shoot Lizzy-Ryan. So kyuu gitu ^-^)♡

Karena karakter favorit Vara itu Lizzy, mwuehe :v

Udah yaw! Thats all for today! Sankyu~

Dont forget to Vote and Comment!!

Bubyeeee.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro