Path-14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Wah, wah, wah ..." Griselle menatap kami bagaikan menatap kuman pengganggu. "Sepertinya ada yang ngin menjadi pahlawan kesiangan disini."

Aku maju, melangkah mendekat. "Maaf, tapi kami tidak bermaksud menjadi pahlawan."

"Kami tidak kuat, juga sangat lemah."

Mataku mengkilat, tanpa sadar, rasanya seluruh tubuhku menggigil, menahan seluruh rasa dingin yang mulai menjalar.

"Tapi, kami tidak akan pernah meninggalkan teman kami."

Aku melayangkan sebuah pukulan terlebih dahulu, tapi dengan mudahnya dihindari oleh gadis bernama Griselle itu.

"Tch, dasar amatir." Griselle membalasku dengan sebuah tendangan dari sikut kakinya, tepat menghantam perutku.

Aku terbatuk, kemudian jatuh tersungkur. Sakit sekali rasanya. Tapi, aku yakin ini tidak sesakit apa yang Lizzy rasakan.

Aku mencoba berdiri, lututku gemetaran, kakiku hampir tidak kuat menopang tubuhku. Aku tidak pernah ikut bela diri, dan aku juga tidak pernah terlibat perkelahian. Ini kali pertamanya aku merasakan tendangan langsung dari seseorang, dan ku akui, ini menyakitkan.

Yura berdiri lumayan jauh dariku, dia berhadapan dengan rekan Griselle, Alex.

Posisi Yura sangat tidak di untungkan. Selain karena kekuatan Telekinesis milik Alex, Yura juga tidak terlalu pandai pertarungan jarak dekat, sama sepertiku.

Aku juga harus berhati-hati dengan kekuatan Griselle.

Aku tidak tahu apa kekuatan Griselle, tapi mungkin kekuatannya itu bersangkut pautkan dengan panah.

"Kenapa diam, wahai White Witch?" Ujung bibir Griselle tertarik ke atas, tersenyum meremehkan. "Apa semua White Witch lemah seperti ini? Ah, kalau begitu baguslah. Akan lebih mudah untuk Dark Witch menguasai dimensi sihir."

Kakiku masih gemetaran, saat ini aku benar-benar takut. Tapi, aku harus tetap tenang. Xia-xia, Yumi, dan Fance sudah pergi kembali ke sekolah, pasti sebentar lagi bantuan akan datang. Jadi, yang harus kulakukan saat ini hanyalah menunggu. Dan aku harus memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat mengulur waktu sampai bala bantuan tiba.

Dengan sisa nyali yang kupunya, aku membuka mulutku. "Ke, kenapa kalian begitu jahat pada kami? Apa sebenarnya salah White witch? Dan untuk apa tujuan kalian menguasai dimensi sihir?!"

Sesaat, raut wajah Griselle berubah drastis. Terdapat kesedihan yang amat dalam dari raut wajahnya. "Kenapa kau bilang?" Griselle tersenyum getir. "Kenapa? Aku juga tidak tahu."

Aku tersentak pelan, napasku nyaris berhenti. Aku menggepalkan kuat-kuat kedua tanganku. Aku menunduk, menatap kosong tanah yang kupijak. Jika dia bahkan tidak tahu apa tujuannya melakukan itu, lalu untuk apa ...

"Lalu untuk apa kalian melakukan semua ini?!"

Aku menoleh cepat ke arah Yura yang bahkan sudah babak belur karena dihajar Alex. Banyak lebam di pipi dan tangan serta kakinya. Aku meringis pelan, menahan iba.

Yura menatap geram ke arah Alex dan Griselle. "Untuk apa kalian melakukan semua ini?! Apa untungnya bagi kalian hah?!" Mata Yura berkaca-kaca, sekumpulan air bening mengumpul di pelupuk matanya, siap jatuh kapan saja dengan satu kedipan lembut.

Griselle membuang muka, begitu pun Alex. "Kalian tidak mengerti ..."

Tanpa aba-aba, dengan cepat Griselle meloncat cepat ke arahku sembari mencoba menebasku dengan panah tajam di tangannya.

Aku refleks mundur beberapa langkah ke belakang secepat yang kubisa. Tapi akibatnya, aku kehilangan keseimbangan tubuh dan membuatku terjatuh ke tanah. Dan untungnya, karena itu tebasan Griselle meleset dan aku selamat dari maut untuk beberapa saat.

Aku mencoba segera berdiri, untuk menghindari serangan Griselle yang selanjutnya. Sialnya, gerakan Griselle sungguh cepat. Bagaikan silat, mata anak panah Griselle tertuju tepat di depan mataku, siap menebasku kapan saja.

Keringat dingin mengalir di keningku.

"Kena!" Yura menatapku dengan sedikit panik.

Alex melayangkan sebuah pukulan cepat, dan untungnya dapat dihindari oleh Yura.

Aku menatap mata tajam Griselle. Mata ungu yang begitu bening, mata yang terlalu indah untuk seorang yang berperan jahat.

"Biarkan aku bertanya sekali lagi, mengapa kalian melakukan ini?" Kata-kata itu terucap begitu saja dari mulutku tanpa perintah.

"Sudah kubilang, aku tidak tahu!" Griselle mendekatkan ujung anak panah ke leherku.

"Lalu, untuk apa kalian melakukan hal ini?"

Griselle membuang mukanya, lalu tertawa getir. "Memang kenapa? Tentu saja untuk bersenang-senang."

Kata-kata itu bagaikan ujung pedang panjang yang menusukku tanpa ampun.

Tubuhku mengeras, aku menggeram menahan amarah. Aku membuang wajahku, tapi tatapanku justru tertumbuk pada tubuh tersungkur Lizzy yang telah terikat oleh tali.

Aku marah.

Sangat marah.

Tanganku terkepal, aura dingin menyelimuti tubuhku. Aku menatap Griselle dengan tatapan membunuh.

"Kalau begitu, biar ku ajarkan bagaimana rasanya rasa sakit."

Dengan cepat, aku menepis tangan Griselle, membuat anak panah yang di genggamnya terlepas begitu saja. Aku berdiri hendak melayangkan sebuah pukulan, tapi berhasil di tepis oleh Griselle.

"A, apa-apaan kau?! Tiba-tiba saja kau jadi secepat ini?!!"

Aku kembali melayangkan sebuah pukulan, dan berhasil di tepis kembali oleh Griselle. Tapi tak ku beri celah, aku segera mengangkat kakiku tinggi-tinggi, dan menghadiahkan Griselle dengan sebuah tendangan maut.

Aku juga tidak tahu bagaimana caranya aku dapat bergerak secepat ini, mungkin ini adalah sebuah keajaiban?

Sayangnya, tendanganku gagal. Griselle dapat menghindarinya dengan cekatan. Kemudian, dia membalasku dengan tendangan di kepala dan betisku.

Aku jatuh tersungkur untuk kedua kalinya, terbatuk-batuk. Ternyata, secepat apapun gerakanku, Griselle masih lebih cepat dan kuat.

"Akh!"

Aku menoleh lemah kearah sumber suara. Beberapa meter dari tempatku, Yura terduduk dengan tubuh terikat dan lebam biru di pipinya.

Napasku hampir saja berhenti.

"Dua tertangkap, tinggal satu lagi." Alex berjalan dengan tenang mendekatiku dan Griselle. "Aku tak menyangka kamu sedari tadi tidak bisa mengalahkan anak ini."

"Hey, hey! Dia tidak selemah itu! Hati-hati ..." sanggah Griselle.

"Aku tahu." Alex mendekatiku, dan menatapku dengan tatapan memuakan. "Dasar lemah, yang lemah harusnya mati saja."

Pria itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan bersiap melemparkan sebuah batu raksasa dengan kekuatannya padaku.

Aku lemah?

Lemah harusnya mati saya...

Lalu, untuk apa yang lemah terlahir di dunia ini?

Tidak, itu tidak benar!

Selaput es menyelimuti tanganku. Tanpa kusadari, bola mataku mengeluarkan cahaya tipis. Bibirku membiru, menahan dingin. Tanah yang kupijaki membeku hingga radius kilometer. Aku menatap kedua orang di hadapanku.

Aku mengangkat tanganku, dan dengan mudahnya menyentuh batu yang baru saja akan menimpaku. Batu tersebut membeku, lalu terpecah menjadi serpihan es.

Sekali lagi aku menatap Griselle dan Alex bergantian.

"Lemah bukan berarti kalah, yang kalah adalah yang tidak mau berusaha. Biarkan aku mengajarkan hal itu pada kalian."

To Be Continue ....

Published 31-08-18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro