dunia sang putri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng













sore ketika matahari sedang menyinari cahayanya dengan sopan, masuk melalui celah tirai putih besar di jendela berukir mengkilap di sebuah aula rumah besar--yang bahkan atapnya berkubah--dan menjadi cahaya selain dari crystal lampu yang menganttung megah di atasnya.

suara langkah ku satu-satunya mengisi senyap lengang dirumah besar kami, suaranya bergema seketika memantul saat gesekan sepatu olahragaku menggesek lantai marmer mengkilap kami. biasanya suara jarum jam besar di pojok ruangan selalu menjadi penghuni tetap suara ruang tengah ini, namun sepertinya jam itu sedang bermasalah sehingga jarumnya berhenti bergerak.

aku berhenti ditempatku berdiri, tepat di bawah lampu crystall tergantung. kepalaku menoleh ke pintu besar di pojok ruangan yang memberi akses menuju ruang makan keluaraga kami, tidak ada suara apapun tanda tanda ada anggota keluargaku yang mungkin sedang duduk disana, yang aku cari adalah ibuku, aku ingin salim hanya untuk memberi kabar padanya bahwa putri ke 3-nya sudah berada dirumah, kadang rasa khawatir perempuan itu sedikit membuatku jengkel.

setelah yakin bahwa ibuku tidak ada disana, aku melanjutkan langkahku menaiki tangga besar yang melingkar ditengah ruangan, berdiri kokoh dengan warna warna mengkilap indah memanjakan mata, ornamen gagang nya berukir sebuah burung merpati, indah, aku selalu menyukai ornamen tangga ini sejak kecil, sehingga mau semencekam waktu apapun yang aku punya, aku selalu berjalan pelan menuruni atau menaiki tangga, tentu saja aku selalu menikmatinya melihat ukiran itu sambil perlahan.

ketika aku sampai dilantai atas, aku baru bisa melihat dari jendela depan tangga bahwa kursi taman belakang rumah penuh diisi oleh wanita-wanita tua dan ibuku. Dengan dress putih bersih tampa noda, rambut yang di tata khusus oleh penata rambut keluarga kami, dan makeup tipis di wajahnya,ini dia yang aku cari, dia adalah ibuku, perempuan yang gemar sekali menghabiskan uang ayah tampa berfikir panjang.

ibuku ini senang sekali berpesta, berkumpul, dan berbincang. sehingga rumah kami yang besar melompong ini tidak pernah sepi karena tamu ibu. kecuali lanta dua, lantai khusus 5 anak ibu memiliki kamar nya sendiri, lantai dua ibarat lantai khusus siswa yang harus disiplin tenang dan terhindar dari hal hal berpesta dan sejenisnya.

pernah satu waktu aku terbangun dari tidurku, keluar dari kamar untuk melihat sumber suara yang bisingnya sangat menekan telingaku, saat aku kecil menoleh dari arah tangga dengan piayam tidurku, aku baru sadar bahwa ketika malam hari lantai dasar rumah kami seperti disulap menjadi clubing ala-ala amerika yang aku tonton dari televisi. selain itu yang aku ingat, bau mencekam sangat menusuk hidungku--alkohol--. bahkan ketika aku hanya berdiri di ujung tangga, bau itu sudah menusuk hidungku.

dan sejak itulah, sebisa mungkin aku selalu menghindari kegiatan keluar kamar ketika sudah berada jam 9 malam ke atas.

kalau kalian bertanya bagaimana reaksi ayahku, tentu saja dia tidak tahu, mungkin juga ia tahu namun tidak peduli. pria itu punya ambisi yang kuat soal bisnis nya, sehingga terkurung satu tahun dengan pekerjaanya pun dia tidak akan mati. hal ini menjadi alasan kenapa ekonomi kami sangat lebih lebih dari cukup, karena ayah yang sibuk bekerja. pria dengan rambut halus di wajahnya ini memang gemar bekerja, ia memang mencintai ibu namun jika dibuat urutan, pekerjaanya berada nomer satu, lalu nomer dua di isi oleh tenis dan baru urutan ketiga ibu berada.

ibuku cantik, jadi wajar saja ayah menyimpanya dirumah erat-erat, jika keluar akan membutuhkan banyak polisi untuk mengawal ibu. makanya kenapa ibu selalu mengundang temanya kerumah, karena tentu saja suami hebat kaya rayanya tidak memberikan izin istrinya untuk keluar rumah. katanya terlalu berbahaya. wanita malang.

sejujurnya nasibku juga tidak jauh lebih baik dari ibuku, terkurung pada penjara istana ini sejak kecil, tidak ada pertanyaan, hanya ada anggukan pada suatu perintah. tapi aku tidak terlalu mempermasalahkanya dalam beberapa aspek, ayah membangun ruang lukis untuk ku, atau terus menerus membiayai perawatan kebun mawarku di belakang sana, sebanding dengan perintahnya untuk tetap dirumah.

semua kegiatan yang bisa dirumahkan, akan ayahku rumahkan. seperti kelas balet pada sabtu pagi, bahkan beliau membuat ruang khusus kami melatih balet kami, kadang juga diajari tari tari tradisional ras kami. perlu bersyukur bahwa sekolah tetap disekolah normal seperti anak lainya--- diluar rumah, walau bersekolah yang berisi anak-anak tidak jauh berbeda latar belakangnya dengan ku.

karena tidak punya kegiatan lainya setelah kegiatan sekolah, aku jadi mulai menyukai seni, entah dari menulis, melukis, menggambar. hal ini sempat membuat ayahku marah, alih alih duduk sore bersama ibuku meminum teh dengan gaun bersih, aku malah duduk di depan canvas dengan pakaian yang di penuhi cat kotor. ketika aku mulai berhenti menyentuh kuas lalu mulai diam diam masuk ke ruang baca ayah, membaca seluruh buku disana yang aku curi untuk aku bawa ke kamar, membacanya untuk membuatku tertidur atau kadang malah membuatku berjaga. Ayah tampaknya lebih menyukai opsi aku melukis. buku bacaan akan ayah berikan jika beliau sudah tamat membacanya, ia sangat selektif untuk memberi izin aku membaca.

namun seperti kakak-kakaku lainya yang menempuh pendidikan kuliah, ayah kami memberikan suatu bonus atau kesempatan ketika kami mulai menduduki jenjang pendidikan ini, beliau akan membebaskan kegiatan selain makan malam bersama wajib pada malam sabtu dan malam rabu, selebihnya bebas mau pulang atau tidak.

tapi dengar dari kakaku, ini bukan suatu kesempatan bagus, ini adalah ujian dari ayah untuk kami, beliau sengaja melepaskan kami untuk melihat bagaimana sikap kami diluar sana, ia mengirimkan beberapa orang untuk terus memantau kami, akupun tahu dan menyadarinya, kadang seorang ibu-ibu atau seorang anak remaja, aku tidak peduli karena mereka tidak menggangu aktifitasku selama dikampus. karena ini sebuah ujian, hasilnya akan keluar saat kami dinyatakan lulus dari kampus, jika kamu lulus maka nasib akan seperti kak Gendis, diperbolehkan untuk melanjutkan kuliahnya di negri sebrang. Namun jika hasil ujianmu buruk maka akan seperti kak Amelia, ditempatkan kerja di bisnis keluarga kami dan harus menati jam malam.

kami ini 5 bersaudara, aku anak tengah dari 5 bersaudara. dua kakak perempuan ku, kak Gendis dan Kak Amelia. lalu dua adik laki-laki bernama Danendra dan Dafka. jika kalian sadar dari nama kami semua, kalian akan tahu dari ras mana kami berasal. tidak ada nama keluarga khusus, namun bisnis pekerjaan ayah adalah warisan, jadi keluarga kami sering disebut keluarga kelapa sawit, silahkan tertawa sebab aku sudah mulai terbiasa. selain itu rupa kami semua, ayah dan ibu serta anak anaknya, meliki rupa yang khas, ayah ibu ku ini mirip wajahnya sehingga wajah anak anaknya juga mirip dengan mereka.

namaku Diandra, tidak bisa disingkat karena aku menyukai namaku dengan utuh. hari ini tepat hari keduaku setelah mendapat akses kebebasan atau di bilang hari keduaku memulai perkuliahan.

sambil memandangi langit langit kamarku, aku mulai berfikir hal mana dulu yang harus aku lakukan? sebab ada banyak pertanyaan yang sudah menunggu untuk diberi jawaban diluar sana. dan dari mana aku memulai mencari tahu?

aku memperhatikan lukisan bunga bunga dan burung yang dipajang di salah satu sisi kamarku yang luasnya dua kali kantin kampus fakultas kuliahku. menikmati semilir angin dari kipas besar yang berputar di atas tengah ruangan kamarku yang lebaarnya 2kali kantin fakultas kampusku.

situasi damai seperti itu yang ternyata aku benci namun aku rindukan,

tentu saja aku rindukan, dalam beberapa tahun kedepan situasiku berbanding terbalik. berada di sebuah bangunan tua dengan jiwa dan raga yang nyaris saja terpisah begitu saja, meringkuk kaku di atas semen kasar dengan badan yang sudah tidak bisa digerakan seincipun, ditambah sekumpulan orang berpakaian hitam yang terus bertanya, "dimana pemimpinmu?."

opsinya ada dua, menjawab apa yang mereka ingin dapatkan, atau tetap bungkam dan mendapat ganjaranya. ganjaranya juga bisa berupa pemerkosaan atau terpisahnya jiwa dan ragaku, atau bahkan lebih buruknya bisa keduanya.

tentu saja, ada harga mahal di balik sebuah kebenaran,

sebuah nyawa.

situasi kembali mundur, dimana sebuah gubuk tua nyaman yang memiliki penerangan redup serta bau kertas tua yang mengusik hidung, ketika orang-orang yang sudah menjadi keluarga baruku berkumpul bersama. ketika sebuah kesepatakan telah tercapai, satu persatu ditanya kembali tentang kesanggupan menerima efek samping paling buruk dari tujuan mereka. perempuan dengan senyum menghangatkan itu selalu membuat hatiku ikut terselimmuti senyum hangatnya, perempuan ini menoleh kepadanya, bersiap melontarkan kalimatnya.

"jadi, sudah siap kan dengan misi ini, diandra?."

Aku menganguk perlahan, menatap 5 orang remaja lainya yang sedang memberiku sebuah senyuman mereka di bawah lampu kuning remang remang, cahaya yang membuat hatiku semakin hangat ketika pertanyaan itu terlontarkan pada diriku

"selamat datang diandra, kamu resmi menjadi anggota misi ke 9, semoga tuhan selalu memberi kamu keberuntungan dan umur panjang."





_____________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro