Path-17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit tampak begitu memancarkan kebahagiaan. Langit biru cerah tanpa awan yang dilalu-lalang oleh para penyihir yang menaiki sapu terbang, terlihat mengejutkan memang, mengingat yang selama ini sapu kugunakan hanya untuk menyapu dan membersihkan lantai.

Derap langkah kaki bergema di sepanjang koridor yang dihiasi berbagai macam ukiran yang tidak kuketahui. Aku berbelok, keluar dari koridor dan melewati jalan setapak taman sekolah baruku ini, begitu juga dengan orang yang mengikutiku dari tadi.

Aku memperlambat langkah kakiku, membiarkan Sena mensejajarkan langkahnya denganku. Bagaimanapun, jika dipikir-pikir, Sena tidak memiliki salah apapun, sih. Aku jadi merasa bersalah telah bersikap kasar padanya, padahal dia sudah menemaniku tiga hari terakhir saat aku tidak sadarkan diri.

"Maaf," gumamku pelan.

Sena menoleh, menatapku dengan wajahnya yang sedatar papan tripleks. "Untuk apa?"

"Eh .. ehm .." aku mengelus tengkukku. "Karena sudah bersikap kasar padamu ..?"

Ku pikir dia akan menjawab hal-hal seperti 'tidak apa-apa, ini sudah menjadi tugasku sebagai patnermu' atau 'sudah sepantasnya aku menjagamu, karena kamu adalah patnerku yang merepotkan.' Tapi sepertinya aku keliru.

Sena hanya menatapku sesaat, kemudian kembali menatap lurus kedepan. "Bukan masalah, aku juga minta maaf." Jawabnya singkat.

Aku menatapnya bingung. "Untuk apa??"

"Karena tidak bisa menepati janjiku padamu."

Aku berhenti melangkah, menatap Sena dengan tatapan tidak mengerti. "Janji? Janji apa?"

Sena ikut menghentikan langkahnya, menatapku dengan tatapan datar khasnya. "Kamu tidak ingat?"

"Tentang?"

Sena mengacak pelan rambutnya dengan tangan kanannya. "Jadi ... berita itu benar?"

Aku memiringkan kecil kepalaku. "Berita?"

Sena menatapku datar, sedatar papan tripleks. Tapi entah mengapa, aku dapat melihat sedikit kekecewaan dari caranya menatapku. Dia memutar balikkan tubuhnya, kemudian lanjut berjalan, meninggalkanku yang dilanda kebingungan.

"Eh, Sena! Tunggu, mau kemana kamu?!"

"Mengantarmu ke asrama."

"Tu, tunggu aku!" Aku berlari kecil, mencoba mensejajarkan langkahku dengannya. "Sena, apa maksudmu soal berita? Soal janji??"

Sena terdiam, tidak meresponku.

Aku baru saja hendak memprotes karena dia bersikap tidak sopan, jika saja tidak terdengar suara seseorang yang begitu familiar di telingaku.

"Kenaaa!!"

Yura dan Lizzy memelukku bahkan sebelum aku menyadarinya. "Syukurlah kau sudah siuman. Aku khawatir sekali!" Yura mengeratkan pelukannya padaku.

Lizzy menepuk bahuku. "Ah, aku hampir saja mengira bahwa hidupku akan berakhir." Gadis itu tertawa renyah.

Aku terkekeh pelan, melepas pelukan mereka. "Tenang saja, aku sehat."

"Wah ini dia seorang pahlawan kecil kita .."

Seorang pria bersurai biru kelam dengan bola mata berwarna merah di sebelah kanannya dan biru di sebelah kirinya berjalan dengan santai dari belakang Yura, diikuti dengan gadis bersurai cokelat yang penampilannya begitu menawan, Juliet.

Aku menatap bingung, siapa?

"Ah, perkenalkan, namaku Hide. Aku yang kemarin mengantar dua bocah ini untuk menyelamatkanmu dan dua temanmu itu. Ku harap kau tidak melupakanku." Ujar lelaki itu dengan senyum lebar.

Ah, sekarang aku ingat. Kalau tidak salah aku melihatnya disaat detik-detik terakhir sebelum aku jatuh pingsan.

"Te, terima kasih telah menolongku, Hide dan ehm ... Juliet." Aku menunduk kecil.

Juliet tersenyum--senyum pertamanya yang aku lihat selama ini--kemudian menggeleng pelan. "Bukan masalah besar."

Aku tersenyum tipis, baru saja hendak membalas perkataannya, jika saja suara lonceng keras dan nyaring yang hampir saja membuat telinga tuli tidak berbunyi. "Bu, bunyi apa itu?"

"Lonceng, menandakan kita harus berkumpul di aula secepanya." Jawab Hide. "Ayo, kita pergi bersama."

Semua tidak ada yang merasa keberatan, jadi kami segera jalan bersama menuju aula sekolah.

Sena mensejajarkan langkahnya denganku. "Kamu tidak berterima kasih padaku?"

Aku menatap Sena tidak mengerti "Untuk?"

Sena terdiam, "lupakan."

Aku sebenarnya penasaran apa maksud perkataan Sena, tapi aku malas melanjutkan dan akhirnya hanya mengendikkan bahu tidak peduli.

***

Kami semua berkumpul di sebuah aula besar yang mewah, dilengkapi dengan kursi yang dilapisi kain tebal dan menghadap ke sebuah panggung besar, membuat siapapun merasa nyaman dan betah berada di dalam sini. Kami duduk di barisan terdepan, agar dapat mendengar apa yang akan disampaikan dengan sejelas mungkin.

"Aulanya lebih mewah dibandingkan aula sekolah kita yang dulu ya, Kena?" Bisik Yura pelan.

Aku tertawa pelan, kemudian mengangguk setuju.

Seorang lelaki dengan wajah yang menawan, dan memiliki garis-garis tegas di wajahnya, membuat penampilannya tampak berwibawa, terlebih jubah yang di cantolkan di penjepit seragamnya membuatnya tampak lebih gagah.

Lelaki itu memakai dasi berwarna hitam dengan lambang pedang.

Aku mendekat ke arah Juliet yang duduk di samping kiriku. "Dia siapa? Dia memakai seragam yang sama dengan kita, tapi dia memakai jubah dan dasi hitam. Dia murid disini, bukan?"

Juliet menatapku sembari mengerutkan dahi. "Kamu tidak mengenalnya?"

Aku menggeleng, membuat Juliet menghembuskan napas. "Sena tidak memberi tahuku." Dan, ya, dia patner tidak berguna. Sungguh. Mungkin sedikit.

Juliet sekali lagi menghela napas pelan. "Di, dia ... maksudku, namanya adalah Romeo. Dia ketua dewan di sekolah ini." Aku berani bersumpah wajah Juliet tersipu tipis saat mengatakan hal itu.

Tapi aku hanya ber-oh ria. "Dewan, ya?"

"Dewan disini mungkin sama dengan pangkat osis di dunia manusia." Bisik Yura di sebelah kananku.

Aku mengangguk paham. "Lalu, jika Romeo ketuanya, siapa wakilnya?"

"Itu ..." Yura dan Juliet tatap-tatapan.

Aku penasaran, baru saja hendak mendesak mereka, tapi dipotong oleh suara lantang dari speaker.

"Selamat pagi, teman-temanku yang berbahagia." Romeo mengucapkan salam pembuka dengan nada yang sangat memikat. Dapat kusimpulkan mungkin saja dia sudah sering berlatih dan berbicara di depan orang banyak seperti ini. "Aku, Romeo, ketua dewan bersama wakilku, akan menyampaikan beberapa pengumuman penting terkait peristiwa beberapa hari silam."

Mataku membulat sempurna, sesekali mengusap mataku. Pingsan selama tiga hari tidak membuat penglihatanku rusak 'kan?! Bagaimana mungkin, wakil ketua dewan adalah ...

"Aku Sena, wakil ketua dewan."

Lihatlah, Sena berdiri di samping Romeo diatas panggung. Dia bahkan tidak mengucapkan salam pembuka seperti halnya Romeo, dan mengakhiri perkenalannya dengan singkat dan cepat. Apa dia takut suaranya habis karena terlalu banyak berbicara? Aneh sekali.

"Baiklah, langsung saja ke pengumumannya," Romeo mendekatkan mic ke mulutnya. "Kalian pasti sudah mendengar berita tentang tiga orang siswi sekolah ini yang bertemu dengan anggota black witch saat menjalankan misi, bukan?"

Jantungku nyaris berhenti. Apakah jangan-jangan yang dia maksud itu aku, Yura, dan Lizzy??

"Asal kalian tahu, kalian jadi sangat terkenal setelah kejadian itu. Kalian sudah seperti selebritis." Ujar Juliet sambil tersenyum miring, membuatku menatapnya tidak mengerti. "Aku hanya bercanda," lanjutnya.

Oke, tapi tadi nadanya sama sekali tidak seperti bercanda. Dan dugaanku benar, aku dapat merasakan ratusan pasang mata sedang menatapku.

Romeo lanjut berbicara. "Pasukan black witch sudah mulai bergerak, dan mungkin dalam waktu dekat, mungkin saja mereka akan melakukan penyerangan. Tanpa sepengetahuan kita, mereka sudah mengibarkan bendera peperangan."

Perang? Aku menggigit bibir bawahku. Aku saja melawan Griselle kalah telak, dan hampir terbunuh jika saja Sena tidak menghentikan Alex yang hendak menikamku dari belakang.

"Jadi, kalian harus ekstra hati-hati." Romeo menatap tajam ratusan pasang mata yang sedang menatapnya. "Bisa saja ada seorang pengkhianat disini, berbaur dengan kita, dan bisa saja itu adalah teman kalian sendiri." Wajah pria itu tampak lebih serius. "Jadi, kami mohon untuk para white blood untuk maju kedepan panggung."

White blood? Sebutan apalagi itu?

Juliet mendorong pelan bahuku. "Maju, sana."

"Eh?"

"Ayo, Kena. Kita maju." Yura menarik tanganku.

"Hah? Kenapa aku harus maju?"

"Kamu white blood 'kan?" Yura mengangkat sebelah alisnya. "Jangan bilang kamu tidak tahu?"

Aku menggeleng pelan.

"Aish, jika saja aku tidak dapat melihat aura seseorang, mungkin saja aku tidak akan pernah tahu kamu berada di garis keturunan mana." Yura berdecak-decak sembari menggeleng pelan. "Ayo, kujelaskan nanti."

Aku ikut Yura naik ke atas panggung dengan perasaan bingung. Aku? Aura? Garis keturunan? White blood? Apa sih maksudnya??

Aku dan Yura sudah berada di atas panggung, berserta 2 orang lelaki dan 1 orang perempuan.

Sena dan Romeo ikut berbaris di samping kami ber lima.

"Ya, inilah kami, pasukan dewan baru yang akan berada di garis terdepan." Sahut Romeo dengan penuh percaya diri.

Tunggu, kami?

Jantungku nyaris berhenti.

Dan disaat itu pula, aku merasa mata sebelah kiriku terasa berdenyut-denyut

Saat itu aku mengabaikannya, aku menganggapnya sepele, mengira itu hanyalah efek karena terlalu lama jatuh pingsan.

Tapi ternyata, itu adalah suatu pertanda yang akan merubah hidupku kelak.

To be continue ...


Magic Cafe

Corner ini Vara buat biar kalian bisa ngerti sebagian besar setting cerita atau penambahan profil karakter ya!

Untuk minggu ini, Corner berisi tentang bio Hide dulu ya!

HIDE

ABILITY : -POWER 1 (ANIMA)
-INTELEGENT : 9/10
-DEFENSE : 7/10
-ATTACK : 9/10
-REFLECT : 10/10
-STAMINA : 9/10

BLOOD : BLUE BLOOD

FUN FACT :

-Orangnya cool-cool friendly gimana gitu :v
-Anima adalah kekuatan mengendalikan hewan, dan juga bisa berbicara dengan hewan.
-Punya peliharaan di kamarnya, burung hantu putih bernama Ciel.
-Kalo lagi baik ya baik, kalo lagi bertarung, paling serius.
-Hobinya bikin Sena kesel, tapi sekaligus sahabatnya Sena.

A/N Vara dapet nama Hide dari karakter favorit Vara di anime TG >_<
Abisnya bingung mau kasih nama siapa, mumpung kayaknya cocok gitu kan XD

See you next path~♡

Published 20-09-18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro