Path-34 : Just A Few Sec

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menunduk, menopang wajah dengan kedua telapak tangan. Meskipun dalam posisi duduk, aku tetap merasa kelelahan. Aku lelah memikirkan semua ini, aku muak memikirkan hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi.

Kutatap wajah Sena yang masih memejamkan mata, seakan enggan untuk terbuka. Aku menggigit bibir bagian bawahku, rasanya menyakitkan melihat Sena dalam kondisi seperti ini. Kenapa? Kenapa semua ini harus terjadi padanya?

Aku menggenggam erat telapak tangan Sena. Begitu dingin, tidak seperti biasa. Kutatap sekali lagi wajah Sena yang begitu teduh, hingga pandanganku teralih kepada sesuatu yang janggal pada leher Sena.

Mataku mengerjap, aku memicingkan mataku, mencoba membuat penglihatanku semakin tajam. Pada leher Sena, terdapat sebuah luka bakar berbentuk garis panjang dengan lengkung di sekitarnya. Terlihat samar, tapi dapat kutangkap dengan jelas.

Suara berderit yang berasal dari pintu membuatku menoleh. Pintu terbuka pelan, menampilkan sosok seorang pria tua namun tetap terlihat segar. Garis wajahnya begitu tegas, tapi terlihat ramah. Aku jelas mengenalnya, dapat terlihat jelas dari mahkota emas yang melingkari kepalanya. Dia adalah Raja Raven, Ayah kandung Sena.

Aku refleks berdiri, mengangkat sedikit rokku, kemudian menunduk kecil, memberi hormat. Raja Raven membungkuk kecil, membalas hormatku. Pria itu mengalihkan tatapannya pada sosok Sena yang terbaring di atas ranjang ruang kesehatan, sebelum akhirnya kembali menatapku--meminta penjelasan.

Seketika, aku menjadi gugup. "S-Sena ... Sena tidak sadarkan diri setelah pertarungan," aku memain-mainkan jemari, menunduk diselimuti penyesalan. "Ini salahku, andai aku yang memenangkan pertarungan melawannya, pasti aku yang saat ini berada di posisi itu, bukan Sena."

Raja Raven tersenyum ramah, garis halus di wajahnya semakin kontras. Dia berjalan mendekat, menepuk pelan kedua pipiku. "Tidak ada yang menyalahkanmu, Kena," katanya hangat. "Sena seperti ini memang sudah jalannya. Tidak ada yang dapat menghindari takdir."

"T-Tapi ... dia seperti ini juga karena terlalu banyak membuat kristal penetral," ujarku dengan suara bergetar.

"Aku tidak marah," Raja Raven menatap Sena dengan tatapannya yang lembut. "Sena ... sudah berusaha keras sejauh ini. Dia sudah banyak berkorban. Aku bangga padanya."

Aku tersentak dalam diam, sedikit terkejut atas perkataan Raja Raven yang di luar dugaan.

"Aku akan membawa Sena kembali ke Istana. Kalau kau mau, kau bisa menunggunya hingga Sena sembuh, Kena. Apa kau bersedia?"

"A-Aku akan menunggu sampai Sena sembuh!" kataku serius. "Aku akan menunggunya, sampai kapanpun!"

"Nah, bagus," Raja Raven tersenyum. Dia menoleh, menatap ke arah luar jendela. "Hari mulai gelap, sebaiknya kau kembali ke Asramamu. Sedangkan aku akan mengurus Sena di sini."

Meskipun sempat membantah, pada akhirnya aku menuruti peringah Raja Raven. Aku berjalan ke luar ruang kesehatan dengan lesu, menatap lorong bangunan yang mulai menggelap, hanya mengandalkan cahaya oranye dari langit senja yang masuk melalui celah jendela.

Raja Raven benar, aku tidak boleh terlalu cemas. Sena akan baik-baik saja. Sena akan siuman setelah dua bulan.

Sedangkan aku, harus bersiap dengan ujian kelulusan yang akan digelar dua bulan lagi, bertepatan bersama kabar baik tentang Sena.

***

Dua bulan telah berlalu, dan banyak sekali perubahan di sekitarku. Hidupku berasa kelabu, tak seindah dulu.

Lizzy berubah menjadi gadis yang pemurung. Dia bahkan terlihat tidak bersemangat menjalani hari-harinya di sekolah. Yura bahkan sampai berkali-kali mencoba menghibur Lizzy, tapi hasilnya nihil. Sebegitu sakitnya kah Lizzy karena Ryan?

Di sisi lain, aku juga melihat keanehan pada diri Ryan. Saat rapat mingguan, dia tidak sekritis biasanya. Seakan, dia sedang memikirkan sesuatu yang berat.

Hanz dan Alice, masih seperti biasa. Hanya saja, hubungan mereka semakin dekat karena Alice harus melakukan tes rutin bersama Hanz. Aku jarang bertemu mereka belakangan ini, jadi aku kurang mengetahuinya.

Yura, dan Hide juga sama seperti biasa. Mereka selalu bertengkar, seakan tiada hari tanpa berselisih.

Flo, Val, Romeo, dan Juliet ... aku jarang bertemu mereka. Mereka terlihat sibuk, entah mengerjakan apa. Seakan, ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku.

Dan hal yang paling terasa perbedaannya adalah, bahwa kini kursi di sampingku kosong. Dua bulan Sena tidak masuk, dan aku merasa kesepian. Padahal, biasanya aku menghabiskan waktu untuk mengobrol dengannya. Tapi jangankan mengobrol, bertemupun tidak.

Aku menopang dagu, menatap papan tulis transparan tanpa minat. Layar transparan sedang menunjukkan sebuah film pendek tentang sejarah penyihir terhebat pada masa lampau. Miss Rosseline menjelaskan di sana, sembari sesekali menatap anak sekelas.

Bagaimana kabar Sena, ya? Dua bulan sudah berlalu, dan tiga hari lagi ujian kelulusan akan segera digelar.

Para anggota Dewan akan segera lulus dari sekolah ini, dan anggota Dewan yang sekarang akan berpindah jabatan kepada anggota Dewan yang baru. Romeo telah menyeleksi beberapa orang murid biasa untuk dijadikan anggota Dewan baru.

Bel menandakan pelajaran telah usaipun berbunyi. Aku tidak beranjak dari tempat dudukku, tetap dalam posisi yang sama karena merasa terlalu malas untuk bergerak. Yura sudah lebih dulu ke Kafeteria karena dia mendapatkan giliran memasak. Lizzy juga sama sepertiku, dia tidak beranjak dari tempatnya. Tatapannya kosong, melamun entah memikirkan apa.

Aku merapatkan bibir, hatiku terasa sesak karena merasa persahabatan kami perlahan mulai retak.

Tahan, Kena. Tahan ... kamu tidak boleh menangis di sini.

Aku membuang muka, menatap ke arah jendela yang memaparkan langsung lapangan. Aku tidak boleh memikitkan hal-hal yang membuatku sedih. Aku harus mengalihkan pikiranku.

Suara berdenting dari pocket milikku membuatku tersentak pelan. Dengan cepat, aku mengaktifkan pocket-ku dan membuka pesan yang masuk.

Mataku membulat lebar. Aku segera membereskan buku-bukuku, lantas berlari cepat ke luar kelas.

Sial, aku melupakan kewajibanku yang paling penting!

***

"Ugh."

"Ah, kau sudah sadar?"

Lelaki bersurai merah menyala itu merubah posisinya menjadi duduk. Dia menyentuh kepalanya yang terasa berat. Penglihatannya sedikit berkunang-kunang akibat terlalu lama terpejam. Setelah menyesuaikan dengan pencahayaan sekitar, barulah Sena dapat melihat dengan jelas sosok pria di hadapannya. Raut wajahnya berubah, menjadi begitu dingin. "Mau apa kau?"

"Ah, apakah itu kalimat pertama yang tuan muda katakan kepada seseorang yang telah menemani tuan selama dua bulan ini?" Henry tersenyum simpul. Dia menyerahkan secangkir teh hangat kepada Sena.

Sena menghiraukannya, tidak menerima teh tersebut meski tenggorokannya terasa kering. Dia merasa lebih baik pergi ke Dapur untuk mengambil air sendiri, daripada menerima pemberian orang yang begitu ia benci.

Lelaki itu beranjak berdiri, mengibas-ngibaskan tangannya kepada Henry. "Pergi, aku tidak membutuhkanmu."

"Tidak bisa, Tuan muda," Henry berdiri tegap di sisi ranjang Sena, senyum tetap terlihat jelas di wajahnya.

Sena memutar bola matanya, jengah. Dia berjalan mendekati cermin besar yang langsung menghadap ranjang di lamarnya yang megah. Lelaki itu mengusap lehernya, entah kenapa lehernya terasa pegal. Seakan, ada sesuatu yang mengganjal di sana.

Rasanya bercampur aduk. Antara pegal, sakit, perih, serta panas bercampur menjadi satu di lehernya. Membuat Sena meringis pelan.

Sena membuka kancing kerahnya, kemudian menyibakkannya. Dia menatap pantulan dirinya di cermin besar. Pupil matanya mengecil, menatap tak percaya pada bagian lehernya yang telah bergambarkan sebuah lambang yang sama sekali tidak bisa ia percaya.

Lambang pedang yang sedang dilingkari oleh ular terlihat dengan jelas di lehernya.

Lambang Coctyus.

Sena sontak memutar tubuhnya, menatap Henry dengan emosi yang sudah memuncak. "Pengkhianat," desisnya pelan, namun tajam.

Senyum di wajah Henry semakin melebar, bahkan hingga ujung bibirnya mencapai telinga. Kulitnya robek, menampilkan isi dari kulitnya yang hitam legam.

Sena mengulurkan tangannya, sebuah sambaran api meluncur ke luar dari sana. Sena berlari cepat keluar dari kamarnya, berteriak memanggil Ibu, Ayah, atau siapapun itu.

Dalam hati, Sena merasa lega karena kekuatannya tidak tersegel seperti orang lainnya. Tapi, hal ini pula yang menjadikan tanda tanya besar dalam kepalanya.

Persetan dengan semua itu, saat ini Sena harus memberi tahu Ayahnya tentang Hnery yang ternyata selama ini merupakan pengedar sihir hitam.

Pantas saja sejak awal Sena tidak menyukainya. Ternyata ini alasannya.

Langkah Sena terhenti mendadak. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Matanya membola, jantungnya berderu begitu cepat.

Tubuh Sena jatuh berlutut ke atas lantai pualam Istana. Tubuhnya tidak dapat digerakkan, sekeras apapun ia mencoba.

Seakan ... tubuhnya sudah dikendalikan.

Dikendalikan?

Sena melotot, menatap murka kepada sosok Henry yang kini berdiri di hadapannya, muncul entah dari mana. Pria itu menunduk, menarik dagu Sena hingga membuat kepalanya mendongak, menatap wajah pria tua itu hingga rasanya muak.

Henry tersenyum lebar. "Apakah kau tidak bertanya-tanya, mengapa aku tidak menyegel kekuatanmu?" Pria itu melangkah mundur menjauh, lantas menjentikkan jarinya. Senyumnya semakin lebar, menampilkan deretan taring tajam yang tersembunyi di mulutnya. "Tentu saja, karena aku mau menggunakanmu untuk menyerang dimensi ini."

Sena bertindak tanpa terkendali. Lelaki itu membakar nyaris semua hal di sekitarnya. Suara alarm menandakam bencana berbunyi. Pasukan prajurit kerajaan datang berbondong-bondong, lantas terkejut saat melihat biang bencana. Tak terkecuali Raja Raven dan Ratu Lizne, orangtua kandung Sena.

"SENA!" sahut Lizne tak percaya. "Apa yang kau lakukan?!"

"Henry," Raven menggeram murka. Dia mengeluarkan bilah pedang dari sabuknya, mengarahkan mata pedang kepada kepala pelayan kerajaannya sendiri. "Padahal aku sudah mempercayaimu! Bagaimana mungkin ternyata selama ini kaulah dalangnya?!!"

Henry tertawa sinis. "Lalu kenapa? Kau mau membunuhku?"

"Tentu saja," Raven memasang kuda-kuda. "Aku akan membuat seluruh bagian tubuhnya bercerai berai."

"Ah, menyeramkan sekali," seringaian lebar mengembang di wajah Henry. "Tapi, coba kalahkan dulu anak kesayanganmu itu." Dia mengangkat tangan, lalu menjentikkan jarinya.

Sena berlari melesat menuju Raven, melayangkan tangannya yang kini telah terdapat pedang api.

Raven menangkis serangan Sena, hanya bisa mendesah frustasi. Dia tidak mungkin menyerang Sena, dia tidak ingin menyakiti putra satu-satunya.

Mereka terpojok.

"Prajurit, serang iblis pengkhianat itu!" Lizne yang memberi komando, begitu sadar bahwa Raven sedang sibuk meladeni putranya. Wanita itu tampak cemas setengah mati, bahkan air matanya nyaris tumpah. Tapi, dia harus berpikir logis. Bagaimanapum caranya, dia harus bisa memutar balikkan situasi.

Kekuatan netraler Sena melemah, itu mengapa Sena dapat terkontaminasi oleh sihir hitam.

Raven hendak mengarahkan sihir pengikat kepada Sena, namun Sena justru melompat ke belakang, menghindari Raven.

Kini, Sena berdiri sejajar dengan Henry. Kobaran api raksasa melingkari mereka, membuat para prajurit tidak dapat melangkah maju. Sena mengarahkan api untuk menghanguskan sekitar Istana, sebelum akhirnya Henry membungkuk kecil, dengan senyum yang tak kunjung pudar dari bibirnya. "Pertunjukkan yang bagus. Kalau begitu, kami pamit undur diri. Sampai bertemu lagi di lain kesempatan."

Setelah itu, sosok Sena dan Henry hilang tak berbekas dari tengah kekacauan tersebut.

***TBC***

DOUBLE APDET KAN? YEYYYY.

Sebagai penembus vara suka ngaret update :v

DENGAN INI, TEBAK-TEBAKAM DITUTUP YA MANTEMAN!!

Pengumuman pemenangnya Vara umumin nanti hehehehe.

UwU ini chap paling Vara tunggu. Eh, enggak sih. Masih ada lagi Chap paporit Vara mwuehehehhehre.

Udah yaw, Vara bingung mau ngetik apa untuk ngebacot di sini. Soalnya Vara mau ngerjain makalah dulu.

And, jangan lupa mampir ke story Vara yang lain, ya!!

Bubyeeeeee.

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro