Di atas laut di bawah rembulan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng







aku tidak suka hal-hal plot twist yang melenceng jauh dari perkiraanku, seperti sebuah kejutan yang datang. kalian tahu, perasaan cemas, terkejut, bingung atas ketidaktahuan, aku paling benci ketika aku berada dalam fase itu. jadi sebisa mungkin aku sudah berbagai macam rencana untuk sesuatu yang akan datang, membuat linear linear cabang dari hal yang aku rencakan. seperti kata ayah, berfikir 4 sampai lima langkah kedepan, harus. aku ingat ayah selalu memberiku wejangan di sela pertempuran catur kami di pagi hari, seperti biasa ia mengendalikan catur bewarna hitam dan aku putih, ayah tiap minggu selalu bergilir menyuruh anak anaknya bermain catur pada hari minggu pagi, aku tidak tahu mengapa namun sepertinya cara seperti itulah ayah memahami anak-anaknya.

kalia tahu, dalam keadaaan tersedesak manusia akan menunjukan sifat aslinya, ayah ingin lihat hal itu dari kami, bagaimana cara kami mengatasi tekanan, bagaimana kami menyusun srategi. dahulu aku selalu menunjukan wajah frustasi ketika mentri milik ayah berderet serong dari raja putih miliku, hanya butuh tiga kali jalan ayah sudah membuatku kalah telak, selalu sama seperti itu bertahun tahun, entah bagaimana caranya ayah hanya selalu membutuhkan 3 kali kesempatan untuk membuatku skakmat. tentu saja, hal itu tidak menjadi selamanya, aku sudah mendapatkan cara untuk melawanya.

pertama adalah ekpresi, jaga mata melirik ke arah mana, jangan biarkan lawan mudah menebak rencana kita dengan gerak gerik dan ekpresi wajah, jika lawan bergerak yang akan membuat kita terdesak tampilkan wajah biasa saja, tenang, seakan tidak apa-apa. aku paham hal ini ketika suatu pagi aku sedang tidak dalam mood yang bagus, jadi aku membuat ekpresiku tenang bahkan ketika papan catur milik ayah hanya butuh satu langkah kedepan untuk membuatku kembali skakmat, mataku berusaha tidak memandang papan catur seperti bom kehancuran untuku, aku berfokus pada hal lainya dan yap, kesalahan pertama ayah yang aku dapatkan, ayah melewatkan kesempatan itu. butuh lima langkah untuk ayah kembali mengalahkanku, sebuah perkembangan.

ternyata, dalam permainan catur, ayah membawa trick psikologi di dalamnya. menebak langkah lawan, dan mengambil lima langkah kedepan. begitu caranya, terus menerus, jika lawan bergerak diluar rencana kita, mudah, kita kembali berfikir rancana baru, sigap dalam kembali bergerak memulai kembali. awasi, evaluasi, dan perbarui. begitu lah ayah mengajarkan untuku membuat srategi yang berguna untuk hidup, selalu mengambil 4-5 langkah lebih awal.

ayah tidak mudah di tebak strateginya, ekpresinya sangat tenang dan datar, arah matanya tidak tentu, seperti punya pola sendiri untuk berfikir sambil menebak nebak, kodenya rumit, seperti benang merah milik kak amelia yang sudah menjadi gumpalan bola. di tambah, strategi ayah selalu berubah ubah, sekali aku bisa menebak arah mainya, ia sadar, lalu kembali membuat rencananya. intinya, ia peka. namun setidaknya aku bisa menjaga strategiku tampa ayah bisa menebaknya, bergerak sesuka hati hanya dengan berusaha tenang dan menjaga lirikan mata.

setelah aku kembali bisa menyerang ayah, membuatnya skakmat untuk pertama kalinya, minggu depanya ayah tidak memintaku melawanya, namun melawan kak gendis.

iya, perempuan dengan segudang talenta strategi itu, aku menebak akan kalah denganya hanya dengan 9 kali langkah. namun lihat, strateginya bagus, menarik, namun kesalahanya disini, ekpresinya mudah di baca membuatku mudah sekali menebak strateginya, gerakan matanya jelas sekali, ketika aku bergerak dan itu cukup fatal untuk caturnya, ia mulai mengigiti kukunya, hal itu jadi membuatku berfikir, seperti ia baru saja memberi tahuku bagaimana cara membunuhnya. rupanya alasan ia selalu bisa bertahan bermain catur dengan ayah addalah adu strategi, berbeda dengan permainan caturku dengan ayah yang lebih ke pembelajaran cara menyusun rencana mengunakan trick psikologi.

permainan catur miliku dan kak gendhis berakhir karena sudah menunjukan waktu makan siang, iya, selama itu aku duduk dan menggerakan buah catur kami, walau hanya bersisa 3 , (raja, mentri dan ratu) dan 4 (dua pion, raja dan benteng) milik kak gendhis, kami tetap berkutat, menyerang lalu menghindar lalu kembali menyerang, seperti itu terus menerus hingga ibuku marah dan mengacaukan papan catur, katanya ; MAKAN! CATUR TIDAK AKAN MEMBUAT PERUT KALIAN TERISI DENGAN PENUH!

permainan catur itu juga yang membuatku tenang walau keadaaanku sekacau kacau balau, semua rencanaku kabur terobrak abrik wujudnya. Jadi ingat kak mbak jeni, bahwa 80% dari rencana barata, 70% nya akan di rusak oleh pemerintah, jadi jangan marah jika rencana kami tidak berjalan dengan mulus.

masih dalam kedung dalam, sorenya aku baru dapat kabar bahwa adji tidak di perizinkan keluar setelah dirinya dan 3 para kades masuk untuk membicarakan soal perkaiban jalan. katanya adji di masukan dalam mobil toyota kapsul, dan entah pergi kemana.

pada saat ini, aku masih berusaha tenang, berdiskusi oleh yatno meneganai rencana selanjutnya, juga aku yang harus menuju desa jatiwaringin untuk menemui mbak jeni. 

di sela-sela aku bersiap menuju desa jatiwaringin tiba hal lainya datang. yogi datang dengan ter-enggah enggah, katanya di desa jatiwaringin mulai ada banyak aparat, mulai menangkap mbak jeni yang sedang membantu warga berisitrahat, yogi berhasil kabur lewat jalan kecil yang di tunjukan oleh bocah bocah kelereng, membawa berkas berkas penting.

saat itu aku yang masih mengunakan daster merah, menatap yogi dengan tatapan kosong, rasanya aku benar benar tidak bisa berfikir lagi. yogi sudah sempat memberi tahu informasi ini ke para pendamping mahasiswa di setiap desa yang masih berpamitan setelah demo.

di teras depan rumah pak soleh itu aku membeku, menunduk menatap jari kakiku yang dengan jelas menyentuh tanah kering. oh tuhan, aku benar benar memaksa otaku berfikir, bagaimana rencana selanjutnya? aparat mulai menjaring, dua orang atas sudah tertangkap, mungkin saat aku diam seperti ini ada mahasiswa lainya yang di tangkap, bagaimana ini? 

di sela-sela keheningan membunuh itu, yogi melepas ranselnya dan menaruh nya pada atas bale kecil di depan teras pak soleh. ia membukanya, mengeluarkan puluhan kertas kertas disana dan mencari sesuatu di dalamnya. mulutnya meracau, untuk pertama kalinya aku melihat dirinya panik, yogi yang selalu tenang itu kini menunjukan rasa paniknya.

namun setidaknya yogi langsung dapat membuat keputusan, otaknya bekerja dengan cepat.

kata yogi, aku harus kabur, membawa seluruh bukti bukti kertas ini, entah kabur kemana namun aku harus lari sejauh mungkin. yogi juga bilang bahwa penangkapan itu tidak akan kenapa-napa jika bukti belum di temukan, jadi bukti harus di bawa lari sejauh mungkin.

aku mengusulkan untuk membakarnya, yogi menggeleng, bukti ini adalah bukti yang perlu di laporkan pada kak dimas, juga pada komunitas theater koma (organisasi bawa tanah untuk para penentang pemerintahan). katanya kita bisa membakar beberapa, namun ada 3 kertas penting yang tidak boleh di bakar.

mengkuburnya, aku kembali memberi saran, namun yogi lagi-lagi mengeleng, rencana inni gemar di lakukan mahasiswa aktivis dan sudah di ketahui oleh para aparat, atau kata lainya rencana ini terlalu klise.

"kalau aku lari, kamu gimana gi? tetap disini?" aku bertanya, menyerah pada opsi aku harus lari.

yogi menganguk, setelah mbak jen juga adji tersaring, maka beban jatuh pada yogi, ia akan mulai mengabari satu satu desa dan memperingati semuanya untuk kabur, mengatur jadwal dan rencana, bergerak menjadi kepala. katanya dirinya masih ada tanggung jawab untuk mahasiswa lainya.

mengusap wajah frustasi, aku menarik nafasku dalam-dalam. aku meluncurkan pertanyaan terakhirku padanya,

"mengapa harus aku?"

yogi menjawabnya dengan logis, pertama wajahku asing untuk mereka, jelas karena ini gerakan pertamaku, jadi kemungkinan untuk lari dan berhasil lolos padaku adalah kemungkinan paling besar. kedua, yogi secara jamblang bilang bahwa ia tidak percaya aku bisa berlari setangguh abim, tapi karena aku salah satu orang yang membbuat template laporan kemarin bersama adji jadi aku secara otomatis di perbolehkan untuk membaca isinya. ketiga adalah, cezka, karena aku teman cezka, teman cezka adalah temanya juga, jadi sepatutunya mereka semua mempercayai ku.

tidak perlu lama, aku masuk menganti pakaian menjadi celana jeans serta jaket hitam, pakaian yang aku pakai untuk berangkat. memindahkan data berkas itu pada ransel cream ku. aku mengikat tali sepatuku kuat kuat, selepas adzan magrib, aku mulai bergerak keluar di pandu oleh petra--anak pak soleh.

yogi memeluku erat, seperti barata lainya, ia mengucapkan kata kata yang sudah menjadi slogan untuk kami semua, "kembali dengan selamat"

malam mulai datang, kedung dalam seperti dilipusi gelepan total, selain dari lampu mobil mbil aparat yang bolak balik lewat, mobil jeep mereka tentu saja mudah melewati jalanan yang hancur bentuknya, atau kadang motor mereka lalu llang begitu saja. lampunya menyorot, orang orangnya mengengam erat senapan senapan.

tepat setelah adzan berakhir, aku mulai berlari di belakang petra, lewat jalan belakang, menyisiri pantai, merunduk menyentuh pasir, lewat pasar yang gelap gulita seakan memang tidak pernah terjamah matahari, lalu Petra mulai mendorong perahu nelayan bercat biru tua ke arah pantai, ia seperti rencana aku akan diantar petra menuju kota sebelah dengan perahu, kami menyisiri pinggir pulau, dan itu cara yang paling aman. paling menegangkan adalah kami harus lewat jalur kebun kebun kelapa untuk ke daerah pesisir, dekat sekali dengan para aparat itu.

saat menuju pesisir banyak sekali aku tergelincir jalanan becek yang terdapat batu batu, ruput rumput tinggi tidak hanya sekali mengores wajahku, minimnya cahaya membuat kami benar benar menabrak seluruh apapun yang menghalangi kami. tentu saja ada kalanya kami diam, merunduk melewati irigasi, menyebrang lewat gorong gorong bau, baru akhirnya kami sampai di bibir pantai, menuju pantai dengan bersembunyi dinatara perahu perahu yang sedang terparkir.

tempat kumpul para aparat itu warung sefood dekat pantai, jadi ini yang membuatku semakin menahan nafasku, bisa saja kami di kejar hingga laut, atau paling terburuknya di bidik oleh senapan dari jarak mereka, dan aku mati ditempat.

ketika kakiku mulai menyentuh deburan ombak, aku kembali dibuat sadar atas tindakanku, aku tidak boleh melamun atau terlalu lama mencerna kejadian ini semua, harus bertindak cepat. jujur saja, rasa tegang ini diam diam membuatku meneteskan air mata, aku bersyukur situasi kami gelap sehingga petra tidak mungkin memergokiku menangis.

Petra menahan perahu ketika air sudah sampai sebetisnya, ia menoleh kepadaku yang masih berdiri di belakangnya. ia menyuruhku naik, harus cepat sebelum posko aparat di pinggir pantai itu sadar bahwa kami sedang di daerah pantai.

kakiku lambat dalam air, tidak peduli celana ku basah, kakiku terus berusaha bergerak secepat mungkin, melangkah lebih dalam. sebetis petra bertanda se paha ku, yang mana ombak selalu lebih tinggi dari permukaan air, jadi setengah badanku sudah bayah kuyup, mati matian aku menangkat ranselku agar tidak basah.

saat kayu perahu sudah dapat aku raih, aku melemparkan ranselku masuk terlebih dahulu, sebelum akhirnya petra mengangkatku membantu agar aku dapat memanjat ke badan perahu, karena itu juga wajahku terkuyup ombak yang kembali datang, tubuhku kini sempurna basah.

badan perahu ini sempit tampa atap, dikarenakan memang ini dibuat untuk para nelayan yang butuh satu porsi tempat duduk dan satu space untuk menyimpan jala dan ikan hasil perburuan mereka. jadi saat sudah di atas perahu, Petra menyuruhku menunduk pada ruang kosong tersebut, menunduk.

aku tidak kuat dengan bau amisnya, jadi aku merebahkan badanku sambil menatap bulan yang malam ini bersinar terang. petra lalu menyusul naik, lalu sibuk dengan alat mesin pendorong perahu. aku menghela nafasku, mengatur deru nafasku yang terlalu padat, mengatur jantungku agar berdetak sesuai porsinya. aku butuh jeda, jadi aku hanya berbaring tidak melakukan apapun.

cezka, apakah ia sering seperti ini? bagaimana dirinya menghadapi situasi seperti ini? aku jelas ingin menjerit tidak tahan, permainan catur bukan apa-apa dibandingkan turun langsung berada dalam tekanan.

beberapa tetes air mulai menyiprat pada wajahku, deru ombak yang menabrak badan perahu pasti. aku hanya melihat Petra yang mendayung secepat secpatnya menjauh dari daratan, yang penting menjauh dulu, untuk bergeraknya itu mudah, petra sudah hafal navigasi lautan.

butuh 30 menit sebelum petra menghela nafasnya, berhenti menyalakan mesinnya sebentar dan menoleh kepadaku, "kau tidak mabuk laut kan?" tanyanya khawatir

"aku mabuk bus butut"

"baguslah, omong-omong kita sudah jauh tidak terlihat dari daratan"

aku bangun dari rebahan berbantal jaring jaring amis, tadi aku sudah bersumpah akan berendam 3 jam di kamar mandi saat aku sampai rumahku, bauku tidak jauh dari ikan busuk yang terkapar di pinggir laut, busuk.

benar saja, kami sudah jauh dari daratan hingga bibir pantai tampak sangat samar oleh mataku. kami benaar benar di tengah laut, malam hari, hanya ditemani burung camar atau suara deru ombak dan sinar rembulan.

"sekarang kita kemana pet?" aku mulai bertanya setelah kami sama sama diam mengapung.

petra menggaruk tengkuknya, "antara pantai anom atau pantai tanjung kait, aku masih bingung"

oh aku kenal pantai anom, "pantai anom daerah kramat kan pet?"

"iya"

"antar aku kesana saja"

"oke, akan aku antar kamu ke pantai anom, kecamataan sebelah, disana kebetulan ada rumah saudara pak soleh, bisa kita minta tolong untuk memberimu baju sebelum kembali berangkat pulang ke jakarta" kata petra menjelaskan.

setelah dirasa mulai tenang kembali, aku meraih ransel ku, membuka tiga berkas penting itu dan membacanya dengan aku tinggikan kertasnya, takut basah terciprat air laut. aku tadi bertanya pada yogi, apakah aku boleh membaca dokumen itu atau dalam keadaan mendesak boleh aku hancurkan? katanya yogi boleh, dengan syarat sudah sangat keadaan mendesak, selagi bisa di perjuangkan tolong perjuangkan.

jadi aku membacanya, berusaha mengingat tiga lembar itu, jadi ketika aku harus menjadikan kertas buram itu hancur oleh air laut karena ada aparat yang mengejar kami, saat sampai di jakarta nanti aku bisa menuliskanya kembali, membuat kembali laporan.

petra sangat membantuku, sangat,sangat sangat. fisiknya tanguh dan cekatan. setelah di ombang ambing di atas kapal semalaman, saat subuh tiba kami sudah berada di bibir pantai anom, petra turun ketika air masih setinggi lehernya, menggeret tali perahu untuk membawanya kepesisir, sedangkan aku turun ketika air hanya setinggi paha.

kami singgah di rumah gubuk berisi seorang perempuan paruh baya yang di susul intipan dari kepala bocah umur 8 tahun. tidak lama kami masuk, aku di beri pakaian ganti--baju bunga bunga seerta rok rample hijau, tidak lebih dari sejam aku kembali diantar menuju terminal bus terdekat menuju jakarta. 

aku dan petra sempat berseru, ia mendesak ingin mengantarku sampai jakarta namun aku menolaknya, tidak enak membuatnya bolak balik dengan hanaya mengantarku, perdebatan akhirnya berhenti saat tahu kursi bus hanya tersisa satu kursi dan bus akan berangkat 6 menit lagi. aku memeluknya, sangat berterima kasih ata bantuan petra dan bibinya. aku sedang tidak membawa apapun untuk memberi mereka sesuatu untuk membalas kebaikan mereka, mereka juga bersi keras tidak mengharapkan balasan apapun, katany pure ingin membantu kami. 

pada akhirnya aku melepas kalung dengan liontin bunga mawar yang menjaddi favorite ku, bukan sebagai upah namun sebagai pengingat bahwa kami pernah dalam satu benang merah. 

bus yang aku tumpangi segera berjalan, aku duduk dengan was-was sambil memeluk tas ranselku. walau aku seharusnya sudah bisa bernafas, pada kenyataanya aku tidak bisa bersantai sedetikpun disana, perjalanan dua jam itu aku habiskan dengan menatap curiga orang orang disekitarku takut jika salah satu dari mereka aparat yang menyamar dengan tiba tiba mengergapku. bayangku hanya tetap bayang, kejadian itu tidak pernah terjadi. aku sampai menginjak kota jakarta pukul 9 pagi, di terminal dekat markas barata, pas sekali pemberentian akhirnya terminal dekat pasar barata sehingga aku hanya perlu sekali menaiki angkot untuk sampai di barata. 

angin kota mulai menerpa wajahku lembut, mataku sedikit berat namun aku paksakan untuk membuka mata, sedikit lagi ayolah aku harus tetap siaga. jadi sepanjang perjalana  menuju barata, aku melawan rasa kantuku.

Abim membelak dan berteriak ketika melihatku datang dengan keadaan paling jelek, baju bunga bunga norak dan rok hijau daun yang mencolok, ransel pink yang membuatku seperti pohon berjalan, rambutku kusut, badanku bau ikan laut, ekpresiku mungkin aneh. abim bilang aku seperti orang hilang akal yang berkeliaran dimana -diamana. aku sebenarnya hendak sakit hati, namun entah mengapa wajah abim yang tenang menyodoriku sebuah teh hangat sudah cukup membuat air mataku tumpah sebelum aku menginjakan kaki masuk dalam rumah barata.

meninggalkan segelas teh hangat, abim berjalan panik ke arahku. "kenapa kamu?! kok malah nangis?!" katanya lalu memberikanku selembar tisu

"adji, bim. mbak jeni..." 

abim menganguk, walau ia mengatai rupaku tidak jauh dari wanita hilang akal yang berkeliaran, nyatanya ia tetap memeluku, dengan erat. 



________



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro