Path-23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menatap buku tebal bersampul hijau yang membisu di atas mejaku. Buku yang tebalnya mungkin melebihi buku telepon itu tampak begitu usang, dan mungkin dapat menimbulkan dampak stres bagi siapapun yang membuka dan mencoba membacanya. Eh? Aku tidak berlebihan, kok. Aku serius. Dan jika kalian bertanya darimana aku mengetahuinya, jawabannya sederhana. Karena aku sendiri sedang mengalaminya.

"Baiklah, para penyihir, buka buku kalian halaman 678! Coba hapalkan bahan-bahan dan proses pembuatannya. Alat-alat untuk meracik ramuannya dapat kalian pinjam di laboratorium. Oh, jika kalian sudah hapal bahan-bahannya, kalian dapat mencari bahan-bahan tersebut dapat kalian cari di taman belakang asrama utara." Mister Yoze memberikan intruksi tanpa memikirkan wajah tidak mengerti para muridnya. Kemudian ia melanjutkan, "berikan padaku ramuan itu paling lambat besok, siapapun yang berhasil menyelesaikan tugas itu kalian akan kuberikan kesempatan untuk ujian kenaikan tingkat lebih cepat daripada yang lain."

Tepat setelah Mister Yoze mengatakan hal itu, seisi kelas langsung berteriak heboh.

"EH? Se, serius?!"

"I, ini kesempatan emas!!"

"Wah, aku harus bisa menyelesaikan ramuan ini!!"

Aku hanya termangut-mangut, mengabaikan suara bising di sekitarku. Mataku menyapu satu halaman 678 yang dimaksud. Aku segera mencatat bahan-bahan yang dibutuhkan, dan menghapalkan langkah-langkah cara pembuatan ramuan tersebut. Aku menyeringai kecil, ini sangat mirip seperti dongeng. Maksudku, lihatlah, di halaman ini tertulis langkah-langkah cara pembuatan Invisible Potion. Efeknya, siapapun yang meminum ramuan itu dapat menghilang selama lima menit. Oh, dan di halaman sebelahnya, ada cara membuat Health Potion, ada juga Fly Potion, dan masih banyak lagi.

Aku membaca buku tersebut dengan penuh minat, padahal awalnya aku melihatnya saja sudah membuatku mual, ternyata isinya tidak jauh berbeda dari buku dongeng yang sering kubaca dulu.

"Whoah, bahan utamanya Invisible leaf?" Travis berguman pelan sembari menggaruk kepalanya. "Pantas saja dikumpulkannya besok."

Aku menoleh ke arah Travis, kemudian mengernyit bingung. "Memangnya kenapa? Bahannya langka? Susah diperoleh? Atau apa?"

Travis menghela napas pelan. "Dibilang langka sih tidak, tapi mencarinya itu yang rumit." Lelaki itu mengacak pelan rambutnya. "Invisible leaf, sesuai namanya, daun itu tidak terlihat dan hanya dapat kita temukan di pohon tertentu yang tumbuh di taman belakang sekolah."

Aku mendesah sebal. "Jadi maksudmu mustahil, begitu?"

"Bukannya mustahil, sih." Travis mencatat bahan-bahan yang diperlukan di buku catatannya. "Akan lebih mudah, jika kita meminta bantuan dengan seorang pemilik kekuatan invisible."

"Kau punya kenalan seorang invisible?" Tanyaku.

"Punya, sih." Travis berguman pelan. "Tapi, untuk meminta bantuannya, dia agak merepotkan. Jadi, menurutku, lebih baik kita mencoba mencari daun itu tanpa bantuannya dulu." Ujar Travis, dari mimik wajahnya, aku tahu dia sedang menutupi sesuatu.

Aku berdiri sembari menggulung kertas berisi catatan bahan-bahan yang diperlukan. "Yasudah kalau begitu, ayo. Aku tidak mau pulang ke asrama terlalu larut dan melewati jam makan malam." Aku berkata tanpa beban.

Travis tertawa, kemudian mengangguk.

***

Aku mendesis kesal, kemudian dengan kasar menendang dahan kering yang menghalangi jalanku. Kenapa banyak sekali tanaman menjalar, dahan berserakan, dan tanaman berduri dan liar yang tumbuh di Taman belakang sekolah? Daripada Taman, lebih tepat jika disebut Hutan.

"Aduh," keluhku sembari mengusap kepalaku yang tertimpa sesuatu yang keras--sepertinya buah--dari atas pohon. "Ck, menyebalkan sekali."

Travis tertawa pelan. "Sejak kita tiba disini tadi, kau tidak henti-hentinya marah-marah. Sebegitu tidak sukanya kah kamu dengan Hutan?"

"Bukannya tidak suka," aku bersungut-sungut menahan kesal. "Tapi hanya sedikit merepotkan." Lanjutku.

"Sedikit?"

Buah liar lagi-lagi menimpa kepalaku, membuatku meringis dan berdecak-decak kesal. "Kutarik lagi perkataanku, bukan sedikit, tapi sungguh merepotkan."

Travis lagi-lagi tertawa, membuatku merasa sedikit sebal.

"Ngomong-ngomong," ucapku sembari melewati batang pohon besar berwarna merah muda yang melewati jalan. "Banyak sekali tanaman-tanaman aneh disini."

"Aneh?" Tanya Travis.

"Iya, aneh." Ulangku. "Dulu di dunia yang pernah aku tinggali, pohon itu dominan batangnya berwarna cokelat, ada juga 'sih yang putih dan hijau, tapi lebih banyak cokelat. Lalu daunnya berwarna hijau, kalau sudah kering nanti akan berubah menjadi kecokelatan." Jelasku sejelas mungkin.

Travis termangu beberapa saat, kemudian menjentikan jarinya. "Oh, sepertinya aku pernah melihat apa yang kau maksud itu .. dimana ya, di ... oh! Di dunia Manusia bukan?"

Aku mengangguk. "Kamu pernah ke dunia Manusia?"

"Tentu saja pernah, aku pernah tinggal dua tahun disana. Dan sungguh, dua tahun disana itu sangat melelahkan." Travis memulai ocehannya. "Disana teknologinya belum begitu maju, tapi pelajarannya banyak sekali. Maksudku, disana bahkan ada ratusan negara, bukan? Ada ribuan bahasa. Satu negara saja bahasanya banyak sekali, dan itu membuatku pusing." Cibirnya.

Aku tertawa. Lalu, apa aku yang bisa menguasai dua bahasa dunia Manusia ini bisa dibilang jenius?

"Aku tidak mengerti," guman Travis. "Dunia Manusia luas sekali, manusia yang tinggal dan menetap disana lebih banyak dari manusia disini. Mungkin sekitar 20 : 1,"

Aku mengangguk-angguk tanda mengerti. "Jika disini banyak pohon-pohon ajaib, ada pohon apa saja?" Tanyaku penasaran.

Travis melihat sekitar, "pohon mana yang ingin kau ketahui lebih dulu?"

Mataku menelusuri pepohonan yang ada di sekitarku. "Pohon yang berwarna merah itu, itu pohon apa?"

"Itu pohon Red dust, bubuk yang dihasilkan dari dalam buah pohon tersebut dapat dijadikan material untuk membuat ramuan Fire potion."

"Kalau yang warna merah muda itu?" Aku menunjuk pohon yang mirip dengan pohon sakura di dunia manusia. Daunnya berwarna merah muda, hanya saja batangnya menyerupai bentuk hati.

"Itu pohon Celestial, katanya kalau kau berdiri di bawah pohon itu bersama seseorang, maka kamu akan dapat merasakan kehadirannya." Jelas Travis.

Aku ber oh-ria. Mataku tertumbuk pada sebuah pohon besar dan tinggi tanpa daun. "Lalu pohon yang itu apa? Kenapa tidak memiliki daun?" Tanyaku sembari menunjuk pohon yang kumaksud.

"Kalau itu," Travis menyeringai lebar. "Pohon yang kita cari. Ayo, sepertinya kita orang pertama yang menemukan pohon itu." Travis kemudian berlari menuju pohon besar itu.

Aku mengikuti dari belakang. Sesampainya disana, aku hanya melongo seperti orang bodoh, menatap pohon yang rantingnya sangat tinggi--bahkan lebih tinggi dari bangunan sekolah. "Aku tahu daunnya tidak terlihat--dan pasti daunnya tumbuh di antara ranting pohon itu 'kan?" Tanyaku dan disambut anggukan kepala Travis. "Tapi, bagaimana cara kita mengambilnya? Pakai sapu terbang?"

"Tentu saja tidak." Travis merenggangkan tangannya. "Kalau pakai sapu terbang, kita mengambil asal daunnya karena tidak terlihat. Bagaimana jika kita mengambil daun yang masih muda? Sedangkan yang kita butuhkan adalah Invisible leaf yang sudah tua dan mengering."

"Lalu bagaimana?"

"Ya, kita cari di sekitar tanah saja." Jawab Travis santai. "Invisible leaf  yang sudah menua dan mengering biasanya akan gugur dan berjatuhan. Kita tinggal cari saja di sekitar pohon itu. Mudah, kan"

Aku mendesis pelan. "Merepotkan sekali."

Travis tertawa. "Ayo mulai mencari, kita membutuhkan sepuluh invisible leaf, belum lagi kita juga harus mencari bahan-bahan lainnya seperti white grass dan sebagainya."

Aku hanya menghela napas pelan dan mulai mencari.

***

Aku meraba-raba tanah yang kosong, berharap tanganku merapa sesuatu yang mengganjal. Sudah dua jam aku mencari dan baru menemukan tiga invisible leaf. Sedangkan, Travis sudah menemukan sepuluh. Baru saja tadi dia pergi ingin mencari material lain, aku mengiyakan karena dia berjanji mencarikan bagianku juga.

Aku menghela napas panjang, tanpa menghentikan pergerakan tanganku. Angin kesiur semakin tinggi membuat rambutku yang sudah kutata rapi terurai kemana-mana. Sesuatu yang tidak terlihat menerpa wajahku, membuatku mengaduh tertahan. "Aduh,"

"Hup," sebuah tangan mengambil sesuatu tidak terlihat itu dari wajahku. "Kadang memang menyebalkan sih jika invisible leaf  berserserakan kemana-mana. Apalagi sekarang sedang musim gugur, banyak sekali daun itu yang berjatuhan di sekitar sini."

"Eh?" Aku mengusap mataku, tadi aku yakin melihat sebuah tangan dan ada seseorang di dekatku, dan aku juga yakin mendengar sebuah suara. Tapi, kenapa aku tidak melihat siapapun? "Si, siapa ..?"

"Oh, maaf." Seorang gadis dengan rambut cerah berwarna oranye pendek dengan wajah yang begitu bersahabat tiba-tiba saja muncul di hadapanku. "Tadi kulihat ada invisible leaf di wajahmu, makanya aku ambil. Tapi, tanpa sadar aku malah mengaktifkan kekuatanku, hehe."

"Tu, tunggu. Kau bilang invisible leaf?" Ulangku, meyakinkan bahwa pendengaranku tidak salah. Gadis itu mengangguk. "Di, dimana? Aku sedang mencari invisible leaf untuk membuat invisible potion." Sahutku penuh semangat.

"Invisible potion? Kamu dari kelas Alchemis ya? Aku juga punya teman yang ada disana. Dia bilang ada tugas untuk membuat Invisible potion." Gadis itu tersenyum lebar. "Oh, sebelum itu perkenalkan, aku Chaerin dari kelas Amature B. Salam kenal!" Gadis yang bernama Chaerin itu menjulurkan tangannya kepadaku.

Aku menerima jabatan tangannya dengan sedikit kikuk. "Aku Kena dari kelas Alchemis A, salam kenal juga."

"Kelas A?" Tanya Chaerin dengan mata berbinar. "Apa kau mengenal Travis?"

Aku mengangguk pelan. "Kamu mengenalnya?"

"Tentu saja!" Jawabnya penuh semangat. "Dia bagaimana jika di kelas? Apakah dia nakal? Atau justru dia sangat pendiam? Oh, maaf, kamu pasti sedang sibuk mencari invisible leaf, ya? Sini, biar kubantu. Nanti kita mengobrol lagi, ya!"

Aku mengangguk gugup. "Eh, i, iya ..."

Chaerin menghilang dari pandanganku, yang jika kutebak, dia sedang mengaktifkan kekuatannya. "Aku dapat melihat sesuatu yang tidak terlihat dengan kekuatanku, tapi samar. Tapi jika aku mengaktifkan kekuatanku, aku dapat menglihatnya dengan jelas. Maksudku bukan melihat hal-hal seperti hantu, ya. Hantu itu hanya khayalan para normies saja." Chaerin tertawa pelan.

"Normies?"

"Itu sebutan bagi manusia yang tidak memiliki kekuatan." Jawab Chaerin. "Ngomong-ngomong, sepertinya aku pernah mendengar namamu, Kena. Kalau tidak salah, kau sedang populer di kalangan kakak kelasmu, ya?"

Aku menaikkan sebelah alisku. "Eh, tidak kok."

"Sungguh?" Chaerin me-non aktifkan kekuatannya. "Tapi teman-temanku sering membicarakanmu. Katanya, kamu sedang dekat dengan Sena, ya?"

Tanpa kusadari, wajahku memerah. "Ti, tidak kok! Pa, pasti itu hanyalah rumor belaka!!"

Chaerin menatapku dengan tatapan menggoda. "Sungguh?"

"I, iya! Sungguh!!"

Chaerin tertawa. "Ini, sudah selesai." Chaerin menyerahkan tujuh invisible leaf padaku. "Oh iya, ngomong-ngomong Travis dimana? Dia tidak menemanimu?"

"Dia ..."

"Kena?" Suara Travis terdengar di belakangku, membuatku menoleh. "Eh, ada Chaerin juga?"

"Travis!!" Chaerin memeluk lengan kanan Travis. "Wah, keajaiban bisa bertemu kamu disini."

Aku menatap mereka sampai lupa bernapas.

Sebesit pertanyaan muncul di benakku.

Apakah aku sedang menjadi nyamuk disini?

To Be Continue ...

A/N

Magic Cafe minggu ini gaada dulu, ya. Vara lagi gaenak badan :)

See you Next Path!

Published 17-11-18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro