Path-02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kena, dengarkan aku ..."

"Pergilah sejauh mungkin ..."

"Jangan sampai mereka menangkapmu ..."

"Karena kamu ..."

Aku tersentak. Napasku kembali menderu. Aku mengacak-acak rambutku penuh frustasi. Kenapa aku bermimpi seperti itu setiap malam? Mimpi yang terlihat nyata, tapi hanya sekedar mimpi.

Aku menoleh dan menatap jam dinding di kamarku. Jam 6:20. Sial! Aku terlambat!!

Aku segera masuk kedalam kamar mandi dan keluar tidak sampai hitungan lima menit. Setelah memakai baju training sekolah, aku hendak mengambil sisir untuk menyisir rambutku. Tapi aku justru hampir menjerit, jika saja aku tidak menggigit lidahku. Lihatlah, sisir yang tadi aku sentuh membeku!

Aku menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya perlahan. Aku harus tenang. Ini bukanlah hal yang asing bagiku.

Kalian pasti bertanya-tanya apa yang terjadi padaku 'kan?

Aku memang gadis SMA biasa, pergi ke sekolah, mempunyai banyak teman, dan memiliki segudang prestasi. Tapi, aku memiliki rahasia kecil. Rahasia yang mustahil dimiliki oleh gadis sepertiku.

Aku, Kenanda Alivia.

Gadis remaja biasa yang bisa mengeluarkan es dari telapak tangannya.

Aneh? Bisa jadi. Dari pada aneh, aku lebih suka menyebut kemampuanku ini unik. Semua ini bermula saat aku berumur empat belas tahun. Saat itu, aku sedang panik karena tanpa sengaja aku memecahkan vas bunga milik ibu. Terlintas di benakku untuk memperbaikinya, tapi saat aku menyentuhnya, vas itu justru membeku. Aku menangis karena tidak mengerti apa yang terjadi. Setelah bertahun-tahun akhirnya aku memgerti.

Kekuatanku ini akan muncul saat aku merasa panik atau kadar emosiku tinggi. Jadi, aku harus pandai-pandai mengatur emosiku jika tidak ingin rahasiaku ini terbongkar. Aku tidak tahu apakah ibuku memiliki hal yang sama sepertiku atau tidak, tapi aku merasa harus merahasiakannya.

Baiklah, mari kita kesampingkan dulu masalah itu, karena aku sudah telat! Jadi, aku segera mengambil tasku dan turun untuk sarapan.

"Pagi, sayang!" Sambut ibu di meja makan. Di tangannya terdapat roti bakar dengan cokelat meleleh yang menggugah selera, favoritku.

"Pagi, ibu!" Aku segera meletakan tasku di lantai dan bersiap untuk menyantap roti bakarku.

"Ah, ah, ah!" Ibu menggeleng-geleng pelan. "Minun air putih dulu, agar pencernaanmu dapat bekerja dengan bagus."

Aku hanya tersenyum dan segera menuangkan segelas air putih. Ibu selalu perhatian terhadap hal-hal kecil seperti ini. Itu yang membuatku sangat nyaman berada di rumah bersama ibu, walaupun ibu harus bekerja saat siang dan pulang saat menjelang malam. Itu karena ibu adalah single parent. Ibu tidak pernah bercerita tentang ayah, aku pun tidak pernah bertanya. Kata ibu, aku tidak memiliki ayah dan aku sudah puas akan hal itu.

"Kena, kamu pulangnya lusa pagi, kan?" Tanya ibu yang kutebak adalah pembukaan untuk acara ceramahnya. "Di kemah jangan nakal-nakal, ya! Kalau ingin ke toilet harus berdua, kalau ada apa-apa langsung lapor guru. Jangan keluyuran malam-malam. Wajib telepon ibu kalau sudah selesai, paham?"

Aku mengangguk. Kemudian melanjutkan kegiatanku menghabiskan sarapan.

"Sudah selesai makannya? Kalau sudah biar ibu antar sampai sekolah, ya." Ujar ibu sambil tersenyum hangat.

"Iya, bu." Aku balas tersenyum. Senyuman hangat dari ibu sangat membuatku merasa nyaman.

Setelah selesai sarapan, aku segera mengambil tasku yang sangat gempal dan berat--yang jika kusimpulkan ibu pasti membawakan aku barang yang macam-macam--aku berangkat ke sekolah diantar oleh ibu.

Sesampainya di sekolah, ibu mengecup pelan keningku. "Hati-hati ya, sayang."

Aku mengangguk dan tersenyum. Kemudian segera menyalim tangan ibu. "Iya, bu. Aku pergi dulu."

Setelah pamit, aku pun melangkahkan kakiku memasuki bus yang akan membawaku menuju area hutan.

Dan tanpa sepengetahuanku, itu adalah keputusan yang akan paling kusesali kelak.

***

"Kena, kena tadi pagi sarapan apa?" Tanya Yura yang duduk di sebelahku.

"Roti bakar! Dengan cokelat meleleh yang sangat lezat." Jawabku dengan semangat.

"Suda kuduga." Gumam Yura sembari membuka tasnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak bekal dan menyodorkannya kepadaku. "Hari ini ibuku tidak kerja, jadi beliau menyempatkan diri untuk membuatkan bekal untukku dan Kena."

Aku menerima kotak bekal dari tangan Yura. Rasanya sulit sekali menolak untuk menerima masakan Yura atau ibu Yura. Karena selain gratis--pastinya--masakan mereka berdua sangatlah lezat, bahkan melebihi makanan di restoran. Itu karena profesi ibu Yura adalah sebagai chef yang handal. Tidak salah jika menurun kepada Yura.

"Hey, Kena." Panggil Yura disela kegiatan makannya. "Menurutmu, lebih enak masakanku atau masakan ibu?"

Aku menelan makanan di mulutku. "Memangnya kenapa?"

"Aku ingin melampauinya!" Jawab Yura dengan penuh semangat. "Aku ingin menjadi chef yang handal!!"

Aku mengangguk-angguk, kemudian berpose seperti sedang berpikir keras. "Hmm, enakan masakan ... Yura."

"Benarkah???" Mata Yura tampak berbinar-binar.

"Tentu saja tidak. Coba berpikir, lebih enak masakan seorang chef yang handal daripada masakan seorang gadis ceroboh yang bahkan pekerjaan rumah dikerjakan di sekolah." Timpalku dengan kejam, tidak lupa ditambah tawa jahat khas ku.

Yura memajukan bibirnya lima senti. "Bhu ... dasar! Aku menyesal bertanya padamu."

Aku tertawa geli. Rasanya menyenangkan sekali bisa meledek Yura seperti ini.

"Perhatian anak-anak! Kita sudah sampai di tempat tujuan. Harap turun dari bus dengan tertib dan baris dengan rapih untuk mendengarkan pengarahan." Terdengar suara miss Rosseline--selaku pembina di acara kemah kali ini--dari barisan kursi depan.

"Ayo turun, Yura."

Kami pun turun dari bus dan segera masuk kedalam barisan. Disana, kami diberikan pengarahan dan pembagian tugas selama berada di area kemah. Dan coba tebak, aku dan Yura mendapat tugas mencari kayu bakar! Ini menyebalkan!

Ayolah ... mencari kayu bakar itu menyusahkan. Selain harus cermat menemukannya, kita juga harus masuk kedalam hutan 'kan? Aku bukannya takut ... mungkin sedikit, tapi yang benar saja. Itu berarti setiap pagi kami harus mencari kayu bakar entah itu untuk memasak atau acara api unggun. Apalagi kita akan berkemah selama tiga hari dua malam. Itu pasti melelahkan!

"Kena, ayo kita mencari kayu bakar!" Yura menarik tanganku, aku hanya mengikuti dengan malas.

Aku dan Yura mengambil ranting-ranting kering yang berada di sekitar tanah. "Ngomong-ngomong, ini menyenangkan, bukan?"

"Heh, kamu bercanda? Ini menyebalkan!" Kilahku sambil mendengus sebal.

Yura menatapku sambil tersenyum jail. "Benarkah? Menurutku justru menyengkan. Karena, selain berjalan-jalan, aku jadi bisa memastikan sesuatu."

"Memastikan apa?"

Sekali lagi Yura tersenyum jail, senyum yang membuatku menelan ludah. "Tentang goa berpenghuni."

Ah, sudah kuduga! "Go, goa berpenghuni? Itu pasti hanya mitos. Jangan mudah percaya."

"Benarkah? Atau kamu saja yang takut?" Yura tersenyum miring.

"Te, tentu saja tidak!" Ah, Yura paling tahu kalau aku takut dengan hal-hal yang berbau mistis. Gadis menyebalkan itu mencoba membuatku mengaku, ya? "Aku hanya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu."

"Yasudah, bagaimana jika kita masuk dan memastikan?" Tanya Yura sambil mencoba menyeretku masuk.

Aku mengukuhkan pijakkanku. "Ja, jangan!"

"Kenapa?"

"E, eh ... ini .. ini sudah jam makan siang! Pasti yang lain sedang menunggu kita untuk memasak. Sebaiknya kita segera kembali, atau yang lain akan mengira kita tersesat." Timpalku berharap-harap cemas.

Yura mengangguk. "Benar juga, ya. Pantas saja perutku sudah merasa lapar. Ayo, Ken." Yura mengulurkan tangannya padaku.

Aku menghela napas lega, dan menerima uluran tangannya.

Setidaknya, untuk hari ini aku selamat.

***TBC***

Published 21-05-18

NEW A/N 17-12-21

Ya ampun aku agak malu sendiri bacanya. Apa harusnya tetep kuunpublish aja ya? 😭😭

Tapi agak kangen juga sih. Yaudalah bablas aja. Bulan Mei nanti bakal kuremake abis soalnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro