Path-28 : The Festival (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhirnya, hari dimana festival digelarpun telah tiba!

Seluk beluk sekolah dipenuh sesak oleh para murid. Hari pertama festival berlangsung meriah. Miss Wanda selaku kepala sekolah memotong pita dengan gunting sebagai petanda bahwa festival resmi digelar, dan tentu saja disambut meriah oleh para murid.

Tidak hanya para murid sekolahku saja yang antusias. Warga sedimensi sihirpun juga sangat menunggu festival ini. Konon, katanya festival sekolahku ini adalah festival paling bergengsi dan mengundang penasaran satu dimensi sihir. Pada hari kedua festival, orang luar diperbolehkan mengunjungi sekolah dengan syarat menunjukan tiket yang dititipkan oleh para murid. Para murid akan diberikan dua tiket oleh sekolah, dan tiket tersebut dapat diberikan kepada kerabat atau keluarga agar dapat memasuki festival.

Karena tak ada lagi keluargaku selain William―kepala pelayanku―dan sepertinya juga William akan sibuk sehingga tidak sempat datang. Kudengar, akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang terjadi. Mulai dari aliran hitam yang mulai memberontak dan membabibuta di sebuah desa sehingga melibatkan banyak korban jiwa, juga beberapa sekelompok pencuri yang merampok di beberapa toko. Aku sangat ingin membantu William menangani kasus-kasus yang terjadi, apalagi aku adalah calon ratu mereka. Namun William memohon padaku untuk memfokuskan diri belajar dan lulus dari sekolah terlebih dahulu.

William seakan selalu memendam semua masalah sendirian. Aku jadi merasa bersalah padanya.

Karena sadar akan hal itu, aku tidak akan memberitahu William tentang festival ini―apalagi memberikan tiketku padanya. Aku benar-benar tidak ingin merepotkannya. Aku tidak mau William hadir di sini hanya karena kasihan padaku.

Kasihan ... ya?

Aku menatap langit pagi yang masih sangat cerah. Jam yang melingkari pergelangan tanganku masih menunjukan pukul tujuh, sedangkan festival telah dimulai sejak pukul enam. Aku tidak mengerti mengapa festivalnya dimulai sepagi ini, padahal ini masih jam tidurku.

Tapi entah mengapa, para murid justru terlihat antusias. Jangan katakan hanya aku yang biasa saja?

Meskipun festival dimulai pagi, akan tetapi pertarungan justru baru dimulai pukul sepuluh dan berlangsung hingga sore.

Aku menatap anak-anak kelasku yang sedang sibuk ke sana-ke mari untuk mengantarkan makanan sembari berseluncur di atas es. Cafè skating yang kami buka lumayan mengundang banyak orang, bahkan katanya lebih ramai dari kelas sebelah yang membuka pertunjukan sihir. Meski tidak bisa jika dibandingkan kelas Yura yang membuka restoran mini, sih. Para murid bahkan rela mengantre dua jam demi mencicipi masakan lezat Yura.

Ah, aku juga mau!

Apa aku ke Kelas Yura saja, ya? Lagipula, aku tidak memiliki tugas apapun di sini kecuali duduk dan melihat.

"Eh, Kena, mau kemana?" tanya seorang gadis dengan nampan berisi mangkuk serta sendok kotor di tangannya. Dia tampak sedikit kesulitan mengatur keseimbangannya di atas es dengan sepatu seluncur. Aku cukup senang dengannya karena tidak memanggilku dengan sebutan "Ice". Meski sejujurnya, aku melupakan namanya.

Aku memang penghapal nama yang buruk. Aku jelas mengenali wajahnya, namun aku kesulitan dalam menghapal nama seseorang. Aku ini jahat sekali.

"Ke Kelas Yura," jawabku, "Aku bosan di sini."

"Hee? Enak sekali!" sahut gadis itu dengan bibir yang maju beberapa senti. "Aku harap shift-ku segera selesai. Aku tidak terbiasa dengan berseluncur seperti in―WHOA!"

Gadis itu tergelincir tepat sebelum menyelesaikan perkataannya. Dengan sigap, aku segera menahan tangannya agar dia tidak jadi terjatuh. Namun karena aku kurang kuat untuk menahannya, maka aku juga ikut tergelincir, dan berakhir kami berdua jatuh terjerembab di atas lantai es.

Gadis itu mengaduh pelan, "Argh! RUMI!! LAIN KALI AKU TIDAK AKAN MENYETUJUI SARAN KONYOLMU LAGI!"

Aku meringis. Ruangan ini dipenuhi es, dan akibatnya teriakan gadis itu bergema hingga terdengar oleh semua orang yang berada di kelas ini. Rumi yang merasa namanya terpanggilpun hanya tertawa menanggapinya, "Salahkan saja dirimu sendiri karena tidak pandai mengatur keseimbangan. Payah. Pantas saja, dulu saat kelas basic kau lama sekali lulusnya."

"Berisik, Rumi!"

Aku beringsut berdiri sembari memaki dalam hati. Terkutuklah kau es menyebalkan! Kenapa harus licin sekali, sih?

Dan kenapa pula aku menyalahkan es ini di saat akulah yang membuatnya?!

"Aku pergi dulu!" ujarku dengan nada sedikit tidak senang. Aku menatap gadis yang tadi jatuh. Kini, nampan di tangannya sudah berada di lantai es, serta mangkuknya yang sedikit retak. "Butuh bantuan?" tawarku ragu.

"Tidak perlu," dia menghela napas, kemudian menjentikkan jarinya. Detik berikutnya, mangkuk, sendok, serta nampan yang tadi berserakan di atas lantaipun kini melayang. "Kau pergi saja, tidak apa."

"Kau yakin?"

"Ya."

"Baiklah."

Karena dia sudah mengonfirmasi tidak membutuhkan bantuanku, maka aku melangkah ke luar kelas, menelusuri lorong-lorong kelas yang padat oleh murid.

Membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk mencapai kelas Yura dalam kondisi ramai seperti ini―padahal biasanya hanya membutuhkan waktu lima menit saja. Sesampainya aku di lorong menuju kelas Yura, lebih tematnya empat meter menuju kelasnya, sudah terlihat antrean panjang bagaikan ular di sana. Antreannya bahkan hingga ke luar kelas. Aku meringis. Kelas Yura ramai sekali. Kalau seperti ini sih, pasti kelas Yura yang akan mendapatkan penghargaan "kelas terbaik".

Aku berjalan mendekati pintu masuk, hendak mengintip apa yang ada di dalam kelas Yura, jika saja tidak ada orang yang menepuk bahuku. Cukup kasar, hingga aku mengaduh pelan.

"Hei, tolong mengantre! Apakah kamu tidak tahu sopan santun?" tegur orang itu sarkas, "Aku sudah mengantre selama setengah jam di sini! Tolong hargai!!"

Aku menoleh, mendesis kesal. "Tolong jangan kasar!" pintaku sembari mengelus bahuku. Aku menatap orang yang rupanya sedang mengantre tersebut tajam.

"Aku tidak peduli, Nona. Aku sudah mengantre di sini demi membeli masakan Putri kerajaan Tenggara!"

Aku bersedekap, mengangkat daguku, kemudian menatapnya sinis. Bukankah dia yang tidak tahu tata krama?

"Hey, kawan," bisik temannya yang mengantre di belakangnya. Temannya itu terlihat panik, "Apa yang kau lakukan?! Cepat minta maaf padanya!"

"Heh?" Orang itu melirikku rendah, "Dan untuk perilah apa aku minta maaf padanya?"

"Kamu gila?!" desis temannya, semakin panik, "Dia tuan putri Kena! Calon ratu kerajaan Utara yang terkenal itu!"

Orang yang tadinya tampak arogan itu langsung menatapku terkejut. Dia mengelus tengkuknya canggung. Sekelebat rasa bersalah bercampur takut terlihat dari sorot matanya. Orang itu segera menunduk dalam kepadaku, lalu berkata, "M-Maafkan aku! A-Aku benar-benar tidak tahu! Jika kau berkenan, silakan masuk duluan."

Aku menghela napas gusar. Apakah wajahku ini terlalu sulit untuk dikenali? Kebanyakan, hanya mengenal namaku saja, bukan wajahku. Beberapa, justru mengenal wajahku, bukan namaku. Ada apa dengan murid di sini?

Aku berbalik, memiringkan wajahku agar dapat melihat ke dalam kelas Yura. Di sana, Yura tampak sangat sibuk memasak makanan, dibantu Hide―meski Yura terlihat marah-marah setiap Hide salah mengambilkan bahan. Beberapa murid juga sibuk melayani konsumen. Sepertinya kedatanganku kemari sia-sia. Mereka jelas sangat sibuk, dan aku tidak boleh mengganggu. Sekali lagi, aku menghela napas, lalu kembali menatap orang yang tidak sopan tadi. "Tidak, terima kasih. Kau bisa masuk duluan. Lagipula, sejak awal aku memang tidak berniat untuk membeli makanan. Sampai jumpa," ujarku datar sembari berlalu menjauh.

Sebelum benar-benar pergi, dapat kudengar temannya mengatakan sesuatu kepada orang tadi, "Dasar bodoh! Rasakan akibatnya!"

Diam-diam, aku mengulas senyum tipis.

Mereka ... lucu juga.

***

"Ada apa memanggilku kemari?"

Suara yang terkesan dingin serta arogan itu nyaris membuat bulu halus Lizzy merinding. Nyaris. Jika saja dia tidak segera mengendalikan dirinya. Lizzy menatap lelaki di hadapannya itu ragu. Tepat saat mereka tanpa sengaja saling bertumbuk netra, Lizzy segera membuang muka.

"Hei," tegurnya, "Kau belum menjawab pertanyaanku."

Lizzy tergagap, keringat dingin meluncur dengan mulus di wajahnya, "Uh ... begini, Ryan ...," Lizzy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa menjadi berantakan. "Aku punya satu permintaan ... boleh?"

"Apa itu?" tanya Ryan skeptis, "Asalkan bukan memaksaku untuk menerima cintamu."

Justru kalau bisa, aku mau meminta itu! Lizzy menjerit dalam hati, meski raut wajahnya kini tampak tenang. "Haha, tidak kok. Tenang saja," kata Lizzy sembari tertawa pahit. Miris.

Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu memang menyakitkan.

"Lalu?" Ryan menaikan sebelah alisnya. "Apa maumu? Katakan segera. Aku tidak memiliki waktu sehari penuh untuk meladenimu."

Meski Lizzy tahu sejak awal bahwa Ryan tidak bermaksud berbicara begitu, tapi tetap saja rasanya menyakitkan. Ryan yang ramah pada semua orang, begitu sarkas jika berhadapan dengan Lizzy. Mungkin karena hanya Lizzy yang keras kepala untuk mendekati Ryan sejauh ini.

"Aku punya satu permintaan," Lizzy menautkan jemarinya, "Apakah kau mau mengabulkannya?"

"Tergantung," ucap Ryan.

"Aku ingin kau membaca surat dariku, sekali saja tanpa merobek ataupun membuangnya," Lizzy menatap Ryan dengan tatapan memohon dan penuh harap. "Kumohon? Sekali saja. Sebentar lagi, kita akan lulus. Dan besar kemungkinan aku akan mewariskan perusahaan Ayahku, lalu dijodohkan. Jika aku tidak bisa menemukan pasangan di sini, maka aku terpaksa mengikuti pilihan Ibuku. Jadi kumohon untuk―"

"Baiklah, aku akan membacanya." Perkataan Ryan sukses membuat Lizzy tersentak terkejut. Lizzy menatap Ryan cerah. Dia serius? "Asal, dengan satu syarat," tambah Ryan.

Entah mengapa, semangat di dalam diri Lizzy seketika memudar. Perasaannya tidak enak. "Apa itu?"

"Kau ... harus memenangkan festival Luminas."

Dan benar saja. Lizzy menatap Ryan putus asa, seakan dunia akan hancyr detik itu juga. "Kau serius?"

"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?"

"Itu mustahil!" seru Lizzy tak terima, "Kau memintaku melakukannya karena kau tahu jelas aku tidak akan sanggup!"

Ryan menatap datar sosok Lizzy yang kini mulai terisak.

"Melawan Kena saja rasanya mustahil untukku menang. Dan aku harus menjadi pemenang utama Festival Luminas? Jelas mustahil!" Gadis itu mengusap air matanya menggunakan ujung kemejanya. Kenapa harus kamu? Kenapa harus kamu orang yang kusuka? Ini menyakitkan!

Ryan tetap menatap datar. Sial. Ryan sangat tidak tahan saat melihat wanita menangis. Hal ini mengingatkannya kepada Ibunya. Mengingatkan Ryan pada kenangan pahit di masa lalu. Kenapa harus terekam lagi di benaknya?

Lelaki itu menarik napas panjang, lalu menghelanya pelan. "Berhentilah menangis."

"U-Uh ... hiks," Lizzy menempelkan siku ke wajahnya. Lengan kemejanya sudah basah kuyup oleh air mata. "M-Maaf ..."

Sekali lagi, Ryan menghela napas berat. "Aku 'kan tidak pernah bilang jika kamu harus menjadi pemenang utama festival Luminas."

"T-Tapi ... tadi kamu bi-bilang ..."

"Aku hanya memintamu menjadi pemenangnya saja. Berarti, satu atau dua ronde pertarungan, jika kamu menang, kamu bisa mendatangiku."

Lizzy terpaku. Tatapannya berubah cerah. "S-Sungguh?!"

"Iya," Ryan mengangguk kecil. "Jangan menangis lagi, oke?"

"Baiklah!" Gadis itu menggepalkan erat kedua tangannya, berusaha semangat. "Aku akan memenangkan dua ronde pertarungan, lalu mendatangimu! Semoga kau juga dapat menang, ya!"

"Aku tidak ikut pertarungan," jawab Ryan yang membuat Lizzy sedikit terkejut. "Dewan memiliki banyak tugas berat. Jadi, aku tidak akan sempat mengikuti pertarungan, begitu juga Romeo."

Mata Lizzy melebar. Kalau begitu, peluanh untuk memperebutkan posisi kedua semakin meningkat!

"Tapi, Val, Flo, Hanz dan lainnya tetap akan ikut pertarungan. Hanya aku dan Romeo yang tidak ikut." Ryan mengulum senyum miring. "Semoga kau tidak menyepelekan mereka. Mereka sangat mahir bertarung, dan mereka selalu berada pada ranking sepuluh besar setiap tahun."

"Tenang saja!" seru Lizzy riang, "Aku tidak pernah merendahkan mereka! Mereka adalah rival yang kuat!"

"Bagus kalau begitu," Ryan membalikan tubuhnya, mulai berlalu meninggalkan Taman. "Sampai jumpa nanti."

Lizzy mengangkat sebelah tanganya, "Sampai jumpa nanti!"

***

Alice duduk di kursi taman sembari menatap dari kejauhan. Dia melihat Lizzy dan Ryan tampak sedang membicarakan sesuatu yang serius. Sayangnya, Alice tidak dapat mendengar perbincangan mereka dari jarak sejauh ini. Lizzy dan Ryan sepertinya tidak menyadari kehadirannya. Itu hal yang wajar, karena memang posisi Alice cukup jauh dari mereka.

Tapi Alice sangat penasaran. Sekilas, dia melihat Lizzy menangis. Topik macam apa yang sedang mereka bicarakan?!

"Maaf membuatmu lama menunggu."

Alice mendongak, menatap Hanz yang kini beranjak duduk di sampingnya sembari menyerahkan segelas susu cokelat dingin. Alice menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih!"

"Ada beberapa hal yang ingin kubahas bersamamu." Hanz mengeluarkan sebuah nota kecil dari dalam pocket-nya, juga sebuah pena. "Apa kau pernah mendengar sesuatu tentang lambang Coctyus?"

"Kokti ... apa?" Alice mengernyit tidak mengerti. "Mengapa pelafalannya sulit sekali? Tidak. Aku tidak pernah mendengarnya."

"C-o-c-t-y-u-s," eja Hanz dengan sabar. Lelaki itu mengetuk nota kecilnya, kemudian muncul sebuah layar transparan dari dalamnya. Di layar tersebut, tergambar sebuah pedang yang dililit oleh seekor ular. "Kalau ini? Kau pernah melihat lambang ini?"

Mata Alice membola. "Eh? Bukankah ini lambang yang sama dengan lambang di leherku?" Tanpa sadar, Alice menyentuh lehernya. Sekelebat rasa takut dan cemas menyeruak masuk memenuhi pikirannya.

"Ya, dan namanya adalah lambang Coctyus," Hanz mulai menjelaskan, "Romeo mengetahui informasi mengenai lambang ini dari seseorang. Lalu, Val juga menambahkan informasi dari kepala pelayan kerajaannya. Kami semua mulai menyimpulkan, bahwa mungkin saja Coctyus berada di sekitar kita, menyamar menjadi seorang murid.

"Tapi, tidak ada bukti untuk menuduh siapa pelaku sebenarnya. Cara agar Coctyus melepaskan segel sihir hitam adalah dengan cara membuatnya mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dan aku yakin, jika dia berada di kelas Senior dan mengikuti pertarungan, pelaku sesungguhnya pasti terungkap. Meski, belum tentu dia berada di kelas Senior. Maka aku, Sena, Val, dan Flo akan tetap mengikuti pertarungan dan memata-matai sekitar.

"Sedangkan, para murid yang terkena sihir hitam dan tersegel kekuatannya adalah para murid yang dapat merasakan aura dan sifat asli seseorang. Contohnya kau, kau bisa mengetahui emosi seseorang lewat kekuatanmu. Jelas itu adalah masalah besar jika dia hendak menyusup ke mari. Maka, dia mengincarmu. Atau misalnya Lufty, kau mengenalnya?"

Alice terdiam, lalu mengangguk. "Ya, aku pernah melihatnya sewaktu dikurung di ruang terapi."

Hanz bersender ke senderan kursi. "Dia memiliki kekuatan untuk mengetahui kepribadian seseorang hanya dengan melihat auranya saja."

Alice meringis pelan. Dia baru menyadari hal ini. "Bagaimana dengan Sora?" tanya Alice penasaran, "Dia bisa membaca pikiran seseorang, 'kan?"

"Membaca pikiran justru sama sekali tidak mengancam," Hanz menengadahkan kepalanya, menatap langit pagi dengan semilir angin sejuk. "Beberapa orang dapat memanipulasi pikirannya sendiri, hidup dalam sandiwara seakan itulah hal yang sebenarnya terjadi."

Alice terdiam, menatap es batu susu cokelatnya yang mulai mencair. "Lalu ... bagaimana sekarang?"

"Biarkan waktu yang menjawab," Hanz menatap hampa, "Kita benar-benar kehilangan petunjuk. Membuatku putus asa."

Gadis berkacamata itu menatap prihatin. Dia hendak menghibur, tapi tidak tahu bagaimana. "Hei, jangan sedih begitu! Tetaplah optimis!" Alice mulai menenangkan. "Semuanya pasti ada jalan keluarnya! Percayalah!"

Hanz terdiam. Dia melirik sekilas ke lain arah, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Alice, membuat gadis itu terkejut. Hanz menyerahkan secarik kertas kepada Alice, dan diterima dengan ragu-ragu.

Di kertas itu, tertulis seperti ini;

Kita sedang diawasi, setiap saat.
Maka, sebaiknya kamu menghindari tempat yang sepi atau,
Tetaplah berada di dalam kamar Lizzy.
Aku akan selalu melindungimu!

Alice melotot, lalu menatap Hanz tidak percaya.

Apa maksudnya?

***TBC***

MAAP! TELAT UPDATE LAGI! (nangis di pojokan)

Uhm. Sepertinya Vara lagi apes. Eh, tapi ga juga sih. Cuman... gara-gara keasikan tidur dan ngegame, vara jadi lupa hari ini hari sabtu, dan naskah baru separo ketik :'v

DAN coret-coretan kerangka PH gatau kemana hiks. Menyedihkan sekali nasib naks ayam ini. (iya, maskot vara anak ayam LOL)

MASA YA!! Tadi vara abis bongkar-bongkar tumpukan gambaran yang menyampah di rak buku, malah nemu gambaran MOMEN RYAN-LIZZY YANG KELUPAAN. JUGA MOMEN HANZ-ALICE SERTA VAL-FLO YANG LUPA VARA KETIK.

DAN VARA KEBINGUNGAN MAU MASUKIN GIMANA :"(
PADAHAL MOMEN MEREKA ITU MENURUT VARA SO KYUU :"
#VaraPecintaCapslock

Ini alurnya kecepetan astaga, jadi susah mau masukinnya gimana hiks.

Jadi mohon maap, chapter depan sehari akan terasa selamanya wkwk. Iya, Vara mau masukin semua momen pairing (kecuali Val-Flo. Mereka nanti aja wkwk)

Khusus Val-Flo, momen mereka ternyesek menurut Vara. Tapi nanti, masih lama keluarnya wkwk. Tapi kayaknya Val akan berakhir ter-friendzone-kan. Mereka itu couple kocak sih wkwk. Sukak deh bikin Val menderita.

Val: Jahat ya senpai :')

Biarin, wek. Wkwkwkk. Yang bikin tuh vara loh. Suka-suka lahh.

Sebentar lagi sudah waktunya Sena nembak pake pistol (ehh gagitu) ke Kena. Target sih mau sampe chap 40 aja. Tapi kayaknya bablas deh. Bisa sampe 50-an nih. Dan Sena harus confess sebelum chapter 35 :'v

Tapi semoga aja jangan. JANGAN lah pokoknya kalo sampe 50 mah.

ITU CERITA VARA YANG LAIN BISA TERABAIKAN :"

#SekaliLagiUntukMemastikan
#BahwaVaraAdalahPecintaCapslock
#CapslockBukanBerartiMarahYaa!

OKE! (kan capslock lagi) TADI KAN VARA SEMPET BONGKAR RAK BUKU, AND GUEST WHAT? Vara nemu ilustrasi pas Kena, Lizzy, Hide, Leon, dan Travis berada di satu kelompok saat ujian kenaikan tingkat dong!!

IYA ITU MEREKA SO KYUU BANGET. SAMPE SENYAM SENYUM SENDIRI LIATNYA.

Gambaran dari kapan tau itu. Sampe lupa wkwk.

And i think, kalian pasti juga akan suka momen mereka! Vara peri peri peri laik it♡

Oh iya, sesuai kemarin, pengen kasih gambaran cowok beserta pixieball mereka ya? Besok aja yak. Belom bikin gambarnya :'v

Btw Vara suka Hide :>

Apalagi sama Ciel.

Eh, taukah kalian, nama Ciel Vara ambil dari anime kuroshitsuji? XD

Singkat kata, Vara fanatik sama shouta satu itu. Jadi, Vara masukin deh namanya, meski sebatas burung hantu peliharaan |||'-')

Kebanyakan nama karakter story ini Vara ambil dari nama anime wkwk.

Bahkan saking Vara sukanya sama anime dan manga, tanpa sadar judul cerita ini MIRIP dengan manga yang pernah vara baca :')

Judulnya Pandora Heats (IYA SAMA KAN?!)

Sumpah, manga itu udah lama banget ga Vara baca lagi, dan Vara juga lupa sama manganya.

Trus last chapter sebelum SOM tamat, Vara mikirin judul buat sequelnya.

Awalnya mau Pandora Dream aja. Karena kata Pandora itu berhubungan dengan Lucifer, terus Dream buat kekuatan Annabeth.

Tapi Annabeth kan udah gak main lagi di cerita, jadi rada ga nyambung aja gitu :(
Maka Vara mikirin judul lain.

Tapi Vara ini keras kepala. Karena terlanjur suka sama kata PANDORA, Vara kekeh nyari judul yang nyambung tapi ada kata PANDORA nya.

Pandora Smile? GAK.

Pandora Life? JUDUL APA INI?!

Pandora Love? Sumpah pas kepikiran judul satu ini, jadi eneg sendiri. Langsung Vara coret dari daftar judul :v

Terus, waktu itu, ga sengaja Vara denger temen smp Vara yang hobi nyanyi nyanyi di samping Vara nyanyiin kata ini "my heart is broken" atau apalah itu lupa. (vara gatau liriknya dan lagu apa. Udah lupa. Ingetnya ada kata Heart sama brokennya gitulah)

Dan terlintas di benak vara.

Vara segera tulis di buku catetan.

1. Broken Pandora.
2. Pandora Heart.

Vara bimbang nih di sini. Habis tanya-tanya bagusan yang mana ke temen, yaudah pilih opsi ke dua.

Dan beberapa minggu yang lalu, ada yg komenin Vara gini
"Wah, ada Oz dari Pandora Hearts XD"

Vara cengo. Serasa familiar sama nama karakternya, tapi ga inget apa-apa.

Awalnya vara abaikan aja. Tapi, tiba-tiba ada orang negur Vara "kok kopas judul sih? Ga kreatif banget."

Ha?

Oke, kali ini beneran ngusik Vara.

Vara searching di google, dan BENERAN KETEMU JUDUL YANG SAMA DONG :')

Vara merasa familiar, terus langsung bongkar rak buku komik. Dan Vara nemu manga dengan judul sama. Kertasnya udah menguning alisan gapernah vara sentuh lagi. Pantes keliatan familiar.

Dan Vara berencana ganti Judul Pandora Heart jadi Broken Pandora aja. Gimana menurut kalian? Apakah perlu ganti judul atau gak?

Wah mantap, A/N nya panjang kali. Makasih loh udah mau luangin lima menit berharga kalian demi membaca cuitan ga berfaedah Vara :v

Ngebacot itu adalah kenikmatan yang hqq.

Padahal udah ada randombook juga ya. Tetep aja rusuh di sini.

Udah ya, kepanjangan banget sampe hampir 400 kata.

Bubyeeeeee.

Big Luv, Vara.
🍦🐤

BONUS:

Sena, Kena, Leon.

(Gambar lama, udah dari kapan tau dan baru nemu tadi wkwk)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro