Ratusan mahluk tuhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng










Anyelir menarik selembar handuk pada gagang reyot yang mengantung, telapak kakinya lalu mulai melangkah pada lantai dingin udara pagi, dingin di lantai itu kini mulai merambat hingga kepalanya, sukses membuat badanya mengigil, memeluk tubuhnya sendiri. melihat air yang tertampung pada sebuah kendi di pojok ruangan, anyelir mulai menerka nerka seberapa dingin air pagi ini.

sibuk menimang nimang apakah harus mandi atau hanya cuci muka, gedoran dari pintu reyot yang seperempat bawahnya sudah hancur di makan rayap membuat anyelir membelak terkejut. "sebentar, saya baru masuk" kata anyelir bersuara,

gedoran di pintu berhenti setelah anyelir menunjukan kehadiranya,

"ann?"

oh!suara, Pandji.

Anyelir menghela nafasnya lega, padahal skenario terburuknya sudah setengah rampung secepat kilat, kemungkinan terburuk pintu akan di dobrak, pelecehan akan terjadi, mengingat kamar mandi rumah pak rt soleh jauh dari atap rumah inti, melosok pada kebun singkong di belakang, jadi mudah untuk siapa saja masuk dan membuka paksa pintu kamar mandi.namun karena sudahtahu itu pandji, anyelir mendekatkan badanya pada pintu reyot itu, "iya?" jawabnya

"sikat gigi sama odol saya ketinggalan disana, tolong lihatkan Ann" katanya, anyelir baru sadar suara pandji pagi ini terdengar lebih berat dari biasanya.

Mata anyelir menyapu pandang area bawah kendi yang tergeletak banyak sekali alat-alat mandi, ada sabun batangan yang di lapisi kertas pembungkusnya, odol yang meringkuk karena sudah habis setengahnya, sikat gigi biru tua di atas odol juga sikat gigi gigi bergagang merah, jadi mana odol dan sikat yang di maksud pandji?

"pandji? disini ada dua sikat gigi, warna merah dan biru." kata anyelir, badanya kini berbalik menghampiri alat-alat mandi yang tergeletak, mengangkatnya dan melihatnya dengan jeli, siapa tahu sikat gigi dan yang di maksud adji sudah pria itu beri nama di sudut kecilnya.

"yang biru punya saya, ada odol juga Ann? warna putih dan merah"

"ada ji"

"nanti tolong bawakan ke saya ya Ann? takut ketinggalan"

"iya, ji"

"terima kasih"

begitulah percakapan singkat di pagi buta yang membuat anyelir semakin gemar melamun sambil menatap air di dalam kendi, seolah dengan di tatap air sedingin es itu akan memanas, hal itu mungkin saja terjadi jika anyelir meliki kekukatan supermen, mata laser, tapi bisa saja malah karena laser kendinya sukses terbelah dua. perdebatan diantara pikiranya akhirnya berakhir karena dirinya sudah mencapai titik keputusan : TIDAK ADA ORANG YANG BISA MEMANASKAN AIR HANYA DENGAN DI TATAP, JADI AYO SEGERA BASUH DIRIMU.

Suara ayam-ayam entah milik siapa menemani anyelir pada mandi paginya di desa antah berantah, kadang tokek seperti tidak mau kalah, dari pojok tembok bercat hijau muda luntur ini si tokek beberapa kali bersuara, suaranya beriringan dengan suara ayam. lampu kuning di atas kepala anyelir juga kadang bergerak karena gagangnya tertiup angin pagi yang jelas matahari masih enggan muncul karena belum shiftnya ia bersinar.

air-air dingin itu mulai jatuh dari gayung--lebih tepatnya batok kelapa yang sudah di keringkan--dan menguyur tubuh anyelir, bersamaan dengan air yang mulai jatuh, badanya seperti terperanjat akibat rasa dingin yang diluar dari pekiraanya, airnya air tawar namun sedikit tercium bau air asin disana, mungkin memang sengaja tidak di saring 100% menjadi air tawar, di sisakan 15% air asin untuk memperkuat ciri khas desa ini, mungkin, itu hanya tebakan anyelir.

Air dingin itu yang membuat anyelir sepenuhnya tersadar,nyawa nya sudah di tarik paksa memasuki raganya sepenuhnya. hari ini adalah hari besar, untuk dirinya juga untuk kecamataan ini, unjuk rasa soal perbaikan jalan yang di ikuti 12 desa, seharusnya ini berjalan dengan baik karena aparat-aparat tidak menduga hal ini, akan ada unjuk rasa kompak pada kantor pak camat, seharusnya seperti itu...setidaknya.

Anyelir gugup, tugas yang panji berikan kepadanya adalah mendampingi desa sasak bersama Marni. Marni sekarang sudah di desa sasak sejak tadi malam, anyelir tidak bisa menyusulnya sejak tadi malam karena harus ikut membalik otak untuk mencari rute baru bersama panji-Eka- mbak jelita- sri ayu- Yatno juga Darso. rute yang sebelumnya mereka rencanakan ternyata kondisinya parah, akibat hujan kemarin sore, jadi rute harus di pikirkan kembali, padahal rute sebelumnya sudah sempurna, memiliki banyak rencana rencana matang di balik jalanya.

Untung saja, Mbak jelita memiliki otak yang kritis semakin banyak tekanan kepadanya. sehingga rencana baru pun sudah siap dalam hitungan jam, pandji-eka- Yatno juga Darso segera menyebar pada perwakilan tiap desa untuk memberikan informasi perubahaan dadaakan rute awal unjuk rasa, mbak jen pergi ke desa jatiwaringin karena Tirto yangmendampingi desa tersebut memiliki beberapa masalah. Hanya anyelir yang duduk tenang saat malam hari, berbincang dengan petra dan mengorek informasi soal jalan jalan setapak kecil untuk keluar dari kecamataan mauk.

setelah berurusan dengan air dingin, anyelir sudah siap dengan pakaian milik bu iyem. Pandji sudah tidak ada di dalam rumah, sudah menuju lokasi. karena ini sebuah penyamaran jadi anyelir juga teman teman barata lainya meminjam baju penduduk agar bisa menyatu dengan lainya, baju baju di simpan dalam lemari dalam-dalam. lucu sekali anyelir memakai daster lengan pendek bermotif batik bewarna merah, indah. Bu iyem bahkan menata rambut anyelir dengan gadis gadis desa lainya, dicepol. ia sempat untuk menyantap roti kacang hijau yang ia beli di warung kemarin untuk sarapan, sebelum dirinya mulai berjalan meuju desa sasak, bertemu marni dan kepada desa sasak yang sudah bersiap.

jalan jalanan terjal menukik membuat langkah anyelir tertahan, kakinya belum terbiasanya terhadap jalanan jelek dengan hanya mengunakan sendal swalow, melihat talinya seperti berjuang keras tetap menyatu anyelir jadi takut, akan menjadi tersiksa jika sendal swalownya putus.

ia melewati sebuah tambak udang yang sangat luas, domba domba putih berjalan dengan rapih diantara sisi kolam tambak, sang paling muda berjalan di tengah dengan langkah kaki sedikit melompat lompat, kadang ia berhenti sehingga domba di belakangnya menyundul pantat nya sebagai tanda ia harus tetap berjalan. selain melihat tambak, sesekali anyelir bertemu dengan para warga yang sudah bersiap, dengan topi caping dan muka yang di corat coret, senyuman mereka merekah, ia juga menyemangati anyelir dengan seemangat, beberapa ada yang menawarkan tumpangan motor untuk ke desa sasak, anyelir dengan lembut menolaknya, desa sasak sudah di depan mata.

perempuan itu menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya pada dalam gapura desa.

sudah di depan mata, perjuangan pertamanya, kontribusinya untuk negara. oh anyelir, semoga langkahmu di ridhoi tuhan.

[DALAM BUKU LARI, HAL 75-92, DI KARANG OLEH SANG PENARI BUNGA]




















___________________














kapan terakhir aku melihat lautan manusia? seingatku sudah lama, lama sekali saat aku kecil. ingatanya buram, menyatu warnanya, kadang bentuknya abstrak. ingatku saat tahun 1967, ramai sekali jakarta saat itu, jalanan dipenuhi lautan manusia yang marah berjalan menuju istana negara, beberapa ada yang menjabarkan kain protes mereka yang di penuhi tinta tinta lumer. ekpresi orang-orang itu merah padam, panas kebakar amarah juga panasnya matahari pagi itu, semangat mereka cepat sekali menyambar antara satu dan yang lain. aku yang melihatnya dari balik kaca mobil kijangku hanya menganga takjub, kekuatan masa sangat luar biasa.

seingatku, saat itu sepulang sekolah, tiba tiba saja pak Satya (supir antar jemput aku dan Danendra) membertikan mobilnya, wajahnya cemas melihat kemacetan di depan, masih dengan rasa panik ia turun dan berbincang dengan salah satu penjual minuman botol. aku dan danendra hanya bertatapan ingin tahu, kami membuka sedikit kaca mobil untuk mendengar percakapanya, namun suasana terlalu ricuh dari ujung kecametan sehingga aku kembali menarik tubuhku masuk. percuma saja, aku tidak bisa mendengar apa apa selain suara ricuh tumpang tindih.

tidak lama dari itu pak Satya masuk ke dalam mobil, dengan gerakanya yang cepat ia membanting stir ke arah sebaliknya. tanganya cekatan, mobil kami akhirnya terbebas dari kemacetan, lalu sambil menoleh ke arah belakang, aku mulai sadar bahwa telat beberapa detik saja mobil kami sudah terhimpit lautan manusia yang emosinya sangat meledak-ledak, sehingga mobil mobil yang sedang berhenti itu mereka injak, mereka berdiri di atasnya sambil berteriak marah.

itu ingatanku soal lautan manusia, aku tidak pernah hadir dan masuk diantaranya. setelah itu sekolah di liburkan dua hari karena rusak, sekolahku satu komplek dengan para mentri, jadi katanya ikut di hancurkan oleh masa.

dulu, dulu aku melihat mereka dengan sebelah mata, orang orang biadab yaang selalu marah menghancurkan sesuatu, merugikan negara.

sekarang, aku berdiri diantara lautan masa itu, para nelayan serta keluarga mereka, menyuarakan hak hak rakyat kecil di depan kantor kecamatan, di bawah sinar matahari, berjam-jam. semangat ratusan warga seolah kembali mengisi energiku setiap saat, teriakan mereka saut menyaut menerikan hak hak mereka, emosi mereka marah. bahkan anak kecil pun ikut turun kejalan, membawa ikan teri kering, mengangkat ikan teri itu sambil ikut menerikan kalimat ibunya. aku bertaruh bocah itu sejatinya tidak tahu mengapa orang tuanya turun ke jalan sambil membawa hasil jaring ayahnya, komplain pada bangunan megah yang tak lain adalah kantor kecamataan.

disana sekilas aku melihat adji, pungungnya, ia berdiri paling depan dengan para kades, berdiri dekat pagar pintu kantor kecamataan. teriakanya melebur dengan para warga, jiwa nya tak kunjung padam. ratusan warga masih berkelut, berteriak, sedangkan beberapa pegawai kantor kelabakan, mereka kebingungan atas serangan mendadak ini, dari balik tirai aku melihat rupa pria tua yang cemas, lalu berdebat dengan pria lainya. satpam kantor kecamtaan apa lagi, ketimpuhan menahan pagar atas tetap berdiri dan membuat masyarakat tetap pada belakang pagar besi.

Rasanya ada sesuatu dari diriku yang menyatu bersama ibu-ibu, para bapak-bapak tua, anak remaja seumuranku, dan siapa saja yang turun kejalan. tidak penting mau dia siapa, asalkan sudah turun kejalan berarti kami sama, kami bersaudara, kami tolong menolong, kami satu. aku merasaakanya ketika salah satu dari bapa-bapa kakinya terseleo, orang di sekitarnya gerak cepat untuk membawa bapa-bapa itu menjauh dari kerumunan, solidaritas yang tinggi tampa memandang apapun. ada banyak kejadian lainya yang membuatku takjub, seandainya indonesia seperti ini warganya, seluruhnya dari seluruh penjuru kota, aku yakin tujuan barata akan jauh lebih mudah, hak hak kami akan mudah terpenuhi.

karena itu, dengan daster merah mencolok, serta topi caping milik entah siapa, aku tetap berdiri diantara masyarakat, menunjung tinggi banner bertuliskan : DENGARKAN KAMI! KAMI MAU JALAN DI PERBAIKI!

para polisi datang bertruck truck setelah dilaporkan ada kerusuhan di kecamtaan ini, mungkin pak camat yang melaporkanya saat celananya basah terkencing kencing takut melihat ratusan masyakarat turun ke jalan protes. para polisi itu mengeuarkan tamengnya, berdiri mendesak masa untuk mengambil alih beberapa meter di depan pagarm melindungi kantor camat.

kami tidak peduli, toh memang tujuan kami hanya protes berteriak ramai-ramai di depan kantor camat, bukan ingin masuk dan membakar segala isinya, atau memberi racun tikus untuk pada pejabat pejabat yang sama jeleknya dengan tikus got. para masyarakat tidak takut, malah ketika polisi datang semangat mereka semakin melonjak naik, senang ada respon balik setelah berjam jam di biarkan mengamuk.

pukul 12 siang, seperti recana, yang beragama muslim bergantian mengambil wudu, mengelar terpal dan sholat bersama di depan gedung. aku membantu para ibu-ibu yang mengambil perbekalan makan siang untuk para masyarakat, walau hanya sebungkus tahu bacem yang di buugkus dengan daun pisang, namun ini adalah hal manis yang aku lihat juga. kami para ibu-ibu bergotong gotong membawa wadah anyaman bambu berisi puluhan tahu bacem untuk dibagikan di depan kantor kecamataan.

ini berbeda dari yang aku lihat saat itu, unjuk rasa ini diliputi kekeluargaan yang tinggi, tidak ada yang ricuh. melihat hal ini, ini seperti super powernya manila, vietnam. mbak jeni pasti bangga karena harapanya terwujud, unjuk rasa tampa kericuhaan, abim si pesimis itu harus melihat ini semua, masih ada harapan untuk indonesia.

aku membagikan tahu bacem itu, mengambil 10 bungkus dan mulai menyebar pada bapa-bapa yang baru kelar sholat, senyum mereka ramah menatapku ketika aku mulai membagikan makanan kecil ini. mbak jeni juga aku lihat membagikan tahu ini pada para polisi, bersama dengan pak kades jatiwaringin mencoba diskusi pada polisi, bahwa mereka akan beristirahat sejenak, jadi para polisi juga boleh bersantai, namun bak patung satpam di england, mereka diam bergeming tidak ingin menjawab, sebagai balasanya mata tajam mereka menatap kami seperti serangga yang mereka tahn untuk kaki mereka injak hingga mati.

Aku menghela nafas, padahal kami tidak membuat kericuhan seperti membakar atau merusak sesuatu, namun mengapa responya menjengkelkan seperti itu? mbak jeni masih baik untuk berusaha sabar, jika aku disana maka sudah ku pastikan tahu bacem ini sudah aku lempar pada helem polisi satu-satu, menyuapinya degan cara sedikit kasar.

pusing melihat polisi yang semakin membuat emosiku naik, aku mulai mengabil tahu bacem dari dari baskom anyaman bambu itu, mengambilnya tujuh untuk kembali di bagikan. para ibu-ibu bergantian mengambil wadah laianya jika wadah yang di tempat sudah habis, seakan hari ini adalah pesta tahu bacem.

Aku mulai menyusur mencari sesesorang tampa bungkus daun pisang di tanganya, mataku jeli menyapu pandangan, rata-rata daerah kanan sudah membawwa daun pisang pada tanganya, namun aku tetap mencari, siapa tahu ada yang belum kebagian dan menunggu aku memberinya,

dan akhirnya aku menemukanya, adji, berdiri dengan penuh keringat balik menatapku dengan senyum tipisnya. rambutnya basah keringat, di pelipisnya ada beberapa tetes keringat juga yang mulai menurun, mungkin kenapa tubuh adji bisa sebasah itu akibat air wudu yang masih menyisakan jejak basahnya. bersamaan dengan kakinya yang mulai melangkah mendekatiku, jantungku mulai berdebar, urat nadiku mengirimkan pasukan darah dengan cepat, ada sesuatu yang menyeruak keluar dari perutku.

"boleh saya ambil satu?" tanya adji, menunjuk tahu bacem bungkus daun pisang yang aku gengam.

"boleh" aku menjawab dengan cepat, buru buru memberikan satu porsi kecil tahu itu kepada dirinya.

ia menganguk, binar matanya seakan sedang mengkilap padaku. senyuman tipisnya kini semakin melebar tampa menunjukan giginya. "terima kasih, kamu hebat hari ini, melebihi ekpetasi saya"

aku rasa, adji nih terlalu berlebihan dalam memuji, "terima kasih" jawabku basa-basi

jakun adji bergerak, sepertinya ia menelan ludahnya susah susah entah karena apa. "sudah lelah?" tanya nya lagi.

aku mengeleng, tidak mau menyerah seperti lainya.

tangan adji mulai terangkat, melepas caping di atas kepalaku entah apa alasanya, namun caping yang melindungi wajahku dari sinar matahari itu malah ia gengam sendiri, menjadikanya wadah menaruh tahu bacemnya.

aku tentu saja protes, "eh itu miliku tahu, kalau wajahku turun skintonenya, ibuku bisa curiga" jelasku

adji tertawa, jakunya naik turun begitu dengan pundaknya. senyumanya kini lebih lepas, nyaris membuat jantungku benar benar meledak. "kamu yakin alasan pakai caping hanya takut dari ibumu? saya rasa bukan karena itu"

bingung, aku hanya menyatukan alisku sambil menatap bola matanya. "benar kok.."

kepala adji menganguk, tawanya berhenti perlahan. "oh, saya kira bukan"

"kamu kira apa emang?"

adji menoleh memperhatikan caping miliku dengan lekat, wajahnya tampak berfikir sekilas sebelum akhirnya mulutnya terbuka,

"saya kira, caping ini berguna buat menutupi parasmu."

"iya benar kok, biar mukaku tidak gosong"

"Ra, kamu cantik sekali hari ini. itu maksud saya"

dan adji memakaikan kembali caping itu pada kepalaku, di atas rambut lepek basah keringat miliku, tanganya kanannya turun pada hadapan wajahku dan telapak tanganya meraup pipiku menariknya menatap wajahnya dengan lekat.

"dengan caping sekalipun, kamu masih cantik"

sepertinya selain warga yang unjuk rasa pada pak camat, adji juga unjuk rasanya pada ku siang ini. tepat sebelum dirinya hinga dua malam di culik oleh para aparat sialan itu.








______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro