buku tua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng





Saat itu hujan deras membasahi kota ini, seakan langit mendukung perasaan was was penuh rasa takut dari 6 remaja yang bergerak berpencar saling menjauh, air hujan yang membasahi wajah mereka seperti langit yang menangis untuk mewakili mereka.

Anyelir termenung ketika truck sayur yang ia tumpangi membelah jalanan kota yang sudah hancur lebur tak berbentuk, kedai kedai yang di anggap milik ras mata sipit di hancur leburkan, di bakar tak bersisa, di pecahkan kaca kaca nya dan apa aja yang bisa di hancurkan.

Ada kekesalan yang muncul pada hati kecilnya, ketika yang ia harapkan sebuah penyuarkan ketidak adilan ini akan berujung tenang tampa mengobarkan seperti ini, namun sebuah cabang dari tujuan nya mempunyai cabang cabang tak terduga yang terjadi.

sambil berusaha tegar, anyelir menguatkan hatinya bahwa ini memang jalan terbaik, untuk semua orang.
Para orang atas itu tidak akan mau bertindak jika mereka semua tidak sekencang ini meneriaki mereka. para orang orang bajingan itu akan terus bertindak semau ego mereka saambil menikmati vodca dan perempuan perempuan setengah telanjang yang menemani manja mereka, sedangkan pada rakyat harus terseok seok menggali tanah kuburan mereka sendiri dan terantai tali kemiskinan pada leher mereka.

truck mobil semakin melaju meninggalkan pusat kota, mulai melipir ke desa desa kecil yang hanya mempunyai satu lampu penerangan. pemandangan seperti hutan hutan dan pohon tinggi mulai menyambut mereka berdua dengan damai di iringi suara hewan hewan.

pada petang itu, adzan magribpun kelu, tidak ada suara pengingat ibadah itu sepertibiasanya. Masyarakat sibuk membuat diri mereka aman di dalam gubuk nya masing-masing. Mematikan lampu atau segala sesuatu yang bertanda mereka ada dalam rumah sebagai benteng pertahanan mereka.

kegelapan mulai terlihat, jalanan mulai terjal menukik melewati jalanan batu batuan yang semakin kecil. Semakin masuk ke dalam kegelapan.

Anyelir tahu, titik pelarianya sebentar lagi sudah tiba. ia hanya perlu berlari berlari dan berlari masuk ke dalam hutan sampai perkumikan warga yang siap menampung dirinya untuk sementara. Jangan menoleh kebelakang, jangan pernah, apapun yang terjadi jangan berhenti lari.

jantungnya mulai berdebar, tanganya mengigil ketika suhu disekitarnya mulai menurun ditambah kecemasan yang membuat dirinya semakin ragu-tagu, pupil matanya bergetar melihat pemandangan dihadapnaya.

"hutan sangat gelap"

Pandji memecah keheningan mereka berdua dalam beberapa lama, pria itu menoleh dengan pangkal hidungnya yang mengalir air hujan di atasnya, sorot matanya yakin seperti tidak ada keraguan disana, anyelir yakin pupul mata tegas ini terbentuk akibat segudang pengalaman yang terus membuat dirinya tegar, seperti besi yang terus di tempuh oleh batu batu tumpul panas.

"iya, sangat gelap" balas perempuan itu,

"gelapnya hutan akan membuatmu hilang, setidaknya begitu sampai esok hari"

Anyelir menganguk,

Lalu kecepatan mobil truck sayur yang mereka tumpangi memelankan lajunya hingga mobil benar benar berhenti di tengah jalanan lumpur yang gelap ini.

saking gelapnya, anyelir sangat yakin bahwa ia bisa di makan oleh sang gelepan sendiri.

ini dia, titik pelarian anyelir.

supir truck mulai menolongokan kepalanya, ke arah kebalakng mobilnya sambil memukul pelan pintu mobil. "Sudah sampai pemberhentian pertama!" Katanya

Anyelir juga pandji berdiri dari ringkukan mereka di ujung bak truck bau ini, pria ini mengulurkan tanganya untuk membantu perempuan itu turun, menapakan kakinya di atas bebatuan yang dituup lumur lembek.

"aku tidak pernah segusar ini dalam pelarian" celoteh pandji, pria ini sudah ikut turun sambil membantu anyelir memakai tas ransel gunung milik pandji yang ia pakai saat ekpesidi di daerah semarang, tas ini juga yang selalu menemani pandji ketika pria ini harus sendirian dalam pelarian, bagai jimat teman yang selalu menemainya.

"kenapa? Kali ini buruk?" tanya anyelir semakin gusar

"bukan, bukan karena kesempatan kita kecil"

"lalu?"

"Karena saya sudah punya kamu, saya jadi gusar"

hidup ini lucu, rasa hangat ini menyelimuti tubuh anyelir bahkan ketika nyawanya sedang di ujung tanduk. Bagaimana tuhan bisa membuat hidupnya sangat tidak tertentu seperti ini? rasa takut juga rasa nyaman sekalgus yang muncul dari hatinya.

Karena mereka tidak punya waktu lama untuk berbincang, pandji segera memutar bahu anyelir secara perlahan untuk saling berhadapan, setelah di rasa tas jimatnya ini sudah menempel pada perempuan ini dengan benar.

"An, ada satu lagi misi yang sebelumnya saya belum sampaikan"

"Dari kakak atas?" tanya anyelir menyelidik, jantungnya kembali berdedar cepat berusaha tetap tegar bahkan ketika kabar buruk datang lagi padanya.

"lagi lagi salah, ini misi personal saya untuk kamu"

"bukan maksud untuk mengeluh, tapi misi untuk lari saja sudah berat untuk ku wahai bapa ketua"

Tawa samar pandji terdengar diantara gelap juga suara hewan hewan malam, diberi bumbu air hujan yang membasi mereka berdua.

"Misi terakhir kamu dari saya itu satu, untuk tetap hidup. tolong utamakan misi ini dari segala misi yang kamu punya, tepatkan ini pada prioritas kamu. lalu setelah misi ini selesai,

tunggu, tunggu sebentar saja,

lalu saya akan menghampiri kamu seperti biasanya, An.

bisa di mengerti?"

Begitulah seorang Pandji Anoraga memberikan misi penting prioritas itu pada Anyelir. begitulah pandji dengan segala kesempurnaanya menarik anyelir masuk ke dalam lubang perasaan tak berdasar. begitulah alasan anyelir dengan seluruh trauma yang ia punya tetap hidup pada dunia kotor yang hanya sedikit membaik pada masa depan.

Pada masa depan, Anyelir tetap menunggu, menunggu, menunggu dalam diam. Dalam sebuah lukisan hutan lebat yang ia lukis, ia mulai mengambil sebuah pena untuk menuliskan pesan pada seseorang disana yang masih mengambil hatinya. ia berharap dengan di distribusikanya lukisan ia pada festival seni bulan depan, seseorang yang tepat akan membaca pesan ini,

"ji, misi ku telah tuntas, jadi kapan kau datang? Bunga ini meringkuk kering menunggumu menyiraminya dengan kehangatanmu.

saya rindu"

[HALAMAN 165 -183.
Pada Buku LARI.
Dikarang oleh, Si penari bunga]

















_________






aku memandangi kagum sebuah panggung megah yang menjanjikan sebuah karya terbaik akan segera di mainkan, sorot lampu yang sudah siap atur cahayanya untuk menambah kesan dramatis pada theater nanti, tirai merah yang masih terjulur menutupi bagian belakang pangung, serta kursi penonton yang mulai ramai di duduki, lampu pada studio kali ini masih dinyalakan terang terang, sehingga aku bisa memandangi takjub theater ini.

Aku kembali memandangi sepucuk tiket theater ini yang membawaku masuk kedalam theater ini, tiket ini harus aku simpan! Harus! Ini untuk pertama kalinya aku menonton theater secara langsung dan sendiri!

Terahir kali aku menonton sebuah pertunjukan seni yaitu menonton Orchestra di sebuah studio mewah, bersama seluruh anggota keluarga. karena sudah melihat hal yang begitu bagus dan mewah terlebih dahulu, aku jadi jengkel saat tahu bahwa tidak semua theater sebagus itu. tapi untunglah theater koma ini memiliki design interior yang cukup bagus dalamnya, menjanjikan sebuah karya yang elok, walau didepan hanya terlihat pintu masuk reyot jelek yang sebentar lagi rubuh. Iya, aku sempat memaki tempat ini,

Tadinya ekpetasiku hancur saat tahu theater ini berada di daerah kumuh pinggir jakarta, aku nyaris membalikan badanku dan mengubur ide hari ini akan menonton theater. Namun pada akhirnya aku tetap masuk karena angkot untuk arah rumahku penuh sesak, aku malas menunggu angkot selanjutnya jadi aku membeli tiket theater ini secara cuma cuma. tapi ternyata aku beruntung. tuhan masih ingin aku senang rupanya.

aku menempati kursi deretan paling belakang, terhindar dari banyaknya orang, selain itu aku bisa memperhatikan seluruh panggung dengan seksama, sia sia saja jika aku duduk didepan dan memperhatikan satu tokoh, aku harus menikmati seluruh tokoh dalam cerita mahabrata yang akan di tampilkan pada kali ini.

kursinya memang tidak sebagus itu, tapi tidak seburuk itu, kursi kayu jati yang tampak kurus dan sakit untuk di pakai duduk lama lama. Point penting dari theater ini juga soal kebersihanya, lantainya bersih walau hanya berlantai kramik tua, lalu ruanganya wangi, tidak bau pesing seperti di luar sekitarnya.

aku duduk di belakang seperti yang tadi aku bilang, di jejeran tengah yang sebelah kanan kiriku masih kosong. Kebanyakan orang berlomba lomba duduk paling depan, karena itulah kursi sebelah kanan kiri ku kosong.

aku menguncir rambutku secara asal, sebisa aku saja yang penting terikat ke atas, karena kipas angin disini belum membuatku merasa dingin, leherku menjadi akibatnya, mulai mengeluarkan keringat keringat. untung saja aku membawa sekaleng minuman di tas ranselku, hal ini menyelamatkanku dari kehausan kering pada tenggorokan beberapa jam kedepan.

hal aneh yang aku lihat sedari tadi adalah, orang orang yang menonton theater ini. umumnya sebuah pertunjukan biasanya akan menunjukan satu kelas ekonomi masyarakat, entah dari kalangan atas kalangan bawah, namun mereka semua mempunyai target satu kalangan tersebut yang sudah di sesuaikan dengan studio yang mereka sangguhkan.

Namun theather ini memiliki pengunjung yang tidak biasa, kadang pria tua berjaz datang sendirian duduk di paling depan. kadang sebuah keluarga kecil yang lewat dihadapanku, anaknya yang mengengam kedua tangan orang tuanya berbicara riang sambil masuk ke dalam theater. Kadang juga anak anak pinggiran yang tidak pernah mencuci muka dan baju mereka, tampa sepatu atau alas kaki. Hebatnya mereka semua bercampur, saling melempar senyum ramah, dan bahkan berbincang seolah pakaian dan penampilan dalam menunjukan kasta lenyap begitu saja tidak pernah ada di bumi.

hal ini membuatku tertarik, apa yang membuat theater ini bisa menyatukan seluruh kalangan kelas ekonomi? unik.

bangku bangku mulai penuh, 10 menit lagi sebelum jam tayang theater dibuka, sebelah kananku terisi bocah bocah pinggiran yang aku bilang, datang ramai bersama temanya, mereka kadang menunjuk nunjuk pria berjaz yang duduk di depan mereka, lalu bertaruh harga cuci jaz pria tersebut sehingga bisa kinclong juga kaku seperti baru, aduh tampa sadar aku juga menguping pembicaraan mereka, omongannya mengunakan suara volume besar sekali sih! Jika theather sudah dibuka dan bocah bocah ini masih berisik akan ku tegur, lihat saja!

Sedangkan kiriku ini kosong, pria dengan istrinya memilih satu jarak kosong dari pada duduk disebelahku, aku tidak peduli mengapa ia menyisakan satu jarak kosong pada ku. malah bagus untuk sewaktu waktu jika bocah bocah ini tidak kunjung diam, aku akan pindah ke sebelah kursiku, berharap ocehan bocah bocah tadi tidak terlalu masuk dan mengangu fokusku.

namun rupanya salah, detik detik theater dimulai para bocah bocah itu diam, duduk rapih seolah mereka tidak punya kepribadian ricuh tadi, aku terkesima. Selain itu bangku kiriku terisi oleh perempuan muda seumuranku, aku menebak dari perawakan wajahnya, dengan jaket denim jeans nya ia tampak bersinar dan terlihat berwawasan luas, aku tahu ini dari buku buku yang ia peluk.

Lampu cahaya putih dimatikan, sebagai gantinya lampu sorot bewarna orange terpapar pada satu pria dengan costum wayang di tubuhnya, ia berdiri memegang mic dan sebuah kertas. dia naratornya.

Kalau dipikir pikir, ada suatu hal besar saat itu ketika masuk dalam pintu reyot jelek itu,

sebuah takdir arus balik yang aku dapatkan setelah aku duduk di kursi kayu jati ini, jalur berbeda pada sebuah masa depanku.

Kala itu aku tidak tahu bahwa theater ini adalah hiburan berupa sebuah theater budaya indonesia yang diselingi kritik kritik kecil pada orang atas. Aku tidak begitu faham maksudnya arti dialog dialog asing itu ketika masuk telingaku, atau plot plot drama yang berbeda dari yang aku baca, aku bahkan terdiam seribu kata ketika mereka dengan eloknya membawakan kisah wayang nenek moyang dengan bagus namun diselipi kritik sedikit sedikit pada dialognya.

aku bingung, menoleh ke kanan ke kiri untuk mencari orang terkejut sama sepertiku namun tidak ada yang memiliki ekpresi bingung sepertiku, ekpresi was was takut sebuah tentara datang menyeroyok theater ini dan mencapku salah satu pembelok negara. aku sangat takut saat itu juga.

Anehnya, tidak ada penikmat theater yang merasa takut atas pengekpresian suara ini.

Tentu saja aku tahu bahwa era ini orang atas menolak keras kritik dari rakyat, buku buku mengingung gaya kepemimpinan akan dihanguskan, dan penculikan orang orang yang di anggap berpotensi akan mengerakan masa tiba tiba hilang, aku tahu semua kasus itu, hal itu juga yang membuatku diam tidak peduli dengan perang dalam dunia abu-abu. aku berfikir orang atas tidak berperan penting dalam hidupku, ayahku lebih tampak seperti pemimpin negara dalam duniaku dari pada pemimpin negara indonesia kala ini.

Aduh sial sepertinya aku masuk ke dalam kandang para pemberontak. Tiba tiba larangan kak gendhis soal seni di dunia kampus terngiang ngiang di kepala ku.

"Sore"

di tengah kebingungan itu, perempuan dengan jaket denim jeans nya menyapaku dengan lembut. sepertinya ia sadar aku menoleh kenana kekiri mencari orang yang merasa aneh dengan dialog barusan.

"Sore" sapa ku balik, masih merasa gusar.

"ada apa? ingin ke toilet?" Tanya gadis itu

Aku mengeleng, tersenyum kecil. diam diam aku juga takut pada perempuan ini, mungkin perempuan ini salah satu dari sekumpulan orang yang menentang orang atas.

Aku bukanya berada dipihak orang atas, namun aku sama sekali tidak peduli dengan itu semua. Kenaikan harga bbm jelas tidak membuat ku yang hidup di istana merasa cemas, krisis air bersih yang memakan korban tidak begitu berasa padaku yang memiliki kolam renang air jernih di halaman belakang, setahuku juga beberapa mentri sering menjadi tamu ibuku, atau pejabat orang atas lainya yang datang mengobrol pada ayahku soal bisnis kami.

jelas kemiskinan tidak membuatku bergerak ikut protes soal negara yang semakin menguras habis habisan kaum bawah.

"Aku francezka, panggil aja cezka. kamu?"

aku menarik nafasku terlebih dahulu, berusaha menutupi rasa takutku padanya. "Iya, salam kenal cezka. Aku diandra"

Padahal aku sudah menyiapkan nama samaran jika aku merasa terdesak, sialnya aku malah menggungkapkan nama asliku.

"kamu tampak gusar, boleh saya bantu?"

aku sudah tidak tahan lagi, semua hal aneh ini membuatku bingung. "itu, mengapa ada dialog aneh yang terdengar menyindir? Apakah ini suatu tempat untuk para—kamu tahu—pemberontak? . Aku baru pertama kali kesini, maaf aku tidak tahu tempat apa ini sebenarnya"

cezka tersenyum kecil, "santai saja, ini memang untuk umum. Tidak pernah ada hal seperti perkumpulan pemberontak sejak awal. memang ini kisah aslinya, theater ini selalu memberikan ke'aslian' pada seninya"

"Aku tahu kisah mahabrata, tapi aku tidak ingat ada adegan—

—"yang kamu lihat sudah di ubah alurnya, ini yang asli"

"di ubah?" Aku tertawa kecil mendengarnya. Bagaimana mungkin juga sebuah cerita warisan rakyat bisa diubah sampai dialognya oleh orang atas? itu sedikit tidak mungkin seperti tidak ada kerjaan saja mereka semua sampai mengubah isi cerita rakyat?

"aku punya bukunya, versi cetak keluaran awal. mau?"

sejak perempuan ini menawarkan buku 'asli' aku sudah tahu bahwa ini adalah salah satu buku yang di larang oleh orang atas atau di berhentikan pendistribusianya pada pasar dengan segala macam alasan. walau begitu tidak memungkinkan buku buku ini tetap beredar di bawah pasar gelap, jadi memang kadang sekelibat aku tahu buku buku ini masih tetap di baca atau bahkan jadi bahan diskusi anak anak kampus, namun untuk melihat dan menyentuhnya langsung dengan sedekat ini,

Aku takut, namun aku ingin tahu.


_____________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro