Path-45 : War Declarated

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kena, kamu kembali!" Yura adalah orang pertama yang melompat ke arahku dan memelukku erat. "Aku sangat khawatir! Tapi, kenapa kamu bisa kembali begitu cepat? Apakah kamu sudah mendapatkan permata penghancur itu?"

"Cepat?" ulangku dengan sebelah alis terangkat.

Yura mengangguk. "Kamu hanya menghilang selama lima detik, lalu kembali lagi. Katakan padaku, apakah kamu berhasil kembali ke masa lalu?"

Lima detik, ya?

Benar-benar di luar dugaan.

Aku menghabiskan waktu dua hariku di masa lalu, namun hanya lima detik yang berlalu di masa sekarang. Apakah ini semacam perbedaan waktu?

"Kena?"

"A-Ah, iya. Aku mendapatkan permata penghancurnya." Aku menunjukkan sebuah permata di genggamanku dengan senyum lebar. "Akhirnya kita bisa menyelamatkan Sena dan Lizzy, hehe."

Yura terdiam. Gadis itu menatapku lekat-lekat dengan pandangan yang sama sekali tak bisa kuartikan. "Kena ... apakah kamu habis menangis?"

"Eh?" Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku mengarahkan pandanganku ke sekitar, teman-temanku termasuk Lita memandangiku dengan raut cemas.

"Kena, apakah ada sesuatu yang terjadi di masa lalu?" Hanya Yura yang berani menanyakan hal tersebut. Sejak dulu, sejak kami masih kecil pun, hanya Yura seorang yang mampu menghiburku di kala aku sedih. Yura teman pertamaku, mau di dimensi manusia ataupun dimensi sihir. Dia yang paling mengerti aku.

"Aku ...." Telapak tanganku menggepal erat. Aku menggigit bibir bagian bawahku, menundukkan kepala guna menyembunyikan raut wajahku saat ini. Meski ada perasaan di dadaku yang terasa campur aduk, namun bibirku tetap mengulas sebuah senyum sendu. "Aku bertemu dengan Ibu di sana."

Satu kalimat yang terlontar dari mulutku mampu menghentakkan semua orang yang berada di ruangan ini. Yura maju beberapa langkah mendekatiku. Kedua matanya berkaca-kaca. "Kamu bertemu Bibi Annatasha di sana?"

"Iya." Aku tersenyum lebar. "Aku sangat senang bisa bertemu dengannya lagi. Rasanya benar-benar seperti mimpi."

"Kena ...," Yura menghela napas pelan, lalu tersenyum hangat kepadaku. Dia menggenggam kedua tanganku. "Aku bersyukur kamu dapat melihatnya lagi."

"Syukurlah." Flo kini membuka suara. Gadis itu melangkah mendekat. "Aku ikut senang mendengarnya, Kena."

"Yah," Aku mendongak, menatap langit-langit ruangan yang terbuat dari kayu. "Akhirnya tidak ada lagi penyesalan yang tersisa." Aku mengalihkan pandanganku kepada yang lain. "Ayo kita kembali! Aku tidak sabar membangunkan Sena dan Lizzy!"

Kami berbincang beberapa saat kepada Lita, mengucap terima kasih yang sebesar-besarnya. Lita mengantar kami hingga depan rumahnya. Ia memberikan buku berisi resep ramuan yang dapat menetralisir racun apapun kepada kami. Sebelum kami pergi dari rumah Lita, wanita itu menahanku. "Ah, hampir saja aku lupa. Ada barang yang harus aku kembalikan padamu, Kena."

Aku memiringkan kecil kepalaku. "Barang apa?"

Lita mengeluarkan sebuah permata berwarna biru dari dalam pocket-nya, lalu menyerahkannya padaku. "Ini, jimat yang kau pinjamkan sebagai jaminan aku hidup meski aku berpenyakitan. Terima kasih, ya. Kini, sudah saatnya aku mengembalikan jimat ini kepadamu."

Aku menerima jimat tersebut, menatap benda itu lekat-lekat. Aku tersenyum cerah. "Sama-sama. Jimat ini, akan menjadi jimat keberuntunganku."

"Semoga dewi Fortuna memberkatimu, Tuan Putri." Lita menunduk pelan.

"Terima kasih!"

***

Kami kembali ke sekolah, lebih tepatnya laboratorium untuk meracik ramuan. Tepat setelah permata menyentuh sampul buku, buku tersebut mengeluarkan sinar yang sangat terang sebelum akhirnya terbuka.

"Buku ini berisi berbagai macam ramuan lengkap! Bahkan, ada beberapa ramuan yang tidak aku ketahui," Flo berdecak kagum.

Clyde--yang datang setelah dipanggil--mencondongkan tubuhnya untuk ikut mengintip isi buku. "Ah, syukurlah kita memiliki semua bahan yang tertera di sini."

Flo, Clyde, dan Val segera membuat ramuan penawar, sedangkan sisanya menunggu karena hanya mereka bertiga yang memiliki pengetahuan tertinggi tentang ramuan. Setengah jam berlalu, dan ramuan pun selesai diracik.

Aku begitu girang saat meihat gelas bening berisi cairan berwarna hijau pucat berkilau. Dengan ini, Sena dan Lizzy bisa kembali terbangun!

Dengan kekuatan teleportasi Yura, kami menuju ruang khusus yang berada di ruangan kesehatan. Clyde membagi cairan tersebut menjadi dua gelas, satu untuk diberikan kepada Lizzy, satunya untuk Sena. Clyde menyerahkan masing-masing gelas kepadaku dan Ryan.

"Tunggu, kenapa aku?" Ryan tampak kebingungan saat mendapati Clyde justru memberikan ramuan untuk Lizzy kepadanya.

"Kamu ingin memperbaiki kesalahan kamu kepada Lizzy, bukan?" Alih-alih menjawab, Clyde justru balik bertanya.

Ryan mengelus tengkuknya, kemudian mengangguk pelan. "... Iya."

"Silakan berikan ramuan itu kepada mereka yang tak sadarkan diri. Kini, sudah waktunya kita membangunkan mereka dari tidur panjang." Clyde tersenyum, menepuk punggungku dan Ryan.

Meski sedikit ragu, Ryan pergi memasuki ruangan Lizzy, dan aku memasuki ruangan Sena, sedangkan yang lain memperhatikan dari luar--mengingat seluruh dinding di sini terbuat dari kaca dan memungkinkan mereka dapat melihat situasi yang terjadi di dalam.

Aku melangkah mendekati tubuh Sena yang terbujur di atas ranjang. Matanya yang terpejam erat membuat wajahnya tampak begitu teduh. Jantungku berderu cepat. Aku menipiskan bibirku, menatap lekat wajah Sena. Aku mengusap rambut merahnya, kemudian tersenyum.

Aku mendekatkan mulut gelas ke bibir Sena, lantas mulai memiringkannya, membiarkan cairan ramuan tersebut mengalir masuk ke tenggorokan Sena.

Hingga seluruh cairan telah habis, aku baru menjauhkan gelas dari bibir Sena, menunggu dengan berdebar-debar. Apakah ramuannya berhasil?

Aku meraih salah satu telapak tangan Sena, meremasnya dan meletakkannya ke keningku. "Sena, kumohon bangunlah," bisikku, "Kalau kamu tidak bangun, aku pasti akan kesepian."

"... Kalau begitu, aku akan bangun agar kamu tidak kesepian."

Aku terhentak karena terkejut. Kuarahkan pandanganku kepada wajah Sena, dan mendapati lelaki itu tengah menatapku. Manik hijau emerald-nya menyorot hangat, membuatku lupa kapan terakhir kali dia menatapku seperti ini. Aku segera memalingkan muka darinya. "Bodoh," rutukku. Aku mengusap air mataku yang mulai berjatuhan, terisak pelan. "Dasar bodoh! Akhirnya kamu bangun juga. Apa kamu tahu selama kamu tak sadarkan diri, banyak yang mencemaskanmu?"

Sena tidak memasang ekspresi apapun, seperti biasa. Namun, sorot matanya memancarkan sebuah penyesalan. "Maaf," ujarnya begitu lirih.

"Aku senang kamu bisa bangun." Tanpa meminta izin, aku segera memeluk Sena. Menangis tersedu-sedu. "Aku sangat bersyukur! Terima kasih karena telah bangun, Sena."

Sena terdiam beberapa saat, kemudian salah satu tangannya mengelus kepalaku dengan lembut. "Terima kasih karena telah membangunkanku, Kena."

***

Di sisi lain dimensi sihir, lebih tepatnya Kerajaan Timur, sedang digelar sebuah rapat rahasia antara pemimpin serta petinggi kerajaan. Rapat berlangsung sengit tatkala penjelasan yang dijabarkan oleh Amartia memasuki indra pendengaran mereka.

"Ini pernyataan perang!" Evan--Raja Kerajaan Barat--memukul meja rapat dengan kepalan tangannya. Uratnya mengeras, menandakan bahwa ia sangat murka mendengar kabar ini. "Kenapa kau tidak memberi tahu kami lebih awal, Rouve? Jika kami tahu lebih awal, kami pasti bisa menyiapkan lebih banyak persiapan!"

"Evan, tenanglah." Keale yang menjabat sebagai Raja Kerajaan Timur Laut mencoba menenangkan Evan yang memang mudah tersulut emosi. "Rouve pasti memiliki alasan sendiri menyembunyikan masalah ini dari kita. Bukan begitu, Rouve?"

"Ya ...," Rouve memainkan jemarinya, menghembuskan napas berat. "Awalnya kupikir aku bisa--setidaknya--menyelesaikan salah satu masalah yang ada. Tetapi, anakku, Sena, justru terkena dampak sihir hitam dan sang Iblis berhasil melarikan diri. Aku tidak tahu kapan dia akan kembali, namun ada satu hal yang jelas ...."

"Apa itu?"

"Coctyus," raut wajah Rouve mengeras, "Berniat membuka gerbang Dehell untuk melepaskan Lucifer."

"APA?!"

"Iblis satu itu? Bagaimana mungkin?!" Freya, sang ratu kerajaan Selatan, melotot tak percaya. "Kalau Lucifer sampai terbebas, bukan hanya dimensi sihir yang hancur, tapi juga keseimbangan tiga dimensi akan terancam! Apakah kalian tidak ingat, bagaimana Tragedi Hampa yang menyapu bersih Kerajaan Utara?"

"Nona Freya," William selaku perwakilan dari Kerajaan Utara berdeham pelan, "Kupikir pemikiran anda benar, hanya saja ada satu hal yang masih mengganggu pikiranku."

"Katakan saja, William," Rouve mempersilahkan.

"Amartia hanyalah pion kecil milik Coctyus, yang mana berarti kekuatannya mungkin hanya sebagian atau bahkan tidak sampai setengah dari kekuatan yang Coctyus miliki, bukan?" William mengelus kumisnya yang sudah memutih. "Kalau kekuatan Amartia saja bisa menyebabkan Tragedi Hampa, maka sekuat apa kekuatan asli Coctyus?"

Pertanyaan yang dilontarkan William membuat ruangan rapat itu senyap. Semua orang tenggelam dengan pikiran masing-masing. Sebagian besar di antara mereka diselimuti perasaan cemas. Apa yang WIlliam katakan benar. Jika kekuatan Amartia yang tidak sampai sebagian kekuatan Coctyus saja bisa membuat bencana yang menyapu bersih Kerajaan Utara dulu, bagaimana dengan Coctyus? Sebesar apa kekuatannya?

Di tengah kebisuan tersebut, terdengar suara dehaman yang cukup keras, mampu mengambil seluruh atensi yang ada. "Aku bukannya mau meremehkannya atau apa," Amartia menggaruk kepala bagian belakangnya, menatap seluruh audiens di hadapannya yang merupakan orang-orang penting. "Tetapi, aku tahu besar kemungkinan kapan si Coctyus ini memulai perang. Yah, sebagai orang yang sudah ditipu olehnya jelas sudah sedikit mengenalnya. Kekuatan Coctyus saat ini tidak lebih kuat dari kekuatanku, karena sebagian besar kekuatannya telah ia letakkan di kristal kematian. Itu berarti, sebelum Coctyus berhasil membuka gerbang ke Dehell saat purnama merah, kita harus lebih dulu membunuhnya--"

"Membunuhnya?" ulang Rouve.

Amartia mengangguk. "Kita harus membunuhnya. Kita tidak tahu rencana jahat apa yang akan dia lakukan jika kita membiarkannya hidup, bukan?" Amartia menjeda beberapa saat untuk melihat raut wajah para pendengar. "Kedua, tentang meteor yang akan menyerang bumi akibat melemahnya barrier yang melindungi planet ini, sebenarnya itu bukanlah masalah sulit. Yang sulit adalah apakah kita bisa menghabisi Coctyus sebelum mengirim beberapa orang untuk menghentikan hujan meteor di dimensi manusia."

"Kalau begitu, kita harus mengalahkan Coctyus lebih dulu." Rouve mengetuk jarinya di atas meja kayu beberapa kali. "Mulai sekarang, kita sudah harus memiliki persiapan untuk perang! Seluruh sekolah sihir harus bekerja sama, dan setiap Kerajaan mengirim bala prajurit terbaik untuk menjadi frontliner. Sampai di sini, adakah yang keberatan?"

"Tidak!"

"Baiklah." Rouve menghela napas panjang. Ia mengarahkan pandangannya kepada Amartia. "Amartia, kapan kira-kira purnama merah dan penyerangan Coctyus akan terjadi? Kita harus memanajemen waktu sebaik mungkin agar memiliki persiapan yang cukup matang."

"Itu ...," Amartia tersenyum canggung, "Sekitar dua minggu lagi."

"APA?!"

***TBC***

A/N

AKHIRNYA APDET YEYYY. Meski cuman 1500 kata :(

Maafkan Vara yang luck nut ini, setelah menggantung kalian selama berbulan-bulan hanya dapet 1500 kata :(

Tapi kabar baiknya, chapter depan udah mulai perang :D

Tenang, chap depan sampe tamat Vara panjangin jumlah katanya, DAN CHAP DEPAN AKAN VARA PUBLISH MINGGU INI YEYYYY.

GAK ADA ACARA GANTUNG-GANTUNGAN LAGI (*´ω`*)

Aaahhh, gomenasaiiiiii. Vara emang sungguh ter-la-lu.

Gebug Vara gebug Vara.

Potong Varanya potong Varanya. Potong Varanya sekarang juga, sekarang juga, sekaraaanggg juuuugaaaaaaaaa.

//heh dikira kue ultah//

Yaamvon Vara random banget seh. Heran deh kenapa manusia imud cem Vara ada di muka bumi ini.

Dah lah yaw, Vara mo lanjut ngetik buat next chap. Nyicil nyicil dulu biar nggak ngaret lagi.

See you UwU

Adios~

Big Luv, Vara yang lagi ngemaso.
🐤🐣🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro