Path-15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak pernah mempercayai keajaiban. Sekalipun aku melihat seseorang yang sedang menaiki sapu terbang dan melayang satu meter diatas permukaan tanah tepat di depan mataku, aku tetap tidak mempercayai adanya keajaiban.

Mungkin ironis jika aku yang tidak mempercayai sesuatu yang bernama keajaiban itu justru sedang merasakan sebuah keajaiban.

Ya, itu terjadi padaku.

Dan aku mempercayainya.

***School of Magic***

Aku dapat merasakan sebuah sensasi dingin menjalar di seluruh tubuhku. Luka dan lebam akibat hajaran Griselle sama sekali tidak dapat kurasakan rasa sakitnya. Aku menatap dua manusia--atau bisa dibilang penyihir--yang berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan tajam.

"Kamu boleh menyakitiku, tapi jangan sekalipun sentuh teman-temanku!!" Seruku murka.

Griselle balas menatapku tidak suka. "Tch, banyak gaya!"

Gadis itu mengangkat kedua tangannya, puluhan anak panah tajam muncul di sekitarnya, ada serbuk-serbuk hijau yang berhamburan di sekitar panah tersebut.

Raut wajah Alex pun berubah. "Griselle! Jangan menggunakan jurus itu! Kau bisa membunuhnya, bodoh!"

"Biar saja!" Desisnya. "Aku paling benci orang seperti dia! Berlaku seakan-akan dapat menyelamatkan semua orang ... padahal kenyataannya ...." dapat terlihat kesedihan yang sangat mendalam saat aku menatap sepasang mata Griselle.

"Griselle, tenanglah!" Alex berjalan cepat menghampiri Griselle.

Aku tetap menatap kedua bola mata bening Griselle, begitu juga sebaliknya. Griselle balas menatap mataku.

Baru saja aku membuka mulut hendak bertanya, dia langsung menyela.

"Kalian enak, wahai White Witch!" Seru Griselle parau. "Kalian berada di posisi yang jauh lebih menguntungkan daripada kami."

Aku kembali mengatup mulutku, kemudian ragu-ragu sebelum menjawab, "apa yang terjadi pada kalian?"

"Bukan urusanmu!" Griselle membanting tangannya ke tanah. Saat itu juga, puluhan anak tanah melesat dengan cepat ke arahku.

Aku menghindarinya sekuat tenagaku. Aku menciptakan bongkahan es raksasa untuk melindungiku, kemudian memikirkan rencana yang harus kulakukan selanjutnya.

"Hei, hei ... White witch? Kau bersembunyi?" Griselle muncul begitu saja dari balik bongkahan es dengan tangan terkepal, siap menghantamku.

Aku menghindari pukulan Griselle dan melompat menjauh.

Griselle menatapku dengan senyum sinis, aura yang tepancar darinya sangatlah suram dan menyeramkan. Gadis itu memasukan tangannya kedalam saku yang berada di celananya dan mengeluarkan sebuah pisau lipat.

"Ayo kita bertarung, White witch."

Keringat dingin mengalir di keningku. Tanpa aba-aba, dengan cepat Griselle telah maju untuk menerkamku.

Aku segera menghindari serangan pertamanya, tapi aku sedikit terlambat. Ujung pisaunya menggores pipi kananku. Sekarang, sudah ada dua goresan di pipiku.

Griselle mengokohkan kuda-kuda, dan kembali memancarkan serangan. Tak ada yang dapat kulakukan kecuali menghindar. Aku tidak dapat melukai siapapun, apalagi membunuh. Miss Rosseline pernah bilang padaku, bahwa kekuatan yang kumiliki ini adalah sebuah anugerah, dan hanya dipakai untuk kebaikan.

Dan aku tidak ingin mengingkari perkataan itu.

Terbesit sebuah rencana di otakku, suatu rencana gila yang nekat, dan tentu saja aku harus melakukannya. Tidak ada pilihan lain.

Aku sengaja memperlambat gerakan refleksku, membiarkan tajamnya pisau menembus kulit tanganku.

Aku terjatuh, tanganku mengalirkan banyak darah, membuat baju yang ku kenakan memerah.

"Hah, dasar lemah!" Griselle melangkah mendekatiku dengan rasa meremehkan.

Tahan,

"Siapa yang berkata akan menyelamatkan teman, hah? Kau tidak lebih dari sekedar sampah pembual."

Tahan,

"Tenang saja, aku akan segera mengirimmu ke surga, bertemu dengan banyak temanmu disana."

Tahan sebentar lagi,

Jarakku dengan Griselle semakin mendekat.

"Dan sekarang, selamat tinggal, White witch!" Griselle mengangkat pisaunya tinggi-tinggi.

Sekarang!!

Aku menyentuh tanah dengan tanganku, membuat tanah membeku, membekukan apa saja yang berada di sekitarku. Es terus menjalar membekukan kaki, hingga lengan Griselle, membuat tangan yang menggenggam pisau terlepas begitu saja.

"A, akh! Terkutuklah kau!!" Bentaknya.

Aku beranjak berdiri dengan tidak peduli. Tapi sungguh, rasa ngilu menjalar di tanganku yang masih bersimbah darah.

Aku berdiri tertatih-tatih, sedikit pusing akibat kelelahan dan tanganku ini. Jadi, aku menatap Griselle dengan tatapan sayu.

Yang hanya terbesit di benakku hanyalah, "maaf, tapi mengapa kau tidak menyerahkan diri ke polisi saja? Itu lebih baik daripada harus melukai orang lain."

"Kau bercanda?!" Desis Griselle. "Lebih baik aku mati daripada harus menyerahkan diri. Aku tidak bisa!"

Aku merasakan emosi antara bingung dan kesal, juga pusing. Jadi kuputuskan untuk menakut-nakutinya. "Oh ya? Kalau begitu kubiarkan saja kau membeku seperti itu. Paling, tidak lama lagi pembuluh darahmu akan pecah akibat suhu yang terlalu dingin, dan itu dapat membunuhmu secara perlahan."

Terlintas di wajahnya rasa khawatir. Sejenak aku merasa menang, sebelum akhirnya rasa itu runtuh saat melihat seringaian licik di wajah Griselle.

"Mungkin saja." Katanya enteng. "Tapi, itu kalau kau dapat hidup lebih lama lagi."

Dapat kudengar jeritan Yura yang ternyata masih sadar. "Kena!!! Awas di belakangmu!!!!"

Aku menoleh ke belakang. Astaga, demi apapun di dunia ini, aku melupakan sesuatu yang penting.

Alex, tiga puluh senti diatasku, menghunuskan belati ke arahku, siap menerkamku bahkan mungkin sebelum aku dapat menghindar.

Aku memejamkan mata dan berpikir, apakah ini akhir dari hidupku yang menyedihkan ini?

Tapi selama sepuluh detik aku tidak dapat merasakan apapun selain rasa ngilu di tanganku. Aneh.

Dengan sisa nyali yang kupunya, aku membuka mataku dan jantungku hampir saja lompat dari tempatnya.

Sena, berdiri di sana, menangkis belati Alex dengan pedang miliknya.

Dia menyelamatkanku.

Sena menatap datar ke arahku. "Kamu baik-baik saja?" Tentu saja dia berkata dengan nada datarnya, tapi aku dapat merasakan sedikit rasa khawatir dari nadanya berbicara.

"Sialan!" Baru saja Alex akan mengaktifkan kekuatannya, tangan Alex segera dikunci pergerakannya oleh Juliet, oh Juliet, si patner Yura!

Tangan kanan Juliet mengunci pergerakan Alex, sedangkan jari di tangan kirinya membentuk huruf "V" dengan petir biru di sekitar jarinya. Dia mendekatkan jarinya itu ke leher Alex.

"Sekali kau bergerak, maka kamu akan merasakan sengatan listrik sebesar jutaan Volt!"

Alex bergidik ngeri.

"Kalian sudah gila." Seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berambut hitam dengan kedua bola mata saling berbeda warna turun dari seekor burung raksasa. "Untung saja kalian mendarat dengan selamat, orang bodoh mana yang terjun begitu saja dari ketinggian lima ratus meter?!"

Sena dan Juliet serentak menatap tajam pria itu dengan tatapan mengintimidasi. Diam. Begitulah arti dari tatapan mereka.

Pria itu menatapku dan Griselle bergantian. "Wah, kau yang membekukan si Dark witch ini? Lumayan juga." Lalu tatapannya tertumbu ke lengan kiriku. "Wow, luka di tanganmu itu cukup serius, bung. Apa yang terjadi?"

Ingin sekali rasanya aku menjawab, banyak hal, dan kalian datang sedikit terlambat! Tapi sayangnya aku tidak memiliki cukup tenaga untuk bicara, berdiri pun tidak. Aku hanya melirik lemah Yura dan Lizzy yang masih terikat dengan tali tambang perak.

Aku begitu mengantuk dan lelah, hingga suara di sekitarku menjadi samar, dan hal terakhir yang dapat kuingat adalah wajah Sena yang menatapku dengan raut wajah khawatir.

Dan itu pertama kalinya aku melihat raut wajahnya selain datar.

To be Continue ...

Published 06-09-18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro