Path-44 : Seccond Day On The Past

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fajar mulai menyingsing. Bulan telah bertukar posisi dengan matahari untuk menyinari dunia. Awan yang mulanya tampak samar, kini dapat kembali terlihat di mata. Langit jingga muda secara bertahap berganti warna menjadi biru. Udara pagi yang begitu sejuk dan menyegarkan menyapu kulit tangan yang tak terlindungi oleh busana, membuatku menggosok-ngosokkannya agar dapat―setidaknya―merasakan sedikit kehangatan.

Ini hari keduaku di masa lalu. Semalam, Lisa berbaik hati meminjamkanku kamar kosong yang ada di rumah ini. Lisa juga memberikanku makanan serta baju yang layak. Awalnya aku tak memyangka bahwa aku akan berada di sini lebih dari sehari. Kira-kira, apa kabar kondisi masa depan, ya? Padahal baru saja sehari di sini, aku sudah merindukan teman-temanku.

Lisa dan Maze―suaminya―kini sedang berada di bengkel pribadi milik mereka. Bengkel tersebut berada di ruang bawah tanah rumah mereka. Mereka berdua tengah mempercepat pembuatan permata penghancur. Entah mengapa, aku jadi sedikit merasa bersalah kepada mereka.

"Kak Kena," panggil sebuah suara dari belakangku.

Aku yang tengah duduk di perkarangan rumah mereka, menikmati pemandangan langit pagi pun menoleh. Kudapati sosok Lita di belakangku. Wajahnya masih sama pucatnya seperti pertama kali aku tiba di sini. Tak ada ekspresi pada air wajahnya. Sorot matanya seakan begitu hampa, tak ada cahaya hidup sama sekali. Sangat jauh berbeda seperti Lita yang kutemui di masa depan. Aku bahkan sampai ragu jika mereka adalah orang yang sama.

Sadar bahwa Lita menunggu tanggapan, aku pun tersenyum. "Ya? Ada apa, Lita?"

"Ibu memanggilmu," katanya dengan nada datar―dan tanpa sengaja aku justru teringat dengan Sena hahaha.

Aku beranjak dari kursi yang ada di perkarangan rumah Lisa. "Oke, terima kasih, Lita!"

Lita menatapku lamat, sebelum akhirnya mengangguk samar. "Sama-sama."

Aku berjalan hendak masuk ke dalam rumah. Namun aku mengurungkan niatku sementara. Kutolehkan kepalaku, menatap sosok Lita yang berdiri di perkarangan. Matanya menyorot sendu, tersirat kesedihan yang begitu mendalam di sana. Seakan, sudah lama sekali Lita tidak keluar dari rumah. "Kenapa tidak masuk?" tanyaku hati-hati.

Lita melirikku sekilas, lalu kembali menatap langit. "Aku ... nanti masuk."

"Tapi bukankah kamu sedang sakit? Lebih baik segera masuk dari pada bertambah parah."

"... Sebentar lagi." Lita terdiam sesaat. "Aku hanya ingin melihat langit sedikit lebih lama."

Aku mendekati Lita, menengadahkan kepala, ikut menatap langit. Gumpalan awan putih bersih terlihat menghiasi langit biru sebagai latar. Matahari bersinar cerah, begitu hangat di kulit. Angin yang berhembus menggelitik, membuat udara menjadi dingin meski sinar matahari hangat. Kupu-kupu serta burung berlalu lalang dengan bebasnya. Aroma tanah terasa begitu menyegarkan.

"Langitnya indah, ya?" kataku.

"Iya," balas Lita pelan, suaranya sedikit teredam oleh suara angin.

"Kenapa kamu ingin melihat langit? Bukankah kamu bisa melihatnya setiap hari?"

"Aku ... hanya takut." Sepertinya, itu kalimat yang selama ini dipendam oleh gadis itu. Terlihat dari sosot matanya yang tiba-tiba berubah. "Aku takut kalau tiba-tiba saja aku tidak bisa melihat langit lagi."

Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Penyakit yang kuderita," Lita menjeda, "Aku takut, jika besok aku tidak akan terbangun lagi dari tidurku, atau penyakit yang menggerogoti umurku ini mengambil nyawaku. Jika itu terjadi, maka aku tidak akan bisa melihat langit lagi. Maka, setiap hari aku selalu menghabiskan waktuku menatap langit hingga aku puas. Dan bila sewaktu-waktu aku pergi, setidaknya aku masih bisa mengingat dengan jelas keindahan langit di dalam memoriku."

Aku terdiam. "Kamu sepertinya sangat menyukai langit."

"Karena aku terlahir di bawah langit biru," jawab Lita. "Aku pernah merasakan kebahagiaan serta kesedihan di bawah langit. Semua hal yang pernah terjadi padaku, itu semua terjadi di bawah langit. Langit seakan menjadi saksi bisu atas segala hal yang aku alami. Menjadi perekam vidio kehidupan yang tak akan pernah berhenti selama perabadan masih terus berjalan."

"Lita, apakah kamu tahu? Sejak dulu aku percaya, jika seseorang yang kusayangi pergi, maka dia akan menjadi bintang." Aku tersenyum, menatap intens sosok Lita yang kini menoleh kepadaku. "Jika suatu saat kita pergi, kita akan menjadi bagian dari langit. Mengawasi setiap gerak gerik orang-orang dari atas sana. Kita bisa merasakan kebahagiaan serta kesedihan mereka, meski kita tidak berada di sisi mereka.

"Lita, kamu adalah orang yang kuat, aku tahu itu. Kamu berjuang mati-matian demi melepaskan diri dari penyakit. Lita, janganlah menyerah. Kamu masih bisa melihat langit jauh lebih lama dari yang kamu kira." Aku menepuk bahu Lita pelan. "Kumohon, teruslah berjuang. Jangan menyerah semudah itu. Meski menurutmu mustahil, tapi percayalah, tidak ada yang tidak mungkin."

"Bagaimana ... kamu bisa tahu?" Lita menatapku tak percaya. "Maksudku, kamu berkata seolah-olah kamu datang dari masa depan dan telah bertemu denganku yang berada di masa depan."

"Kalau aku berkata 'iya', apakah kamu akan percaya?"

"Ehh???"

"Sudah ya, aku pergi menemui Ibumu dulu. Sampai nanti! Oh, dan jangan berlama-lama di luar, ya. Dingin!" pintaku seraya melambai sekilas. Aku berjalan memasuki rumah, meninggalkan sosok Lita yang menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.

***

"Ada apa, Nona Lisa?" tanyaku begitu tiba di bengkel bawah tanah. Bengkel pribadi bawah tanah milik Lisa begitu luas dan dipenuhi dengan berbagai macam alat yang tak kukenali. Tongkat sihir berjejer rapi di pinggir ruangan. Palu serta obeng dengan berbagai macam ukuran tertata di atas meja perkakas. Bahkan sampai mesin berbentuk oval yang entah apa kegunaannya di pojok ruangan. Keren sekali!

Lisa menoleh, tersenyum begitu melihatku. "Ah, Kena. Ke marilah sebentar."

Aku melangkah mendekat. Lisa menunjuk sebuah kotak kaca berisi permata berwarna biru terang yang bersinar redup. "Wah, apakah ini permata penghancur?" tanyaku kagum.

Lisa mengangguk. "Yup. Permata ini sebentar lagi akan jadi. Aku hanya harus memindahkan kekuatanku ke permata ini dan semuanya akan beres!"

Aku terlonjak. "Eh? Apa maksudmu dengan memindahkan kekuatan?"

"Kena, kami bermaksud untuk menghilangkan kekuatan penghancur. Apakah Lisa belum memberi tahumu?" kata Maze dengan kening berkerut.

"Tidak, aku belum tahu. Kenapa kamu berniat menghilangkan kekuatan penghancur, Lisa? Bukankah kekuatan penghancur masuk ke daftar 10 kekuatan terkuat se-dimensi sihir?" tanyaku tak mengerti.

"Justru itu, Kena." Lisa menghela napas panjang. "Kekuatanku ini terlalu berbahaya. Aku sangat bersyukur kekuatan ini tidak menurun kepada Lita. Namun saat aku tiada nanti, kekuatan ini pasti akan mencari pemilik barunya. Dan aku tidak mau kekuatan ini jatuh ke tangan orang yang salah. Dulu, aku pernah kehilangan kendali dan nyaris menghancurkan segalanya, bahkan sampai menyakiti beberapa orang. Itu mengapa aku dan Maze berencana melenyapkan kekuatan ini dengan cara memindahkannya ke sebuah permata, lantas menyembunyikannya. Dengan begitu, kekuatan ini tidak akan bisa mencari pemilik barunya."

"Aku tak tahu harus berkata apa," ungkapku jujur.

Lisa tertawa. "Tidak perlu merasa bersalah, Kena. Kami justru senang bahwa ternyata permata ini bisa membantu. Jika boleh tahu, memangnya untuk apa kamu membutuhkan permata ini?"

"Membuka segel buku penghancur," jawabku.

"Oh? Buku itu sudah ditemukan di masa depan, ya?" Lisa berdecak kagum. "Pasti Lita di masa depan berhasil menemukannya."

Maze tersenyum. "Aku senang mengetahui bahwa di masa depan nanti anak kita masih bertahan hidup."

"Aku juga!" sahut Lisa. "Dengan siapa Lita menikah? Siapa nama cucu kita? Apakah dia bahagia? Ah, andai aku bisa ke masa depan dan mengintip kehidupannya."

Aku tersenyum. "Lita hidup bahagia. Dia punya anak perempuan, dan tetap tinggal di rumah ini. Dia adalah perempuan yang kuat."

"Wah, ternyata rumah ini masih bertahan, bahkan sampai ditempati oleh Lita dan keluarganya. Lita pasti sangat menyayangi rumah ini." Lisa dan Maze tertawa―entahlah aku juga tidak tahu apa yang sedang mereka tertawakan.

"Oh iya, Kena. Aku hampir saja lupa karena terlalu seru berbincang. Bisa tolong kamu carikan material langka di hutan? Aku membutuhkannya untuk ritual pemindahan kekuatan," ujar Lisa setelah puas tertawa.

Aku mengangguk tanpa perlu berpikir dua kali. "Tentu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

"Tolong carikan ranting lumina di hutan dekat sungai, letaknya tak jauh dari sini. Kamu hanya perlu mengikuti jalan besar saja. Di pertigaan, belok ke arah selatan dan kamu akan menemukan jalan setapam menuju hutan," jelas Lisa panjang lebar.

"Kumpulkan ranting yang sudah gugur dan jatuh ke tanah. Biasanya berwarna kuning dan mengeluarkan serbuk bercahaya," tambah Maze.

"Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku akan kembali sebelum gelap―semoga."

***

Aku mengikuti petunjuk Lisa, melewati jalan besar dan menemukan jalan setapak menuju hutan.

Hutan pada zaman ini, jelas sangat berbeda dengan hutan di masa depan. Hutannya masih rimbun, dipenuh sesak oleh berbagai macam tumbuhan. Mulai dari tanaman merambat hingga pohon tertinggi yang tak pernah kulihht sebbeelumnya ada di sini. Aku berkeliling, pandanganku menyapu suasana hutan, berharap menemukan ranting lumina dengan ciri-ciri yang diberikan oleh Lisa dan Maze.

Setengah jam menghabiskan waktu berkeliling, mataku menangkap sesuatu yang bercahaya dari kejauhan. Kupikir, mungkin saja itu adalah rantinh lumina. Dengan semangat aku berjalan cepat mendekati cahaya itu. Namun begitu aku tiba di sana, jangkan menemukan rantinh lumina, aku justru bertemu dengan phoenix, hellbeast langka―di masa depan―yang bisa menyemburkan api dari mulutnya.

Sial.

Sepertinya, phoenix itu menyadari kehadiranku. Hewan bersosok seperti burung dengan kobaran api membara di sekujur tubuhnya itu meraung, kemudian memuntahkan semburan api dari mulutnya.

Dengan gesit aku melompat tinggi, lantas mendarat di batang pohon, membiarkan api tadi membakar tanah yang kupijak.

Lisa dan Maze tidak memberi tahuku jika ada hellbeast di sini! Setiba di kediaman mereka nanti, aku akan protes!!!

Semburan api kembali keluar dari mulut phoenix itu. Aku kembali menghindar, memikirkan cara untuk mengalahkannya. Sudah lama sekali aku tidak melawan hellbeast. Terakhir kali aku melawannya, adalah saat ketika perang beberapa tahun yang lalu.

Aku mengulurkan tanganku ke arah phoenix. Es menyembur keluar dari telapak tanganku, menyerang hewan tersebut dalam skala besar. Detik berikutnya, phoenix itu sudah membeku di dalam bongkahan es.

Belum sempat aku menghela napas lega, es tersebut hancur lebur. Sihirku berhasil dipatahkan! Phoenix meraung semakin menjadi. Ia mengibaskan sayapnya ke arahku. Sebuah angin yang begitu panas menerpa diriku, membuat tubuhku terhempas menghantam pohon.

BRAK.

Aku meringis menahan sakit. Tubuhku terasa remuk. Belum sempat aku menggerakkan tubuh, phoenix itu sudah lebih dulu menyemburkan napas apinya.

Ah, sial. Seharusnya aku tak meremehkannya. Aku tak menyangka bisa dikalahkan oleh hellbeast semudah ini. Menyedihkan.

Aku memejamkan mataku, sudah bersiap menerima serangan api dari phoenix. Setidaknya, aku tidak akan mati meski berakhir terluka. Beberapa detik berlalu, namun aku tak kunjung merasakan apapun. Karena penasaran, maka aku membuka mataku dan mendapati sosok seorang gadis tengah berdiri di hadapanku, mengangkat tangannya. Sebuah tameng es raksasa tercipta, menghalau semburan api mengenaiku.

Aku terlonjak kaget. "Kamu?"

Ibu―atau Annatasha―menoleh padaku, tersenyum lebar. "Hai! Kita bertemu lagi!!"

Tunggu sebentar, ini sama sekali bukanlah waktu yang tepat untuk saling menyapa!

Aku segera beranjak berdiri meski sedikit tertatih. Tameng es yang Annatasha buat mulai retak, membuat gadis itu mendesis kesal. "Cih, esku belum cukup kuat untuk melawannya. Seharusnya aku mendengarkan apa kata Ayah dan berlatih lebih giat!" rutuknya. Dia menoleh kepadaku. "Hei, um ... Kena? Dalam hitungan ketiga, lompat menjauh, oke?"

"Eh, tunggu―"

"Satu, dua, tiga!"

Ukh, dia bahkan tidak mau mendengar perkataanku. Sifatnya yang satu ini sepertinya menurun kepada Beth.

Aku dan Annatasha melompat menjauh secara bersamaan. Api phoenix itu membakar udara kosong. Seakan kesal karena tidak berhasil membakar kami, hewan itu berlari ke arah kami, mencoba menerjang.

"Hei, lari!!!" Annatasha menyambar tanganku, lantas menarikku pergi.

Meski aku tak berniat berlari, namun entah mengapa aku justru menuruti perintahnya. Kami berlari dari kejarah hellbeast berukuran lima puluh kali lebih besar dari ukuran burung pada normalnya.

"Bagaimana cara mengalahkannya?" tanyaku di sela engahan napas karena berlari.

"Mana kutahu!" balas Annatasha.

"Tapi kamu 'kan seorang putri! Masa kamu tidak tahu bagaimana caranya?!"

"Huh? Bagaimana kamu tahu aku adalah seorang putri?!"

Aku terbungkam. Otakku dengan cepat memikirkan alasan terasional mungkin. "T-Tentu saja semua keluarga bangsawan tahu kamu adalah seorang putri!"

Annatasha menarikku bersembunyi di balik pohon besar. Napas kami menderu tak beraturan. Namun, hal itu tidak menghalanginya untuk menatapku dengan tatapan heran. "Kamu keluarga bangsawan? Tapi rasanya aku tidak pernah melihatmu."

"Apakah itu penting sekarang?" kataku sembari memutar bola mata, jengkel. "Kita harus mengalahkan phoenix itu dulu!"

"Kan sudah kubilang, aku tidak tahu caranya!" bisiknya sengit. "Kalau hellhound atau hellcat, aku masih bisa mengalahkannya."

"Anak kecil juga bisa mengalahkan kucing neraka!"

"Kok kamu menyebalkan?"

Aku refleks menahan napas. Ternyata Ibu saat masih muda sangat menjengkelkan dan keras kepala. Aku jadi heran mengapa Ayah―yang bernotabene memiliki sifat tegas dan berwibawa―mau menikah dengan Ibu.

"Ini bukan saatnya untuk berdebat," bisikku begitu melihat phoenix berjalan melewati pohon tempat kami bersembunyi. "Apakah kamu tahu kelemahannya?"

"Ya kalau kita tidak bisa mengalahkannya, kita harus berlari!" Annatasha menatapku jera. "Kenapa kamu begitu bersikeras ingin mengalahkannya?"

Karena harga diriku sebagai calon seorang ratu bisa ternodai!

Ingin rasanya aku mengatakan hal itu kepadanya.

"Aku hanya ingin mengalahkannya," jawabku pada akhirnya.

Annatasha menghela napas panjang. "Kelemahan phoenix terletak pada matanya. Kau lihat bagian matanya itu? Tidak terlindungi oleh api. Jika kita bisa melukai matanya sekali saja, maka kita bisa mengalahkannya dengan mudah."

"Aku mengerti." Aku menyisingkan lengan bajuku, mengintip dari balik pohon. Phoenix itu masih ada di dekat kami.

"Aku akan menyerangnya dengan tombak es."

"Biar aku menyerangkan dengan tombak es."

Kami berdua saling bertatapan, tanpa sengaja mengatakan hal yang sama. Annatasha menatapku dengan tatapan heran. "Kamu pengguna es?"

"I-Iya," jawabku.

"Tapi ... bagaimana mungkin? Di dimensi ini hanya keturunan kerajaan utara yang memiliki kekuatan es."

"I-Itu tidak penting, saat ini kita harus mengalahkan hellbeast itu lebih dulu," jawabku sedikit gugup.

"Hmm ... baiklah."

Aku dan Annatasha berdiskusi singkat, lalu segera keluar dari tempat persembunyian. Sepertinya pendengaran phoenix itu cukup tajam. Karena begitu kami keluar dari tempat persembunyian dan tak sengaja menginjak ranting kering, hewan itu langsung mengetahui letak kami.

Sesuai perhitungan, phoenix menyemburkan api dari mulutnya. Semburan api menyerang ke arahku. Belajar dari pengalaman, aku segera menghentakkan kaki ke tanah. Detik berikutnya sebuah tebing es tercipta, menghalau api tersebut mengenaiku.

Esku memang tak mudah hancur, namun seperti yang dilihat, api phoenix memang terkenal akan panasnya yang luar biasa dan berada satu tingkat di bawah kekuatan api kerajaan Timur. Esku perlahan mulai retak. Sebelum dia menghancurkan esku, aku kembali menghentakkan kaki, menyelimuti tanah sekitar dengan salju dan membekukan apapun yang ada di sekitarku. Aku melesat cepat dari belakang tebing esku yang sebentar lagi hancur, menuju belakang phoenix sebelum ia menyadarinya.

Aku melirik Annatasha yang menyamarkan diri di belakang pohon beku. Dia tengah fokus menciptakan tombak es raksasa. Aku harus mengulur waktu agar perhatian phoenix terpusat padaku hingga Annatasha selesai membuat tombak.

Aku menyerang sembari menghindar, tidak boleh pongah dan harus tetap fokus. Aku membekukan kaki phoenix, lalu menghujaninya dengan jarum es. Semudah membalikkan telapak tangan, hellbeast itu berhasil menghindari seranganku. Dia begitu gesit!

"Kena, awas!"

Aku menoleh, dan mendapati Annatasha sudah siap dengan tombak esnya. Segera aku melompat menjauh dari lokasi pertarungan, membiarkan Annatasha menyelesaikan sisanya.

Annatasha melemparkan tombak es ke arah phoenix yang masih terpaku padaku. Tombak tersebut telak mengenai mata phoenix, membuat raungan keras terdengar hingga aku harus menutup telingaku saking kerasnya.

Dalam persekian detik, tubuh phoenix itu ambruk ke tanah. Api yang menyelimuti sekujur tubuhnya padam. Aku menyeka peluh yang membasahi wajah dengan lengan pakaian. Ternyata mengalahkannya cukup merepotkan. Sepertinya aku harus rajin-rajin memperlajari tentang hellbeast sepulang nanti.

"Wah! Ini pertama kalinya dalam hidupku!" Annatasha berseru girang. "Akhirnya, aku bisa mengalahkan hellbeast selain hellhound dan hellcat!"

Aku berdeham.

"Maksudku kita," koreksinya sembari tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.

"Yah, ini memakan cukup banyak waktu. Aku harus kembali sebelum gelap." Aku berkecak pinggang, mendongak menatap langit yang mulai berubah warna menjadi oranye.

"Hei, kamu tidak mau mengambil bulu phoenix?" tanya Annatasha kepadaku.

"Untuk apa?"

"Ini material langka dan harganya sangat mahal di pasaran, lho! Kamu yakin tidak mau?"

"Tidak."

"Baiklah, untukku saja," kata Annatasha, mulai memasukkan bulu-bulu phoenix yang dicabutnya ke dalam pocket miliknya.

"Aku harus pergi."

"Eh? Kenapa buru-buru? Memangnya kamu mau kemana? Aku punya banyak pertanyaan untukmu!"

"Aku sedang buru-buru dan tidak punya banyak waktu," tukasku. "Aku harus menemukan ranting lumina sebelum gelap. Aku tak boleh menghabiskan waktu lebih lama. Ada seseorang yang sedang menunggu untuk kuselamatkan."

"Hee ... kamu berkata seperti seorang pahlawan," cibir Annatasha.

Aku memutar bola mata.

"Aku hanya bercanda, kamu serius sekali." Dia tertawa, melompat turun dari tubuh phoenix. Sepertinya dia telah selesai mengumpulkan material. Dia berjalan mendekatiku, lalu mengulurkan tangannya―yang sejujurnya membuatku menatapnya heran. "Kita belum kenalan secara resmi! Ayo jabat tangan dulu!"

Aku menaikkan sebelah alisku, merapatkan bibir untuk menahan tawa. Aku menghempaskan napas, lalu menjabat tangannya. "Baiklah, baiklah. Perkenalkan, namaku Kena."

Gadis itu tersenyum riang. "Aku Annatasha, salam kenal! Namamu bagus juga, ya!"

"Hm? Bagus?"

"Iya! 'Kena' berarti seseorang yang kuat. Pasti Ibumu memberi namamu seperti itu karena berharap kamu akan tumbuh menjadi wanita yang kuat dan perkasa. Dan sepertinya, harapan Ibumu terwujud, ya? Kamu memang tumbuh menjadi wanita yang kuat! Hahaha."

Jadi ... begitu ....

Aku tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu."

"Oh iya, kamu sedang mencari ranting lumina, 'kan? Aku tahu letaknya. Ingin aku antar?"

"Apa tidak merepotkan?"

"Tentu saja tidak! Ayo!" Annatasha menarik tanganku. "Letaknya tidak jauh, kok. Kita akan sampai dalam waktu lima menit!"

Aku menatap tanganku yang digenggam erat olehnya. Rasanya begitu hangat sampai aku tidak rela melepaskannya lagi.

Lima menit berjalan menelusuro hutan, dan kami tiba di area yang dipenuhi ranting-ranting bercahaya emas. Sebenarnya, yang menyebabkannya bercahaya bukanlah dari ranting itu sendiri, melainkan serbuk yang keluar dari sana. Aku―dibantu Annatasha―mengumpulkan cukup banyak ranting lumina. Setelah aku merasa cukup, barulah kami akan berpisah.

Dan sejujurnya, rasanya agak menyedihkan.

"Mari kita bertemu lagi!" kata Annatasha penuh semangat.

Aku tersenyum. "Aku juga mengharapkan hal yang sama."

"Besok, ya! Di hutan ini!"

Sepertinya mustahil ....

"Aku ... mungkin tidak akan melihatmu lagi." Aku tersenyum sendu. "Tapi kamu, pasti akan bertemu denganku. Karena kamu lah aku berada di dunia ini. Nanti, mungkin setelah kamu bertemu dengan seseorang dan membangun rumah tangga. Saat itu tiba, dan kita akan bertemu."

Kamu adalah orang yang melahirkanku.

Mungkin beberapa tahun lagi, kamu akan bertemu dengan aku dalam wujud bayi.

Dan aku tidak akan melihatmu lagi.

"Ini hari yang menyenangkan!" ucapku. "Aku akan terus menyimpannya di dalam memoriku!"

Annatasha hanya bergeming menatapku. Aku tak tahu apa yang ada dipikirannya. Terkadang aku berharap menjadi pembaca pikiran agar tahu apa saja yang tengah dia pikirkan terhadapku.

"Aku yakin kita bisa bertemu lagi! Aku akan mencarimu hingga ujung dunia!" sahut Annatasha tiba-tiba.

Aku tertawa.

"Tapi ... kalau misalkan kita memang tidak bisa bertemu lagi ...," Annatasha mengeluarkan jimat berwarna biru samudra dari dalam pocket-nya―jimat yang kemarin ia beli―lalu menyerahkannya padaku. "Terimalah ini!"

"Eh? Tapi ini milikmu, 'kan? Bukankah kamu sangat menginginkannya?"

"Tidak apa!" Annatasha meraih tangan kananku, meletakkan jimat itu di telapak tanganku. "Ini adalah benda kenang-kenangan dariku! Kamu harus menerimanya!"

Aku terdiam beberapa saat, lalu tersenyum. "Aku akan terus mengingatmu, bahkan tanpa kamu memberikanku sesuatu untuk dikenang."

"Baiklah. Kamu sedang buru-buru, 'kan? Katamu, ada seseorang yang menunggu untuk kamu selamatkan. Sebaiknya ... kamu segera pergi."

Aku tersenyum. "Selamat tinggal."

Dia balas tersenyum. "Sampai jumpa."

Rasanya sesak.

Tapi, mau bagaimana lagi?

Biarlah yang terjadi di masa lalu, berada di masa lalu. Sedangkan aku yang berada di masa depan, menatap apa yang akan terjadi padaku selanjutnya.

***

Aku kembali ke rumah Lisa, tepat sebelum matahari tenggelam. Sepertinya Lisa sudah menungguku. Saat ini aku tengah berada di dalam bengkel, bersama Lisa, Maze, dan juga Lita.

Aku, Lita, dan Maze berdiri di ujung bengkel, sedangkan Lisa berada jauh di tengah bengkel. Wanita itu menyebarkan fairy dust ke lantai beraspal bengkel bawah tanah. Fairy dust dibentuk melingkari sebuah permata berwarna biru gelap yang bercahaya. Selesai menaburkan fairy dust, Lisa masuk ke dalam lingkaran, menghadap permata. Di tangannya terdapat beberapa ranting lumina yang telah diubah menjadi tongkat panjang. Ujung tongkat itu menyentuh tengah permata, sedangkan ujung satunya lagi digenggam erat oleh kedua tangannya.

Lisa memejamkan matanya, memulai ritual pemindahan kekuatan. Dia merapalkan mantra panjang yang sangat asing di pendengaranku. Begitu cepat ia rapalkan sampai aku tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Tubuh Lisa, tongkat, dan permata tiba-tiba bersinar begitu terang. Aku bahkan harus memejamkan mata saking silaunya. Beberapa saat setelah sinar itu mereda, baru lah aku bisa membuka mata.

Tubuh Lisa terhuyung, nyaris ambruk ke lantai jika saja Maze tidak menangkapnya. "Lisa, kamu baik-baik saja?" tanya Maze khawatir.

Lisa tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah. Ritual ini memakan terlalu banyak energi."

"Ibu harus istirahat!" kata Lita cemas.

Lisa tertawa, mengusap pucuk kepala Lita. "Ibu baik-baik saja. Jangan khawatir." Lisa berdiri―meski sedikit tertatih―dan meraih permata yang tergeletak di lantai. Dia menyerahkannya padaku. "Ini, Kena. Maaf lama ya, proses pembuatannya cukup merepotkan."

Aku menggeleng. "Aku justru sangat berterima kasih padamu dan Maze. Apa yang bisa kulakukan untuk membalas jasa kalian?"

"Kamu sudah membalasnya." Lisa tersenyum.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, menatap tak mengerti. "Apa? Dengan apa?"

"Kamu membawakan kabar bahwa Lita berhasil bertahan hidup, bahkan sampai berumah tangga dan bahagia. Berita itu sudah cukup bagi kami." Maze merangkul bahu Lisa. "Kami sangat bahagia mendengarnya."

"Terima kasih telah datang, Kena. Lekaslah, kamu harus menyelamatkan teman-temanmu, 'kan?"

Aku mengangguk mengerti, menerima permata dari tangan Lisa. "Sekali lagi, terima kasih banyak!"

"Sampai jumpa, Kena!"

"Ah, Lita. Sebentar." Aku mengeluarkan sebuah jimat dari pocket-ku. Jimat pemberian Annatasha. Kuserahkan jimat itu pada Lita. "Ini adalah jimat pemberian Ibuku. Aku ingin kamu menyimpannya."

Lita mengerutkan keningnya. "Krnapa aku? Bukankah ini berharga untukmu?"

"Justru karena ini berharga, aku ingin kamu menyimpannya," kataku. "Simpanlah ini. Nanti, saat kamu sudah dewasa, aku akan mengambilnya kembali. Jimat ini sebagai jaminan bahwa kamu akan terus hidup sampai dewasa nanti. Penyakitmu bukanlah penghalang kebahagiaanmu."

Lita menerima jimat dariku, lalu memelukku erat. "Terima kasih, Kak Kena. Aku percaya denganmu. Akan aku simpan jimat ini baik-baik."

"Sama-sama." Aku melepaskan pelukkan Lita, tersenyum untuk terakhir kalinya di sini. "Aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi, Lita."

"Sampai jumpa di masa depan, Kak Kena!"

Aku mundur beberapa langkah, menggenggam erat permata penghancur. Kupejamkan mataku, memusatkan konsentrasi. "Time keeper, bawalah aku kembali ke masa depan."

Dapat kurasakan cahaya mulai menyelimutiku. Tubuhku terasa ringan. Aku menatap ketiga sosok yang menemaniku untuk dua hari ini di sini, sebelum akhirnya pandanganku depenuhi oleh cahaya.

Begitu cahaya reda, pemandangan yang kudapati adalah sosok teman-temanku yang duduk dengan wajah tegang. Mereka menghela napas lega begitu melihat kehadiranku.

"Kena, kamu kembali!"

Aku ... telah kembali ke masa depan.

***TBC***

A/N

3600 kata Vara ketik dalam waktu sehari. HAHAHAHAHA WARBYASAH.

Asique akhirnya apdet. Vara pengen ngoceh panjang lebar sebenernya, tapi PR Vara numpuk
||| °3°)>

Karena kalian banyak yang komentar untuk Vara tetep stay di wattpad, Vara memutuskan untuk stay. Horeee!!!🎉🎉🎉

Oke, kalo gitu kuy kita tumpengan! Svion motor, Micin, sama Liang teh yang traktir.

//digebukin.

Yauda deh, Hicchan, Harda, sama Hika aja yang traktir kita tumpengan. Teror mereka!

//digebukin lagi.

Ya intinya Vara ga jadi pindah lapak. Kalo gitu, versi revisi vara apdet di sini yaw~

Makanya kalian jangan keluarin dulu SOM dari perpustakaan kalian. Biar ga ketinggalan apdetan terbaru #VaraModusLikeThis

Terus boleh dong Vara minta kalian komentar? Huehuehue. Vara maksa kok, tenang aja.

//bersiap digebukin untuk ketiga kalinya.

Eh, maksudnya ga maksa! Jangan gebukin Vara lagi dung. Anak imud cem Vara masa digebukin. Tegah.

Mending makan gebukin Hicchan, biar Vara nonton sambil makan popcorn.

//di bom.

Oke, udah dulu yak. Vara hobi banget ngerusuh di A/N astogeh. Padahal PR numpuq.

Anak IPA jadi-jadian Vara mah.

Papay, si yu nek taim.

Adios~

Big Luv, Vara yang lagi rebahan.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro